You're Reading a Free Preview
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan reformasi akan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan daerah. Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan di sini bahwa inti dari Otonomi Daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Demokratisasi yang ingin dimunculkan adalah dalam upaya mewujudkan good governance. Dengan otonomi daerah dapat mengubah perilaku sebagian masyarakat Indonesia yang sebelumnya hanya terfokus pada pemerintah pusat. Upaya perwujudan good governance, sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka demokratisasi dan pembatasan kekuasaan, dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan, baik secara horizontal maupun vertical. Di dalam hal kaitannya dengan otonomi daerah yaitu dengan adanya kesetaraan hubungan pusat dan daerah. Walaupun pemerintah pusat memiliki kewenangan lebih dari berbagai urusan, tetapi pemerintah daerah juga mempunyai hak untuk mengurus dan mengatur kepentingan daerahnya sendiri. Sebab, pemerintah daerah lebih paham dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari daerah tersebut. Terhadap hak yang dimiliki daerah itu, maka aspirasi dan kepentingan daerah akan mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pemerintah pusat. Pengambilan kebijakan tersebut menjadikan pemerintah daerah merepresentasikan bentuk desentralisasi dari pemerintah pusat dan sekaligus menjadi landasan demokrasi daerah. Secara teoritis maupun praktek, penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak dilaksanakan secara desentralisasi semata, tetapi tetap mengkombinasikan antara asas desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Asas-asas tersebut guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Good governance diharapkan tampil dengan susunan organisasi pemerintahan yang sederhana, agenda kebijakan yang tepat, pembagian tugas kelembagaan yang jelas, kewenangan yang seimbang, personel yang profesional, prosedur pelayanan publik yang efisien, kelembagaan pengawasan yang mantap dan sistem pertanggungjawaban yang tegas. Terhadap reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia, menyebabkan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi semakin jelas. Dari penjelasan ini bukan berarti Indonesia menjadi negara liberal dimana swasta memiliki kebebasan yang luar biasa dalam negara. Namun negara menjadi pengayom rakyat, dimana negara mempunyai tujuan yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Era otonomi daerah bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan industri dan perdagangan, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan dukungan bagi pengembangan perindustrian dan perdagangan. Dengan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya terbuka kesempatan untuk mengembangkan perindustrian dan perdagangan secara optimal di daerah. Di era otonomi daerah sejalan dengan kewenangan yang dimiliki Daerah pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, karena pada umumnya setiap daerah memiliki kelompok usaha jenis tersebut. Dengan kewenangan yang dimiliki Daerah tersebut setiap daerah akan berupaya melakukan pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi untuk mendukung pengembangan industri dan perdagangan sesuai dengan kondisi potensi dan kemampuan masing-masing daerah. BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Good Governance dan Otonomi Daerah Good governance sering diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik atau disebut juga dengan istilah civil society. Good governance bisa juga didefinisikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang sejalan dengan demokrasi (pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat). Tuntutan untuk mewujudkan good governance sudah menjadi salah satu isu penting di Indonesia sejak terjadinya krisis finansial yang terjadi pada tahun 1997 s.d. 1998. Krisis tersebut kemudian meluas menjadi krisis multidimensi dan telah mendorong arus balik yang menuntut reformasi dalam penyelenggaraan negara termasuk pemerintahannya. Salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensi tersebut adalah karena buruknya/salahnya manajemen dalam penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance) yang diindikasikan oleh beberapa masalah, diantaranya adalah sebagai berikut :
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian “otonom” secara bahasa adalah “berdiri sendiri” atau “dengan pemerintahan sendiri”. Sedangkan “daerah” adalah suatu “wilayah” atau “lingkungan pemerintah”. Dengan demikian pengertian secara istilah “otonomi daerah” adalah “wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri.” Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? sebagaimana dinyatakan bank dunia, angka kemiskinan di indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan? Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. tahun 1998, masyarakat indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. realitasnya, setelah masyarakat indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal. Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem. Otonomi daerah berpijak pada dasar perundang-undangan yang kuat, yakni : sebagaimana telah disebut di atas undang-undang dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah. pasal 18 uud menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. Tap MPR-RI No. xv/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah : pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan pusat dan daerah dalam rangka negara kesatuan republik indonesia. undang-undang No.22/1999 tentang pemerintahan daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. hal-hal yang mendasar dalam UU no.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan otonomi daerah memiliki dasar hukum yang kuat. tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan otonomi daerah bisa dijalankan secara optimal.
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 uud 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan uu no. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
Berdasar pada uu no.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut :
Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. namun di indonesia, apakah faktanya memang demikian? kenyataannya sangat jauh dari itu. bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. ini membuat indonesia seperti mempunyai banyak presiden. walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah. Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. alasan menkes siti fadilah supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. realitasnya nkri sekarang telah tiada. yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di indonesia.
Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. ini membuat partai dan perusahaan di indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. dengan melihat bahwa pemerintahan di indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. ini berarti yang berkuasa di indonesia adalah para konglomerat. Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan prof. hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan warren buffet, orang terkaya di dunia, di atas apbn indonesia). bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh voc (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan voc baru yang kekuatannya di atas negara? dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol dprd setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga dprd mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar. Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas rp.18 juta per tahun (rp. 1,5 juta/bulan atau rp. 6 juta / keluarga). itu berarti banyak keluarga di indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). indonesia memang negeri yang sangat aneh. berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. tapi jalan-jalan semakin berlubang. Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di indonesia. dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.
Meskipun uud 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini : Kebijakan otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. Mulai tahun ini kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada dprd, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya uu no. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal ode baru, maka pada masa berlakunya uu no. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Utonomi daerah di indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 2005 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 januari 2001. Otonomi daerah menurut uu ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan otonomi daerah di indonesia. fase kedua otonomi daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, uu nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, dan uu nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses otonomi daerah di indonesia. UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah menurut uu ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Filosofi Otonomi Daerah Dijabarkan Sebagai Berikut (Suwandi, 2005):
2.2. Kaitan Otonomi Daerah dengan Good Governance Dalam pelaksanaan “otonomi daerah”, salah satu kelemahan yang dihadapi adalah standar penilaian kinerja pemerintahan, orientasi teoretis paradigmatis mengarah pada birokrasi klasik yang mengutamakan cara (means) daripada tujuan (ends). Seharusnya di era otonomi daerah ini orientasi kinerja pemerintahan mengikuti paradigma reinventing government atau post bureaucratic yang mengutamakan kinerja pada hasil akhir atau tujuan atau visi organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan proses (lihat gaebler dan osborne 1992). Pada saat ini tuntutan akan terselenggaranya good governance semakin mendesak untuk diakomodasikan dalam standar penilaian kinerja pemerintahan. Dalam rangka otonomi daerah nilai good governance dapat diketahui sebagai kunci utama karena nilai-nilai terkandung dalam menekankan. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah. Proses ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan terpadu. Adapun prinsipprinsip good governance adalah:
Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh dana perimbangan. Dana perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat sejak digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari persentasenya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan Pendapatan Domestik Neto (PDN). menunjukkan pekembangan dana perimbangan tahun 2003-2006. Dau adalah komponen dana perimbangan yang paling besar. Dau merupakan transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang berbentuk block grant. Dau dihitung berdasarkan formula kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun 2001, formula dau telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula dau untuk tahun 2006 disusun berdasarkan uu no. 33/2004 ditunjukkan oleh gambar 1. Dau masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase dau terhadap apbd berkisar antara 70-80 persen. Dana perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). Dak merupakan dana yang bersumber dari apbn yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk Membantu daerah dalam membiayai:
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu:
2.3. Hubungan antara good governance dengan otonomi daerah Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan. Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama lainnya, yaitu :
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di indonesia secara keseluruhan yaitu penataan otonomi khusus nad, dari papua penataan daerah dari wilayah perbatasan, serta pemberdayaan masyarakat.setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini. Meskipun dalam pencapaian good governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU No. 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam tata urutan peraturan perundang – undangan nasional (uu no 10 tahun 2004), pengawasan oleh masyarakat. Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada dprd, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh dprd seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga. Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah. Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di indonesia. 2.4. Optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah melalui good governance Good Governance dapat ditinjau sebagai bentuk pergeseran paradigma konsep goverment (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Secara epistemologis, perubahan paradigma goverment berwujud pada pergeseran Mindset dan orientasi birokrasi sebagai unit pelaksana dan penyedia layanan bagi masyarakat, yang semula birokrat melayani kepentingan kekuasaan menjadi birokrat yang berorientasi pada pelayanan publik. Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih jauh kita menelaah kiat-kiat dalam menciptakan regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya dengan memahami terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik. Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi fakir miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklik investasi yang kondusif dan bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik, sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan pemerintahan yang miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (Bad Governance). Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan Stake Holder (pemangku kepentingan). Oleh karena itu, good governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang cara memperkuat hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan. Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab, hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat menghambat kelancaran proses pembangunan. BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Gagasan otonomi daerah memiliki kaitan sangat erat dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan di daerah. Agar otonomi daerah dapat berjalan seperti apa yang dicita-citakan, maka daerah harus memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai suatu sistem negara kesatuan. Dalam hal ini demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Bukan seperti di negara lain yang secara jelas mengedapkan demokrasi liberal. Dimana pasar lebih banyak berperan dalam negara dibanding pemerintah. Meskipun dalam praktiknya negara juga menggunakan kekuasaanya dalam mengatur pasar. Dengan diberlakukannya otonomi daerah yang menggunakan asas desentralisasi, bukan berarti daerah bisa secara bebas menentukan apa yang menjadi keinginan daerah. Keinginan daerah itu bisa terwujud dengan adanya kebijakan dari pemerintah pusat. Kebijakan yang dibuat terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang ramah terhadap pasar. Demokrasi di Indonesi bukan demokrasi yang bebas namun menjunjung tinggi keadilan masyarakat dan kesejahteraan rakyat.
Pemberlakuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam otonomi sudah sangat lama, yaitu sejak tahun 2001 (menggunakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah) dan pada tahun 2004 (menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai revisi Undang-undang sebelumnya) sampai sekarang. Dalam dua Undang-undang tentang Pemerintah Daerah tersebut telah diberlakukan sistem desentralisasi sebagai konsekuensi terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lalu yaitu sistem kebijakan sentralistik. Dengan adanya perubahan sistem kebijakan ini, pemerintah daerah mempunyai kewenangan besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dalam perwujudan otonomi darah tersebut harus dibarenagi dengan sistem pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN. Maka terhadap pergeseran kekuasaan tersebut aspirasi rakyat dan kebutuhan rakyat di daerah dapat terealisasikan sesuai dengan amant Undang-Undang. Daftar Pustaka http://yustinusmf.blogspot.com/2012/04/hambatan-hambatan-dalam-pelaksanaan.html http://siswantopashter.blogspot.com/2012/01/makalah-otonomi-daerah.html http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread/85d745e62eda5675/5a7acc56bcaea1da%235a7acc56bcaea1da http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/ http://anazmudin.blogspot.com/2012/02/definisi-good-governance.html |