Berapa lama virus corona akan mati dalam tubuh

Berapa lama virus corona akan mati dalam tubuh

Berapa lama virus corona akan mati dalam tubuh
Lihat Foto

SHUTTERSTOCK/PETERSCHREIBER MEDIA

Ilustrasi situasi pandemi dengan kasus Covid-19 yang tidak terkendali bisa menyebabkan mutasi virus dan melahirkan varian baru virus corona seperti yang terjadi di Inggris dan Afrika Selatan.

KOMPAS.com- Penyebaran virus corona di Indonesia semakin meningkat. Penyebaran virus penyebab Covid-19, terjadi baik secara langsung seperti kontak fisik dengan individu yang terinfeksi, maupun melalui droplet yang mengenai suatu benda lalu kita sentuh.

Jika droplet yang kita sentuh dari permukaan benda tersebut mengenai mata, hidung atau mulut, maka virus akan menempel pada permukaan saluran pernafasan.

Saat menginfeksi tubuh manusia, virus akan masuk dalam tubuh melalui interaksi protein spike yang berinteraksi dengan reseptor ACE2 yang ada di saluran pernafasan.

Baca juga: Virus Corona Bertahan di Kulit Lebih dari 9 Jam, Ini Pentingnya Cuci Tangan

"Begitu virus corona masuk, maka akan segera membajak sel dan akan memperbanyak diri sebanyak-banyaknya, disitulah kita bisa terinfeksi. Itulah bahaya dari permukaan benda yang terkontaminasi virus lalu kita sentuh," ungkap Dr. Ratih Asmananingrum, Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI pada webinar, Selasa (16/2/2021).

Lantas berapa lama virus corona bertahan di permukaan benda?

Dalam webinar bertajuk Pengelolaan Limbah Masker di Masa Pandemi Covid-19: Jangan Buang Maskermu, disampaikan bahwa penting untuk memperhatikan berapa lama virus bisa bertahan pada permukaan benda, guna mengantisipasi penyebaran Covid-19 lebih luas.

Lebih lanjut Dr Ratih menuturkan bahwa terdapat berbagai riset mengenai bagaimana menentukan ketahanan virus corona pada masing-masing permukaan benda.

Baca juga: Bertahan 4 Minggu di Uang Kertas, Virus Corona Lebih Kuat dari Flu Musiman

Jakarta -

Wabah COVID-19 sampai saat ini masih melanda berbagai negara, termasuk Indonesia. Tak hanya di udara, virus ini disebut mampu bertahan berjam-jam di berbagai permukaan benda yang sering kita sentuh.Tapi, berapa lama virus itu bisa bertahan di dalam tubuh orang yang terinfeksi?Para peneliti kemudian mencari tahu lamanya waktu yang dibutuhkan virus saat bertahan di dalam tubuh orang yang terinfeksi. Para peneliti di China mempelajarinya melalui data dari 191 pasien Corona, termasuk 54 pasien meninggal yang dirawat di Rumah Sakit Jinyintan dan Rumah Sakit Paru Wuhan.

Hasilnya, mereka menyimpulkan bahwa RNA virus bisa bertahan hidup di dalam tubuh manusia yang terinfeksi dalam waktu rata-rata 20 hari. Tetapi, virus itu juga bisa bertahan hingga 37 hari atau sekitar 5 minggu.

"Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa RNA SARS-CoV-2 yang terdeteksi bisa bertahan dalam waktu rata-rata 20 hari," tulis penelitian tersebut yang dikutip dari Fox News, Jumat (5/6/2020).

Mereka juga memiliki perbandingan dengan mendeteksi viral load pada spesimen pernapasan, dari sekitar sepertiga pasien selama 4 minggu setelah penyakit muncul. Perbandingan ini dilihat dari sekitar sepertiga pasien selama wabah SARS pada awal tahun 2000-an dan yang terinfeksi MERS.

Hasil yang didapatkan, mereka menemukan durasi deteksi RNA MERS-CoV dalam spesimen pernapasan yang paling rendah bertahan di dalam tubuh. Virus tersebut bisa bertahan selama setidaknya 3 minggu.

Simak Video "Studi AS: Virus Covid-19 Mampu Menyerang Pusat Kognitif Otak"



(sao/kna)

Berapa lama virus corona akan mati dalam tubuh

Kata "COVID-19" tercermin dalam setetes jarum suntik dalam ilustrasi yang diambil pada 9 November 2020. [REUTERS / Dado Ruvic / Ilustrasi]

TEMPO.CO, Jakarta - Virus corona akan hilang dengan sendirinya dari dalam tubuh jika kekebalan seseorang mampu melawannya. Tapi, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan agar bisa segera pulih. Sekretaris Jendral Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (PERDALIN), Ronald Irwanto, spesialis penyakit dalam dan konsultan penyakit tropik serta infeksi, mengatakan masa inkubasi virus corona bisa mencapai 10 hari atau lebih, tergantung dari gejala yang dialami.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan minimal 13 hari untuk isolasi mandiri dengan rincian 10 hari setelah dinyatakan positif ditambah tiga hari saat bebas dari gejala. Untuk memulihkan kondisi tubuh agar kembali prima, hal pertama yang harus dilakukan adalah selalu berpikiran positif.

Menurut Ronald, kesehatan mental sangat mempengaruhi kondisi fisik. Oleh karena itu, stres yang berlebihan harus dihindari.

"Kedua, konsumsi nutrisi yang tepat, makan-makanan sehat, minum air putih yang banyak. Makan buah, sayur, dan sebisa mungkin hindari makanan yang berlemak tinggi, berminyak tinggi seperti gorengan," ujar Ronald.

Ia juga mengatakan agar para pasien isolasi mandiri menghindari polifarmasi atau penggunaan banyak obat dalam waktu bersamaan setiap hari. Jika tidak bergejala atau gejala ringan, usahakan untuk menggunakan obat-obatan sederhana.

"Kalau demam boleh parasetamol, batuk boleh minum obat batuk, pilek minum obat pilek. Tapi kalau tidak bergejala, jangan minum banyak obat-obatan, silahkan istirahat cukup, minum air putih yang cukup, positive thinking, dan tunggu sampai harinya," sarannya.

Untuk pasien lanjut usia, sebisa mungkin berkonsultasi pada ahli gizi untuk mendapatkan menu gizi seimbang sesuai dengan kebutuhan nutrisinya. Ronald mengatakan COVID-19 adalah penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya. Dalam kurun waktu 10 hari, virus tersebut bisa mati.

Akan tetapi, bukan virusnya yang menjadi fokus utama penyembuhan, melainkan infeksi yang ditinggal pada organ tubuh. Ronald pun menyarankan untuk selalu memperhatikan kondisi tubuh dan gejala yang timbul selama isolasi. Sebisa mungkin hal ini harus dilaporkan atau dipantau oleh dokter.

"Ada kondisi yang sebelum virusnya hilang timbul peradangan, dia mengalami peradangan hebat di saluran napas. Itu yang berbahaya. Bahkan setelah COVID selesai pun, kondisi pasien bisa lebih buruk," ujar Ronald. "Virus ini akan hilang sendiri tapi peradangannya belum tentu hilang. Sebagian orang malah ada yang peradangannya jadi semakin hebat," lanjutnya.

Baca juga: Perlunya Memutus Rantai Penularan untuk Hambat Gelombang ke-3 COVID-19

22 Juli 2020

Berapa lama virus corona akan mati dalam tubuh

Tes darah di laboratorium untuk melacak Covid-19 dan terbentuknya antibodi virus corona (Picture Alliance/Zoonar/R.Kneschke-DW.com)

Riset pada pasien Covid-19 yang sembuh tunjukkan, perlindungan kekebalan tubuhnya terhadap corona turun bahkan hilang setelah dua atau tiga bulan. Ini memicu pertanyaan ilmuwan mengenai pengembangan vaksinnya.

Orang yang sembuh dari infeksi virus biasanya punya respons kekebalan dan mengembangkan proteksi terhadap penyakit bersangkutan. Sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi, yang mampu mengenali virusnya jika menyerang untuk kedua kali. Antibodi juga tahu cara memeranginya.

Namun dalam kasus virus corona SARS-CoV-2 pemicu Covid-19, penelitian terbaru yang dilakukan di rumah sakit Schwabing di München Jerman, menunjukkan adanya penyimpangan dari hal lazim itu. Clemens Wendtner, dokter kepala di rumah sakit itu, melakukan rangkaian pengujian kekebalan pasien Covid-19, yang dirawat akhir Januari 2020 dan dinyatakan sembuh. 

Tes menunjukkan turunnya jumlah antibodi pada tubuh mereka secara signifikan. Wendtner mengatakan bahwa "antibodi yang menghentikan serangan virus, menghilang hanya dalam waktu dua sampai tiga bulan pada empat dari 9 pasien yang dimonitor."

Hasil pemantauan tersebut juga serupa dengan investigasi yang sudah dilakukan di Cina. Riset di Cina juga menunjukkan, antibodi virus SARS-CoV-2 pada bekas pasien Covid-19 tidak ada lagi dalam darah mereka. Dalam kondisi seperti ini, pasien bisa kembali terinfeksi virus corona karena tidak lagi memiliki perlindungan.

