Berikut ini komponen yang tidak terlibat dalam proses rekayasa genetika adalah

Pendahuluan

Bioteknologi terus mengalami perkembangan yang pesat. Bioteknologi atau dikenal juga dengan rekayasa genetika (genetic engineering) memungkinkan modifikasi sifat organisme sesuai dengan kebutuhan dengan memanfaatkan gen dari spesies lain. Teknologi ini dapat memberikan manfaat yang besar terutama untuk pemanfaatan produk pertanian, namun memerlukan kehati-hatian dan kecermatan agar tidak menimbulkan sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan bagi keanekaragaman hayati, lingkungan, dan kesehatan manusia.

Bioteknologi sebenarnya telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dalam bentuk, antara lain produk fermentasi. Bioteknologi dianggap berbeda dari metode seleksi tradisional karena bioteknologi memungkinkan transfer ciri-ciri organisme yang secara alamiah tidak mungkin terjadi secara alamiah.

Kontroversi produk-produk hasil rekayasa genetika sampai sekarang masih terus berlangsung. Berbagai isu global telah menjadikan produk ini aman bagi sebagian orang, tetapi dianggap berbahaya bagi sebagian orang. Sementara itu perkembangan bioteknologi modern telah menjadikan sesuatu yang selama ini tidak mungkin terjadi menjadi terjadi. Mengingat masih banyaknya perbedaan pendapat maka masih diperlukan sikap hati-hati dan waspada. Untuk itulah pemerintah dan dunia internasional umumnya menangani hal ini dengan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dan menyiapkan perangkat hukum untuk melindungi masyarakat dari akibat negatif produk-produk hasil rekayasa genetika.

Salah satu langkah yang telah disepakati bersama dalam menghadapi isu produk rekayasa genetika adalah disepakatinya Protokol Cartagena, disebutkan bahwa Protokol Cartagena mengenai Keamanan Hayati merupakan kesepakatan negara-negara di dunia untuk mengatur lalu lintas produk hasil rekayasa genetika. Implikasinya bagi Indonesia adalah terbukanya peluang ekspor dan impor produk ini. Namun hal ini menyebabkan harus diadakannya regulasi mengenai dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, termasuk pemasaran dan pelepasan produk ke lingkungan. Dibuatnya protokol ini adalah untuk menjamin tingkat perlindungan yang memadai di bidang pemindahan, perlakuan, dan pemanfaatan yang aman dari organisme hasil modifikasi yang berasal dari bioteknologi modern, dan secara khusus menitik beratkan pada perpindahan lintas batas.

Protokol ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan ditetapkannya undang-undang No. 21 Tahun 2004. Ini berarti bahwa Indonesia terbuka untuk lalu lintas produk-produk hasil rekayasa genetika. Tetapi kita diperkenankan untuk menguji dan mengatur lalu lintas produk tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan penerapan prosedur pemberitahuan sebelum ekspor-impor dengan informasi yang mencukupi (Advance Informed Agreement-AIA). Prosedur ini mencakup kewajiban negara pengekspor memberitahukan kepada negara pengimpor sebelum ekspor perdana produk rekayasa genetika. Negara pengimpor kemudian akan memberikan keputusannya mengenai bersedia menerima atau menolak ekspor tersebut berdasarkan suatu kajian risiko yang berlandaskan ilmiah.

Pengertian

Sebelum dijelaskan tentang pangan produk rekayasa genetika, perlu dipaparkan terlebih dahulu tentang produk rekayasa genetika.

Produk rekayasa genetik adalah organisme hidup, bagian - bagiannya dan/atau hasil olahannya yang mempunyai susunan genetik baru dari hasil penerapan bioteknologi modern. Produk rekayasa genetika antara lain hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagiannya dan hasil olahannya serta jasad renik transgenik, hasil olahannya dan produk metabolismenya.

Sedangkan pangan produk rekayasa genetika atau yang dikenal juga dengan pangan transgenik adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.

Regulasi Pangan Produk Rekayasa Genetika di Indonesia

Sama halnya dengan pangan lainnya, pangan produk rekayasa genetika harus melalui tahapan pengkajian / penilaian keamanan pangan (pre-market food safety assesment), seperti tertuang pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan,Mutu dan Gizi Pangan. Jika pangan PRG sudah dinyatakan aman untuk dikonsumsi dan dijual dalam kemasan, maka label pangan wajib mengikuti PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Untuk menyatakan atau menyetujui pangan produk rekayasa genetika aman dikonsumsi, disusun Pedoman pengkajian keamanan pangan PRG, sebagai acuan dalam pengkajian keamanan pangan PRG, dan sebagai bukti bahwa telah diterapkan pendekatan kehati-hatian. Pengkajian keamanan pangan PRG meliputi informasi genetik (deskripsi umum pangan PRG, deskripsi inang dan penggunaannya sebagai pangan), deskripsi organisme donor, deskripsi modifikasi genetik, dan karakterisasi modifikasi genetik) dan informasi keamanan pangan (kesepadanan substansial, perubahan nilai gizi, alergenisitas, toksisitas, dan pertimbangan lain-lain).

Setiap pemohon yang ingin mendaftarkan pangan produk rekayasa dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Badan POM dengan mengisi formulir dan menjawab daftar pertanyaan. Kepala Badan POM akan mengirimkan permohonan ini kepada Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (KKHKP) untuk dilakukan pengkajian. Selanjutnya KKHKP menugaskan Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) melaksanakan pengkajian untuk mengetahui apakah produk tersebut aman dikonsumsi atau tidak. Hasil kajian dilaporkan oleh tim teknis KHKP kepada Komisi KHKP untuk selanjutnya disampaikan rekomendasi (aman/tidak) kepada Kepala Badan POM. Berdasarkan rekomendasi ini Kepala Badan POM menerbitkan Surat Persetujuan / Penolakan terhadap produk pangan tersebut.

Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetik, adalah komisi yang mempunyai tugas memberi rekomendasi kepada Menteri, Menteri berwenang dan Kepala LPND berwenang dalam menyusun dan menetapkan kebijakan serta menerbitkan sertifikat keamanan hayati PRG. KKHKP membantu dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemasukan dan pemanfaatan PRG, serta pemeriksaan dan pembuktian atas kebenaran laporan adanya dampak negatif. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah NO. 21 Tahun 2005, Kedudukan, susunan keanggotaan, tugas pokok dan fungsi serta kewenangan KKHKP ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden atas usul Menteri. Proses pemantapan sistem ini sedang dipersiapkan Pemerintah dengan cermat agar pelaksanaannya menjadi tepat guna.

Pelabelan Pangan PRG

Sesuai dengan PP No.69 tahun 1999, pelabelan pangan PRG dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Jika keseluruhan bahan pangan yang terkandung dalam pangan merupakan bahan pangan PRG maka pada bagian utama label wajib dicantumkan “Pangan Produk Rekayasa Genetika”.

  2. Dalam hal dimana hanya salah satu dari bahan pangan yang merupakan bahan pangan PRG, maka keterangan tentang pangan PRG dicantumkan dalam daftar bahan yang digunakan (komposisi).

Beberapa negara di dunia menerapkan kewajiban pelabelan untuk produk ini seperti halnya Indonesia dan ada juga yang bersifat sukarela (misalnya USA). Negara yang menganut mandatory labelling seperti Uni Eropa, Thailand, Jepang, Saudi Arabia, Malaysia, Australia. Negara-negara tersebut telah mempunyai persyaratan batas minimal (treshold level) untuk kewajiban pelabelan. Seperti Uni Eropa misalnya, pangan yang mengandung bahan pangan PRG 1% atau lebih (berdasarkan perhitungan DNA/protein), wajib dilabel. Akan tetapi jika pada pangan tersebut tidak terdeteksi lagi DNA atau protein asing (akibat proses pengolahan pangan) maka pangan tersebut tidak wajib dilabel sekalipun pangan tersebut secara keseluruhan merupakan pangan PRG.

Berikut data treshold level di beberapa negara :

No Negara Treshold level

1.

Australia 1%

2.

Hongkong 5%

3.

Jepang 5%

4.

Korea Selatan 3%

5.

Malaysia 3%

6.

Saudi Arabia 1%

7.

Taiwan 5%

8.

Thailand 5%

Pemerintah Indonesia saat ini sedang menyusun suatu aturan tentang persyaratan batas minimum tersebut (dalam draft treshold level : 5%).

Pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan aturan ini, karena konsekuensinya begitu aturan ini ditetapkan maka perangkat pengujian harus siap secara kualitatif dan kuantitatif. Sebelum terjadinya ledakan di laboratorium Badan POM (Januari 2006), Laboratorium Bioteknologi Badan POM telah memiliki perangkat pengujian produk rekayasa genetika secara kualitatif dan kuantitatif. Namun pasca ledakan tersebut, beberapa komponen peralatan rusak dan hilang.

Seperti yang terjadi di Saudi Arabia misalnya yang juga menerapkan mandatory labelling (tetapi melarang masuknya produk hewan PRG), karena belum siapnya perangkat pengujian (alat dan SDM) maka pemerintah Saudi Arabia bekerja sama dengan suatu laboratorium di London mengirimkan produk untuk diuji dengan biaya US$ 480 per sampel produk dan memperoleh hasil dalam waktu 3-4 minggu. Hal ini menjadi mudah bagi negara kaya seperti Saudi Arabia dan sulit bagi Indonesia. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama treshold level dapat ditetapkan dan perangkat pengujian siap untuk menunjang penerapannya.

Fungsi pelabelan ini hanya sebagai informasi kepada konsumen bahwa produk tersebut berasal atau mengandung bahan pangan rekayasa genetika. Sedangkan keamanannya sudah dijamin oleh pemerintah melalui Komisi KHKP.

Keamanan Pangan PRG

Pangan produk rekayasa genetika telah memberikan manfaat antara lain menurunkan harga produk dan/atau manfaat yang lebih besar (dalam hal daya tahan/simpan atau nilai gizi), namun tetap ada kekhawatiran, disamping memberikan manfaat, juga memiliki resiko yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah, baik secara hukum, administratif, maupun teknis untuk menjamin tingkat keamanan pangan. Atas dasar ini perlu adanya kajian keamanan hayati dan keamanan pangan yang merupakan langkah kehati-hatian (precautionary approach).

