Berikut contoh tumbuhan yang tidak dapat dimanfaatkan untuk membuat biodiesel adalah tanaman

Biofuel atau bahan bakar nabati adalah salah satu sumber energi terbarukan yang diketahui bermanfaat. Dibanding energi fosil, ketiga jenisnya terutama bioetanol dan biodiesel bukan hanya mampu menekan dampak polusi dan lebih aman bagi lingkungan, tapi juga bisa mengurangi permintaan impor BBM.

Biodiesel dapat digunakan sebagai energi alternatif bahan bakar minyak jenis diesel atau solar. Sementara bioetanol dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar lewat produksi bahan baku secara langsung maupun tidak langsung.

Di Indonesia, produksi biofuel yang saat ini telah rampung, khususnya sebagai bahan baku biodiesel, berasal dari minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Bahkan, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan bauran CPO lewat program B20 (20 persen biodiesel dicampur dengan 80 persen solar).

Secara total, terdapat 50-60 spesies tanaman alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel. Di antaranya jatrofa, gula tebu, saga utan, dan kecipir. Lalu, kelor kenari, kapok, tengkawang tungkul, tengkaw terindak, mindi, margosa, bengku, rambutan, sirsak, dan wijen.

“Namun, itu hanya sebagian kecil dari jenis tanaman yang telah diteliti potensi kandungannya dan mampu menggantikan kerosene yang selama ini digunakan sebagai BBM,” ungkap Retno Gumilang, dosen dan peneliti di Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung (ITB).

Tisnaldi, Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mengatakan bahwa dari sekitar 60 spesies itu jika diproduksi menjadi bahan mentah, jumlahnya bisa mencapai 28 juta ton atau setara 215 juta barel minyak.***

JAKARTA - Setelah sukses meluncurkan B100 yang 100% berasal dari kelapa sawit, Kementerian Pertanian terus melakukan penelitian tentang tanaman yang potensial untuk menjadi bahan bakar.

"SobaTani, pertanian juga memiliki potensi untuk menawarkan energi alternatif. Yuk simak tanaman saja saja yang menyimpan potensi tersebut," dikutip dari akun Instagram resmi Kementan, Jakarta, Sabtu (28/9/2019).

Baca Juga: Lebih Cepat dari Target, Penerapan B30 Dimulai Oktober 2019

Berikut 10 tanaman yang berpotensi untuk menjadi penghasil bahan bakar nabati.

1. Aren (Arenga pinnata)

Produksi nira aren pada umur 6-12 berkisar 8-22 liter per pohon per hari. Untuk memperoleh 1 liter etanol (kadar alkohol 70-90%) dibutuhkan 20-25 liter nira aren segar.

2. Bunga Matahari (Helianthus annus L.)

Produksi rata-rata tanaman ini sekitar 2.2 ton/ha untuk penanaman sepanjang musim dan 1.7 ton/hektar untuk penanaman 2 kali. Sementara itu, kadar minyaknya mencapai 25-50%.

3. Jarak Kepyar (Ricinus communis L.)

Produksi rata-rata komoditas ini sebesar 1,6 ton/ha dengan kadar minyak 53-56%.

4. Kelapa (Cocos nucifera L.)

Daging buah kelapa merupakan salah satu sumber BBN yang diolah menjadi cocodiesel yang dapat secara langsung digunakan atau dicampur dengan solar. Nira dan air kelapa pun juga dapat dibuat bioetanol.

5. Kemiri Sunan (Aleurites trisperma Blanco)

Apabila populasi 100 pohon/hektar, maka dapat dihasilkan sebanyak 25 ton biji kemiri sunan. Jumlah ini setara dengan 9.805 liter minyak kasar.

6. Kesambi (Schleichera oleosa Merr)

Sampai saat ini, tanaman kesambi belum banyak dibudidayakan secara intensif. Padahal ia memiliki daging biji yang mengandung minyak hingga 70%.

7. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.)

Minyak biji nyamplung memiliki lama pembakaran 2 kali lipat dibanding dengan minyak tanah. Sementara kadar minyaknya mencapai 50%.

Baca Juga: BPPT Monitor Kualitas Bahan Bakar B30

8. Sagu (Metroxyion spp.)

Bila difermentasi, tanamn ini akan menghasilkan 7.5 kilo liter bioetanol.

9. Simalakian (Croton tiglium)

Jenis tanaman ini memiliki rendemen minyak 25-26%. Sedangkan produksi minyaknya dapat mencapai 1.2 hingga 2.5 ton per hektar per tahun

Baca Juga: Lebih Cepat dari Target, Penerapan B30 Dimulai Oktober 2019

10. Wijen (Semamum indicum L.)

Minyak wijen juga berpotensi sebagai biofuel dengan melalui proses transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel. Tanaman ini pun memiliki kadar minyak 45-55%.

Sejalan dengan penelitian ini, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa diharapkan pengembangan BBN nantinya berhasil dan menuai banyak dampak positif. Salah satunya ialah agar dapat menjadi perwujudan kemandirian energi nasional.

  • #Bahan Bakar B100
  • #kementan
  • #B100
  • #Bahan Bakar Nabati
  • #Biodiesel

Bahan bakar diesel selain  berasal dari petrokimia juga dapat disintesis dari esler asam lemak yang berasal dari minyak nabati. Bahan hakar dari minyak nabati (biodiesel) dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan. tidak mencemari udara. mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui.

Biodiesel merupakan bahan bakar teroksigenasi (oxigenaled fuel), berbahan baku minyak nabati atau temak hewani yang diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak dan trans esterifikasi trigliserida.  Sebagai bahan bakar nabati, biodiesel dapat dibuat dari bahan baku minyak kelapa sawit,  minyak jarak pagar, dan minyak kedelai. Namun berdasarkan kuantitas dan pengembangan produksi, pembuatan biodieset dengan bahan baku minyak ketapasawit lebih potensial karena infrastruktur dan suprastruktunya sudah tersedia di Indonesia di samping produktivitas biodiesel dari minyak kelapa sawit jauh lebih baik dibandingkan dengan minyak jarak dan kedelai.

Karena berasal dari kelapa sawit, sudah tentu bahan bakar biodiesel ini dijamin ramah lingkungan. Tak hanya itu,  teknologi pengolahan minyak kelapa sawit menjadi biodiesel ini tidaklah sulit. Dapat dikatakan, semua orang bisa membuat produk ini.

Pada umumnya biodiesel sintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6-C22. Minyak sawit  merupakan satah salu jenis minyak nabati yang men-gandung asam lemak dengan rantai karhon C14-C20, sehingga mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai hahan baku biodiesel.

Pembuatan biodiesel melalui proses trans esterifikasi dua tahap. dilanjutkan dengan pencucian, pengeringan dan terakhir filtrasi,  tetapi jika bahan baku dari CPO maka sebelumnya pertu dilakukan esterifikasi.

Proses trans esterifikasi meliputi dua tahap. Transesterifikasi I yaitu pencampuran antara kalium hidroksida (KOH) dan metanol (CH30H) dengan minyak sawit.  Reaksi transesterifikasi I berlangsung sekitar 2 jam pada suhu 58-65°C. Bahan yang pertamakati dimasukkan ke dalam reaktor adalah asam lemak yang selanjutnya dipanaskan hingga suhu yang telah ditentukan .

Reaktor trans esterifikasi dilengkapi dengan pemanas dan pengaduk.  Selama proses pemanasan,  pengaduk dijalankan. Tepat pada suhu reaktor 63°C, campuran metanol dan KOH dimasukkan ke dalam reaktor dan waktu reaksi mulai dihitung pada saat itu. Pada akhir reaksi akan ter-bentuk metil ester dengan konversi sekitar 94%.  SeLanjutnya produk ini diendapkan selama waktu tertentu untuk memisahkan gliserol dan metil ester.

 Gliserol yang terbentuk berada di lapisan bawah karena berat jenisnya lebih hesar daripada metil ester. Gliserol kemudian diketuarkan dari reaklor agar tidak mengganggu proses transeslerifikasi II.

Setelah  proses transesterifikasi II selesai dilakukan pengendapan selama waktu tertentu agar gliserol terpisah dari metil ester. Pengendapan II memerlukan waktu lebih pendek daripada pengendapan I karena gliserolyang terbentuk relatif sedikit dan akan larut  melalui proses pencucian.

Pencucian hasil pengendapan pada transesterifikasi II bertujuan untuk meng hiLangkan senyawa yang tidak diperlukan seperti sisa gliserol dan metanol. Pencucian ditakukan pada suhu sekitar 55°C. Pencucian dilakukan tiga kali sampai pH campuran menjadi norrnat (pH 6.8-7.2).

Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan air yang tercampur dalam metil ester. Pengeringan dilakukan sekitar 10 menit pada suhu 130°C.. Pengeringan di-lakukan dengan cara memberikan panas pada produk dengan suhu sekhar 95°C secara sirkulasi. Ujung pipa sirkulasi ditempatkan di tengah permukaan cairan pada alat pengering.

 Tahap akhir dari proses pembuatan hiodiesel adalah filtrasi yang bertujuan untuk menghilangkan partiket-partikel pengotor biodiesel yang terbentuk selama proses berlangsung, seperti karat (kerak besi) yang berasal dari  dinding reaktor atau dinding pipa atau kotoran dari bahan baku. Filter yang dianjurkan berukuran sama atau lebih kecil dari 10 .

Bila pada bahan bakar bensin kita mengenal angka oktan tingkat pembakaran, maka dalam bahan bakar diesel dikenal dengan cetane number (CN). Makin tinggi nilai CN maka makin cepat pembakarannya dan mesin pun bekerja optimal.

Pada biodiesel kandungan CN-nya mampu lehih tinggi dibandingkan nilai CH pada hahan hakar diesel umumnya yang benilai  CN sehesar 50,  sementara CN yang dihasilkan biodiesel hingga ke level 64. (Berbagai sumber) 

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA