Tirtayasa (Abu al-Fath 'Abdul-Fattah) Show Kesultanan BantenWafat1692 – 1631; umur -62–-61 tahun Batavia, Hindia BelandaPemakaman Pemakaman Raja-raja Banten, Kota Kuno Banten, Kota Serang WangsaAzmatkhanAyahAbu al-Ma'ali Ahmad dari BantenAnakHaji dari BantenPangeran Purbaya dan lainnyaAgamaSunni Islam Tirtayasa dari Banten (lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60–61 tahun)[1] adalah sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya[2] yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.[3] Pada tahun 2017 sutradara Darwin Mahesa mengangkat film Tirtayasa The Sultan of Banten bergenre dokudrama yang diproduksi oleh Kremov Pictures.[4] BiografiSultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640–1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sulthan 'Abdul-Fattah al-Mafaqih. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). PerjuanganSultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651–1683. Dia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia (Nusantara). Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.[butuh rujukan] Di bidang keagamaan, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti sekaligus penasehat kesultanan. Ia juga memberikan kepercayaan kepada Syekh Yusuf untuk mendidik anak-anaknya tentang agama. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga menikahkan putrinya yang bernama Siti Syarifah dengan Syaikh Yusuf.[5] Ketika terjadi sengketa dengan putra mahkota, Sultan Haji dan ( pangeran purbaya ), Belanda ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin Hubungan diplomatikPada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan negara lain di luar Nusantara. Banten menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, Aceh, Makassar, Arab, dan kerajaan lain.[6][7] Banten dan kerajaan Nusantara lainSekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura.[8] Banten dan PrancisSultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa selain Belanda, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis. Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi Dagang Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke Nusantara. Setelah mendarat di pelabuhan Banten, ia diterima oleh Syahbandar Kaytsu, seorang Tionghoa muslim. Pada 16 Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan mendatangi kediaman orang-orang Prancis di kawasan Pecinan. Caron meminta izin untuk membuka kantor perwakilan di Banten. Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC dan berambisi membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC.[9] Raja kemudian menanyakan tujuan kongsi dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki. Sesudah itu pihak Prancis berusaha menjual barang muatan mereka. Barang-barang dagangan apa saja dapat dijual, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Banten. Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang dibawa dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan hadiah lain. Caron dan Gubernur Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama dengan yang diberikan kepada pihak Inggris.[10] Banten dan InggrisHubungan baik antara Inggris dan Banten sudah terjalin sejak lama, salah satunya adalah ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat pada tahun 1602 kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles I sebagai Raja Inggris. Sultan Abdul Mafakhir juga memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa penerintahan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1682, karena saat itu terjadi perang saudara antara Sultan dengan putranya, Sultan Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belanda, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa diketahui meminta bantuan dari Kerajaan Inggris untuk melawan kekuatan anaknya itu.[11][12] Pada 1681, Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat membeli senapan sebanyak 4.000 pucuk dan peluru sebanyak 5.000 butir dari Inggris. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana. Tidak lama kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu VOC.[13][14] KeluargaSultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang putera:[15][16]
Kematian dan penghargaanPada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970. Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banten, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Nasab
Referensi
Pranala luar
|