Berikut ini adalah beberapa kelemahan kelemahan dalam historiografi satu yang bukan yaitu

Oleh M. Haromain

Keberadaan karya sastra babad menjadi begitu penting nilainya karena bisa menguak sejarah kedatangan dan perkembangan agama Islam di Indonesia (khususnya Jawa) sejumlah literatur babad tersebut menjadi sumber rujukan primer.

Tidak cuma untuk mengakses sejarah awal pertumbuhan Islam di Nusantara, sumber historiografi (penulisan sejarah) Babad (cerita, kisah) juga acap dipakai para Sejarawan dalam menulis buku tentang sejarah suatu suku di Nusantara terutama Jawa, Madura, dan Bali.

Kendati sejumlah babad sampai kini terdokumentasi dengan baik, bahkan di antaranya diterbitkan dan dicetak untuk pembaca umum, tidak berarti karya babad ini tak menyisakan persoalan terutama di mata peneliti yang hendak merekonstruksi peristiwa sejarah Islam di Jawa, atau dalam pandangan pembaca yang kritis. 

Sejarawan Agus Sunyoto dalam buku Sunan Ampel Raja Surabaya menyatakan beberapa kritikan membangun atas penulisan historiografi babad itu. Menurut hemat Sastrawan yang kini didaulat sebagai Ketua Lesbumi PBNU ini, setidaknya ada tiga problem yang menjadi sebab kelemahan dari penulisan historiografi babad selama ini. Berikut ini sepintas uraian dari ketiga kekurangan itu:

Pertama, kemerosotan pengetahuan bahasa. Setelah kian melemahnya Kerajaan Majapahit dan Pakuan Pajajaran yang dilatarbelakangi di antaranya kehadiran para pengungsi dari Campa, kedatangan Portugis, dan disusul kemudian Belanda sebagai penjajah mengakibatkan perubahan-perubahan sosio-kultural-religius secara drastis dalam masyarakat Jawa khususnya. Salah satu perubahan sosio-kultur yang berlangsung kala itu adalah merosotnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap Bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa kuno (bahasa Kawi).

Akibat kemerosotan pengetahuan tentang Bahasa Sansekerta dan Kawi itu (yaitu sejak era Mataram Islam) bukan hanya mempengaruhi bentuk penulisan Kakawin (syair berbahasa Jawa kuno), tetapi mempengaruhi pula kerangka pemikiran para penulis historiografi dalam memaknai kata-kata dan pembentukan asumsi. 

Salah satu contoh sederhana, dalam memaknai kata 'demak' yang dalam Bahasa Kawi berarti tanah hadiah dari raja telah dikelirukan dengan kata 'ndemak' atau 'andemak' yang berarti menerkam atau menyerang tiba-tiba. Sehingga timbul asumsi bahwa Kadipaten Demak telah menerkam Majapahit secara tiba-tiba dan tak terduga. 

Asumsi demikian itu lalu berkembang lagi menjadi cerita tak berdasar tentang penyerbuan Raden Patah, Adi Pati Demak, ke Majapahit yang diungkapkan dalam cerita tentang seorang anak yang menerkam kekuasaan ayahnya sendiri. Padahal data historiografi menunjuk ketika terjadi penyerbuan ke Majapahit pada tahun 1425 dan 1427 M, Raden Patah sudah belasan tahun meninggal dunia, dan Demak waktu itu dipimpin oleh Sultan Trenggono.

Kedua, absurditas cerita babad. Termasuk masalah krusial yang cenderung mewarnai penulisan historiografi babad berikutnya adalah terjadinya kecenderungan menggambarkan kisah-kisah para tokoh secara absurd dan tidak masuk akal. Contoh sederhana dari kasus tersebut adalah kisah Sunan Kalijaga. 

