Apa yang ditawarkan ke Nabi supaya berhenti dalam berdakwah

Dibalik duka cita dakwah Islam pada masa awal, ada seorang paman yang selalu melindungi dan membela Nabi, Abu Thalib. Meski demikian, Abu Thalib tidak memeluk agama keponakannya itu.

Sekitar tahun ke-4 kenabian, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan dakwah Islam secara terang-terangan. Kala itu beliau mengumpulkan keluarganya dari bani Hasyim yang terdiri dari paman dan para sepupu. Mereka semua berjumlah empat puluh lima orang.

Rasulullah SAW memulai pembicaraan dengan mengucapkan syukur dan meminta pertolongan kepada Allah, kemudian beliau mengutarakan tujuannya, “Tiada Tuhan yang disembah selain Allah, sungguh aku diutus kepada kalian secara husus dan kepada umat manusia secara umum. Kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur. Setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan dan kelak hanya ada dua yang abadi, yaitu surga dengan penuh kenikmatan atau nereka dengan siksaan”. Ungkap Rasulullah dengan penuh meyakinkan.

Mendengar hal itu, Abu Thalib menyambut dengan hangat dan memberikan dukungan kepada keponakan tersayangnya itu, namun dia mengakui tidak bisa meninggalkan agama nenek moyangnya. Berbeda dengan paman yang satunya, Abu Lahab, dia mengecam ajakan Nabi dengan mengatakan, “Sungguh, ini adalah aib yang besar, cegahlah dia, sebelum dia mempengaruhi lainnya !”.

Abu Thalib langsung menimpali pernyataannya, “Demi Allah, selama aku masih hidup, aku akan terus membelanya !”.

Demikianlah sikap Abu Thalib terhadap dakwah Islam, dia membela Nabi, bahkan sejak pertama kali dakwah Islam dikumandangkan.

Mendapat dukungan dari sang paman, Rasulullah SAW semakin percaya diri dan terus menyampaikan dakwah Islam, mulai dari memanggil bangsa Quraisy di bukit safa, mendatangi perkumpulan-perkumpulan dan memperluas dakwah Islam kepada seluruh masyarakat Mekah.

Di samping itu, pasca peristiwa di bukit Safa, Allah SWT memerintahkan Nabi untuk mempertegas dakwah Islam, mengecam kesesatan mereka dalam menyembah berhala serta menjelaskan hakikat Allah Yang Esa, bahkan Nabi menunjukkan ibadah salat secara terang-terangan di halaman Ka’bah.

Keadaan ini membuat orang-orang kafir Quraisy sangat geram dan marah besar. Akan tetapi mereka tidak dapat melakukan hal apapun, sebab Rasulullah berada di bawah perlindungan yang kuat dan terpandang, yaitu perlindungan Abu Thalib.

Mereka dilema antara tidak terima, karena tuhan berhala yang mereka sembah sejak dulu dikecam keras, tetapi mereka juga tidak ingin memiliki masalah dengan Abu Thalib yang bisa berakibat fatal bagi mereka. Dalam posisi ini mereka mencoba mencari jalan keluar, dengan cara menemui Abu Thalib secara baik-baik dan memintanya untuk mencegah Nabi berdakwah.

“Wahai Abu Thalib, keponakanmu itu telah mencaci para Tuhan kita, mencemarkan agama kita, merusak angan dan menganggap nenek moyang kita sesat. Karenanya cegahlah dia atau kami yang akan menyelesaikan masalah ini dengannya. Kami tau engkau juga sependapat dengan kami,” ungkap para pemuka Quraisy yang menemui Abu Thalib.

Abu Thalib menolak permintaan mereka dengan lembut dan dengan tutur kata yang baik.

Rasulullah SAW terus melanjutkan dakwah Islam, dan semakin hari pengikut nabi semakin bertambah. Melihat hal ini, kaum kafir Quraisy tidak bisa diam, mereka kembali menemui Abu Thalib dengan cara yang agak kasar dan sedikit mengancam.

