Merdeka.com - Sunan Drajat atau Raden Qasim merupakan salah satu anggota Wali Songo yang makamnya ada di Jawa Timur. Tepatnya di pesisir utara di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan seperti dikutip dari liputan6.com. Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel, seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Selain Sunan Drajat, anak Sunan Ampel yang lain yakni Sunan Bonang yang makamnya berada di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Dalam menyebarkan ajaran Islam di masa lalu, Sunan Drajat menekankan pada aspek pendidikan moral. Ia dikenal sebagai wali yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kaum miskin. Ajarannya yang terkenal yakni Catur Piwulang, terdiri dari ajakan untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, serta melindungi masyarakat yang membutuhkan. 2 dari 5 halaman
Dalam melakukan syiar ajaran Islam, Sunan Drajat memilih pendekatan melalui pendidikan moral. Ia dikenal sebagai wali yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masyarakat miskin. Sunan Drajat merupakan anggota Wali Songo yang mengembangkan dakwah Islam melalui jalur pendidikan moral. Ia juga dikenal sebagai wali yang punya kepudulian tinggi terhadap masyarakat miskin. Dalam bukunya berjudul Atlas Wali Songo (2012), Agus Sunyoto mengisahkan bahwasanya Sunan Drajat mendidik masyarakat sekitar supaya memiliki kepedulian terhadap nasib fakir miskin, mengutamakan kesejahteraan umat, serta memiliki empati. 3 dari 5 halaman
Di antara pendidikan moral yang ditekankan oleh Sunan Drajat dalam melakukan syiar ajaran Islam di Lamongan dan sekitarnya yakni etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, serta gotong-royong. Sementara itu, dalam hal yang lebih teknis, Sunan Drajat mengajarkan kepada masyarakat mengenai teknik-teknik membuat rumah dan tandu. 4 dari 5 halaman
Dalam beberapa literatur, beberapa ajaran Sunan Drajat disebut-sebut erat kaitannya dengan ajaran tasawuf. Pasalnya apa-apa yang diajarkan memiliki kedalaman makna dan implikasi. Baik dalam sisi kebatinan maupun yang kaitannya dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Dikutip dari nu.or.id, diskursus ajaran sosial-religius Sunan Drajat itu dapat dielaborasi dan diimplementasikan dalam konteks terkini. Sebagai sebuah konstruksi filosofis yang realistis dalam upaya untuk mengurangi angka kemiskinan. Nilai-nilai luhur yang diajarkan Sunan Drajat memiliki sisi menarik, yakni ajakan melakukan perbuatan terbaik untuk umat atau masyarakat. Pesan-pesan luhur Sunan Drajat dikenal dengan sebutan Catur Piwulang. Isinya yakni mengenai ajakan memberi pertolongan, makan, pakaian, hingga perlindungan bagi masyarakat yang membutuhkan. 5 dari 5 halaman
Sebagaimana lazimnya para wali, kata-katanya banyak yang punya kesan kebijaksanaan serta membuat orang yang mendengarnya merenungkan arti kehidupan. Berikut beberapa kata bijak Sunan Drajat yang memiliki makna mendalam. 1. Memangun resep tyasing Sasoma (Kita sebaiknya selalu membuat senang hati orang lain) 2. Jroning suka kudu éling lan waspada (Di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada) 3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur, kita harusnya tidak peduli dengan segala bentuk rintangan) 4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (Kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu) 5. Heneng-Hening-Henung (Dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur). 6. Mulya guna Panca Waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu) 7. Wenehono teken marang wong kang wuto (Berilah tongkat pada orang yang buta). 8. Wenohono pangan marang wong kang kaliren (Berilah makan pada orang yang kelaparan). 9. Wenohono sandang marang wong kang wudo (Berilah pakaian pada orang yang telanjang). 10. Wenohono payung marang wong kang kawudanan (Berilah payung pada orang yang kehujanan) Liputan6.com, Tuban - Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa berziarah ke makam Sunan Bonang di Kabupaten Tuban. Ziarah itu dilakukan Khofifah usai meninjau proses pencairan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di Pendopo Kabupaten Tuban. "Sunan Bonang adalah sosok yang patut diteladani atas upaya Beliau membangun harmoni antarumat beragama," ujar Khofifah, Selasa (23/5/2017). Buktinya, ungkap dia, terlihat dari adanya sejumlah tempat ibadah di sekitar alun-alun Tuban yang hingga saat ini masih digunakan untuk beribadah. Bangunan masjid, klenteng, pura dan gereja yang membentuk seperti kompleks tersebut telah dibangun sejak jaman Sunan Bonang. "Sunan Bonang merangkul orang-orang selain muslim tinggal yang tempat yang sama dan hidup dalam toleransi, rukun, serta damai. Ini yang harus kita teladani dan terapkan dalam kehidupan sekarang. Ajaran beliau masih sangat relevan mengenai toleransi dan keberagaman. Kita memang berbeda-beda, tapi tetap satu Indonesia," kata Khofifah. Bukti toleransi dan keberagaman di Tuban juga tampak dalam Prasasti Kalpataru yang merupakan rangkuman dari buah pemikiran Sang Wali. Pada prasasti setinggi 180 cm tersebut terukir empat tempat ibadah untuk agama berbeda-beda yakni masjid mewakili agama Islam, candi mewakili agama Hindu, klenteng mewakili Tridharma (Budha, Tao dan Konghucu) serta wihara mewakili agama Budha. Satu lagi, terdapat arca megalitik atau kebudayaan mewakili pemujaan leluhur. "Melalui prasasti tersebut kita bisa memaknai sebagai adanya ajaran dan kepercayaan yang berbeda-beda tidak membuat mereka terpecah-belah. Melalui sikap toleransi dalam masyarakat berbeda-beda agama itulah kenapa Islam dapat menyebar secara luas," ucapnya. Sunan Bonang merupakan putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila, seorang putri dari Arya Teja, salah seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Sunan Bonang lahir pada tahun 1465 M dan wafat pada tahun 1525 M. Sunan Bonang dan Sunan Ampel merupakan dua dari Wali Songo. Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang hingga kini sering dinyanyikan dan tak asing bagi umat Islam. "Salah satu warisan budaya yang dibawa oleh Sunan Bonang adalah prasasti Kalpataru yang menunjukkan kearifan lokal. Pada saat itu berbagai agama Samawi dan kepercayaan lokal bisa hidup berdampingan secara harmonis. Hari ini kita perlu terus ingatkan toleransi dan keberagaman serta Tombo Ati," Khofifah memungkas.
Wallahu a’lam Bisshawab… |