Pengkajian keamanan pangan hasil rekayasa genetika secara umum mencakup :

  1. Efek langsung terhadap kesehatan (toksisitas);

  2. Kecenderungan untuk menyebabkan reaksi alergi (alergenisitas);

  3. Komponen spesifik yang diduga mempunyai sifat zat gizi atau sifat toksik;

  4. Stabilitas dari gen yang disisipkan;

  5. Efek nutrisi terkait dengan modifikasi genetika;

  6. Efek lain yang tidak diharapkan yang mungkin timbul sebagai akibat dari penyisipan gen.

Kekhawatiran terhadap pangan produk rekayasa genetika mencakup berbagai aspek, 3 isu yang sering dipermasalahkan adalah :

  1. Kecenderungan untuk menyebabkan reaksi alergi (alergenisitas)

  2. Pada prinsipnya transfer gen dari pangan yang menyebabkan alergi tidak diinginkan kecuali jika terbukti bahwa protein hasil transfer gen tidak bersifat alergenik. Walaupun pangan yang diproduksi secara tradisional umumnya tidak diuji alergenitasnya, akan tetapi untuk pangan produk rekayasa genetika protokol untuk pengujian tersebut telah disiapkan dan dievaluasi oleh FAO dan WHO. Selama ini tidak ditemukan adanya efek alergi dalam pangan produk rekayasa genetika yang sekarang ini beredar di pasaran.

  3. Transfer gen

  4. Transfer gen dari pangan produk rekayasa genetika ke dalam sel tubuh atau ke bakteri di dalam sistem pencernaan menimbulkan kekhawatiran jika material genetika yang ditransfer tersebut dapat merugikan kesehatan manusia. Hal ini bisa menjadi sangat relevan jika terjadi transfer gen yang resisten terhadap antibiotik digunakan dalam pembuatan produk organisme rekayasa genetika. Walaupun sangat kecil peluang terjadinya transfer tersebut, para ahli dari FAO/WHO telah menyarankan penggunaan teknologi tanpa gen resisten antibiotika.

  5. Outcrossing.

  6. Perpindahan / pergerakan gen dari tanaman rekayasa genetika ke tanaman konvensional atau spesies yang berhubungan di alam (disebut sebagai outcrossing), misalnya percampuran produk pasca hasil panen dari bibit konvensional dengan produk tanaman rekayasa genetika, mungkin mempunyai efek tidak langsung terhadap keamanan pangan dan ketahanan pangan. Seperti yang terjadi di Amerika misalnya, dimana jagung untuk konsumsi manusia, setelah diteliti ternyata terdapat sisa/trace jenis jagung yang hanya diizinkan untuk pakan. Beberapa negara telah menggunakan strategi untuk mengurangi pencampuran tersebut, termasuk pemisahan yang jelas antara lahan pertanian untuk tanaman rekayasa genetika dan dengan lahan untuk tanaman konvensional.

Pengkajian terhadap keamanan pangan PRG dilaksanakan kasus per kasus, karena organisme rekayasa genetika yang berbeda memiliki gen sisipan yang berbeda dan disisipkan dengan cara yang berbeda pula. Hal ini berarti bahwa setiap pangan hasil rekayasa genetika dan keamanannya harus dikaji secara individu ( kasus per kasus ) dan tidak mungkin untuk membuat pernyataan umum tentang keamanan semua pangan hasil rekayasa genetika.

Sesuai dengan pernyataan WHO, pangan produk rekayasa genetika yang tersedia di pasaran internasional saat ini telah melewati kajian risiko dan kemungkinan besar tidak mungkin menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia. Disamping itu, belum ditemukan efek terhadap kesehatan manusia yang terjadi pada masyarakat yang mengkonsumsi pangan tersebut di negara-negara dimana pangan tersebut telah diizinkan. Pelaksanaan Pengggunaan prinsip kajian risiko berdasarkan pada prinsip-prinsip Codex yang tepat dan berkesinambungan.

Beberapa tanaman pangan hasil rekayasa genetika yang sudah tersedia di pasar, antara lain, adalah tomat yang dirancang agar proses pematangannya terhambat sehingga lebih tahan lama dalam penyimpanan, Bt Corn, yaitu jagung yang dirancang mengandung protein insektisida yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt), Round Up Ready R Soybean, yaitu kedelai yang toleran terhadap senyawa aktif glifosat yang terdapat dalam herbisida yang dikenal secara komersial sebagai Round-Up R, Glyphosate-tolerant Corn Line GA21, yaitu jagung yang toleran glifosat, dan beras yang mengandung vitamin A (golden rice).

Meskipun WHO menyebutkan sampai kini belum ada bukti bahwa pangan hasil rekayasa genetika merugikan kesehatan, tetapi prinsip kehati-hatian tetap diperlukan dan hal ini sama dengan kehati-hatian terhadap produk pangan konvensional lain, misalnya pangan yang mengandung alergen.