Apakah pembaharuan dunia islam di negara timur tengah berpengaruh pada Indonesia sebutkan contohnya

Apakah pembaharuan dunia islam di negara timur tengah berpengaruh pada Indonesia sebutkan contohnya

Apakah pembaharuan dunia islam di negara timur tengah berpengaruh pada Indonesia sebutkan contohnya
Lihat Foto

Wikipedia

Jamaluddin al-Afghani

KOMPAS.com - Gerakan Tajdid adalah gerakan pembaruan dalam ajaran Islam yang sebelumnya telah terpengaruh dengan bidah, takhayul, dan khurafat.

Tajdid diambil dari bahasa Arab yang artinya terbaru atau manjadi baru. Kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari bidah, takhayul dan khurafat.

Gerakan ini diilhami dari Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabi) di Arab Saudi, dan Jamaluddin Al-Afghani, tokoh pembaruan Islam dari Afghanistan.

Pembaharuan Islam juga terjadi di Indonesia, yang ditandai dengan berdirinya organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Baca juga: Tokoh-tokoh Pembaharu Islam di Mesir

Latar belakang munculnya gerakan Tajdid

Gerakan Tajdid atau pembaruan dalam Islam muncul pada periode modern, yakni sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18, yang terinspirasi dari Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah adalah ulama dan filsuf dari Turki yang dikenal sebagai sosok yang sangat teguh pendiriannya, terutama pada syariat Islam.

Penyebab munculnya gerakan ini berasal dari faktor internal umat Islam, yang waktu itu mulai dirusak oleh paham syirik dan bidah.

Gerakan ini berhasil di Arab Saudi, setelah digerakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan didukung oleh Muhammad bin Saud, pendiri Negara Saudi Pertama.

Keberhasilan gerakan Tajdid di Arab Saudi ditandai dengan berdirinya negara Arab Saudi.

Sejak itu, gerakan Tajdid berkembang hingga ke Benua Afrika. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pembaru Islam, seperti Usman dan Fonjo di Nigeria, Muhammad Ali bin as-Sanusi di Libya, dan Muhammad Ahmad bin Abdullah di Sudan.

Red:

Kehidupan yang mengalir dinamis telah melahirkan pembaharuan-pembaharuan Islam baik secara pemikiran atau gerakan. Pembaruan di sini bukan penambahan ajaran baru dalam Islam. Namun, proses pengembalian Islam sesuai sumbernya dalam rentang zaman. Termasuk, penyelesaian permasalahan baru yang ditemui dikaitkan dengan rujukan Islam. Dalam Islam, istilah pembaruan dikenal dengan tajdid. Para mujaddid (pelaku pembaru) lahir sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat. Rasulullah SAW sendiri menjamin bahwa Allah SWT akan melahirkan seorang mujaddid dalam kurun waktu satu abad (seratus tahun). Fungsinya, sama seperti nabi yang diutus. Seorang mujaddid akan mengembalikan umat kepada tuntunannya Alquran dan sunah serta membawa umat Islam keluar dari kesesatan. Seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya, "Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (umat Islam) pada permulaan setiap abad orang yang akan memperbarui (memperbaiki) urusan agamanya." (HR Abu Dawud). Jadi, istilah tajdid telah mendapatkan pengesahan dari Alquran dan hadis sendiri. Sepeninggal Rasulullah SAW akan ada seorang mujaddid yang tampil setiap seratus tahun sebagai mujaddid yang melakukan pembaruan. Ia akan menyelamatkan umat dari penyimpangan akidah. Istilah mujaddid baru terdengar nyaring setelah muncul gerakan dalam Islam sebagai kontak yang terjadi antara Islam yang dianggap mundur dan Barat yang dianggap maju. Seperti diterangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, gerakan pembaruan dalam Islam memang terdapat pada periode modern. Namun, sebelum masa itu keinginan untuk mengadakan perubahan juga telah timbul. Misalnya, seperti apa yang dicetuskan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792). Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahabi dilatarbelakangi oleh faktor internal Arab Saudi. Saat itu, paham tauhid kaum awam telah dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan syirik dan bid’ah. Gerakan ini berhasil berkat bantuan kepala suku bernama Muhammad bin Sa’ud (wafat 1765) yang kemudian mendirikan kerajaan di bawah pimpinan keturunannya. Gerakan Wahabi dijadikan mazhab resmi kerajaan itu. Di samping mempunyai gerakan, Ibnu Abdul Wahhab juga mempunyai pendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka dan ijtihad boleh dilakukan dengan jalan kembali kepada Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Gerakan Wahabi disusul oleh serentetan gerakan di Afrika. Gerakan yang bercorak sufistik itu akhirnya berhasil mendirikan negara-negara Islam. Di antara para pemimpinnya yang terkenal, yakni Usman dan Fonjo (1754-1817) di Nigeria, Muhammad Ali bin as-Sanusi (1787-1859) di Libya, dan Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) di Sudan yang gerakannya disebut Mahdiyyah. Di India, pembaruan terutama dilakukan oleh Syekh Ahmad Sirhindi (1564-1624) dan Syah Waliyullah (1702-1762). Mereka melihat bahwa akidah umat Islam India telah dirusak oleh sinkretisme. Oleh sebab itu, mereka mengeluarkan seruan untuk kembali kepada Alquran dan sunah dalam segala lapangan kehidupan. Selanjutnya, Syah Waliyullah berpendapat, untuk memperbaiki masyarakat Muslim di India, mesti diadakan perombakan terhadap kekuasaan Moghul. Sumbangannya yang terutama bagi pemikiran modernis, yaitu kritiknya terhadap taklid (meniru) dan dibukanya kembali pintu ijtihad. Gerakan-gerakan pramodern telah mewariskan bagi Islam modern suatu interpretasi ideologis terhadap Islam dan metode-metode gerakan serta organisasi. Kalau gerakan pramodern, terutama dimotivasi oleh faktor internal, gerakan modern dimotivasi oleh faktor internal dan eksternal, baik oleh kelemahan internal maupun oleh ancaman politis dan religiokultural kolonialisme. Tanggapan para tokoh pembaruan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap dampak Barat bagi masyarakat Muslim terwujud dalam usaha sungguh-sungguh untuk menginterpretasi Islam dalam menghadapi perubahan kehidupan. Mereka menekankan sikap dinamis, luwes, dan dapat menyesuaikan diri yang menjadi ciri kemajuan Islam pada Zaman Klasik (650-1250), terutama kemajuan di bidang hukum, pendidikan, dan sains. Mereka juga menekankan pembaruan internal melalui proses reinterpretasi (ijtihad) dan adaptasi secara selektif (Islamisasi) terhadap ide-ide dan teknologi Barat. Sebab, pembaruan dalam Islam merupakan suatu proses kritik diri ke dalam dan perjuangan untuk menetapkan Islam kembali guna menunjukkan relevansinya dengan situasi-situasi baru yang dihadapi oleh masyarakat Islam. Beberapa belahan bumi telah melahirkan gerakan-gerakan pembaruan Islam yang tema dan aktivitasnya diilustrasikan di dalam beberapa figur utama, seperti di Timur Tengah Jamaluddin al-Afgani (1838-1897) dengan gerakan Pan-Islamisme serta para pengikutnya, seperti  Muhammad Abduh (1849-1905) dengan gerakan Salafiyah dan Muhammad Rasjid Rida (1865-1935). Selain itu, di Asia Selatan muncul seorang mujaddid, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dan Muhammad Iqbal. Meskipun mereka tidak berhasil melahirkan reinterpretasi terhadap Islam secara sistematis, pandangan mereka telah menerobos ke dalam masyarakat Islam.

Di antara tokoh pembaruan generasi berikutnya, yaitu Hasan al-Banna (1906-1949) dari Mesir dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan Maulana Abu A’la al-Maududi (1903-1979) dari India dengan gerakan Jamiat al-Islam. Di Indonesia, gerakan pembaruan melahirkan organisasi pembaru, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (PERSIS), dan lain-lain. n ed: hafidz muftisany

Apakah pembaharuan dunia islam di negara timur tengah berpengaruh pada Indonesia sebutkan contohnya

Dunia yang telah menjadi desa global telah menyebabkan sebuah ideologi atau ajaran dapat menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia. Tumbuhnya berbagai kelompok Islam baru yang muncul bak jamur di musim hujan tersebut menggambarkan dinamika dari pertarungan ideologi yang ada di dunia. Bagaimana sebenarnya hubungan perkembangan ajaran Islam di Timur Tengah dan pengaruh penyebarannya di Indonesia, berikut ini wawancara Mukafi Niam dari NU Online dengan sosiolog dari LIPI Dr. Endang Turmudi yang juga sekretaris jenderal PBNU beberapa waktu lalu.

<>

Sejauh mana pengaruh perkembangan Islam di Timur Tengah mempengaruhi gerakan Islam di Indonesia

Kalau melihat sejarahnya, paling tidak ada beberapa bagian Islam di Indonesia yang terpengaruh. Sejak awal yang berkembang pertama kali tradisionalisme, Islam sunni yang menghargai tradisi, kemudian di tahun awal-awal abad 20 muncul gerakan Wahabi, muncullah diantaranya gerakan Muhammadiyah. Sekarang pengaruhnya berupa Wahabi baru, yang dibawa anak-anak yang habis kuliah dari Timur Tengah.

Mereka membawa warna baru ketika di Timur Tengah juga ada warna baru, misalnya dalam 20 tahun terakhir ini, muncul gerakan-gerakan agak keras yang tetap terinspirasi Wahabi, muncullah Hizbut Tahrir atau Salafy yang sifatnya juga internasional. Ini juga berimbas ke kita. 

Di bebeapa daerah, Saya pernah diceritain oleh Bapak Taufik Abdullah, yang menceritakan gerakan-gerakan di Minangkabau sudah dipengaruhi oleh gerakan-gerakan dari sana.

Sekarang ini kecenderunganya gimana?

Oh saya kira sekarang lebih kuat, komunikasi lebih gampang, akses pada faham yang dikembangkan lebih gampang sehingga pengaruhnya lebih cepat, dan ini saya kita tetap ada. Mungkin nanti akan ada antithesanya, selalu begitu.

Indonesia pada awalnya menganut tradisionalisme, ini warisan yang dibawa oleh para pendakwah awal Islam. Jadi yang berkembang adalah islam yang dari sisi budaya sinkretis. Nah ketika muncul gerakan Muhammadiyah yang ingin menghapus kecenderungan itu, memang sebagian terpengaruh, tapi kemudian dikontrol oleh kehadiran NU yang melanggengkan topologi budaya seperti yang bertahan dan berkembang secara natural.

Mereka kan anak-anak muda yang penuh semangat, ini kan menimbulkan potensi konfliknya, terus bagaimana?

Memang, munculnya kelompok baru itu memang agak mengusik keberadaan kelompok seperti NU, termasuk juga Muhammadiyah, karena orang baru yang terlibat dalam gerakan Wahabi ini cukup militan, dalam artian mereka merasa paling benar, saya sudah mendapat informasi tentang munculnya konflik-konflik di tingkat lokal. Saya punya kawan di LIPI yang jadi takmir masjid di kompleknya, ia sudah terbiasa dengan tradisi, di masjidnya ada kaligrafi, tiba-tiba ada orang baru yang mengharamkan kaligrafi dipasang di masjid sehingga akhirnya berantem.

Kalau saya menyarankan kepada warga NU untuk bersikap arif, lawan dengan hujjah Sebab banyak dari mereka yang memiliki semangat tinggi, yang ingin semuanya membidahkan itu hujjahnya lemah.

Revitalisasi semangat dakwah wali songo bagaimana, disini peran NU?

Kita kan memang memiliki prinsip-prinsip dengan mengembangkan syiar Islam sebagaimana seharusnya, tapi kita menghargai tradisi dan pandangan-pandangan berbeda yang dimiliki masyarakat lokal, pola yang akomodatif, kalau kita ingin melihat dari sejarah, wali songo berhasil mengembangkan syiar Islam.

Memperkenalkan Islam, apalagi dengan orang yang bukan Islam kan harus bil hikmah betul, bukan hanya rasionalitas saja yang diperlukan, tetapi  kepandaian, atau cara-cara berdakwah yang dilihat orang. Kalau belum-belum semuanya sudah dilarang bagaimana? Padahal Islam tidak begitu, ya hanya ada bebeapa yang tidak boleh.

Tapi disisi lain kita kan juga menghadapi ancaman liberalisme yang datang dari Barat, selain konservatifme yang datang dari Timur Tengah?

Ya, itu memang dinamika budaya yang terjadi, disatu sisi kita menghadapi tantangan Islam yang bercorak hitam putih, tapi disisi lain kita juga menghadapi ancaman liberalisme. Ya itu, kalau menurut saya, kita harus kembali pada pedoman-pedoman yang kita anut yang kita punya, kita kan sudah punya, baik untuk melawan yang terlalu hitam putih, yang semuanya tidak boleh, atau menghadapi kalangan liberal yang membolehkan semuanya. Islam kan agama yang disamping memerlukan rasionalitas ada juga bagian agama yang tidak bisa dirasionalkan, katakanlah sholat shubuh 2 rakaat, ya g