“Hai Abu Thalib, kami menghormatimu sebagai tetua kami, menghargai kebangsaan dan kedudukanmu. Sungguh kami telah memintamu untuk mencegah keponakanmu, namun engkau tidak mengindahkannya. Kami tidak bisa diam dan tidak tahan melihat Tuhan kami dicaci, agama kami dilecehkan, nenek moyang kami disesatkan. Kami tawarkan sekali lagi, engkau akan menghentikannya atau kami yang akan memberi pelajaran kepadanya termasuk juga kepada engkau! Mari kita lihat siapakah di antara kita yang akan binasa.”

Ancaman dan ultimatum itu cukup membuat Abu Thalib tergoyahkan, dia menemui ponakannya dan menceritakan kejadian yang menimpanya seraya berkata pada Nabi, “Ponakanku, jangan bebani aku dengan sesuatu yang tidak mampu aku lakukan.”

Rasulullah SAW sangat sedih dan mengira pamannya tidak akan melindunginya lagi. Namun Nabi menguatkan diri dan menjawab pernyataan pamannya sambil menangis:

“Paman, sekalipun mereka meletakkan matahari di tangan kanan dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti berdakwah. Sampai Allah memberi petunjuk ataupun membinasakanku, aku tidak akan pernah meninggalkan agama ini.” ungkap Rasulullah dengan berlinang air mata, lalu beliau berpaling hendak meninggalkan pamannya.

Saat nabi beranjak untuk berdiri, pamannya menghentikan dan berkata padanya, “Pergilah keponakanku, lakukan apapun yang engkau suka, demi Allah aku tidak akan pernah meninggalkanmu”.

Kejadian ini membuat Abu Thalib haru, hingga dia membuatkan sebuah syair

والله لن يصلوا إليك بجَمْعِهِم ** حتى أُوَسَّدَ في التراب دفينًا

فاصدع بأمرك ما عليك غَضَاضَة ** وابْشِرْ وقَرَّ بذاك منك عيونًا

Demi Allah, mereka tidak akan bisa menyakitimu, meski mereka Bersatu. Hingga aku terkubur berbantal tanah. Sampaikanlah urusanmu dengan sempurna. Dan bersuka citalah, karna mataku selalu mengawasimu.

Orang-orang kafir Quraisy mengetahui bahwa Nabi tetap melanjutkan dakwahnya, itu artinya Abu Thalib memilih untuk memusuhi mereka. Mereka gelisah, hingga pada akhirnya mereka memutuskan mengambil jalan keluar dengan cara yang sangat menggelikan.

Para pemuka kafir Quraisy kembali menemui Abu Thalib, mereka membawa seorang pemuda yang terpandang di Mekah untuk ditukarkan dengan Nabi.

“Hai Abu Thalib, kami membawa Imarah bin Walid, dia adalah pemuda paling terpandang dan tampan di kalangan Quraisy. Ambillah dia, engkau bisa melakukan apapun sesukamu, memperbudak maupun memberinya kebebasan. Lalu serahkan keponakanmu yang telah menyesatkan agama dan nenek moyang kita, bahkan dia telah mencerai berai kaummu. Biarkan kami yang membunuhnya, dan sebagai gantinya kamu bisa mengangkat Imarah sebagai anakmu”.

Abu Thalib lantas menjawab, “Murahan sekali tawaranmu itu, kalian memberiku anak untuk aku beri makan, sementara aku memberikan anakku untuk kalian bunuh, demi Allah ini tidak akan pernah terjadi!”

“Kaummu telah berbuat adil terhadapmu dan telah berupaya membebaskanmu dari perbuatan keponakanmu, yang jelas-jelas engkau juga tidak menyukai hal itu. Lantas apa yang membuatmu tidak menerima satu pun niat baik dari kaummu?” ucap al-Muth’im bin Ady kepada Abu Thalib.

Abu Thalib menimpalinya, “Mereka tidak berbuat baik padaku, mereka hanya bersepakat menghinaku dan mendemo. Pergilah dan lakukanlah apapun yang ingin kalian lakukan !”.

Benar saja, kafir Quraisy sudah kehilangan kesabaran, segala upaya telah mereka lakukan untuk membujuk Abu Thalib yang berperan penting dalam dakwah Nabi. Mereka memutuskan untuk mengganggu Nabi, menghinanya, dan membuat perlakuan yang tidak manusiawai.

Sebagai paman yang sangat menyayangi Nabi, ia selalu berupaya untuk melindungi, saat Nabi hendak dibunuh, Abu Thalib pun melindungi beliau dengan cara menjebak musuh. Bahkan sebagai orang terpandang dari bani Hasyim, Abu Thalib memerintahkan seluruh anggota bani Hasyim bersatu membela nabi, selama tiga tahun mereka diembargo oleh kafir Quraisy.

Beberapa bulan setelah masa diembargo, ayah Ali bin Abu Thalib ini mengalami sakit yang parah. Para kafir Quraisy menurunkan ego mereka untuk mengunjungi Abu Thalib, sebab jika mereka mengunjungi paman Nabi saat sudah wafat, hal ini dapat mencoreng nama baik mereka. Di samping itu mereka juga hawatir jika paman nabi itu akan beriman pada agama keponakannya itu.

Dalam pendapat lain disebutkan, bahwa mereka kembali menawarkan negosiasi pada nabi untuk menghentikan dakwah, namun hal ini tetap saja tidak membuahkan hasil.

Abu Thalib wafat enam bulan setelah masa embargo, dia wafat dalam keadaan tetap beriman pada agama nenek moyangnya. Saat itu Nabi Muhammad dan Abu Jahal beradu membisiki Abu Thalib untuk memeluk agama yang mereka anut. Sebelum wafat Abu Thalib mengatakan, “Saya tetap berada pada agama Abdul Muttalib”.

Demikianlah, ayah Ali ini wafat dalam keadaan belum masuk Islam, meskipun selama hidupnya, dia selalu membela dan melindungi Rasulullah SAW. (AN)

Wallahu a’lam

Setiap hari, Islamidotco memuat tulisan tentang Sirah Nabawi, sejarah Nabi Muhammad SAW. Baca di sini!

Kaum kafir Quraisy melakukan berbagai cara untuk menghentikan dakwah Islam. Mulai dari menghina, menyiksa dan menghabisi nyawa sebagian kaum muslim dengan bengis dan sadis.

Semua itu sama sekali tidak memalingkan keimanan umat Islam, justru semakin hari pengikut Nabi bertambah, bahkan dua orang terkemuka Quraisy, Hamzah dan Umar telah memeluk agama Islam.

Ibarat mencincang air, apa yang mereka lakukan sia-sia. Kali ini kaum kafir Quraisy mencari jalan lain, dengan cara menawarkan beberapa hal kepada Nabi dan berharap beliau mau mengikuti permintaan mereka menghentikan dakwah Islam.

Sore itu, ketika matahari baru saja terbenam, para tokoh Quraisy berkumpul di Ka’bah, di antaranya ada Utbah, Syaibah, Abu Sufyan, al-Nadhr, Abu Jahal, Zam’ah dan lain sebagainya. Mereka bermaksud untuk berunding dengan Rasulullah SAW perihal agama baru yang dibawa beliau. Salah satu di antara mereka menyuruh untuk memanggil Nabi.

Mendapat undangan tersebut, Rasulullah bergegas menemui mereka. Beliau mengira bahwa bangsa Quraisy telah menerima risalah Islam. Sesampainya di sana, Rasulullah langsung duduk bergabung dengan mereka, lalu salah satu dari mereka mulai berbicara:

“Hei Muhammad, selama ini belum pernah ada bangsa Arab yang selancang dirimu, kamu telah menghina nenek moyang, mencela agama, melecehkan Tuhan-Tuhan, membuyarkan angan-angan, dan memecah belah persatuan. Tidak ada hal yang paling berbahaya, kecuali yang kamu bawa itu. Jika kamu melakukannya karna harta, kami akan mengumpulkan seluruh kekayaan kami, agar kamu jadi orang paling kaya. Jika kamu melakukannya karena mencari kehormatan, akan kami angkat kamu sebagai pemimpin, atau jika kamu melakukannya demi kekuasaan akan kami angkat kamu menjadi raja. Dan jika apa yang kamu alami adalah sebab jin yang tidak bisa kamu usir, kami akan mencarikan tabib untukmu dan membiayai pengobatan sampai kamu sembuh.”

Nabi Muhammad SAW pun menjawab, “Apa yang kalian katakan? Aku tidak mencari kekayaan, kehormatan, maupun kekuasaan. Allah mengutusku sebagai rasul, memberikanku kitab, untuk menyampaikan kabar gembira pada kalian, maka aku menyampaikannya dan memberi nasihat pada kalian. Jika kalian menerima, kalian beruntung dunia akhirat. Dan jika kalian menolaknya, aku akan bersabar sampai Allah menetapkan persoalan di antara kita.

Mendengar jawaban Rasulullah SAW, para tokoh Quraisy itu mendesak beliau dengan berbagai permintaan tidak logis untuk membuktikan kebenarannya. Mereka meminta Nabi SAW agar Allah menggeser gunung dan meluaskan negri mereka, mengalirkan air melimpah seperti di Syam, menghidupkan Qusay bin Kilab –nenek moyang mereka- untuk menanyakan perihal agama baru yang dibawanya, bahkan salah satu di antara mereka ada yang meminta Nabi supaya membuatkan tangga ke langit, menaiki tangga itu, dan melihat beliau bersama para malaikat yang membenarkannya di langit.

Nabi juga diminta agar Allah membuatkannya istana yang megah, memberi emas dan perak, agar mereka dapat melihat kelebihan Nabi, sebab di mata mereka Nabi hanyalah seorang pedagang di pasar.

Rasulullah SAW menjawab semua permintaan dengan jawaban yang sama sebagaimana di awal, bahwa beliau diutus bukan untuk hal itu, namun Nabi Muhammad diutus untuk memberikan peringatan dan kabar gembira sesuai dengan pedoman Al-Qur’an. Dan terserah pada mereka mau menerima atau tidak. Lalu mereka meminta agar Allah segera menurunkan azab, Nabi pun menjawab, “Jika Allah berkehendak, hal itu pasti terjadi.”

Setelah perundingan selesai, Rasulullah SAW pulang dengan perasaan sedih sebab perkataan para tokoh Quraisy tersebut, mereka juga menantang tidak akan beriman pada Nabi, padahal Rasulullah sangat memperhatikan mereka untuk memeluk agama Islam.

Perundingan di atas membuat kaum kafir Quraisy semakin kesal, semua tawaran mereka ditolak dan tidak dapat menggoyahkan dakwah Islam sedikit pun. Selain merasa gagal, mereka juga merasa kalah argumen dengan jawaban Rasulullah. Namun mereka tidak kehilangan cara. Setelah mengiming-imingi harta dan tahta tidak berhasil, kali ini mereka memilih jalan tengah, dengan cara mengadakan kompromi dengan Nabi.

Suatu hari ketika Rasulullah sedang bertawaf di Ka’bah, tiba-tiba empat orang terkemuka Quraisy menghentikan beliau, mereka adalah Aswad bin Muthalib, Walid bin Mughiroh, Umayah bin Khalaf dan al-‘Ash bin Wa’il. Keempatnya berbicara saling bergantian pada nabi:

“Hai Muhammad, kami akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu juga menyembah apa yang kami sembah, dengan begitu kita bisa bekerja sama dalam hal ini. Jika apa yang kamu sembah lebih baik dari sembahan kami, maka kami akan mengambil kebaikan itu, begitu juga dengan dirimu, jika apa yang kami sembah lebih baik dari sembahanmu, maka kamu pun juga harus mengambil bagian darinya.”

Pada dasarnya kaum kafir Quraisy tidak menyatakan secara jelas tentang kebathilan agama Nabi, mereka hanya ragu dan masih terpaut erat dengan agama nenek moyang mereka. Karenanya mereka mengira bahwa dengan mengatakan hal demikian mereka telah melakukan kebenaran.

Akan tetapi dugaan mereka meleset, setelah mereka selesai mengungkapkan keinginannya pada nabi, Allah menurunkan surah al-Kafirun ayat 1-6: 1. Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.

Mendengar jawaban Nabi mereka sangat kebingungan dan berpikir keras untuk itu. Akhirnya kaum kafir Quraisy berinisiatif untuk menanyakan tentang nabi pada bangsa Yahudi. (AN)

Wallahu ‘Alam

Baca juga artikel lain tentang Sirah Nabawiyah, kisah hidup Rasulullah SAW.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA