Bagaimana Islam menyikapi kebudayaan dan Kearifan lokal

ISLAM sebagai agama yang rahmatan lil alamin sangat menjaga hubungan baik sesama manusia (hablum minannas) di tengah-tengah kehidupan umatnya agar terjaga persatuan dan persaudaraan yang harmonis.

DALAM bidang muamalah, umat Islam dalam berkehidupan harus selalu menghargai berbagai kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam dan wajib meluruskannya manakala bertentangan dengan syariat Islam, sehingga kearifan lokal tetap harus tunduk kepada aturan Allah SWT, tidak sebaliknya.Karena tidak semua kearifan lokal sesuai dengan syariat ajaran Islam.

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri, karena kearifan lokal ini menjadi satu kesatuan dengan masyarakat setempat. Masyarakat disetiap daerah pun memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda, tergantung dengan kultur dan kebiasaan masayarakatnya tersendiri.

Kearifan lokal (local wisdom) ini biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi setelahnya melalui cerita dari mulut ke mulut yang disyiarkan melalui masyarkaat setempat itu sendiri.

BACA : Langgar Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Meskipun di setiap daerah mempunyai kultur yang berbeda dengan daerah lainnya dan memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda pula, tetapi kearifan lokal terbukti memberikan solusi kongkrit terhadap persoalan lokal dan regional yang terjadi di masyarakat.

Di antara kearifan lokal itu ialah adat istiadat dan hukum adat. Adat istiadat lebih merupakan sistem nilai yang sifatnya lebih abstrak.  Sedangkan  hukum adat sudah menjadi norma-norma sosial kemasyarakatan yang memiliki reward dan punishment.

Hukum adat di dalam lintasan masyarakat Nusantara sudah sekian lama mengabdikan diri menyelesaikan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya terkait konflik horizontal, baik yang bertema etnik maupun agama atau kepercayaan. Meskipun berada dibawah naungan hukum undang-undang, tetapi dalam masyarakat adat ada sebuah kearifan lokal yaitu hukum normatif yang disepakati secara kolektif sebagai instrumen penyelesaian masalah yang sifatnya di daerah itu sendiri, ini terbukti ampuh dalam penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat adat.

BACA JUGA : Dayak Bakumpai, Pendakwah dan Penyebar Islam di Pedalaman Kalimantan (3-Habis)

Indonesia yang memiliki ribuan pulau dengan berbagai etnik tidak dapat disangkal juga memilki kearifan lokal yang amat kaya dan melimpah. Kearifan secara harfiah, berasal dari bahasa Arab dari akar kataعرف – يعرف /‘arafa-ya’rifu berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata “kearifan” yang bisa diartikan dengan sikap, pemahaman, dan  kesadaran yang tinggi terhadap sesuatu.

Kearifan adalah kebenaran yang bersifat universal sehingga jika ditambahkan dengan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri. Setiap kali kita berbicara tentang kearifan maka setiap itu pula kita berbicara tentang kebenaran dan nilai-nilai universal. Menentang kearifan lokal berarti menolak kebenaran universal.

Kebenaran universal itu sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai kebenaran lokal. Tidak ada kebenaran universal tanpa kearifan lokal. Jadi tidak tepat memperhadap-hadapkan antara kearifan lokal dan kebenaran universal.

Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 104 disebutkan bahwa:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran/3:104):

Untuk urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan  (يدعون/yad’una) dan untuk kata makruf digunakan istilah menyuruh ( يأمرون/ya’muruna). Kata makruf (معروف/ma’ruf) dapat disinonimkan dengan kearifan yang disepakati kebenarannya oleh umumnya komunitas. Sedangkan kebaikan ( الخير/al-khair) adalah kebenaran yang belum serta-merta diterima oleh sebagian orang non-Islam.

BACA JUGA : Moderasi Agama dan Kearifan Lokal Banjar

Kearifan lokal sudah menjadi istilah bagi nilai-nilai istimewa dan unggul di dalam suatu masyarakat. Mungkin anggapan itu benar namun masih mengesankan sebuah kearifan lokal tidak serta-merta diterima sebagai kebenaran universal melainkan harus menunggu waktu yang cukup lama untuk diakui sebagai kearifan bangsa, yang melintasi sejumlah nilai-nilai etnik.

Contoh kearifan lokal ialah gotong-royong menyelesaikan sarana umum seperti perbaikan jalan, pos yandu poskamling dan lain sebagainya, toleransi dalam merayakan seremoni keagamaan, urung rembuk (musyawarah) di dalam menentukan pemimpin, dan menyerahkan kepada lembaga adat untuk menyelesaikan konflik yang sifatnya terjadi dalam ruang lingkup daerah setempat.

Dalam era globalisasi saat ini kearifan lokal semakin diperlukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum formal kita yang bersifat general. Kearifan lokal juga bisa menyelesaikan konflik yang bertema keagamaan.

Biasanya para pihak yang bertikai mempunyai agama, aliran, dan mazhab yang berbeda tetapi memiliki budaya leluhur yang sama. Budaya luhur inilah yang berpotensi menjembatani para pihak yang bertikai. Budaya luhur yang merupakan istilah lain dari kearifan lokal ini dapat mencairkan kembali hubungan yang renggang satu sama lain.

BACA LAGI : Kearifan Lokal Mampu Menjaga Masyarakat dari Informasi Negatif

Meskipun memberikan banyak dampak positif, kearifan lokal terkadang juga menyimpang dengan ajaran-ajaran syariat Islam, Dalam kearifan lokal yang berbungkus adat istiadat, Tidak sedikit tradisi (adat-istiadat) yang mayoritas dianut oleh muslim di Indonesia sangat jauh dari nilai-nilai murni dan shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Kita akan mudah menyaksikan, melihat, mengamati, mendengar, merasakan bahkan turut terlibat dalam ritual tradisi yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga di zaman digital hari ini, Tetapi kebiasaan yang dilakukan bersimpangan dengan syariat Islam yang menjadi falsafah hidup umat Islam itu sendiri.

Menurut pakar kebudayaan, Koentjaraningrat dalam bukunya bahwasanya dalam adat istiadat akan ditemukan tiga wujud kebudayaan pertama, wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Sebagaimana definisi tersebut maka tradisi (adat-istiadat) merupakan suatu kesatuan yang terpolakan, tersistem dan terwariskan turun temurun. Nilai-nilai yang dianut dalam sebuah tradisi pada masyarakat tertentu misalnya nilai sirri na pacce (harga diri dan rasa malu) di Makassar adalah suatu kekayaan leluhur yang hingga hari ini masih diyakini masyarakat Bugis-Makassar Sulawesi-Selatan. Bukan hanya di Makassar saja, masih begitu banyak tradisi yang diagungkan oleh setiap suku di Indonesia dan menjadi sebuah kebanggaan dan pemersatu antar suku bangsa.

BACA LAGI : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai

Setiap aturan-aturan, anjuran, perintah tentu saja akan memberi dampak positif dan setiap larangan yang diindahkan membawa keberuntungan bagi hidup manusia. Salah satu larangan yang akan membawa maslahat bagi manusia adalah menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang terdahulu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut sebagaimana yang Allah firmankan dalam AlQur’an :

 “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal,nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah:170)

 “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS Al-Maidah:104)

Kedua ayat tersebut menjelaskan kepada kita tentang orang-orang yang lebih patuh pada ajaran dan perintah nenek moyangnya daripada Syariat yang diwahyukan oleh Allah didalam Al-Qur’an. Seperti adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu pada ritual-ritual yang menjanjikan keselamatan, ketenangan hidup, penolak bala yang menjadi salah satu tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah.(jejakrekam/bersambung) 

Bagaimana Islam menyikapi kebudayaan dan Kearifan lokal

Penulis adalah Presiden Mahasiwa UIN Antasari

Sekretaris Umum HMI Cabang Banjarmasin

Email : : [email protected]

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/11/06/islam-dan-kearifan-lokal-1/,islam dan kearifan lokal,kearifan lokal dalam islam

(Refleksi Pemikiran dalam Bingkai Sosial-Keagamaan untuk Mewujudkan Visi dan Misi Perguruan Tinggi)

oleh : Hj. St. Aminah Azis, Dosen IAIN Parepare

OPINI— Islam sebagai agama wad’un ilāhiyyun, senantiasa sejalan dengan budaya masyarakat selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan doktrin Islam, karena doktrin tersebut memasuki masyarakat dan mewujudkan diri dalam konteks sosial budaya (Islamicate) pada masing-masing wilayah atau kawasan.

Hasil budaya tersebut menjadi kekayaan umat Islam dan menjadi peradaban yang spesifik. Agama merupakan sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.

Sementara kebudayaan merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom). Agama maupun kebudayaan, keduanya memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan sesuai kehendak Tuhan dan kemanusiaannya.

Agama melambangkan nilai ketaatan kepada tuhan, sedangkan kebudayaan mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa dinamis dalam kehidupannya. Keberadaan sistem agama yang melingkupi masyarakat, mengandung makna kolektifitas yang saling memberi pengaruh terhadap tatanan sosial keberagamaan secara totalitas, namun tidak dapat dipandang sebagai sistem yang berlaku secara abadi di masyarakat.  

Namun, terkadang dialektika antara agama dan budaya berubah menjadi ketegangan karena budaya sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran ilahiyat yang bersifat absolut.

Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama sepanjang sejarahnya.

Sejak awal kelahiran-nya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. realitas dalam kehidupan ini, memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui oleh masyarakat dunia.

Namun tidak berarti bahwa Islam, budaya, serta hasil budaya dari agama masa lampau dapat disamakan, walaupun sebagian ulama dan cendekiawan muslim memposisikan sama. Dalam hal ini merujuk misalnya pada Q.S. al-baqarah/ 2: 62.;

 إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Terjemahnya:

Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Keanekaragaman budaya lokal merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah.

Keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya.

Budaya lokal ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk yang lain. Berpijak pada keragaman budaya di sejumlah daerah tersebut maka munculah kesatuan budaya yang disebut budaya nasional, yang pada dasarnya digali dari kekayaan budaya lokal. Budaya lokal merupakan nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang terbantuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu.

Budaya lokal tersebut bisa berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat. Karena itu, pada dasarnya setiap komunitas masyarakat memiliki budaya lokal (local wisdom), ini terdapat dalam masyarakat tradisional sekalipun terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan (being smart and knowledgeable). Budaya lokal berisi berbagai macam kearifan lokal (pengetahuan lokal) yang digunakan oleh kelompok manusia menyelenggarakan penghidupannya.

Disinilah makna dan peran penting studi keagamaan di Perguruan Tinggi Islam khususnya untuk melakukan progressif untuk menata ulang perannya sebagai kekuatan studi Islam. Tidak hanya dalam tataran  simbolistik belaka, tetapi yang sangat urgen harus menjadi agen terdepan mengawal segala bentuk arus perubahan budaya lokal masyarakat dalam berbagai dimensinya. Lebih dari pada itu, harus terjewantahkan ke dalam pola pemikiran yang ingklusif dan eksklusif dalam memandang realita\s empiris yang mengitari kehidupan sosial-keagamaan.   

Nilai Budaya Lokal dalam Kajian Keagamaan… (next page 2)


Page 2

[Page 2]

Nilai Budaya Lokal dalam Kajian Keagamaan

Budaya dimaknai sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bernilai untuk ditempuh. Untuk memahai nilai-nilai budaya, terlebih dahulu harus diketahui pengertian nilai dan budaya. Nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Nilai-nilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan, meski kebaikan lebih melekat pada “sesuatu hal-nya”. Sedangkan ‘nilai’ lebih merujuk pada ‘sikap orang terhadap sesuatu atau hal yang baik’.

Nilai budaya menurut Koentjaraningrat sebenarnya merupakan kristalisasi dari lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yakni (1) hakikat dari hidup manusia, (2) hakikat dari karya manusia, (3) hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakikta dari hubungan manusia dengan sesamanya. Apapun nilai yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang akan menentukan sosok mereka sebagai manusia berkebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

Definisi tersebut menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Dalam perspektif sosiologi, kebudayaan menurut Alvin L. Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat antara lain lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok. Sedangkan dalam disiplin antropologi yang dikenal istilah lokal genius Gobyah, mengatakan bahwa kearifan lokal (lokal genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal itu sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah menyatu sedemikian rupa dengan sistem  kepercayaan, norma dan budaya.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, selanjutnya menjadi tindakan perilaku manusia. Kebudayaan manusia selalu berkembang, bermula dari bentuk primitive kepada bentuk yang modern. Eksistensi budaya, pada dasarnya dipersepsikan sebagai sistem-sistem kepercayaan (beliet) nilai (value), sikap (attitude), pandangan (world wiew), dan organisasi social (social organization).

Unsur-unsur yang membentuk budaya dan kearifan lokal yaitu : pertama, manusia; kedua; gagasan yang bernilai baik; ketiga, kebenaran yang telah mentradisi; dan keempat, diakui oleh masyarakat. Dengan empat unsur tersebut dapat dipahami bahwa dalam budaya dan kearifan lokal nilai agama tidak dapat terpisahkan. Gagasan yang bernilai baik kemudian menjadi kebenaran yang mentradisi dan diakui merupakan prinsip dasar dari semua agama khususnya agama Islam.

Paparan tentang segi-segi mana budaya lokal dengan ajaran Islam yang berintegrasi secara konsern dalam studi keagamaan, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh ade’ yang berintegrasi dengan ajaran sarak. Sedangkan implementasi norma dan aturan-aturan kehidupan dalam masyarakat muslim berfungsi mendinamisasi kehidupan masyarakat sebagai perwujudan bahkan menjadi  keharusan dalam bertingkah laku dalam semua kegiatan kehidupan bermasyarakat.

Perspektif Nilai-nilai Budaya Lokal… (next page 3)


Page 3

[page 3]

Perspektif Nilai-nilai Budaya Lokal dalam hubungannya dengan Agama

Berdasarkan nilai-nilai teologis, maka produk budaya lokal masyarakat muslim, utamanya di Kota Parepare dan sekitarnya memiliki relevansi yang sistemik dan mengakar dalam nilai-nilai agama, yang sudah barang tentu selama dianggap tidak bertentangan. Dalam hal ini terdapat delapan aspek nilai, yakni nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kehidupan, nilai spiritual, nilai ritual, nilai moral, nilai sosial, dan nilai intelektual. (sebagaimana dalam hasil peneitian dalam disertasi saya), sebagai berikut:

