Asumsi dasar yang digunakan dalam perubahan APBN 2022

JawaPos.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar DPR) MH Said Abdullah memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan perubahan atas postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Hal itu lantaran terdapat indikator asumsi ekonomi makro yang bergeser dari asumsi awal, yakni perubahan harga ICP.

Karena menurutnya, berdasarkan Pasal 42 Undang Undang No 6 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2022 memberikan ruang bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan perubahan atas postur APBN 2022,” kata Said, dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Kamis, (19/5).

Ketentuan ayat 1 pasal 42 Undang Undang No 6 Tahun 2021 menyatakan ‘Dalam keadaan darurat, pemerintah dapat melakukan langkah-langkah antisipasi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat’. Makna darurat sebagaimana yang dimaksud dijelaskan dalam penjelasan ayat 1 adalah salah satu indikator adanya deviasi asumsi dasar makro.

“Termasuk meningkatnya belanja negara secara signifikan untuk membayar subsidi/kompensasi karena kenaikan harga ICP,” tutur Said Abdullah dalam keterangannya

Dijelaskan lebih lanjut pada ayat 2 Pasal 42 Undang Undang No 6 Tahun 2021 bahwa ‘Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keputusan yang tertuang di dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah’.

“Yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 2×24 jam setelah usulan disampaikan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar politikus PDIP itu.

Baca juga:

Ketua Banggar DPR Minta Pemerintah Tambah Alokasi Parlinsos

Mengacu pada ketentuan itu, harga ICP Indonesia telah melonjak drastis dari asumsi awal yang ditetapkan pada APBN 2022. Sejalan dengan itu, rupiah dibayangi bergeser dari asumsi nilai tukar yang dipatok oleh APBN, serta potensi naiknya imbal hasil pada SBN Indonesia, khususnya yang denominasi USD sebagai dampak kenaikan suku bunga acuan yang diputuskan The Fed.

“Meskipun sejauh ini depresiasi rupiah terhadap USD relatif masih kecil. Selebihnya berbagai indikator asumsi ekonomi makro lainnya cenderung ceteris paribus,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan, perubahan dari ICP berkonsekuensi lebih jauh pada postur APBN. Hal ini yang menyebabkan kedaruratan pada APBN 2022. Perubahan yang jelas akan terjadi yakni pada postur belanja Kementerian dan lembaga (k/l) dan belanja non k/l. Perubahan belanja k/l dan non k/l juga akan memiliki mata rantai dengan perubahan target pendapatan negara.

Baca juga:

Said Banggar Sebut Batu Bara Bakal Jadi Primadona 2022

“Perubahan pada belanja k/l dan non k/l serta pendapatan negara berkonsekuensi pula pada perubahan defisit APBN 2022,” kata Said.

Karena pangkal persoalan bermula dari perubahan harga minyak dunia, lanjutnya, maka dasar perubahan pertama yang harus dilakukan pada APBN 2022 adalah perubahan asumsi ICP. Pemerintah mengusulkan perubahan ICP dari US63 per barel menjadi kisaran USD95 sampai USD105 per barel.

“Konsekuensi dari kita mengadaptasi perubahan ICP yang makin besar, maka belanja subsidi dan kompensasi energi otomatis juga makin meningkat,” jelasnya.

Baca juga:

Putra Ketua Banggar Said Abdullah Duduki Kursi Bendum DPP BMI

Menurt Said, yang patut disyukuri ialah penambahan beberapa pos belanja negara dapat dipenuhi dengan perkiraan pendapatan negara yang bertambah. Pemerintah memperkirakan kenaikan pendapatan negara menjadi Rp2.266 triliun dari perencanaan semula pada APBN 2022 sebesar Rp 1.846 triliun.

“Naiknya pendapatan negara disumbangkan dari penerimaan pajak maupun PNBP atas kenaikan berbagai komoditas ekspor yang menjadi andalan kita seperti CPO dan batu bara,” tuturnya.

Adapun dengan perubahan komposisi pendapatan dan belanja negara, puji syukur defisit APBN sebagaimana usulan pemerintah malah bisa lebih rendah, dari semula 4,85 persen PDB menjadi kisaran 4,3 sampai 4,5 persen PDB.

“Lebih rendahnya perubahan rencana defisit 2022 ini makin memudahkan pemerintah softlanding ke posisi di bawah tiga persen PDB pada tahun depan,” pungkasnya.

Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat berpengaruh pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam APBN 2022 pemerintah memperkirakan harga ICP tahun 2022 mencapai kisaran US$63 per barel, dan kenaikan harganya dapat berdampak pada keuangan negara.

Menurut asumsi sensitivitas APBN 2022, setiap kenaikan ICP sebesar US$1 per barel bisa menghasilkan Pendapatan Negara sebesar Rp3 triliun, terdiri dari Penerimaan Perpajakan Rp800 miliar, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp2,2 triliun.

Kenaikan ICP sebesar US$1 per barel juga diasumsikan dapat berdampak pada peningkatan Belanja Negara sebesar Rp2,6 triliun, terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat Rp1,9 triliun, serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Rp800 miliar.

Dengan demikian, secara kumulatif setiap kenaikan harga ICP sebesar US$1 per barel diasumsikan bisa menghasilkan Surplus Anggaran sekitar Rp400 miliar.

(Baca Juga: Tertinggi Sejak 2014, Harga Minyak Mentah Indonesia Dipatok US$ 95,72 Per Barel)

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (EDM), pada Februari 2022 harga ICP sudah berada di level US$95,72 per barel.

Harga tersebut telah bertambah sekitar US$32 per barel dari perkiraan harga ICP dalam APBN 2022, yang hanya sebesar US$63 per barel.

Jika menggunakan asumsi sensitivitas dalam APBN 2022, kenaikan ICP ini berpotensi menghasilkan Pendapatan Negara sekitar Rp96 triliun, mendorong Belanja Negara senilai Rp83 triliun, serta menyisakan Surplus Anggaran sekitar Rp12 triliun.

Namun, angka-angka tersebut masih bersifat asumsi. Pasalnya, di samping ICP masih ada beberapa indikator ekonomi makro lain yang dapat mempengaruhi APBN, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, Surat Utang Negara (SUN), serta kapasitas lifting migas.

"Dalam kenyataannya, perubahan asumsi dasar ekonomi makro tertentu akan memiliki pengaruh dan berinteraksi dengan perubahan asumsi dasar ekonomi makro lainnya, sehingga secara hasil akhir dampaknya terhadap APBN tahun anggaran 2022 belum dapat ditentukan secara pasti," seperti dikutip dari Buku II Nota Keuangan beserta APBN TA 2022.

(Baca Juga: Penerimaan Pajak Moncer, Realisasi Pendapatan Negara Capai Rp302,4 Triliun)

28 Sep 2021, 13:01 WIB - Oleh: Wibi Pangestu Pratama

ANTARA/Puspa Perwitasari Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Senin (20/5/19).

Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RUU APBN 2022 tengah dimatangkan oleh Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR bersama pemerintah dan Bank Indonesia.

Sejumlah asumsi dasar anggaran tahun depan telah disepakati oleh panitia kerja atau Panja DPR.

Pembahasan RUU APBN berlangsung pada hari ini, Selasa (28/9/2021) dalam rapat kerja Banggar DPR dengan Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), dan Gubernur Bank Indonesia. Agenda rapat adalah pembicaraan tingkat I atau pembahasan RUU tentang APBN 2022.

Anggota Banggar DPR Bobby Adhityo Rizaldi menjelaskan bahwa sejumlah Panja telah melakukan pembahasan mengenai berbagai aspek terkait RUU APBN untuk dibahas dalam pembicaraan tingkat selanjutnya. Salah satu pembahasan yang telah dilakukan Panja adalah mengenai asumsi dasar dalam penyusunan APBN 2022.

"Panja telah melakukan pembahasan mulai tanggal 8, 9, dan 13 September 2021," ujar Bobby yang merupakan anggota Panja Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit, dan Pemibiayaan RUU APBN 2022, Selasa (28/9/2021).

Terdapat sejumlah poin terkait asumsi dasar perekonomian dalam RUU APBN 2022 yang disepakati Panja. Poin-poin tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asumsi Dasar

Panja menilai bahwa perkembangan ekonomi global pada 2022 akan semakin membaik, meskipun ketidakpastian dan risiko yang membayangi masih tinggi. Pandemi Covid-19 dan mutasi varian baru virus corona masih menjadi sumber risiko terbesar yang harus diwaspadai.

Sumber pertumbuhan ekonomi pada 2022 akan ditopang oleh pulihnya konsumsi masyarakat, investasi, dan perdagangan internasional. Tingkat kepercayaan masyarakat yang meningat akan mendorong konsumsi rumah tangga, yang akan disertai upaya menjaga tingkat inflasi dengan stabil.

2. Inflasi

Panja menetapkan asumsi tingkat inflasi 2022 sebesar 3 persen. Upaya pencapaian tingkat inflasi akan dilakukan melalui bauran kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil, agar laju inflasi nasional tetap berada di tingkat yang rendah dan stabil.

Keterjangkauan harga masyarakat menjadi fokus utama yang diupayakan melalui percepatan pemberian bantuan sosial, disertai kerja sama dengan pemerintah daerah dan Bank Indonesia sebagai pengendali inflasi pada seluruh komponen inflasi.

3. Nilai Tukar

Panja menilai bahwa rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada 2022 diperkirakan sebesar Rp14.350 per US$1. Pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi faktor global seperti perdagangan lintas negara dan kebijakan The Fed, sementara dari dalam negeri faktornya terkait pemulihan ekonomi.

Reformasi struktural dinilai dapat mendorong kepercayaan investor sehingga investasi di dalam negeri tetap terjaga dan arus investasi terus meningkat.

4. Suku Bunga Surat Utang Negara (SUN)

Panja menetapkan asumsi tingkat suku bunga SUN 10 tahun pada 2022 sebesar 6,8 persen. Panja menilai bahwa pasar keuangan yang dalam, aktif, dan likuid sangat diperlukan dalam konteks penurunan tingkat suku bunga SBN domestik, agar menjadi sumber pembiayaan yang stabil, efisien, dan berkesinambungan.

5. Harga Minyak Mentah

Panja menetapkan asumsi harga minyak mentah (Indonesian Crude Oil Price/ICP) pada 2022 sebesar US$63 per barel. Asumsi ditetapkan berdasarkan proyeksi meningkatnya permintaan minyak global pada tahun depan, seiring pemulihan ekonomi yang semakin kuat.

6. Lifting Minyak dan Gas Bumi

Panja menetapkan lifting minyak dan gas bumi pada 2022 sebesar 1,73 juta barel setara minyak per hari. Lifting minyak diperkirakan sebesar 703.000 barel per hari (bph) dan lifting gas sebesar 1,03 juta barel setara minyak per hari (bsmph).

"Panja meminta agar pemerintah melakukan extra effort untuk meningkatkan lifting minyak, melalui pengaturan regulasi yang memberikan ketenangan berusaha bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama [KKKS], sehingga mampu meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi beban impor minyak," ujar Bobby pada Selasa (28/9/2021).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA