Apa yang terjadi jika polusi tikus sawah meningkat?

Putu Bagoes Jumat, 4 Februari 2022 | 08:40 WIB

Kunci jawaban materi IPA kelas 7 SMP tentang hal yang terjadi jika ular hilang dalam ekosistem sawah.

GridKids.id - Kids, ular berperan penting bagi ekosistem, yakni, sebagai predator dan mangsa dalam rantai makanan.

Ular merupakan predator alami tikus, serangga, dan laba-laba, sehingga dapat menjaga populasi hama tetap terkendali.

Lalu, apa yang terjadi jika ekosistem sawah tak ada ular?

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Ekosistem bisa dikatakan suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh.

Ekosistem akan membuat hubungan antara unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi satu dengan yang lain.

Maka dari itu, jika ular hilang dalam ekosistem sawah, hal ini tentu akan memengaruhi hewan dan makhluk hidup lainnya.

Lalu, apa yang terjadi jika ekosistem sawah tak ada ular?

Daripada penasaran, langsung simak ulasannya, yuk!

Baca Juga: Fungsi Tudung Kepala pada Ular Kobra saat Menyerang #AkuBacaAkuTahu

Penelitian dilakukan di ekosistem sawah terbuka (lapangan) dan di ekosistem sawah berpagar (enclosure). Penelitian lapangan berlokasi di Desa Sukatani dan Desa Pasirukem Kecamatan Cilamaya Kabupaten Karawang Jawa Barat, berlangsung dari Januari 1999 sampai September 2002. Luas lahan sawah yang digunakan untuk penelitian di kedua desa tersebut masing-masing kurang lebih 100 ha. Percobaan di enclosure dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) Sukamandi Kabupaten Subang Jawa Barat, berlangsung dari Desember 2001 sampai Agustus 2002. Penelitian bertujuan untuk mempelajari a). pengaruh stadium pertumbuhan tanaman padi terhadap tingkat fluktuasi kerapatan populasi tikus sawah; b). pengaruh pakan padi terhadap perkembangbiakan dan struktur populasi tikus sawah; c). faktor penting yang berpengaruh terhadap perubahan tingkat kerapatan populasi tikus sawah; d). penggunaan habitat spesifik oleh tikus sawah, dan e). intensitas kerusakan tanaman padi yang disebabkan oleh tikus sawah di ekosistem sawah irigasi. Penelitian dilakukan dengan metode CMR (capture mark relese). Pengambilan sampel tikus dilakukan dengan cara pemerangkapan (traping) menggunakan LTBS (linear trap barrier system). Pengambilan sampel di lapangan dilakukan pada setiap bulan selama tiga hari pemerangkapan berturut-turut di lima habitat tikus sawah. Tempat pengambilan sampel meliputi habitat kampung, tanggul irigasi, jalan sawah, parit sawah dan tengah sawah. Pengambilan sampel tikus sawah di enclosure dilakukan dengan pemerangkapan tikus pada setiap petak perlakuan. Tingkat kerapatan populasi tikus sawah dihitung secara relatif berdasarkan metode keberhasilan pemerangkapan (trap success). Pengamatan perkembangbiakan tikus dilakukan terhadap sampel tikus yang tertangkap hidup dan sampel tikus yang diotopsi (sacrificed sample). Pengamatan perkembangbiakan tikus meliputi kematangan seksual, kebuntingan, jumlah embrio, jumlah anak, dan frekuensi kelahiran. Pengamatan struktur populasi meliputi nisbah kelamin dan struktur umur populasi. Preferensi tikus sawah terhadap jenis habitat dihitung berdasarkan jumlah tangkapan tikus dari LTBS yang dipasang di setiap habitat. Faktor utama pembatas populasi yang dapat diamati adalah pakan padi, musuh alami (predator dan parasit), curah hujan dan aktivitas pengendalian tikus oleh petani. Intensitas kerusakan tanaman padi dihitung berdasarkan metode transek dengan 50 sampel rumpun padi untuk setiap habitat dan cara ubinan (kuadrat sampling) 10x10 meter untuk pengukuran hasil padi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stadium pertumbuhan tanaman padi berpengaruh terhadap tingkat kerapatan populasi tikus sawah. Terjadi fluktuasi populasi yang sangat tajam dengan puncak populasi tikus sawah terjadi pada periode bera. Puncak populasi terjadi satu kali pada setiap musim tanam padi, sehingga pada pola tanam padi-padi-bera dalam satu tahun terjadi dua kali puncak populasi. Perkembangbiakan tikus sawah terutama terjadi pada stadium padi generatif dan tanggul irigasi merupakan habitat utama untuk berkembangbiak. Terjadi tiga kali periode kelahiran tikus sawah dalam satu musim tanam padi. Rata rata jumlah anak tikus setiap kelahiran adalah 10 ekor. Jumlah embrio tertinggi terjadi pada kelahiran pertama dan terjadi penurunan jumlah embrio pada periode kelahiran berikutnya. Struktur populasi tikus sawah terdiri dari tikus jantan dan betina dengan nisbah kelamin sama. Populasi tikus sawah di lapangan sebagian besar (77%) terdiri dari tikus-tikus yang berumur kurang dari tujuh bulan. Tikus sawah yang dapat bertahan hidup lebih dari satu musim tanam padi (enam bulan) populasinya relatif kecil. Habitat kampung dan tanggul irigasi merupakan habitat yang paling banyak dihuni tikus sawah. Pada periode bera sebagian besar tikus sawah migrasi ke perkampungan dan kembali lagi ke sawah setelah terdapat pertanaman padi terutama pada stadium padi generatif. Faktor utama penyebab meningkatnya populasi tikus sawah adalah tersedianya pakan padi, sehingga terjadi kelahiran tikus yang cepat pada stadium padi generatif. Tanpa pakan padi (bera panjang) tikus sawah tidak berkembangbiak. Tumbuhnya ratun padi pada periode bera memperpanjang periode perkembangbiakan tikus sawah. Penurunan populasi tikus sawah terutama disebabkan oleh migrasi tikus keluar daerah persawahan akibat terbatasnya pakan padi (panen), gangguan habitat akibat proses pengolahan tanah sawah dan aktivitas pengendalian tikus oleh petani. Peran musuh alami dalam regulasi populasi tikus sawah pada ekosistem sawah irigasi relatif kecil. Tingkat populasi tikus menentukan tingkat kerusakan tanaman padi. Intensitas kerusakan tanaman padi tertinggi terjadi pada stadium padi bunting. Enam pasang tikus sawah yang berkembangbiak selama satu musim tanam padi, menimbulkan kerusakan lebih dari 37% atau menyebabkan kehilangan hasil 3 ton gabah per hektar yang setara dengan 4,5 juta rupiah.

This study was conducted in an open and enclosed ricefield ecosystems. The field study was undertaken in Sukatani and Pasirukem Villages, Cilamaya Sub District, Karawang District, West Java Province, during January 1999–September 2002. Each study village was 100 ha in size and the distance between villages was 1 km. The enclosures were located at the Experimental Field of the Indonesian Institute for Rice Research in Sukamandi, Subang District, West Java and were conducted during December 2001–August 2002. The objectives of the research were to study a) density fluctuations of the ricefield rat; b) population structure and the breeding ecology of the ricefield rat; c) the most important factor that affected the changes on the ricefield rat density; d) occupancy of various habitats by the ricefield rats; and e). to study damage intensity caused by rats in the irrigated ricefield ecosystem. Capture mark release (CMR) method was used to assess the changes in the population dynamics of the rice field rat in the field and enclosures. The rat sampling in the field was conducted by trapping with LTBS (Linear Trap Barrier System). Trapping was conducted once a month for three consecutive nights, at five specific rat habitats: village borders, irrigation channel banks, ricefield large banks, ricefield gutters and middle of ricefield. The number of rats captured and number of non-target animals trapped were recorded for each trapping session and data on the sex, breeding status, and other biological attributes were determined. In the enclosure, live trapping was conducted inside the treatment plots. The initial rat populations introduced to each treatment plot were six pairs of adult rats. The rats were released into the enclosures with two crops season planting models, being rice–fallow and rice–rice. Fumigation and digging was conducted in both field and enclosure studies to obtain kill samples of rats, and information on the number of embryos, sets of placental scars, and parasite-infection livers were obtained. The age of rats was estimated by using the dry eye lenses weight method. Natural enemies, farmers’ rat control activities, damage intensity, yield and other supporting field condition data were also observed. The density of the ricefield rat population in technical irrigated ricefield ecosystem with rice-rice-fallow planting pattern fluctuated. The peak in the density of rat populations occurred once per cropping season, so in the rice-rice-fallow cropping pattern, the peak occurred twice for each year. The peak always occurred just after harvest of the rice crops, during the early stage of the fallow period. There was no difference in sex ratio of males and females. In the field, most of the rice field rats lived for six months with few living more than six months (a period of one crop season). The breeding season started in the generative stage and finished in the early fallow stage. The average of litter size was 10. There were three periods of births within a rice crop season. The highest increase in the density of rats occurred during the generative stage. When ratoon rice grew in the fallow period, females continued to breed and resulted in further increases of population density. The decrease of rat population was caused by natural mortality, rat emigration to outside of the rice field and rat control by farmers. Natural predators played only a small role in regulating rat populations in the irrigated ricefield ecosystem. The greatest captures of rats occurred on village and irrigation channel banks, suggesting these were preferred habitats. During the fallow season most of rats emigrated from ricefields into villages, but then they immigrated back into the rice fields after transplanting.

Kata Kunci : Ekosistem Sawah Irigasi Teknis,Populasi Tikus Sawah

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA