Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Dakwah banyak dilkukan dengan berbagai cara seperti contoh saan ini dakwah dunia digital karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dakwah media sosial itu mudah diakses, masyarakat banyak belajar internet dan media pendakwah harus menguasai sosial dan beradaptasi dengan keadaan sekarang yang serba digital, tetapi kelemahan dakwah dengan digital masyarat kadang-kadang salah memilih pendakwah yang otoriter, radikalisme, dan tidak kompetensi dubidang agama karena ketidaktahuan masyarakat awam.

Perkembangan teknologi saat ini harusnya dapat dijadikan kegiatan berdakwah yang dapat merangkul dan membaur masyarakat secara luas sehingga dakwah secara digital tidak dikuasai oleh kelompok radikalisme yang dapat mempengarui pola-pola beragama masyarakat.

Para pendakwah menyajikan konten yang secara halus seharusnya dapat kelompok radikalisme dan para pendakwah harus memahami bukan tentang keagamaan tetapi juga tentang kebangsaan dan kebudayaan bngsa indonesia, karena budaya tidak bisa lepas dari aktivitas dakwah seperti halnya wali songo yang menyebarkan agama lewat pendekatan kebudayaan masyarakat sekitar

Seperti dalam surah QS. Al Ahzab : 45-46 tentang peran para pendakwah yaitu sebagai syahida 9 (saksi), mubasyiran (pembawa kabar), nadziran (pemberi peringatan), da'iyyan (penyeru), dan sirajan muniran (penerang). Lima peran ini harus dimiliki oleh setiap pendakwah agar dapat memberikan dampak positif bagi umat dan tentunya dapat dijangkau oleh masyarakat awam

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Nuzulul Sa'diyah

Friday, 01 Oct 2021, 17:53 WIB

  Silakan Login untuk Berkomentar

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

Era telah berubah. Zaman terus bergerak. Model masyarakat mencari informasi juga telah berganti. Jika dulu masyarakat rela berhari-hari berjalan kaki menuju tempat pengajian dan yang diisi oleh ustadz kondang, kini mereka tidak perlu repot dan capek.

Cukup menggunakan handphone, seseorang akan mendapatkan model pengajian yang diinginkan. Kecanggihan teknologi informasi telah mengubah cara masyarakat memperoleh wawasan, termasuk pemahaman bidang agama. Banyak website yang menyajikan berita tentang keislaman dan bahkan menyediakan forum Tanya jawab agama.

Namun, seiring dengan kemudahan itu muncul berbagai masalah. Salah satunya adalah persoalan pendangkalan dan radikalisme agama. Kasus yang banyak menjadi topik penelitian misalnya, banyak teroris mendapatkan pemahaman mengenai agama dan tindak kejahatan melalui internet.

Oleh karena itu, dakwah humanis perlu masuk ke wilayah digital. Dakwah tidak cukup dengan mengembangkan kajian di masjid. Namun, perlu masuk dan memberi warna sekaligus memengaruhi perilaku masyarakat. Dakwah digital menjadi tantangan sekaligus peluang. Artinya, model dakwah ini perlu membaca dan memahami kecenderungan keberagamaan generasi. Pasalnya, setiap generasi memiliki corak keberagamaan yang unik.

Generasi milenial yang lekat dengan internet tentu berbeda dengan zaman generasi X dan Y. Model keberagamaan yang berbeda membutuhkan alat dakwah yang berbeda. Dakwah model lama dengan bertemu dalam lingkungan terbatas akan tergeser oleh model dakwah digital.

Dakwah digital yaitu model pengajaran Islam melalui media. Model dakwah ini dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Hal itu sesuai dengan karakteristik masyarakat milenial yang sangat akrab dengan gawai (gadget). Mereka mengakses internet hampir setiap saat.

Lebih dari lima jam sehari mereka mengakses situs-situs dan menggunakan media sosial berjejaring (grup media sosial). Medsos kini pun menjadi rujukan utama masyarakat milenial. Mereka mencari jawaban-jawaban persoalan hidup dan keagamaan dari situs dan media sosial yang ramai dibanjiri kajiankajian keagamaan.

Pencarian melalui media sosial seringkali kering dalam spiritual. Pasalnya, media sosial seringkali “mengecilkan” peran keagamaan. Simplifikasi itu yang kemudian menjadikan masyarakat mudah terprovokasi. Mudahnya masyarakat mendapat jawaban singkat dan seringkali tidak kuat basis “dalil”-nya menjadikan mereka mudah terserang virus hoaks. Hoaks keagamaan pun seakan menjadi keniscayaan di tengah masyarakat yang kering spiritualitas saat ini.

Muhammadiyah

Menilik tantangan di atas, bagaimana organisasi sosial keagamaan harus bersikap? Dakwah pencerahan era digital perlu mendapat tempat bagi ormas Islam saat ini. Dakwah perlu diubah menuju pada “keadaban” milenial. Dakwah membutuhkan data dan piranti digital yang terus menerus dan menyeruak di tengah belantara hoaks. Data dan piranti itu membutuhkan orang-orang kreatif yang mau dan mampu menangkap gelaja zaman digital.

Oleh karena itu, ormas Islam membutuhkan pusat-pusat data (big data) dan pusat dakwah digital. Dua hal itu menjadi senjata ormas dalam mengembangkan dakwah di era digital. Dua hal itu akan menjadi pusat keunggulan ormas. Pusat keunggulan perlu dibangun oleh ormas di tengah semakin pragmatisnya umat dalam hal beragama. Ormas Islam seperti Muhammadiyah, misalnya, dapat membangun pusat keunggulan itu.

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir beberapa kali menyerukan kepada kader Persyarikatan untuk membangun pusat-pusat keunggulan. Muhammadiyah di abad kedua perlu mempunyai big data yang dapat menjadi tempat persemaian data warga Muhammadiyah.

Tidak hanya itu, big data Muhammadiyah akan memudahkan peta dakwah Persyarikatan di tengah banjir informasi. Saat Muhammadiyah telah kuat dalam data, maka pusat dakwah digital bukanlah sesuatu yang sulit. Pusat dakwah digital menjadi sarana menggusur hoaks dengan cara melawan melalui keadaban.

Pusat dakwah digital merupakan lompatan sejarah yang akan menjadi jawaban kegersangan umat saat ini. Pusat dakwah digital juga akan menjadi semacam “bolduser” kesadaran instan menuju kesadaran kritis. Muhammadiyah dapat membangun itu, karena ia memiliki universitasuniversitas yang relatif mapan. Konsorsium universitas Muhammadiyah akan mampu mewujudkan cita-cita itu.

Melalui pusat dakwah digital Muhammadiyah akan terus menjadi pemimpin peradaban mewujudkan masyarakat utama. Muhammadiyah pun akan terus memelopori gerakan tajdid (pembaruan) dan pencerahan. Muhammadiyah akan menyelamatkan generasi milenial dari serbuan pemahaman semu.

Pemahaman semu yang mengikis nalar kritis dan mendorong seseorang pada truth claim. Truth claim itu pun dapat menjadikan seseorang jauh dari nilai keadaban. Mereka menarik diri dari lingkungan masyarakat yang sehat dan menuju pada pergumulan pemikiran (aksi) yang melanggar aturan umum.

Pada akhirnya, dakwah era digital perlu menjadi agenda dan tindakan keumatan Muhammadiyah yang berulang tahun ke-106 pada 18 November 2018 lalu. Pasalnya, konten radikal telah menyusup dan menjadi “pilihan” sebagian kecil umat. Mereka adalah korban ketidakmengertian ajaran agama.

Mereka perlu diselamatkan. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak konten inklusif di lini massa. Muhammadiyah sebagai organisasi modern mempunyai tanggung jawab untuk membangun dan mengembangkan dakwah digital ini. Inilah tantangan dan peluang bagi Muhammadiyah dalam ta’awun untuk negeri. Selamat Milad ke-106 Persyarikatan Muhammadiyah. Semoga tetap menginspirasi dalam beramal saleh.

Benni Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute

Editor : Gora Kunjana ()

Baca berita lainnya di GOOGLE NEWS

Oleh : Muhammad Fadhil Nuur Rahmat*

Bagaimana cara berdakwah di era digital ini

                  Gambar ilustrasi

Dakwah merupakan cara yang dilakukan seseorang untuk mengajak orang lain untuk mempelajari atau mengikuti apa yang disampaikannya. Dakwah Islam dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan dalam bentuk penyampaian, yang dilakukan oleh da’i atau pendakwah kepada orang lain agar orang tersebut mau mengikuti, dan mengamalkan ajaran agama Islam.

   Dakwah Islam pada masa Walisongo hingga sekarang terus mengalami perkembangan. Pada masa Walisongo ada beberapa metode dan sarana prasarana yang digunakan. Adapun metode yang digunakan oleh Walisongo adalah metode ceramah, metode tanya jawab, metode konseling, metode keteladanan, metode pendidikan, metode Bi’tsah, metode berdakwah, metode Kesenian, dan metode Kelembagaan.

  Adapun sarana dan prasarana dalam dakwah islam pada masa Walisongo seperti masjid dan pesantren sebagai tempat belajar agama. Melalui kesenian dan kebudayaan seperti lagu tombo ati, dan alat musik gamelan dari Jawa, melalui kegiatan sosial, dan melalui kekuasaannya.