Tokoh ini digambarkan pernah bertapa di tepi sungai selama 15 tahun hingga tubuhnya ditumbuhi lumut-lumut. Contoh absurditas lainnya ialah seperti tentang kisah Sunan Ampel yang oleh karena keampuhan ucapannya dapat membangunkan santrinya yang sudah meninggal (santri itu bernama Mbah Sholeh) sebanyak sembilan kali.

Dengan bercampur aduknya fakta sejarah, legenda, dan mitos sekitar Wali Songo, sejarah kehidupan mereka pun pada gilirannya tidak saja menjadi mirip dongeng, tetapi terkadang menyiratkan pula suatu penyimpangan yang dapat melemahkan akidah. Sebab kisah-kisah kekeramatan Wali Songo di Jawa sering menggambarkan peristiwa-peristiwa suprahuman dan supranatural yang jauh lebih absurd daripada mukjizat yang dimiliki Nabi-nabi.

Ketiga, kerancauan kronologis. Penting pula untuk dicermati adalah masalah rentang waktu penulisan yang sangat jauh dari peristiwa. Ketika penulis babad menyusun kisah kehidupan Sunan Ampel pada awal abad 17 Masehi misalnya, ada jarak sekitar 200-300 tahun dari peristiwa, karena Sunan Ampel hidup pada pertengahan abad 14 dan Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada perempat awal abad 14.

Sebagai salah satu dampak dari jauhnya rentang waktu penulisan dan kurang cermatnya penulis babad dalam menyusun data, terjadi kerancuan dalam penyusunan kronologi peristiwa-peristiwa. Tokoh-tokoh yang tidak hidup sezaman digambarkan hidup sezaman demi memenuhi asumsi yang keliru. Nama-nama tokoh yang mirip dikacaukan, sehingga terjadi ketumpangtindihan yang membingungkan. 

Tokoh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang digambarkan sebagai anggota Wali Songo, misalnya, kronogram pada makamnya menunjuk bahwa tokoh tersebut wafat pada tahun 870 H atau 1419 M, yakni rentang waktu ketika para wali yang lain belum lahir, bahkan Sunan Ampel selaku wali tertua mungkin baru lahir.

Perlu pendekatan hermeneutik dan emik

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas menurut Agus Sunyoto, diperlukan sebuah pembacaan yang bersifat hermeneutik agar memperoleh pandangan yang bersifat emik (sudut pandang budaya) dari sumber-sumber historiografi tersebut. Maksudnya sumber-sumber historiografi babad perlu ditafsirkan dengan cara meletakkannya pada konteks pemahaman di mana sumber-sumber itu ditulis baik terkait bahasa, tata nilai, dan keyakinan keyakinan yang berlaku dewasa itu ketika para Wali songo itu hidup.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah membandingkan sumber-sumber tersebut dengan sumber-sumber sejaman yang ditulis orang Portugis, Cina, Arab, Belanda, Melayu, India, dengan ditambah data etnografi terutama yang terkait dengan sosio-kultural-religius. Dengan cara demikian menurut pendapat Agus Sunyoto, diharapkan dapat diperoleh data yang sahih dalam merekonstruksi peristiwa sejarah yang terjadi pada abad ke 14 dan 15, yaitu saat para penyebar Islam yang dikenal dengan nama Wali Songo tersebut hidup.

Akhirnya beberapa kritik konstruktif dan masukan solutif dari peneliti kelahiran Surabaya ini sebagaimana paparan singkat di atas patut kita apresiasi khususnya oleh kalangan akademisi. Bagaimanapun hal itu merupakan salah satu sumbangan pemikiran berharga untuk perbaikan secara ilmiah tersusunnya sejarah tumbuh berkembangnya Islam di Nusantara ini, tak kecuali demi makin meguatkan lagi tentang bukti keberadaan Wali Songo sebagai toggak perintis dakwah Islam di Jawa ini. 

Penulis adalah Kontributor NU Online.

Berikut ini faktor-faktor kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi), kecualiā€¦. a. sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu b. sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah c. kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa d. sejarawan tidak mengetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban e. pengetahuan sejarah yang objektif itu timbul apabila terdapat beberapa pendapat antara para sejarawan

jawaban: e

Kelebihan dan Kelemahan Historiografi Tradisional, Kolonial, dan Modern. Foto: Pixabay

Berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu tidak akan dapat kita ketahui tanpa historiografi sejarah. Menurut Louis Gottschalk, historiografi adalah bentuk publikasi berupa lisan maupun tulisan, mengenai sebuah atau kombinasi peristiwa-peristiwa di masa lampau.

Dengan adanya historiografi, kita dapat memahami asal usul terjadinya suatu peristiwa atau mempelajari hikmah dan suri teladan dari masa lalu. Selain itu kita juga akan mampu mengaitkan peristiwa masa lalu dan sekarang.

Terdapat 3 macam historiografi berdasarkan pembagian waktu, yakni historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern. Berikut penjelasan dari tiga macam historiografi tersebut beserta kelebihan dan kelemahannya:

Historiografi Tradisional

Historiografi tradisional merupakan penulisan sejarah yang umumnya dilakukan oleh para sastrawan atau pujangga keraton dan bangsawan kerajaan. Beberapa ciri historiografi tradisional yaitu istana-sentris, region-sentris, feodalis-aristrokratis, subyektivitas tinggi, dan bertujuan melegitimasi kekuasaan.

  1. Penulisan bertujuan untuk meninggikan dan menghormati derajat raja, sehingga raja tetap dihormati, dipatuhi, dan dijunjung tinggi oleh rakyatnya.

  2. Raja adalah keturunan dewa dan penjelmaan dewa, sehingga memunculkan anggapan bahwa setiap perkataan raja adalah benar (sabda).

  1. Dari isi penulisannya, raja dianggap memiliki kekuatan gaib (sakti).

  2. Penulisan selalu dihubungkan dengan hal-hal gaib dan kepercayaan.

  3. Penulisan hanya membahas tentang kehidupan bangsawan, sementara kehidupan rakyat sama sekali tidak dibahas.

Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah pada masa kolonial. Fokus utama historiografi kolonial adalah kehidupan warga Belanda (Eropa) di Hindia Belanda karena ditulis oleh orang-orang Belanda atau Eropa.

  1. Historiografi masa kolonial ikut serta dalam memperkuat proses naturalisasi historiografi di Indonesia. Perkembangan historiografi Indonesia tidak bisa mengabaikan literatur historiografi dari sejarawan kolonial.

  2. Sejarawan kolonial berorientasi kepada fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan fakta-fakta sangat mencolok.

  1. Subyektifitas tinggi terhadap Belanda: Sejarawan kolonial berorientasi pada kejadian-kejadian yang hanya menyangkut tentang orang Belanda.

  2. Kekurangan kualitatif: Buku-buku yang ditulis hampir seluruhnya membahas tentang pejabat-pejabat Belanda serta penduduk pribumi yang dijumpai.

  3. Kekurangan kuantitatif: hanya sedikit karya-karya yang diterbitkan karena sistem kerahasiaan yang berlaku pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah arsip, sumber yang terbuka hanya sedikit sekali.

Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah. Masa ini dimulai dengan munculnya studi sejarah kritis yang menggunakan prinsip-prinsip metode penelitian sejarah.

  1. Mengubah pandangan religiomagis dan juga kosmologis menjadi pandangan yang sifatnya ilmiah.

  2. Menggunakan penulisan sejarah kritis.

  3. Menggunakan pendekatan multidimensional.

  4. Menggunakan dinamika masyarakat Indonesia serta juga berbagai aspek kehidupan.

  1. Belum mampu untuk menjelaskan sejarah secara optimal.

  2. Cenderung kurang fleksibel karena terpaku pada metode ilmiah.

  3. Belum tentu bertujuan untuk dapat meningkatkan rasa nasionalisme, terkadang hanya berfokus pada tujuan akademis.