  1. Nilai ketuhanan. Kesepadanan antara konsep budaya lokal dengan teologi keagamaan bagi masyarakat  merupakan impelementasi nlai-nilai ketuhanan yang termanifestasi ke dalam pola penghambaan atau pemujaan secara tulus disertai rasa cinta kepada yang satu/tunggal. Memandang realitas alam sebagai produk yang bersumber dari Allah yang dijadikan sandaran dalam memantapkan keyakinan atau keimanan mereka. Dengan demikian, wujud ilahiyyah, baik dari sudut pandang uluhiyyah maupun rububiyyah memberikan konstruksi terhadap sikap dan perilaku manusia dalam menjalankan aktivitas ritual keagamaan.
  2. Nilai kemanusiaan. Implementasi nilai-nilai kemanusiaan terhadap budaya lokal masyarakat muslim yang memiliki relevansi dengan ritual keagamaan mengindikasikan adanya hubungan yang harmonis dalam memanfaatkan segala bentuk produk-produk budaya lokal mereka, memberikan kesadaran akan pentingnya nilai-nila tasamuh (toleransi) dalam hidup secara individu maupun dalam bermasyarakat. Secara teologis, manusia tersusun dari dua unsur, yaitu materi (jasad) dan immateri (ruh). Unsur materi memiliki hubungan yang jauh dari Allah, sedangkan unsur immateri memiliki hubungan yang dekat dengan Allah.
  3. Nilai kehidupan. Naluri beragama dimiliki oleh setiap manusia, namun sebagian di antaranya tidak mampu melaksanakan naluri tersebut dengan baik sehingga hidupnya sengsara, namun hidup sengsara dalam pandangan teologis adalah bersifat relatif dalam memandang kehidupan dunia penuh hikmah yang mendalam untuk dijalani. Nilai kehidupan bagi manusia, ada yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Kehidupan duniawi diakui sebagai tempat menitih jalan ke akhirat. Dua macam kehidupan menjadi patron nilai-nilai masyarakat  berdasarkan peradaban mereka dan pemahamannya terhadap ajaran agama.
  4. Nilai spiritual.  Segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci untuk  mendapatkan ridha dari tuhan yang maha kuasa. Seseorang yang mempunyai pembawaan hati yang baik berupa fitrah yang suci tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar, karena yang dijadikan patron penilaian adalah kesucian jiwa, sebagaimana halnya masyarakat  setiap akan melakukan ritual didasari dengan niat suci untuk keberkahan dalam kehidupannya. Kendatipun, nilai spiritual ditemukan dalam setiap aspek ritual yang dijalani sebagai motivasi untuk hidup bahagia jangka panjang, namun mereka tidak melaksanakan syariat Islam maka nilai spiritual tersebut akan sirna. Karena itu, prosesi ritual yang bagaimanapun bentuknya, dalam pandangan saya sangat kontekstual pada masa sekarang ini.
  5. Nilai ritual, nilai ritual adalah pelaksanaan budaya yang mengandung unsur ibadah. Hati yang terbentuk karena dilandasi oleh dasar keimanan kepada Allah niscaya akan menghasilkan niat yang baik dan ikhlas yang jauh dari sifat takabbur dan sombong, sehingga terwujud perilaku yang terpuji.  Sebagai contoh maccerak (memotong hewan) merupakan salah satu kegiatan yang menurut pemahaman teologi memiliki nilai ritual jika didasarkan pada ajaran Islam dengan cara membaca doa dan berzikir, sebagaimana halnya dengan pembacaan barazanji atau syair untuk memuji nabi saw yang diselenggarakan pada kegiatan aqikah bagi anak yang lahir.
  6. Nilai moral. Nilai moral atau akhlak sebagai bagian yang urgen dalam perilaku manusia dapat dilihat dari berbagai budaya dan tradisi masyarakat yang mempertahankan sikap dan prilakunya yang baik seperti ada tongeng (kejujuran), sabbara (sabar), dan mappogaugello (kebajikan) lainnya sebagai lawan dari perbuatan jahat merupakan bagian dari nilai moral. Urgennya nilai moralitas ini sangat berpengaruh pada dimensi spritual manusia, baik secara individu maupun dalam lingkungan masyarakat. Esensi ajaran moral dalam masyarakat Islam bugis, adalah kejujuran atau lempu sebagai metafor untuk hidup lurus, hampir sama dengan makna paccing adalah metafor untuk hidup bersih. Kejujuran dan kebersihan adalah pagar yang dibangun masyarakat, mengelilingi dirinya di mana dan apapun aktivitas mereka. Mengabaikan kejujuran berarti menciptakan keresahan dan kegelisahan yang dapat bermuara pada penderitaan hidup dalam masyarakat.
  7. Nilai sosial. Budaya lokal mengandung nilai sosial, ini dipahami dari realitas masyarakat  dalam suatu wilaayah, memiliki lingkungan sosial dan dengan masyarakatnya membentuk pergaulan hidup bersama, mereka saling membantu dalam kebaikan dan mengingatkan bahwa kebahagiaan manusia terkait pula pada hubungannya dengan sesamanya. Nilai sosial dalam masyarakat  ditemukan pula dari segi perbedaan status dengan berbagai simbol kemanusiaan dna keagamaan, dan prilaku tata kemasyarakatan. Sikap dan perilaku makkiade’ sebagai salah satu wujud budaya sipakatau. Masyarakat  sejak dahulu saling menghormati dengan tata adat, strata sosial, dan status sosial lebih harus dihormati.
  8. Nilai intelektual. Pesan-pesan leluhur bagi masyarakat muslim  mengandung nilai intelektual untuk tetap mempertahankan adat istiadat masyarakat di samping mengingatkan manusia untuk rajin mengerjakan amal kebajikan dan meninggalkan perbuatan tercela demi keselamatan di dunia maupun di akhirat. Nilai-nilai intelektual terhadap implementasi budaya lokal masyarakat muslim  yang telah mengalami pola integrasi ajaran keagamaan, mengindikasika betapa kuatnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dapat merubah tataran pola pikir dan perilaku masyarakat dari generasi ke generasi. Dibutuhkan pemberdayaan masyarakat sedini mungkin melalui pendidikan dan pengajaran keagamaan secara totalitas, dalam memelihara dan merekonstruksi nilai-nilai budaya lokal yang murni dan sakral, bahkan boleh jadi lebih diimplementasikan dan lebih merasuk ke dalam jiwa manusia sebagai wujud hikmah dan tazkiyah dalam kehidupan.