Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam paksa adalah

Kemukakan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem tanam paksa!

Pembahasan:
Berikut penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Rakyat yang tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi waktu yang ditentukan. Jatah tanah untuk tanaman berkualitas ekspor melebihi seperlima dari lahan garapan. Lahan yang disediakan unuk tanaman wajib tetap dikenai pajak tanah. Setiap kelebihan hasil panen tidak dikembalikan lagi kepada petani. Kegagalan panen tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab rakyat.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama


Page 2

Pada perjalanannya sistem tanam paksa terjadi penyimpangan-penyimpangan walaupun disana ada beberapa sisi positifnya.

Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa.

Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda. Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik.

Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.

Penyimpangan Sistem Tanam Paksa

Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.

1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.

2) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.

3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.

4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.

5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.

Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten.

Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam paksa adalah
Gambar: Pengaruh Positif sistem tanam paksa

Cultuur procenten atau prosenan tanaman 

Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.

Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita.

Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk meningkat.

Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil.

Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.

Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa.

Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).

Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).

Pengaruh positif sistem tanam paksa

Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:

1) terbukanya lapangan pekerjaan,

2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan

3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.

Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam paksa adalah

Sistem tanam paksa merupakan kebijakan pemerintah Belanda yang dicetuskan oleh Van den Bosch. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memperbaiki perekonomian negeri Belanda serta mendapat keuntungan besar dengan melakukan penanaman tanaman yang laku di pasar internasional. Kebijakan tersebut selanjutnya mulai berlaku pada 1830, ketika Van den Bosch menjabat sebagai Gubernur Jenderal. Kebijakan tanam paksa memiliki sejumlah ketentuan yang sebenarnya tidak terlalu membebani rakyat pribumi. Namun, dalam perkembangannya terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap sistem tanam paksa sehingga menyebabkan kehancuran perekonomian serta penderitaan bagi rakyat pribumi. Penyelewengan dalam kebijakan tanam paksa yakni  tanah yang harus diserahkan rakyat melebihi dari ketentuan 1/5, tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak, jika terjadi gagal panen akibat bencana alam tetap menjadi tanggung jawab petani, rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun, dan kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan. Penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa juga tidak terlepas dari kerakusan penguasa pribumi dalam mengincar cultuur procenten (bonus) yang besar. Untuk mendapatkan bonus tersebut, para penguasa pribumi memaksa petani untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam tanam paksa sebanyak-banyaknya.

Dengan demikian, penyelewengan tanam paksa yang menguntungkan penguasa pribumi adalah adanya cultuur procenten (bonus), dimana penguasa pribumi memaksa petani untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam tanam paksa sebanyak-banyaknya.

Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam paksa adalah

Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam paksa adalah
Lihat Foto

National Museum van Wereldculturen (TM 10024157)

Pembukaan perkebunan di kawasan Priangan sekitar tahun 1907-1937. Era budidaya tanaman kopi berdasarkan kerja paksa dimulai di Priangan pada awal abad ke-19. Konsep ini disebut Preangerstelsel. Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda.

KOMPAS.com - Selama masa pemerintahannya (1816-1942), pemerintah Belanda menerapkan berbagai kebijakan, salah satunya tanam paksa untuk mengekploitasi sumber daya alam dan manusia di Indonesia.

Sistem tersebut mulai berlaku pada 1830, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal, Johannes van den Bosch.

Sistem tanam paksa ini memaksa para petani pribumi untuk menanam komoditas ekspor dengan suka rela.

Dalam pelaksanaanya, sistem tanam paksa ditulis dalam Stadsblad atau lembaran negara tahun 1834 No 22.

Namun, dalam pelaksanaanya terjadi penyimpangan sistem tanan paksa yang dilakukan pemerintah Belanda.

Baca juga: Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia

Berdasarkan buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, penyimpangan sistem tanam paksa yang terjadi di antaranya:

  1. Tanah petani yang ditanami komoditas ekspor lebih dari 1/5 atau seperlima bagian. Hal ini agar pejabat residen dan kaum priayi mendapatkan bonus dari hasil prosenan tanaman.
  2. Tanah yang telah ditanami tanaman wajib dikenakan pajak oleh pejabat residen.
  3. Waktu tanam dari tanaman wajib, melebihi ketentuan yang seharusnya kurang dari 66 hari.
  4. Petani bertanggung jawab penuh atas kerugian akibat gagal panen.
  5. Sisa kelebihan panen dari jumlah pajak tidak dikembalikan kepada petani.

Penyimpangan pembagian tanah 

Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo dalam bukunya Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi (1991), menjelaskan penyimpangan tanam paksa pada pembagian tanah.

Bagian tanah yang diminta untuk ditanami tanaman ekspor melebihi dari seperlima bagian sepertui yang ditentutakan. Misalnya sampai sepertiga atau setengah bagian, bahkan sering seluruh tanah menjadi tanaman ekspor.

Baca juga: Di Manakah Tanam Paksa Dilaksanakan?

Pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlah yang diserahkan. Pengerahan tenaga kerja perkebunan ke tempat-tempat yang jauh dari desa tempat tinggal penduduk juga tidak diberi upah sepadan.

Bahkan banyak pekerja atau petani yang tidak hanya menanam dan memanen tanaman ekspor, tetapi juga kerja rodi di pabrik-pabrik tanpa tambahan upah.

Beberapa contoh kasus penyimpangan terkait pengerahan tenaga kerja, yaitu:

  1. Di Rembang sebanyak 34.000 keluarga dipaksa untuk bekerja di lahan penanaman tanaman ekspor selama delapan bulan, dengan upah rendah, yaitu toga duit sehari.
  2. Sejumlah penduduk Priangan dikerahkan untuk penanaman nila atau indigo di lokasi yang jaraknya jauh dengan tempat tinggal selama tujuh bulan tanpa upah tambahan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya