Bagaimana pendapatmu tentang orang yang tidak melaksanakan shalat karena tidak sadarkan diri

“Apakah yang memasukkan (menyebabkan) kamu kedalam neraka saqor? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat”.

(QS. Al Mudatsir: 42-43)

MADANINEWS.ID, Jakarta – Shalat lima waktu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim, yakni orang-orang yang beragama Islam. Oleh karena itu, orang yang mengerjakan shalat akan mendapat pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya akan mendapat siksa.

Shalat adalah kunci dari diterima atau tidaknya setiap amalan yang kita lakukan, bahkan shalat menjadi penentu yang paling urgen pada saat manusia ditimbang amalnya pada yaumil hisab nanti. Manakala shalat seseorang baik maka akan baik pulalah seluruh amalnya, akan tetapi bila shalatnya buruk maka akan buruklah semua amalnya. Oleh sebab itu sebagai muslim kita perlu menjaga shalat kita agar kita diselamatkan dari siksa neraka Saqar.

Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa yang memelihara (mengerjakan) shalat, maka ia akan mendapat cahaya (nur), petunjuk jalan dan kebebasan (selamat) pada hari kiamat. Barang siapa tidak memelihara sholat, ia tidak akan mendapat cahaya, petunjuk jalan dan kebebasan. Bahkan dihari kiamat nanti ia akan bersama Qorun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin kholaf.” (HR.Ahmad dan Thabrani).

Maksudnya, orang yang meninggalkan sholat, jika ia seorang pemimpin akan masuk neraka bersama Fir’aun. Jika seorang pejabat akan masuk neraka bersama Haman. Jika seorang hartawan, maka ia akan masuk neraka bersama Qorun dan jika seorang saudagar (pedagang atau petani) maka akan masuk neraka bersama ubay bin kholaf.

Lantas, bagaimana akiabat bagi orang-orang yang lalai dan sering meninggalkan shalat? Berikut beberapa siksa yang akan dialami bagi yang meninggalkan shlat.

Adapun siksa yang akan dirasakan di dunia adalah: (1) Dihilangkan keberkahan usianya, (2) Dihapus aura orang-orang shaleh dari wajahnya, (3) Setiap amal kebaikan yang ia kerjakan tidak akan dijadikan sebuah pahala oleh Allah SWT, (4) Doanya tidak akan diangkat ke langit, dan (5) Tidak ada bagian doa orang shaleh untuk yang meninggalkan shalat.

Selanjutnya, siksa yang akan didapat saat akan mati oleh orang yang meninggalkan shalat antara lain: (1) Ia akan mati dalam keadaan hina, (2) Ia akan mati kelaparan, dan (3) Ia akan mati penuh dahaga meskipun diairi dengan air lautan dunia.

Kemudian siksa yang akan didapat di alam kubur adalah: (1) Disempitkan kuburnya sehingga tulang rusuknya akan remuk berantakan, (2) Akan ada api yang dihidupkan didalam kuburnya sehingga ia terombang ambing dalam bara api siang dan malam, (3) Kuburannya akan dikuasai dan dicampuri oleh sejenis ular yang bernama As-Suja’u Al-Aqra’. Ia memiliki dua mata yang terbuat dari api, kuku-kukunya terbuat dari besi, dan suaranya bagaikan petir yang menggelegar.

“Tuhanku memerintahku untuk memukul orang yang melalaikan shalat shubuh hingga muncul matahari. Tuhanku memerintahku untuk memukul orang yang melalaikan shalat dzuhur hingga sampai waktu ashar. Tuhanku memerintahku untuk memukul orang yang melalaikan shalat ashar hingga sampai waktu magrib. Tuhanku memerintahku untuk memukul orang yang melalaikan shalat magrib hingga sampai waktu isya. Tuhanku memerintahku untuk memukul orang yang melalaikan shalat isya hingga sampai waktu shubuh.”

Adapun siksa yang akan didapat saat keluar dari kubur oleh orang yang melalaikan shalatnya di hari kiamat nanti adalah: (1) hisabnya akan diberatkan, (2) mendapat amarah Allah, dan (3) masuk ke neraka. Na’udzubillah min dzaalik.

