Bagaimana kondisi masyarakat madinah di bidang perekonomian setelah islam datang

Bagaimana kondisi masyarakat madinah di bidang perekonomian setelah islam datang

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Ekonomi Madinah

Oleh: Asyari

Sebagai  tongak penting sejarah Islam, peristiwa  Hijrah Rasul beserta beberapa sahabat dari Makkah ke Madinah (Yastrib) merupakan titik awal  kemajuan Islam yang ditandai  dengan perkembangan komunitas Islam yang berskala besar – berbentuk negara dan beragam etnis. Selain itu, hijrah  merupakan titik nadir keberlangsungan dan keberlanjutan dakwah Islam di seantero arabia. Atas  dasar itu, momen peringatan tahun baru hijriyah selalu dihiasi dengan kilas balik dan nampak tilas heroik Rasul dan Sahabat  dalam menyebarkan ajaran Islam dan berhadapan dengan tirani Quraisy.

            Namun terdapat  sisi lain  yang masih sunyi  diperhatikan dan dibahas serta dipahami  oleh banyak  kalangan, bahwa  dalam peristiwa  hijrah tersebut terjadi perubahan besar  dalam  bentuk reformasi sistem ekonomi kapitalis Arab ke ekonomi berkeadilan dan berkemanusiaan.  Di Madinah  dibangun sistem ekonomi baru  dan “dikubur dalam-dalam” semangat eksploitasi, stratafikasi sosial berdasar kekayaan  dan kekuasaan serta  akumulasi  kekayaan secara berlebihan.

Tradisi Ekonomi Makkah

Dalam sejarah pra-Islam, bangsa Arab dikenal piawai  dan menjadi adidaya ekonomi (perdagangan). Perdagangan  mereka lakukan melewati gurun pasir yang panas. Arah jalur perdagangan  ditentukan oleh musim; yaitu musim panas dan dingin. Di musim dingin barang dagangan dibawa ke negeri Syam dan di musim panas ke Yaman (QS. al-Quraisy :1-4).

Menurut  Burhanuddin Dalla (Syafiq Mughni, 1989: 13-18), kemajuan kegiatan  perdagangan masyarakat  Arab pra-Islam  didorong  oleh  beberapa  faktor, diantaranya: adanya  keyakinan  masyarakat Arab   pedagang merupakan profesi mulia dan bergenngsi, dan letak geografis   daerah Arab yang sangat  strategis dan tempat  persinggah para pedagang.

Kegiatan perdagangan  di masyarakat Arab pra-Islam tidak saja dilakukan oleh kaum pria, tapi  juga dilakukan oleh wanita, seperti Khadijah dan Ummu Abu Jahal.  Kaum pria yang terkenal   koglomerat  dalam perdagangan adalah  Abdul Manaf, Abdul Syam  dan Abdul  Mutahlib. Mereka-mereka  amat disegani  dan ikut berpengaruh dalam  membuat peraturan  di dalam masyarakat.

Bentuk-bentuk aktivitas ekonomi  yang telah dipraktekkan  masyarakat Arab  sebelum  kedatangan  Muhammad Saw, diantaranya adalah al-Musyarakah (joint venture), Bai’ Takjiri (herepurchase), Takaful (insurance), Bai’ Takhju’i (venture capital) Bai’ Bi Tsaman al-Ajil ( instalment sale). Semua  bentuk  perdagangan ini berlangsung tanpa memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Tapi sarat dengan  nilai  riba,  penipuan (gharar) dan kezhaliman (zhulm)  yang menimbulkan pertengkaran (niza’) di kalangan  pelaku  usaha dan masyarakat  konsumen.

Diantara bentuk transaksi yang  mengandung nilai-nilai di atas (Sayyid Sabiq, 1992:130-136), adalah, Bai’ Muhalaqah, bentuk transaksi yang dilangsungkan  dengan menetapkan harga aktual di pasaruntuk barang yang belum dipanendan  Bai’ Gharar, bentuk transaksi yang terdapat unsur tindakan penipuan dan  merugikan salah satu pihak karena ketidakjelasan dan ketidakpastian tentang harga, waktu penyerahan, tempat dan objek  transaksi.

Perkembangan kegiatan  ekonomi terutama perdagangan yang kian pesat  di masyarakat telah menjadikan Makkah sebagai  a trading center (Rodison, 1980:39). Menurut Suwarsono Muhammad (2012:141), konsekuesi  perkembangan ini menimbulkan lahirnya  strata sosial berdasar ekonomi melengkapi  strata lama berbasis kesukuan (tribalism).  Seiring  dengan itu, dalam kehidupan sosial masyarakat Makkah  tumbuh prilaku akumulasi  kekayaan secara  berlebihan, kikir, egois, dan eksploitasi  kaum papa (dhuafa’).

Para pemiliki modal dan aset produkif (shahibul maal)  mengembangkan  pola transaksi ribawi. Dalam pola ini, hubungan kreditur dengan debitur berlangsung dengan  adanya pengambilan kelebihan (ziyadah). Resiko (risk) hanya ditanggung oleh  pihak debitur  sementara  kreditur selalu pada  posisi dan pasti memperoleh untung.  Abdullah Saeed (2003:50), menyatakan bahwa  pola ribawi  cenderung menyebabkan  pihak debitur menambah beban hutangnya berlanjut penyeretan debitur  terjerat oleh hutangnya. Implikasinya, tercipta eksploitasi manusia atas  manusia,  modal hanya terakumulasi pada sekelompok the have  (pemilik modal),  terjadi polarisasi tajam   kaya-miskin dan ketimpangan sosial       yang menganga lebar.

Ekonomi Berkeadilan Ala Madinah

            Dakwah yang  dilakukan oleh Rasul  di Makkah merupakan upaya  penanaman aspek teologis (tauhid) sebagai pondasi  bangunan ajaran Islam seperti  ekonomi dan sosial serta  politik. Namun perjuangan dakwah  tersebut  mendapat tantangan hebat pembesar  Quraisy. Karena  diyakini bahwa  ajaran Tauhid yang dibawa  Muhammad Saw  tidak  hanya  akan “mengeser keyakinan nenek moyang” tapi  juga  akan mengoyang kemampanan tatanan kekuasaan politik dan ekonomi mereka. Atas semua  itu, pembesar  Quraisy  melakukan perlawanan sebagai  bentuk dan upaya mempertahankan status quo. Perlawanan yang  lancarkan mencapai klimaknya dan akhirnya  Muhammad Saw melakukan hijrah ke Madinah.

            Madinah  merupakan  kota  yang  dihuni oleh  dua belas kaum  yang merupakan  bagian dari dua suku  besar  yaitu Aus dan Kazraj. Suasana sosial kehidupan  masyarakat Madinah  berlansung tanpa aturan yang jelas dan kaum ekonomi kuat menindas dan berbuat sewenang atas kaum yang lemah. Di samping itu, kehidupan ekonominya  tak jauh berbeda  dengan  masyarakat Makkah.  Dalam sosial tersebut, Muhammad Saw  beserta  sahabat  yang ikut  hijrah berbaur  dan menyatu   bersama masyarakat Madinah. Muhammad Saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar. Rasa persaudaraan inilah yang pertama kali ditumbuhkan diantara  mereka. Sehingga  muncul rasa saling  mencintai  dan menghormati. Ukhuwwah  yang ditanamkan  Muhammad Saw semakin  mengukuhkan keberadaan Islam   sebagai  agama baru di kalangan  masyarakat Madinah.  Setelah itu barulah  Muhammad  Saw  secara gradual  melakukan reformasi ekonomi  seiring  dengan pesan qurani yang turun di Madinah.

            Fazlur Rahman (1979:21), menyebutkan  bahwa  penekanan pada  keadilan sosial  dan persamaan esensial manusia merupakan elan dasar al-Quran. Al-Quran melalui  ayat-ayat  yang  turun di priode  Madinah berisikan pesan-pesan untuk membangun masyarakat yang   berkeadilan dalam ekonomi dan memberikan apresiasi kepada  kemanusiaan. Mustaq Ahmad (2001:99-103), menukilkan bahwa  ajaran al-Quran  yang  menyangkut keadilan dalam ekonomi dikategorikan  imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.

            Bentuk  imperatif  merupakan perintah  yang ditujukan kepada  pelaku bisnis, seperti, memenuhi janji, kesepakatan dan kontrak (QS.5:1, 4:58 dan 17:34), jujur  dalam  timbangan  dan takaran (QS.17:35.85:6 dan83:1-3). Adapun bentuk perlindungan, penulisan kontrak (QS.2:282), prinsip  tangungjawab individu (QS.6:164).

Selain itu, pesan qurani  di era  Madinah  juga  menegaskan pembentukan pemerataaan kekayaan melalui redistribusi income dengan instrumen zakat ( QS.9: 34,35 dan  60) serta  mencela prilaku kikir, egois dan akumulasi kekayaan secara  berlebihan (QS.59:7, 3:180, 4:37 dan  2:268).

  Pesan-pesan qurani itulah kemudian dipraktekkan dan dibumikan oleh Muhammad Saw  di Madinah. Dalam pelaksanaanya didukung oleh peran beberapa lembaga yang dibentuk (Asad Zaman, tt : 44) seperti, Khalifah (Governor), Mufti (the Mufti) dan Khadi (JudgeDecide Cases), Hisbah yang memberikan perlindungan sosial yang berkaitan dengan regulasi pasar dan perlindungan konsumen dan Diwan al Mazalim (the Court of Abuse), lembaga  yang  bertugas  penegakan  keadilan  pada  persoalan yang ditimbulkan oleh penyimpangan kekuasaan (the abuse of power). Alhasil, kondisi ketimpangan sosial ekonomi dan eksploitasi serta  berbagai bentuk  patologi sosial  ekonomi lainnya  dapat  dihilangkan.

The last but not the least,  di tengah  persoalan ekonomi Indonesia yang kian berat  berkaitan dengan kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan aset produktif, serta konsentrasi pasar pada  kelompok tertentu menjadikan  cita-cita untuk mewujudkan keadilan  sosial  kian jauh panggang dari api. Untuk itu, model ekonomi Madinah melalui pesan qurani di atas  dapat  dijadikan referensi untuk mencapai ekonomi berkeadilan.Semoga!