  Dakwah Islam di era digital ini pun para pendakwah dapat berdakwah dengan seluas-luasnya dengan adanya alat-alat teknologi yang canggih seperti internet, televisi, handphone, ataupun media-media sosial yang sifatnya online dan biasa digunakan seperti YouTube, Instagram, Whatsapp, Facebook dan lain sebagainya. Itu  semua yang disebutkan di atas dapat dijadikan sebagai media dalam berdakwah.

   Berdakwah di era digital ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membuat konten tentang dakwah lalu dikirim di YouTube, Instagram, facebook, dan lain sebagainya. Selain itu dakwah juga bisa dilakukan dengan cara membuat komik online maupun buku komik yang di dalamnya mengandung pesan-pesan agama. Dakwah juga bisa dilakukan dengan cara membuat film atau konten yang sesuai dengan umur, agar seseorang dapat tertarik dan mulai belajar dari film atau konten yang kita buat. Namun cara-cara di atas tidak terlepas dari adanya peran  da’i tersebut.

 Di samping peluang, dakwah Islam di era digital ini juga memiliki hambatan. Di antaranya tidak semua orang  menguasai teknologi, sarana dan prasarana yang tidak memadai seperti jaringan internet yang kurang bagus karena tempat tinggal yang terpencil, atau juga cara penyampaian informasinya kurang menarik dan membosankan.

  Asrorun Ni’am ketika menjadi pembicara dalam rapat  Koordinasi Dakwah Nasional Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat, di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat, pada Selasa, 03 Desember 2019

menjelaskan bahwa dakwah itu pada hakekatnya mengajak sehingga dengan begitu harus mengerti kondisi orang yang diajak, termasuk juga kecenderungannya. Sebab menurutnya tantangan dakwah sekarang ini lebih kompleks. . Selain itu, Asrorun Ni’am 

juga mengatakan bahwa tren anak-anak milenial itu seperti apa. Mereka ini kan simple, instan, dan juga tidak bertele-tele, efisien, efektif. Ini yang perlu dipahami ketika kita mau melakukan aktivitas dakwah kepada mereka.

  Oleh karena itu, dakwah Islam ini harus memperhatikan isi dan kepada siapa yang ingin dituju. Misalnya materi dakwah terlalu kaku dan membahas ilmu fikih yang tidak dikaitkan dengan realitas kehidupan remaja sehingga jamaah usia muda kurang tertarik untuk mengikuti pengajian.

  Selanjutnya Abdul Halim, dosen IAIN Surakarta mengatakan bahwa masalahnya, belum tentu para pendakwah mampu menguasai teknologi digital atau justru sebaliknya. Dari tantangan-tantangan berdakwah di era digital yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan-tantangan ini adalah dengan cara  membuat konten-konten kreatif dan inovatif, sehingga dapat menarik peminat orang-orang yang didakwahkan (mad'u). Selain itu tentang masalah dengan teknologi atau pun tempat yang kurang memadai dengan alat teknologi itu dapat diatasi dengan cara tidak perlu memaksakan dengan keadaan ataupun situasi karena masih banyak para da’i yang berdakwah dengan cara menyampaikannya secara langsung.

Badan Litbang Kominfo RI (2015) menunjukkan bahwa keluarga pengakses TIK di Indonesia tergolong tinggi. Hal itu menjadikan peluang dakwah di era digital ini semakin lama semakin terbuka dan hal ini dapat dijadikan  target dalam berdakwah. 

   Prof. Dr.-Ing. Kalamullah Ramli dalam orasi ilmiahnya pada acara wisuda sarjana ke-7 Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosat Islamiyah (STID DI) Al-Hikmah, Jakarta, Ahad (25/9/2016) 

mengatakan bahwa akses rumah tangga Indonesia tertinggi adalah akses terhadap televisi sebanyak 86,7 persen, disusul pengakses melalui handphone sebanyak 84,3 persen, kemudian radio sebanyak 37,5 persen, dan internet sebesar 35,1 persen. 

  Menurut Ramli, data tersebut menunjukkan bahwa penetrasi pesan melalui media massa maupun media sosial sangat besar, sehingga menjadi peluang dakwah. Terlebih lagi pangsa pengguna media digital saat ini didominasi oleh kalangan muda berusia antara 16-25 tahun. Mengutip hasil survei global 2014 bahwa pengguna media dihitung berdasarkan durasi pemakaiannya, Indonesia menempati peringkat pertama di dunia, disusul Filipina, China, Brasil, Vietnam, dan Amerika Serikat. 

  Dapat disimpulkan bahwa di era digital ini dakwah Islam dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dengan memanfaatkan alat-alat teknologi yang ada. Namun di samping itu harus juga selalu memperhatikan tantangan-tantangan yang ada dalam berdakwah di era digital ini, jangan sampai tantangan tersebut memperkecil atau menghilangkan peluang yang ada dalam berdakwah di era digital pada masa ini. 

(*Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).