Orang sakit keras berada dalam kondisi kristis. Artinya ia bisa saja sembuh atau malah sebaliknya semakin dekat dengan ajalnya. Nasib seseorang di akhirat hayat tergantung bagaimana akhir hidupnya di dunia. Jika hidupnya berakhir dalam kebaikan, ia mendapat husnul khatimah. Jika sebaliknya, ia mendapat su’ul khatimah. 

Setiap orang mukmin tentu sangat berharap agar hidupnya berakhir dengan husnul khatimah. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam sebuah kitabnya memberikan nasihat kepada orang sakit tentang hal-hal penting yang harus diperhatikannya sebagaimana kutipan berikut:

وينبغي للمريض أن يحترز من النجاسات أن تصيبه في بدنه أو في ثيابه، فتمنعه من الصلاة ، وليحذر كل الحذر من ترك الصلاة، وليصلي على حَسَب حاله، قاعدا او مضطجعا، أو كيف أمكنه، ولا يختم عمله بالإضاعة لعماد الدين الذي هو الصلاة. 


Artinya, “Hendaknya orang sakit bersikap hati-hati terhadap najis yang menimpanya baik mengena pada badannya ataupun pakaiannya yang dapat menghalangi keabsahan shalatnya. Juga hendaknya ia berhati-hati jangan sampai meninggalkan shalat. Hendaknya ia tetap shalat sesuai dengan keadaannya baik dengan cara duduk, terlentang, atau sebisanya. Jangan sampai hidupnya berakhir dengan melalaikan tiang agama, yakni shalat.” (Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad, Sabîlul Iddikâr wal I’tibâr bimâ Yamurru bil Insân wa Yanqadli Lahu minal A’mâr [Dar Al-Hawi, 1998], cet. II, hal. 54).


Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut: 

Pertama, orang Islam dalam keadaan sakit pun harus tetap berhati-hati terhadap najis yang mengena pada badan atau pakaiannya. Hal ini karena najis dapat menghalangi keabsahan shalat. Orang sakit umumnya tidak leluasa dalam bergerak sehingga ketika buang hajat, misalnya, terkadang harus dilakukan di atas tempat tidur. Dalam kondisi seperti ini tidak tertutup kemungkinan ada najis mengena atau menempel pada pakaian atau (anggota) badannya. 


Oleh sebab itu, penting sekali ada orang lain yang membantu melayani berbagai kebutuhan orang sakit. Kebutuhan tentu saja tidak hanya menyangkut makan dan minum, tetapi juga apa saja yang tidak mungkin ditinggalkannya, seperti buang hajat, kebersihan dan shalat. Ketiga hal ini berhubungan dan memiliki dampak. Artinya, ketika istinjak tidak dilakukan sebagaimana aturan fiqih, maka berpengaruh terhadap kesucian badan dan pakaian yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap keabsahan shalat. 


Seseorang yang bertugas mendampingi atau menunggui orang sakit, hendaklah memahami permasalahan-permasalahan di atas sehingga dia juga dituntut berhati-hati. Jika ia tahu ada najis yang mengena atau menempel pada (anggota) badan atau pakaian orang sakit yang ia dampingi, maka menjadi kewajibannya untuk mengajukan ganti pakaian dengan pakaian yang suci atau bersih secara fiqih. 

Kedua, orang sakit hendaknya berhati-hati jangan sampai lalai melaksanakan shalat. Meski dalam kondisi berbaring dan lemah di atas tempat tidur, orang sakit harus tetap memperhatikan waktu-waktu shalat. Ketika waktu shalat telah tiba, sebaiknya ia segera melaksanakannya. 


Jika tempat orang sakit itu dekat dengan masjid atau mushalla, tentu orang sakit bisa mendengar seruan adzan setiap kali dikumadangkan dari rumah ibadah tersebut. Tetapi jika jauh dari tempat-tempat itu sehingga tidak dapat mendengar adzan dikumandangkan pada saatnya, maka dapat digunakan aplikasi alarm waktu shalat berupa seruan adzan yang dapat diinstal di ponsel Android, misalnya aplikasi Digital Falak atau Muslim Pro. Atau cukup jadwal waktu shalat sesuai dengan lokasi geografisnya sebagaimana dapat dilihat di halaman depan website NU Online. 

Ketiga, hendaknya ia tetap shalat sesuai dengan keadaannya baik dengan cara duduk, terlentang, atau sebisanya. Shalat adalah tiang agama Islam, maka orang Islam wajib shalat dalam keadaan apapun. Tetapi Islam tidak membebani umatnya melebihi kemampuannya. Jika orang sakit hanya bisa shalat dengan tidur miring, itu pun diperbolehkan. Hal yang terpenting adalah melaksanakannya sesuai kemampuan. Namun kewajiban ini tidak berlaku bagi orang sakit yang tak sadarkan diri. Ia tidak wajib shalat dan tidak wajib mengqadha shalat-shalat yang ia tinggalkan ketika telah sadar kembali.

Keempat, jangan sampai hidupnya berakhir dengan melalaikan shalat. Mati husnul khatimah adalah cita-cita tertinggi bagi setiap orang Islam. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi orang Islam yang sakit untuk tetap memperhatikan kewajiban shalatnya agar cita-cita untuk menggapai husnul khatimah tidak terhalangi oleh kewajiban shalatnya yang terbengkelai di akhir hayat. 


Sehubungan dengan itu, maka dari pihak keluarga atau pihak manapun yang menunggui orang sakit, hendaknya membantu si sakit dengan senantiasa mengingatkan kewajiban shalat dan memfasilitasinya dengan baik hingga si sakit benar-benar melaksanakan shalat sesuai dengan kondisinya hingga akhir hidupnya atau sembuh sama sekali.


Sebagai penutup, perlu ditegaskan kembali bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan orang sakit yang beragama Islam, yakni pertama, bersikap hati-hati terhadap najis. Kedua, tidak melalaikan shalat lima waktu. Ketiga, melaksanakan shalat dengan cara yang memungkinkan sesuai kondisi riil. Keempat, tetap shalat hingga akhir hayat sebab bisa jadi Allah tidak memberikan kesembuhan dari sakitnya tetapi malahan memanggil ke haribaan-Nya yang penuh rahmat. 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Unversitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. 

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang tidak melaksanakan shalat karena tidak sadarkan diri

BincangSyariah.Com – Saat ini, update Satgas Covid-19 jumlah Kasus  positif di Indonesia mencapai 1,42 jt orang. Dari jutaan pasien Covid-19 tak sedikit yang sakit hingga mengalami tak sadar diri dan koma. Nah dalam hukum Islam, bagaimana hukum pasien Covid-19 mengalami koma, wajibkah shalat?

Menurut Muhammad bin Idris  Asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm mengatakan orang sakit  yang sampai mengalami koma, maka gugur kewajiban shalat padanya. Pasalnya kewajiban shalat diwajibkan bagi orang yang sehat akalnya.

Bagaimana pendapatmu tentang orang yang tidak melaksanakan shalat karena tidak sadarkan diri

Oleh karena itu, pasien Covid-19 mengalami koma tak diwajibakan untuk melaksanakan shalat. Gugur kewajiban itu karena ia digolongkan orang yang  tak mempunyai akal.  Lebih lanjut, menurut Imam Syafi’i pasien Covid-19 yang mengalami koma pun tak wajib mengqadha shalatnya ketika sudah sadar kelak.

Dalam kitab al Umm Jilid I, halaman 88 Imam Syafi’i berkata;

قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا غُلِبَ الرَّجُلُ عَلَى عَقْلِهِ بِعَارِضِ جِنٍّ أَوْ عَتَهٍ، أَوْ مَرَضٍ مَا كَانَ الْمَرَضُ ارْتَفَعَ عَنْهُ فَرْضُ الصَّلَاةِ مَا كَانَ الْمَرَضُ بِذَهَابِ الْعَقْلِ عَلَيْهِ قَائِمًا؛ لِأَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى يَعْقِلَ مَا يَقُولُ وَهُوَ مِمَّنْ لَا يَعْقِلُ وَمَغْلُوبٌ بِأَمْرٍ لَا ذَنْبَ لَهُ فِيهِ بَلْ يُؤْجَرُ عَلَيْهِ وَيُكَفَّرُ عَنْهُ بِهِ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

Artinya; Apabila seorang terganggu akalnya karena gangguan jin, lemah akal atau sakit, apapun bentuk sakitnya, maka terangkat darinya kewajiban shalat selama ia masih menderita sakit itu. Ia tidak diperintahkan melaksanakan shalat sehinga ia mengatahui apa yang ia katakan. Ia juga termasuk orang yang tidak berakal (sehat), karena orang yang tertutup akalnya sebab sesuatu, tidaklah berdosa, bahkan ia memperoleh kafarat (penutup) bagi dosa-dosanya. Insya Allah.

Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, dalam kitab Majmu Syarah Muhazzab. Imam Nawai–begitu nama populernya—, menjelaskan bahwa orang yang mengalami sakit hingga tak sadarkan diri maka dicabut kewajiban shalat padanya. Sebab orang yang sakit hingga tak sadar diri termasuk golongan yang tak memenuhi syarat shalat, yakni berakal.

Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad ;

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَشِبَّ وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ

Artinya; Gugur kewajiban seseorang pada tiga hal,  yakni; orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh/dewasa dan orang gila sampai ia berakal (HR. Baihaqi)

Selain gugur kewajiban shalat, orang yang koma juga tak ada kewajiban baginya untuk mengganti (qadha) shalatnya. Imam Nawawi mengatakan sama ada komanya sebentar atau lama, itu tak menjadi persoalan, shalatnya tak wajib diqadha.

Imam Nawawi dalam Majmu Syarah Muhazzab Jilid III, halaman 6 menulis;

مَنْ زَالَ عَقْلُهُ بِسَبَبٍ غَيْرِ مُحَرَّمٍ كَمَنْ جُنَّ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ أَوْ زَالَ عَقْلُهُ بِمَرَضٍ أَوْ بِشُرْبِ دَوَاءٍ لِحَاجَةٍ أَوْ أُكْرِهَ عَلَى شُرْبِ مُسْكِرٍ فَزَالَ عَقْلُهُ فَلَا صَلَاةَ عَلَيْهِ وَإِذَا أَفَاقَ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ بِلَا خِلَافٍ لِلْحَدِيثِ سَوَاءٌ قَلَّ زَمَنُ الْجُنُونِ والاغماء ام كَثُرَ هَذَا مَذْهَبُنَا

Artinya; orang yang hilanag akal disebabkan sesuatu yang tak diharamkan seperti kesurupan jin, atau pingsan, atau hilang akalnya sebab berpenyakit atau hilang akal sbab minum obat karena kebutuhan, atau ia dipaksa minum khamar (miras), maka hilang akalnya, maka tidak ada kewajiban shalat terhadap orang dalam kondisi begini. Pun tak ada kewajiban mengqadha (mengganti) shalat atasnya.  Sama ada gila, pingsan, tak sadarkan diri itu sebentar atau lama, tak ada kewajiban shalat dan qadha baginya.

Dalam Kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah merinci pendapat empat ulama mazhab terkait hukum orang yang tak sadar diri akibat sakit. Menurut Kitab terbitan Ulama Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait ini; Mazhab Syafii dan Maliki berpendapat orang tak sadarkan diri (koma) dan terkena bius tak wajib shalat dan tak ada kewajiban Qadha. Pasalnya, orang yang tak sadarkan diri tersebut bukan termasuk ahli (orang) yang wajib shalat ketika itu.

Pendapat berbeda datang dari mazhab fiqih lain. menurut Mazhab Hanbali, orang yang sakit tak sadarkan diri termasuk keadaan yang mewajibakan shalat. Pasien tersebut pun berkewajiban melaksanakan shalat dan wajib qadha shalat.

Sedangkan menurut  Mazhab Hanafi mengatakan bahwa jika shalat yang luput tidak lebih dari 6 shalat, maka tetap wajib melaksanaka qadha. Namun, jika pingsan itu lebih dari 6 shalat, maka tak wajib qadha baginya.

Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Jilid XII, halaman 110 tertulis;  

 لا تدارك لما فات من صلاة حال الجنون أو الإغماء عند المالكية والشافعية لعدم الأهلية وقت الوجوب. وعند الحنفية : إن جن أو أغمي عليه خمس صلوات – أو ستا على قول محمد – قضاها , وإن جن أو أغمي عليه أكثر من ذلك فلا قضاء عليه نفيا للحرج .

Artinya; Orang yang tak mengerjakan shalat sebab dalam keadaan gila atau pingsan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki bukan termasuk dalam golongan ahli (orang) yang wajib shalat. Dan menurut mazhab Abu Hanifah jika gila dan pingsan luput tidak lebih dari 6 shalat, maka tetap wajib melaksanaka qadha. Namun jika lebih dari lima atau enam waktu shalat, maka tak wajib shalat baginya dan menggugurkan dosa.

Hukum Pasien Tak Sadar Diri Akibat Minum Obat

Kemudian muncul persoalan baru, terkait pasien sakit yang tak sadarkan diri akibat minum obat atau terkena bius untuk operasi, apakah pasien tersebut wajib melaksanakan shalat dan wajib mengqadha shalat?

Menurut Imam Syafi’i pasien yang tak sadarkan diri akibat minum obat atau disuntik bius oleh dokter, termasuk orang yang gugur kewajiban shalatnya. Pasien tersebut pun tak wajib menqadha shalatnya. Pasien tersebut dibebaskan dari kewajibannya. Pasalnya itu termasuk golongan yang tak berakal.

Dalam al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan status hukum pasien tak sadarkan diri akibat minum obat bius.

وَهَكَذَا إنْ شَرِبَ دَوَاءً فِيهِ بَعْضُ السَّمُومِ وَإِلَّا غَلَبَ مِنْهُ أَنَّ السَّلَامَةَ تَكُونُ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ عَاصِيًا بِشُرْبِهِ

Demikian juga bila ia meminum obat yang mengandung racun, padahal ia menduga obat itu dapat menyehatkannya, ia tidak berdosa karena meminumnya, sebab usaha untuk meminumnya bukan untuk memudharatkan (membahayakan diri) atau menghilangkan fungsi akalnya

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Imam Alauddin Al Mardawi seorang ulama Fiqih dari mazhab Hanbali. Dalam kitab  Al-Inshâf fi Ma’rifatir Râjih minal Khilâf mengatakan bahwa seorang pasien yang tak sadarkan diri akibat minum obat atau terkena bius, maka wajib shalat dan wajib pula menqadha shalatnya.

Ia mengatakan orang yang pingsan (tak sadarkan diri) berbeda dengan orang yang gila. Pun konsekuensinya hukumnya pasti berbeda. Orang gila yang sudah lama, maka kewajiban shalatnya gugur dan tak wajib qadha. Orang gila hilang akal sebab alami. Berbeda dengan orang yang tak sadarkan diri akibat obat. Itu ada percampuran atau unsur kesengajaan.

Oleh sebab itu, pasien Covid-19 mengalami Koma, hukumnya menurut Al Mardawi wajib melaksanakan shalat dan diwajibkan  syariat untuk qadha shalat. Namun apabila

Dalam kitab Al-Inshâf fi Ma’rifatir Râjih minal Khilâf Jilid I, halaman 390;

وأما إذا زال عقله بشرب دواء , يعني مباحا , فالصحيح من المذهب : وجوب الصلاة عليه . وعليه جماهير الأصحاب . وقيل : لا تجب عليه.

Artinya; orang yang minum obat (obat yang dibolehkan), maka pendapat yang kuat dalam mazhab kita (Hanbali) wajib hukumnya shalat. Meskipun sebagian ulama lain mengatakan tak wajib shalat sebab hilang kesadaran (hilang akal).

Demikian penjelasan hukum apakah wajib shalat pasien Covid-19 mengalami koma.

(Baca:Bolehkah Pasien Penderita Covid-19 Tidak Shalat?)