Gagal menaklukkan Madinah dan umat Islam yang dimulai pada 31 Maret 627, pasukan Abu Sufyan, pemimpin suku Quraisy di Mekah, menarik diri dari pengepungan berlarut-larut, yang menandakan kemenangan umat Islam di Madinah. Umat Islam kemudian mengalihkan perhatiannya kepada suku Quraizah. Suku Quraizah adalah satu dari tiga suku Yahudi yang menetap di Madinah, sebelum kedatangan umat Islam yang mengungsi dari Mekah. Yang lainnya adalah suku Nadir dan Qainuqa. Nabi Muhammad meneken Piagam Madinah tahun 622 untuk mengikat beragam komunitas di Madinah, termasuk Yahudi, agar hidup berdampingan di Madinah. Namun ketika suku Nadir dan Qainuqa mengkhianati perjanjian itu, mereka pun diusir dari Madinah. Keduanya kemudian bergabung dengan pasukan Abu Sufyan. Pada Perang Parit, suku Quraizah berniat memberontak dengan menyerang umat Islam dari dalam. Namun Muhammad berhasil menggagalkan persekongkolan mereka dengan pasukan penyerang. Baca juga: Siasat Jitu Perang Khandaq “Orang-orang Islam secepatnya memobilisasi dan menyerang pertahanan orang-orang Yahudi itu. Suku Quraizah menahan serangan, yang dipimpin oleh Ali, selama 25 hari. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa menang dan meminta untuk bernegosiasi,” tulis Yahiya Emerick dalam Critical Lives: Muhammad. Buku-buku yang ditulis penulis Barat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad kemudian memerintahkan mengeksekusi mati sekitar 600-900 laki-laki Quraizah karena telah melanggar Piagam Madinah dan bersekongkol dengan musuh. Peristiwa ini kemudian menjadi perdebatan di antara sejarawan Islam di masa modern. Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad Philip K. Hitti agaknya memilih moderat dengan menyebut 600 orang Quraizah tewas akibat diserang. “Setelah pengepungan berakhir, Muhammad menyerang orang-orang Yahudi karena ‘bersekongkol dengan pasukan penyerang’ yang mengakibatkan terbunuhnya 600 orang suku utama Yahudi, Banu Quraizah, dan sisanya yang masih hidup, diusir dari Madinah,” tulisnya dalam History of the Arabs. Setelah kemenangan di Perang Parit, Madinah menjadi basis umat Islam. Nabi Muhammad kemudian menundukkan suku-suku Arab yang masih menyembah berhala tanpa bisa dihalangi oleh Mekah. Baca juga: Gaya Rambut Nabi Muhammad “Pasukan Muslim hampir selalu menang dalam serangan-serangan tersebut, dan suku-suku Arab yang kalah menerima otoritas Muhammad. Suku-suku lain, mendengar kekuatan Muhammad yang kian besar, berdatangan ke Madinah dengan sendirinya untuk menjalin aliansi dan bersumpah untuk mengikuti sang nabi,” tulis Gabriel Said Reynolds dalam The Emergence of Islam: Classical Traditions in Contemporary Perspective. Pada periode Madinah ini, tulis Philip K. Hitti, Arabisasi atau nasionalisasi Islam dilakukan. “Nabi baru itu memutuskan ketersambungan Islam dengan agama Yahudi dan Kristen: Jumat menggantikan Sabat (Sabtu, red.), azan menggantikan suara terompet dan gong, Ramadan ditetapkan sebagai bulan puasa, kiblat (arah salat) dipindahkan dari Yerusalem ke Mekah, ibadah hajike Ka’bah dibakukan dan mencium Batu Hitam –ritual pra-Islam– ditetapkan sebagai ritual Islam.”
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Perang Bani Quraizah adalah perang yang terjadi pada akhir Dzhiqa'dah dan awal Dzulhijjah tahun ke-5 Hijriyah. Perang ini terjadi karena kaum Yahudi mengkhianati perjanjian damai dengan kaum muslim. Pengkhianatan itu diprovokasi oleh Huyay bin Akhthab an-Nadhariy, penyebab terjadi perang baru setelah perang Khandaq. Usai perang Khandaq, Rasulullah saw pulang ke Madinah dan meletakkan senjatanya. Namun ketika beliau mandi di rumah Ummu Salamah, ia didatangi malaikat Jibril dan mengatakan: Kalian sudah meletakkan senjata kalian ? Demi Allah, kami belum meletakkannya, keluarlah menuju mereka ! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Kemana ?’ Jibril menjawab, ‘Kearah sini.’ Jibril Alaihissallam menunjukkan arah Bani Quraizhah. (HR Bukhâri, al-Fath, 15/293, no. 4117) Rasulullah saw mulai bergegas untuk menginstruksi kepada para sahabat untuk bergerak ke arah Bani Quraizhah. (1) Baca: Perang Al-Abwa Ilustrasi Perang Bani Quraizhah (Dok. santri cendekia)Saat perang Ahzab terjadi, Bani Quraizhah seharusnya membela dan mempertahankan kota Madinah dari serangan pasukan Ahzab. Namun, Huyai bin Akhtab dari Bani Nadhir mempunyai niat jahat untuk menemui Bani Quraizhah yang bernama Ka'ab bin Asad Al-Quraiszi hingga menghasutnya agar melanggar perjanjian damai yang disepakati dengan kaum muslim. Selain itu, mereka juga ingin menyerang Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw mendengar kabar pengkhianatan ini, lalu beliau mengirim utusan untuk memeriksa kebenarannya. (2) Baca: Perang As Sawiq Ilustrasi Perang Bani Quraizhah (orami.co.id)Selama 25 hari, Rasulullah saw mengepung mereka hingga menyerah. Beliau memerintah untuk menahan semua kaum Yahudi laki-laki dan para wanita hingga anak kecil untuk di belenggu di tempat terpencil. Para tawanan meminta agar Sa'ad bin Mu'adz membuat keputusan. Sa'ad memutuskan untuk membunuh orang Yahudi laki-laki, menjadikan wanita-wanita sebagai tawanan dan harta benda dibagi rata. Keputusan Sa’ad adalah keputusan yang tepat, karena selain telah melakukan pengkhianatan, Bani Quraizhah telah menyiapkan 1500 pedang, 2000 tombak, 300 baju besi, dan 500 perisai untuk menghancurkan kaum muslimin. Rasulullah saw pun menyetujui keputusannya, karena sesuai dengan perintah Allah yang dimana setiap laki-laki dewasa dipenggal. Dahulu Bani Quraizhah merupakan satu sekutu dengan Nabi Muhammad saw dalam pertempuran Khandaq. Pada saat itu, mereka meminjam peralatan perang hanya untuk menjaga Madinah, namun tidak ikut dalam pertempuran. Bani Quraizhah tersingung dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk bertindak keras terhadap kaum Yahudi dan menurut Al-Waqidi, mereka bernegosiasi dengan penduduk Mekkah. (2) Baca: Perang Ain Jalut (Tribunnewswiki.com/ Husna)
Lihat Foto KOMPAS.com - Perang Bani Nadhir merupakan perang antara kaum muslimin dan kaum Yahudi di Madinah. Perang Bani Nadhir berlangsung pada tahun 4 Hijriah atau 625 Masehi. Perang ini dinamakan dengan Bani Nadhir karena kaum Yahudi yang berperang melawan kaum muslim berasal dari Bani Nadhir. Latar BelakangPada awal kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah, beliau membuat perjanjian dalam bentuk piagam persaudaraan yang bernama Piagam Madinah. Pasal-pasal dalam Piagam Madinah menetapkan hak dan kewajiban dari seluruh warga Madinah termasuk kaum Muhajirin, Ansor, dan Yahudi. Piagam Madinah telah disepakati oleh seluruh golongan masyarakat Madinah sebagai konstitusi. Baca juga: Perang Badar: Latar Belakang dan Dampaknya Dalam buku Sejarah Islam Klasik (2013) karya Susmihara dan Rahmat, Perang Bani Nadhir disebabkan oleh penghianatan dari Bani Nadhir terhadap Piagam Madinah yang telah disepakati. Mereka secara terselubung menciptakan gerakan-gerakan untuk menghancurkan Islam dan mengusir umat Islam dari Madinah. Bani Nadhir membocorkan rahasia kekuatan Islam di Madinah serta menginformasikan bagian-bagian terlemah dari kota Madinah kepada kaum Quraisy. Selain itu, mereka juga secara terang-terangan membunuh dan menyakiti kaum muslimin serta melakukan percobaan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad SAW. Kronologi
Bani Nadhir pada awalnya tidak ingin bertempur dengan pasukan muslim karena mereka tahu perbedaan kekuatan yang sangat berbeda. Mereka berniat untuk meninggalkan Madinah sebelum pasukan muslim datang. Baca juga: Perang Padri, Perang Saudara yang Berubah Melawan Belanda Namun, keputusan tersebut berubah karena adanya hasutan dari orang munafik Yahudi bernama Abdullah bin Ubai yang menjanjikan bantuan pasukan dari Bani Quraizhah dan Bani Ghatafan. PERANG BANI QURAIZHAH[1] Penghianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian damai dengan kaum Muslimin begitu menyakitkan. Apalagi peristiwa itu terjadi kala kaum Muslimin berada dalam kondisi kritis karena menghadapi pengepungan pasukan sekutu dengan jumlah besar dalam perang Khandaq.[2] Pengkhianatan inilah diantara penyebab terjadinya peperangan baru setelah perang Khandaq. Pengkhianatan itu sendiri diprovokatori oleh Huyay bin Akhthab an-Nadhariy.[3] Perang ini dikenal dengan Perang Bani Quraizhah. Peperangan ini terjadi pada akhir Dzulqa’dah dan awal Dzulhijjah pada tahun ke-5 hijriyah. Usai perang Khandaq, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke Madinah dan meletakkan senjatanya. Namun ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mandi di rumah Ummu Salamah Radhyallahu anha, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh Malaikat Jibril Alaihissallam dan mengatakan : قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ وَاللَّهِ مَا وَضَعْنَاهُ فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ قَالَ فَإِلَى أَيْنَ قَالَ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ Kalian sudah meletakkan senjata kalian ? Demi Allâh, kami belum meletakkannya, keluarlah menuju mereka ! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Kemana ?’ Jibril q menjawab, ‘Kearah sini.’ Jibril Alaihissallam menunjukkan arah Bani Quraizhah. [HR Bukhâri, al-Fath, 15/293, no. 4117] [4] Menerima perintah ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para shahabatnya untuk segera bergerak ke arah Bani Quraizhah. Bahkan supaya cepat sampai tujuan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah [HR. Bukhâri, al-Fath, 15/293, no. 4119] Dalam riwayat Imam Muslim, no. 1770 : لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ Janganlah ada satupun yang shalat Zhuhur kecuali di perkampungan Bani Quraizhah Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sebagian Ulama mencoba mengkonpromikan (memadukan) dua riwayat (riwayat Bukhâri dan Muslim) yang berbeda di atas dengan (mengatakan) kemungkinan sebagian dari shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan shalat Zhuhur sebelum intruksi itu diberikan, sementara sebagian yang lain belum menunaikan shalat Zhuhur. Untuk para shahabat yang belum menunaikan shalat Zhuhur dikatakan, ‘Jangan ada satupun yang melaksanakan shalat Zhuhur …” dan untuk para shahabat yang sudah menunaikan shalat Zhuhur dikatakan kepada mereka, “‘Jangan ada satupun yang melaksanakan shalat ‘Ashar …” Ada juga sebagian Ulama mengkonpromikannya dengan mengatakan bahwa ada kemungkinan sekelompok dari shahabat berangkat sebelum yang lainnya (red- berangkatnya secara bergelombang). Untuk kelompok pertama dikatakan, (‘Jangan ada satupun yang melaksanakan-pent) shalat Zhuhur …” dan untuk kelompok kedua diakatakan, (‘Jangan ada satupun yang melaksanakan-pent) shalat ‘Ashar …” Kedua metode ini tidak apa-apa.”[5] Baca Juga Beberapa Peristiwa Pasca Perang Khaibar Setelah menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan hadits di atas, Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan dari kisah ini yaitu sebagian sahabat ada yang memahami larangan ini sebagaimana zhahirnya. Mereka tidak peduli dengan habisnya waktu, karena mereka lebih menguatkan larangan yang kedua[6] daripada larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka berdalil dengan bolehnya menunda waktu shalat bagi orang tersibukkan dengan urusan peperangan, sebagaimana yang terjadi dalam perang Khandaq. Telah disebutkan dalam hadits Jâbir bahwa mereka (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat) menunaikan shalat ‘Ashar setelah matahari tenggelam karena tersibukkan dengan urusan perang. Mereka menganggap itu boleh pada semua kesibukan yang terkait urusan perang, terlebih masa itu juga adalah masa penurunan (pembentukan) syari’at. Sementara sebagian shahabat yang lain memahaminya tidak sebagaimana zhahirnya. (Mereka menganggap) itu adalah kinâyah (sindiran) agar mereka termotivasi untuk bergegas dan berjalan dengan cepat menuju Bani Quraizhah.[7] Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah bersama tiga ribu pasukan. Setibanya di perkampungan Bani Quraizhah, pasukan kaum Muslimin melakukan pengepungan dan melakukan blokade terhadap Bani Quraizhah. Menurut pendapat yang lebih kuat, pengepungan ini berlangsung selama dua puluh lima hari.[8] Pengepungan ini tentu sangat berdampak bagi Bani Quraizhah. Akhirnya mereka pasrah dan siap menerima sanksi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyikapi ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan penentuan jenis sanksi yang akan dijatuhkan bagi Bani Quraizhah kepada salah seorang tokoh dari Bani Aus. Karena bani Aus dahulunya merupakan sekutu Bani Quraizhah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkannya kepada Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu yang saat itu tidak ikut serta karena luka-luka yang beliau Radhiyallahu anhu derita dalam perang Khandaq. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengirim utusan kepada Sa’ad Radhiyallahu anhu agar datang. Ketika Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu sudah mendekati pasukan kaum Muslimin, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum Anshâr : قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَؤُلَاءِ نَزَلُوا عَلَى حُكْمِكَ قَالَ فَإِنِّي أَحْكُمُ أَنْ تُقْتَلَ الْمُقَاتِلَةُ وَأَنْ تُسْبَى الذُّرِّيَّةُ قَالَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ الْمَلِكِ “Berdirilah (sambutlah) sayyid (pemimpin) kalian.” Sa’ad Radhiyallahu anhu mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan duduk. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang ini tunduk kepada hukummu.” Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan, “Hukum yang saya tetapkan yaitu pasukan mereka dibunuh, kaum wanita dan anak ditawan.” (mendengar sanksi ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah menjatuhkan sanksi kepada mereka sesuai dengan sanksi Allâh Azza wa Jalla [HR. al-Bukhâri dan Muslim] Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para shahabatnya untuk melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan oleh Sa’ad bin Mu’ad Radhiyallahu anhu. Baca Juga Kesombongan Menghalangi Hidayah Berdasarkan pendapat terkuat, jumlah mereka yang terkena sanksi itu adalah 400 orang. Semua terkena sanksi kecuali sebagian kecil karena mereka menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan keislamannya atau karena mendapatkan jaminan keamanan dari sebagian shahabat atau karena ada keterangan yang membuktikan bahwa dia tetap setia dengan perjanjian ketika terjadi pengepungan. Dan jumlah mereka tidak lebih dari jumlah anggota satu keluarga[9] Demikianlah akhir dari Bani Quraizhah yang telah mengkhianati perjanjian dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin bahkan bahkan telah berusaha menikam kaum Muslimin dari belakang disaat kaum Muslimin menghadapi musuh yang sangat berat. PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS 2. Disyari’atkannya berijtihad dalam masalah-masalah furu’ (cabang) dan seandainya pun salah maka dia tidak berdosa. Karena pada shahabat juga berijtihad dalam memahami maksud dari sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang mereka melakukan shalat ‘Ashar atau Zhuhur ketika berangkat ke perkampungan Bani Quraizhah. 3. Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas para Ulama memandang bahwa berdiri menyambut kedatangan orang yang memiliki keutamaan itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan sabda Rasuulllah : قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أو خَيْرِكُمْ Berdirilah (sambutlah) sayyid (pemimpin) atau orang terbaik kalian. Juga berdasarkan hadits lainnya. Berdiri seperi ini tidak termasuk berdiri yang terlarang. Berdiri yang terlarang itu jika mereka berdiri sementara yang dihormati duduk dan dia terus berdiri [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote [1]. Diterjemahkan dari as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, dengan sedikit tambahan dari Fiqhus Sirah min Zâdil Ma’âd dan Fathul Bâri [2]. Lihat edisi 02/XV, pada rubrik Sirah, Perang Khandaq. [3]. Diriwayatkan oleh Abdurrazâq dalam al-Mushannaf (5/368-373) dari mursal Sa’id bin al-Musayyib. Riwayat ini layak dijadikan pegangan karena memiliki banyak riwayat pendukung. Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Dalail beliau rahimahullah (lihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 459) [4]. Lihat Fiqhus Sîrah min Zâdil Ma’âd, hlm. 235 dan as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 459) [5]. Dalam masalah ini terdapat dua larangan; Pertama, larangan menunda shalat sampai akhir waktu. Kedua, larangan menunaikan shalat kecuali kalau sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Para shahabat yang melaksanakan sabda Rasûlullâh n apa adanya, lebih menguatkan larangan yang kedua dan menerjang larangan yang pertama.-pent [6]. Fathul Bâri, 15/294, kitab al-Maghâzi [7]. Berdasarkan riwayat Imam Ahmad, al-Fathurrabbani 21/81-83. para perawinya adalah para perawi yang bisa dijadikan sebagai hujjah. (lihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 460) [8]. ihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. hlm. 461 Page 2MAHROM BAGI WANITA Oleh Mahrom merupakan masalah yang penting dalam Islam karena ia memiliki beberapa fungsi yang penting dalam tingkah laku, hukum-hukum halal/haram. Selain itu juga, Mahrom merupakan kebijaksanaan Allah dan kesempurnaan agama-Nya yang mengatur segala kehidupan. Untuk itu, seharusnya kita mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahrom dan hal-hal yang terkait dengan mahrom. Banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahrom, Seperti hukum safar, kholwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain. Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya, bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan “Muhrim” padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihrom untuk haji atau umroh. Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi bashiroh (pelita) bagi ummat. Wallahu Al Muwaffiq Definisi Mahrom Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah : “Mahrom adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman dan lain-lain“. [2] Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : “Mahrom wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah ataupun anak tirinya“. [3] Macam-Macam Mahrom Mahrom Karena Nasab (Keluarga) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka ….” Para ulama’ tafsir menjelaskan: “Sesungguhnya lelaki yang merupakan mahrom bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat ini, mereka adalah: . 1. Ayah وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ “….Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu … ” [al-Ahzab/33 : 4] Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya: ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak’mereka, itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu….” [al-Ahzab/33 : 5] Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: “Seluruh ulama tafsir sepekat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: “Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Allah Taala: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka….”[4] Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah kholwah dan yang lainnya”. Maka Allah memerintahkan mereka untuk mengembalilcan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Alloh membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rosululloh menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin Haritsah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka..”. [al Ahzab/33 : 37] Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang wanita-wanita yang diharamkan menikah dengannya: وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ “Dan istri anak kandungmu..”. [An-Nisa’/4 : 23] Jadi tidak termasuk yang diharamkan istri anak angkat. [5] Berkata Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithi: “Difahami dari firman Allah Ta’ala : “Dan istri anak kandungmu” [An-Nisa’/4: 23]. Bahwa istri anak angkat tidak termasuk yang diharamkan, dan hal ini ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al- Ahzab/33 ayat 4, 37, 40.” [6 ] Adapun bapak tiri dan bapak mertua akan kita bahas pada babnya. Setelah mengetahui definisi mahrom dari para ulama’ dan sebagian dari jenis mahrom (yakni mahrom karena nasab keluarga), maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai contoh-contoh dari mahram dengan sebab keluarga. Juga, berikut ini akan dibahas secara singkat tentang persusuan. Bagaimana definisinya dan batasan-batasannya? Baca Juga Mengapa Wanita Harus Berhijab? 2. Anak Laki-Laki 3. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja. 4. Anak laid-laki saudara (keponakan), baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka. [7] 5. Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu. Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Tidak disebutkan paman termasuk mahrom dalam ayat ini [An-Nur/24: 31] di karenakan kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua, bahkan kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq….” [Al-Baqarah/2: 133] Sedangkan Isma’il adalah paman dari putra-putra Ya’qub. [8] Dan bahwasanya paman termasuk mahrom adalah pendapat jumhur ulama’. Hanya saja imam Sya’bi dan Ikrimah, keduanya berpendapat bahwa paman bukan termasuk mahrom karena tidak disebutkan dalam ayat ini juga dikarenakan hukum paman mengikuti hukum anaknya (padahal anak paman atau saudara sepupu bukan termasuk mahrom -pent).[9] Mahrom Karena Persusuan Definisi Hubungan Persusuan Sedangkan persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahrom adalah lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata : “Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur’an bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan.” [11] Ini adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama’. [12] Dalil Tentang Hubungan Mahrom Dari Hubungan Persusuan 2. Dalil dari Sunnah : Dari Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ “Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab“. [13] Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata. “Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu’ais meminta izin untuk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka saya berkata: “Demi Allah, saya tidak akan memberi izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada Rasulullah, karena yang menyusuiku bukan saudara Abi Qu’ais, akan tetapi yang menyususiku adalah istri Abi Qu’ais. Maka tatkala Rosululloh datang, saya berkata: Wahai Rasululloh, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah istrinya. Maka Rasululloh bersabda: “Izinkan baginya, karena dia adalah pamanmu” [14] Siapakah Mahrom Wanita Sebab Persusuan? 1. Bapak persusuan (suami ibu susu). Termasuk mahrom juga kakek persusuan yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga bapak-bapak mereka keatas. 2. Anak laki-laki dari ibu susu. Termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik lakilaki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka. 3. Saudara laki-laki sepersusuan. Baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu. 4. Keponakan persusuan (anak saudara.persusuan). Balk anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka. 5. Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu). [15] Pada bagian ketiga tentang mahrom, akan dibahas jenis mahrom selanjutnya, yaitu mahrom karena mushoharoh. Apa yang dimaksud dengan mushoharoh, dari mana dalil-dalil penyebab mahrom-nya serta siapa sajakah mereka itu? Berikut jawabannya secara singkat mengenai hal itu semua. Mahrom Karena Mushoharoh Definisi Mushoharoh Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Mahrom wanita yang disebabkan mushoharoh adalah orang-orang yang, haram menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya seperti ibu tiri, menantu perempuan, mertua perempuan“. [17] Maka mahrom yang