Penelitian lanjutan dengan skala lebih besar masih perlu dilakukan untuk menegaskan anomali ini. Namun temuan awal ini memberikan indikasi, bahwa gelombang kedua infeksi mungkin terjadi, di mana pasien juga kemungkinan mengembangkan kekebalan normal. Hal ini akan mengubah cara para pakar menangani Covid-19, termasuk melonggarkan tindakan social distancing.

Tes antibodi pada pasien COVID-19

Saat ini ada beberapa cara untuk mendiagnosa infeksi SARS-CoV-2. Salah satunya tes PCR, yang melacak indikasi keberadaan virus dengan menangkap langsung material genetikanya. Cara lainnya dengan mendeteksi adanya antibodi. Tes jenis ini memberikan informasi tidak langsung menyangkut adanya infeksi.

Tes antibodi massal virus corona sangat berguna, karena memberikan data status imunitas komunal. Tes antibodi juga bisa mengungkap kasus Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala atau gejalanya ringan. 

Tapi, jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa pasien dalam jangka waktu beberapa bulan kehilangan lagi antibodi virus corona bisa dikonfirmasi dalam tes lanjutan, ini berarti kita bisa kembali ke situasi awal pandemi, di mana setiap orang berisiko terinfeksi.

Salah satu cara untuk meredam penyebaran virus adalah dengan mengembangkan "herd immunity" alias kekebalan kelompok dalam populasi. Tapi hingga kini para pakar masih berdebat menyangkut persentase yang diperlukan untuk itu.

Satu kelompok menyebut, herd immunity Covid-19 akan tercapai jika 60% populasi sudah kebal terhadap virusnya. Kelompok lain bahkan menyebutkan kuotanya bisa sampai 90% populasi hingga dapat tercapai kekebalan kelompok.

Tapi dengan hasil riset terbaru itu, yang mengindikasikan kekebalan bisa hilang lagi dalam beberapa bulan, artinya gelombang kedua infeksi bisa saja terjadi. Herd immunity tidak terbentuk, dan berbagai kebijakan baru harus dijabarkan ulang.

Tes efektivitas kekebalan tubuh

Yang juga menarik dari riset ilmuwan di Cina yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature Medicine, adalah perbedaan efektivitas imunitas pada pasien Covid-19 yang sembuh. Disebutkan dalam hasil riset itu, pasien yang tidak menunjukkan gejala sakit, mengembangkan kekebalan tubuh yang lebih lemah, dibanding pasien dengan gejala berat.

Riset di Cina memfokuskan diri pada 37 pasien tanpa gejala dan 37 pasien Covid-19 dengan gejala lebih berat. Penulis laporan menyebutkan, pada kedua kelompok lebih 90% menunjukkan adanya penurunan jumlah antibodi penetral virus corona. Namun pada kelompok pasien asimptomatik, menurunnya jumlah antibodi berlangsung lebih cepat dibanding pasien dengan gejala sakit.

Penelitian lebih lanjut dengan ekstraksi antibodi 175 bekas pasien dalam jaringan sel di laboratorium yang disebut tes “in vitro“, menunjukkan hampir semua pasien punya proteksi sel dari serangan virus corona. Namun belum diketahui, apakah efektivitas antibodinya sama, jika berada dalam tubuh atau “in vivo“.

Sebagai perbandingan, antibodi virus corona jenis lainnya, bertahan hingga minimal satu tahun dalam tubuh. Misalnya virus SARS yang mewabah 2003 di Asia Tenggara, atau virus MERS yang mewabah 2012 di kawasan Timur Tengah.

Implikasi pada pengembangan vaksin

Semua data dan hasil riset terbaru yang dilaporkan punya implikasi pada pengembangan vaksin untuk melawan SARS-CoV-2. Sejauh ini ada 130 kandidat vaksin yang sedang menjalani tes praklinis atau tes klinis di seluruh dunia. 

Pengembangannya dapat dilakukan dengan cara konvensional dengan virus mati atau yang dilemahkan, maupun dengan metode baru yang disebut vaksin DNA atau RNA menggunakan informasi genetika virusnya.

Tapi jika antibodi alamiah menghilang sangat cepat, dipertanyakan berapa lama keampuhan respons vaksin terhadapmSARS-Cov-2? Sejauh ini memang belum ada vaksin yang terbukti ampuh dan mendapat izin edar. Semuanya kini harus melewati lagi rangkaian tes, sebelum bisa menemukannya. 

(as/ae/Dw.Com)