Bagaimana sikap toleran yang diajarkan oleh Sunan Ampel

Merdeka.com - Sunan Drajat atau Raden Qasim merupakan salah satu anggota Wali Songo yang makamnya ada di Jawa Timur. Tepatnya di pesisir utara di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan seperti dikutip dari liputan6.com.

Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel, seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Selain Sunan Drajat, anak Sunan Ampel yang lain yakni Sunan Bonang yang makamnya berada di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Dalam menyebarkan ajaran Islam di masa lalu, Sunan Drajat menekankan pada aspek pendidikan moral. Ia dikenal sebagai wali yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kaum miskin. Ajarannya yang terkenal yakni Catur Piwulang, terdiri dari ajakan untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, serta melindungi masyarakat yang membutuhkan.

2 dari 5 halaman

Bagaimana sikap toleran yang diajarkan oleh Sunan Ampel
©2020 Merdeka.com/liputan6.com

Dalam melakukan syiar ajaran Islam, Sunan Drajat memilih pendekatan melalui pendidikan moral. Ia dikenal sebagai wali yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masyarakat miskin.

Sunan Drajat merupakan anggota Wali Songo yang mengembangkan dakwah Islam melalui jalur pendidikan moral. Ia juga dikenal sebagai wali yang punya kepudulian tinggi terhadap masyarakat miskin.

Dalam bukunya berjudul Atlas Wali Songo (2012), Agus Sunyoto mengisahkan bahwasanya Sunan Drajat mendidik masyarakat sekitar supaya memiliki kepedulian terhadap nasib fakir miskin, mengutamakan kesejahteraan umat, serta memiliki empati.

3 dari 5 halaman

Bagaimana sikap toleran yang diajarkan oleh Sunan Ampel
©2020 Merdeka.com/liputan6.com

Di antara pendidikan moral yang ditekankan oleh Sunan Drajat dalam melakukan syiar ajaran Islam di Lamongan dan sekitarnya yakni etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, serta gotong-royong.

Sementara itu, dalam hal yang lebih teknis, Sunan Drajat mengajarkan kepada masyarakat mengenai teknik-teknik membuat rumah dan tandu.

4 dari 5 halaman

Bagaimana sikap toleran yang diajarkan oleh Sunan Ampel
©2020 Merdeka.com/liputan6.com

Dalam beberapa literatur, beberapa ajaran Sunan Drajat disebut-sebut erat kaitannya dengan ajaran tasawuf. Pasalnya apa-apa yang diajarkan memiliki kedalaman makna dan implikasi. Baik dalam sisi kebatinan maupun yang kaitannya dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari.

Dikutip dari nu.or.id, diskursus ajaran sosial-religius Sunan Drajat itu dapat dielaborasi dan diimplementasikan dalam konteks terkini. Sebagai sebuah konstruksi filosofis yang realistis dalam upaya untuk mengurangi angka kemiskinan.

Nilai-nilai luhur yang diajarkan Sunan Drajat memiliki sisi menarik, yakni ajakan melakukan perbuatan terbaik untuk umat atau masyarakat. Pesan-pesan luhur Sunan Drajat dikenal dengan sebutan Catur Piwulang. Isinya yakni mengenai ajakan memberi pertolongan, makan, pakaian, hingga perlindungan bagi masyarakat yang membutuhkan.

5 dari 5 halaman

Bagaimana sikap toleran yang diajarkan oleh Sunan Ampel
©2020 Merdeka.com/liputan6.com

Sebagaimana lazimnya para wali, kata-katanya banyak yang punya kesan kebijaksanaan serta membuat orang yang mendengarnya merenungkan arti kehidupan. Berikut beberapa kata bijak Sunan Drajat yang memiliki makna mendalam.

1. Memangun resep tyasing Sasoma (Kita sebaiknya selalu membuat senang hati orang lain)

2. Jroning suka kudu éling lan waspada (Di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)

3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur, kita harusnya tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)

 4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (Kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)

5. Heneng-Hening-Henung (Dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur).

6. Mulya guna Panca Waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)

7. Wenehono teken marang wong kang wuto (Berilah tongkat pada orang yang buta).

8. Wenohono pangan marang wong kang kaliren (Berilah makan pada orang yang kelaparan).

9. Wenohono sandang marang wong kang wudo (Berilah pakaian pada orang yang telanjang).

10. Wenohono payung marang wong kang kawudanan (Berilah payung pada orang yang kehujanan)

Liputan6.com, Tuban - Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa berziarah ke makam Sunan Bonang di Kabupaten Tuban. Ziarah itu dilakukan Khofifah usai meninjau proses pencairan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di Pendopo Kabupaten Tuban.

"Sunan Bonang adalah sosok yang patut diteladani atas upaya Beliau membangun harmoni antarumat beragama," ujar Khofifah, Selasa (23/5/2017).

Buktinya, ungkap dia, terlihat dari adanya sejumlah tempat ibadah di sekitar alun-alun Tuban yang hingga saat ini masih digunakan untuk beribadah. Bangunan masjid, klenteng, pura dan gereja yang membentuk seperti kompleks tersebut telah dibangun sejak jaman Sunan Bonang.

"Sunan Bonang merangkul orang-orang selain muslim tinggal yang tempat yang sama dan hidup dalam toleransi, rukun, serta damai. Ini yang harus kita teladani dan terapkan dalam kehidupan sekarang. Ajaran beliau masih sangat relevan mengenai toleransi dan keberagaman. Kita memang berbeda-beda, tapi tetap satu Indonesia," kata Khofifah.

Bukti toleransi dan keberagaman di Tuban juga tampak dalam Prasasti Kalpataru yang merupakan rangkuman dari buah pemikiran Sang Wali. Pada prasasti setinggi 180 cm tersebut terukir empat tempat ibadah untuk agama berbeda-beda yakni masjid mewakili agama Islam, candi mewakili agama Hindu, klenteng mewakili Tridharma (Budha, Tao dan Konghucu) serta wihara mewakili agama Budha. Satu lagi, terdapat arca megalitik atau kebudayaan mewakili pemujaan leluhur.

"Melalui prasasti tersebut kita bisa memaknai sebagai adanya ajaran dan kepercayaan yang berbeda-beda tidak membuat mereka terpecah-belah. Melalui sikap toleransi dalam masyarakat berbeda-beda agama itulah kenapa Islam dapat menyebar secara luas," ucapnya.

Sunan Bonang merupakan putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila, seorang putri dari Arya Teja, salah seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban.

Sunan Bonang lahir pada tahun 1465 M dan wafat pada tahun 1525 M. Sunan Bonang dan Sunan Ampel merupakan dua dari Wali Songo.

Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang hingga kini sering dinyanyikan dan tak asing bagi umat Islam.

"Salah satu warisan budaya yang dibawa oleh Sunan Bonang adalah prasasti Kalpataru yang menunjukkan kearifan lokal. Pada saat itu berbagai agama Samawi dan kepercayaan lokal bisa hidup berdampingan secara harmonis. Hari ini kita perlu terus ingatkan toleransi dan keberagaman serta Tombo Ati," Khofifah memungkas.

Bagaimana sikap toleran yang diajarkan oleh Sunan Ampel
BincangSyariah.Com- Proses internalisasi agama di Nusantara merupakan peristiwa unik dari fenomena yang terjadi pada beberapa negara-negara di dunia. Peranan pemuka agama memberikan dampak yang penting dalam membangun sejarah (building history) antara hubungan penganut beragama. Latar belakang serta awal mula difusi agama-agama besar di dunia dapat menjadi sebuah rujukan bagi harmoni sosial dalam membina hubungan yang baik antar umat beragama. Fakta sejarah yang demikian dapat menjadi teladan yang penting bagi generasi selanjutnya.Di Indonesia kita punya Walisongo atau Sembilan Wali yang termasuk bagian dari komponen da’i yang menyebarkan agama Islam ke negeri ini. Jaringan dakwah yang terdiri dari sembilan orang agamawan tersebut telah menorehkan sejarah emas dalam penyebaran Islam ke Nusantara. Pendekatan wisdom (bil al-hikmah) yang dimodifikasi dalam bingkai kultural telah membawa transformasi signifikan terhadap kepercayaan penduduk lokal. Walisongo dapat meng-Islamkan penduduk Jawa tanpa merusak kebudayaannya. Lebih lanjut, mereka dapat mendialogkan budaya dengan agama. Opsi demikian tentu menuai perdebatan yang panjang diantara mereka. Sebagai contoh Sunan Kudus dan Sunan Giri misalnya mengkritik tindakan Sunan Kalijaga yang membakar kemenyan saat kemangkatan Sunan Ampel.Perdebatan di antara sembilan wali tidak serta merta karena keinginan untuk menonjolkan diri dengan memonopoli kebenaran. Rapat tahunan sebagai evaluasi misi Islamisasi yang mereka adakan pada akhirnya melahirkan sebuah konstruksi dialektika. Yakni berusaha meng-Islamkan penduduk Jawa dengan merubah kepercayaan mereka secara bijaksana. Meskipun demikian, penetrasi nilai-nilai agama senantiasa dilakukan sebagai pertimbangan dalam mempertahankan kebudayaan. Para wali mempunyai misi agar masayarakat Jawa bisa memilih tradisi yang sesuai atau tidak dengan ajaran agama.Filosofi dakwah bil-al-hikmah Walisongo adalah (kenek iwake gak buthek banyune) atau mengambil ikan tanpa mengeruhkan airnya. Sebuah pegangan dalam kehidupan dakwah yang tanpa di barengi tindakan kekerasan atau pemaksaan sebagaimana yang sering kita saksisan saat ini. Walisongo dengan misi dakwahnya dapat bersaing secara sportif dengan pemuka-pemuka agama lain tanpa unsur kecurangan.Lebih lanjut, diantara prestasi besar Walisongo dalam difusi Islam ke pulau Jawa pada khususnya dan Nusantara secara umum. Adalah melalui metode penetrasi nilai-nilai Islam secara bijakasana. Penyebaran Islam ke Indonesia pada umumnya dan ke pulau Jawa pada khusunya termasuk dalam kategori unik. Mayoritas Islamisasi di berbagai negara terjadi melalui peperangan yang panjang dan melelahkan. Bahkan hal ini juga terjadi di Arab Saudi yang menjadi sumber cahaya ajaran Islam.Sebelum kedatangan Walisongo, proses Islamisasi di Nusantara pada awalnya merupakan sebuah dakwah bijaksana yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW ratusan tahun. Namun Islam tak kunjung juga diterima oleh masyarakat Arab yang masih menyembah berhala semasa itu. Mereka bersikukuh terhadap ajaran yang diwariskan oleh nenek moyangnya berupa penyembahan berhala. Namun keunikan berbeda terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Berbeda dengan negara-negara muslim di seluruh dunia, proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia mengalir tanpa peperangan seperti yang terjadi termasuk kawasan timur-tengah.Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo tergolong bijak (ramah terhadap tradisi lokal) dan tidak menggunakan jalur peperangan atau kekerasan. Sehingga dakwah Walisongo menuai hasil yang gemilang dalam meng-Islamkan sebagian kawasan Nusantara. Walisongo memandang bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan opsi diplomasi lebih efektif. Pertimbangan tersebut didasarkan karena masyarakat Jawa pada masa itu masih kental dengan tradisi Hindu-Budha yang mengakar kuat.Sebelum adanya para da’i (termasuk sembilan wali) yang datang ke Nusantara, Nabi Muhammad selama ratusan tahun sebelumnya telah membangun sebuah toleransi antar umat beragama. Beliau senantiasa berinteraksi sosial secara baik dengan orang yang berbeda agama. Sebagai tokoh pemuka agama, beliau tidak membeda-bedakan antara umat beragama dalam berbagai urusan dunia. Perintah tersebut diperjelas melalui wahyu Tuhan yang tidak melarang umatnya untuk membangun tatanan peradaban yang baik di muka bumi dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda.Dengan meneladani sikap Nabi Saw. tersebut, Para Sembilan Wali menyadari bahwa dunia tidak mungkin dibangun oleh unsur-unsur yang sama, sebagaimana kapal nelayan tidak akan berjalan tanpa adanya onderdil atau komponen-kompenen yang heterogen. Gedung pencakar langit atau burj al-Khalifa di Dubai tidak akan berdiri kokoh jika hanya melibatkan insinyur dan mengeliminasi peran mandor-mandor atau kuli-kuli bangunan. Tatanan sosial memang menghendaki adanya sebuah perbedaan, baik bersifat diferensiasi atau stratifikasi sosial dalam membangun peradaban di muka bumi.Toleransi yang dibangun sekadar untuk mencari sensasi atau kepentingan sesaat, hanya akan menghancurkan tatanan kehidupan harmoni yang dibangun oleh Walisongo. Membina toleransi harus didasarkan pada niat yang suci untuk menciptakan perdamaian di muka bumi. Falsafah demikian telah dianjurkan oleh para nabi, orang-orang suci dan bijak besatari yang sangat mengutamakan perdamaian dan kerukunan.Konon, Sunan Bonang pernah menyesal ketika terjatuh dan mencabut sebatang rumput lantaran telah menghilangkan kehidupannya tanpa diperoleh manfaat. Dalai Lama pernah memberikan nasehat bahwa “agama saya adalah perdamaian”. Sementara Nabi Muhammad mewanti-wanti umatnya agar senatiasa menjadi manusia yang memberikan manfaat kepada sesama. Yakni seorang manusia yang menyelamatkan manusia (mahluk hidup) lain dari kejahatan tangan dan lisannya sendiri.Disadari atau tidak, semua tindakan yang berlebihan hanya akan menyulut tindakan radikal dari para pemeluk agama lain yang merasa dilecehkan. Sebagaimana penggambaran karikatur nabi Muhammad beberapa tahun yang lalu. Ataupun tindakan represif pemerintah Tibet terhadap para Biksu di barat. Tindakan yang demikian hanya akan menyuburkan radikalisme, vandalisme dan fundamentalisme. Sebab umat beragama tidak akan membiarkan siapapun mengotori kesucian agamanya.Belajar dari peristiwa di atas, fenomena radikalisme hanya bisa dihilangkan dengan cara-cara bijaksana sebagaimana yang diajarkan oleh Walisongo. Mereka tidak mengabil tindakan konfrontatif dengan orang-orang yang mempunyai kepercayaan yang berbeda. Tindakan yang senantiasa mereka lakukan adalah dengan berdialog (tabayun) guna menebar perdamaian di muka bumi.Walisongo merupakan pemuka agama yang memberikan teladan berharga, mereka mempunyai pengetahuan yang luas, keimanan yang kuat. Namun tidak menutup diri untuk berinteraksi sosial dengan orang yang berbeda kepercayaan. Oleh karena itulah, Walisongo dicintai banyak orang dari berbagai latar belakang agama. Semoga generasi muda Indonesia, dapat mengambil teladan dari mereka.

Wallahu a’lam Bisshawab…