disebabkan mushoharoh bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istrinya yang lain (anak tirinya), dan mahrom mushoharoh bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki).” [18] Dalil Mahrom Sebab Mushoharoh وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ Baca Juga Ziarah Antar Muslimah “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka …” [An-Nur/24 : 31] Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)…” [An Nisa’/4 : 22] Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ “Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak: tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu)...” [An Nisa’/4 : 23] Siapakah Mahrom Wanita Dari Sebab Mushoharoh? 1. Suami Berkata Imam Qurthubi dan Syaukani: “Makna ( بُعُولَتِهِنَّ bu’uulatihinna) adalah suami dan tuan bagi seorang budak wanita sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ﴿٥﴾إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ “Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri dan budak mereka, maka mereka itu tidak tercela” [al- Mu’minun/23 : 5-6].[20] 2. Ayah Mertua (Ayah Suami) 3. Anak Tiri (Anak suami dari istri lain) Maka haram bagi seorang wanita untuk menikah dengan anak tirinya, begitu juga sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Allah Ta’ala : “Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita yang (pernah) dinikahi oleh bapak-bapak kalian” [An-Nisa’/4 : 22]. Allah Ta’ala mengharamkan menikah dengan istri-istri bapak (ibu tiri) demi menghormati mereka, dengan sekedar terjadi akad nikah baik terjadi jima’ ataupun tidak, dan masalah ini telah disepakati oleh para ulama’.” [23] 4. Ayah Tiri (Suami ibu tapi bukan bapak kandungnya). Berkata Abdullah Ibnu Abbas: “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu.” [25] 5. Menantu Laki-Laki (Suami putri kandung) [26] Alhamdulillah, setelah tuntas membahas mengenai definisi mahrom, jenis-jenis dan siapa-siapa saja yang dihukumi mahrom, maka yang akan dibahas berikutnya adalah menepis anggapan sebagian kaum muslimin yang salah dalam menentukan mahrom. Siapa-siapa saja yang biasa mereka menganggap mahrom, padahal bukan? [Disalin dari Majalah Al Furqon, Edisi 3 Th. II, Dzulqo’idah 1423, hal 29-31. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur] ______ Footnote [1]. Al-Mughni 6/555. [2]. An-Nihayah 1/373. [3]. Tanbihat ‘Ala Ahkam Takhtashu bil mu’minat, hal. 67. [4]. Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an: 14/79. [5]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/435 dengan sedikit perubahan dan Tafsir As-Sa’di hal: 613. [6]. Adlwaul Bayan 1/232. [7]. Lihat Tafsir Qurthubi 12/232-233. [8]. Lihat Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah 3/159. [9]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/267, Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/155. [10]. Al Mufashol Fi Ahkamin Nisa’ 6/235. [11]. HR. Muslim 2/1075/1452, Malik 2/608/17, Abu Dawud 2/551/2062, Turmudzi 3/456/1150 dan lainnya. [12]. Lihat Nailul Author 6/749, Raudloh Nadiyah 2/175. [13]. HR. Bukhori 3/222/ 2645, Muslim: 2/1068/ 1447, Abu Dawud 1/474, Nasa’i 6/82, Darimi 2/156, Ahmad 1/27. [14]. HR. Bukhori: 4796; Muslim: 1445. [15]. Lihat Al Mufashol 3/160 dengan beberapa tambahan. [16]. An Nihayah 3/63. [17]. Lihat Syarh Muntahal Irodat 3/7. [18]. Lihat Al Mufashshol 3/162. [19]. Tafsir Ibnu Katsir 3/267. [20]. Lihat Tafsir Al Qurthubi 12/153 dan Tafsir Fathul Qodir 4/23. [21]. Lihat Tafsir Sa’di hal: 515 dan Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/154. [22]. Lihat Tafsir Qurthubi 12/154 dan Fathul Qodir 4/24. [23]. Tafsir Ibnu Katsir 1/413 dengan sedikit perubahan, lihat juga Tafsir Qurthubi 5/75. [24]. Lihat Tafsir Qurthubi 5/74. [25]. Tafsir Thobari 3/318. [26]. Lihat Al Mufashshol 3 /162. [27]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/417. 🔍 Jelaskan Pandangan Yusuf Al Qardhawi Tentang Demokrasi, Firqoh, Surah An Nasr Diturunkan Di Kota, Hukum Bersetubuh Dalam Islam |