Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 11, No. 1, Juni 2016 | 39-48 46 signifikan terhadap eksistensi kearifan lokal (Keraf, 2002; Sulastriyono, 2009; Yamani, 2011). Percepatan laju pembangunan di segala sektor menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumber daya air. Pergeseran nilai terjadi semakin cepat karena pembangunan berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan tatanan sosial dalam masyarakat dan fungsi ekologi dari kearifan lokal masyarakat. Pembangunan yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam mempercepat laju degradasi sumber daya air. Penebangan hutan dan alih fungsi lahan yang dilakukan secara berlebihan dan sembarangan menyebabkan rusaknya sumber daya air. Kondisi ini mengakibatkan penurunan daya dukung sumber daya air dan lingkungan di sekitarnya, dan tingginya fluktuasi debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan menyebabkan rusaknya daerah aliran sungai (DAS), baik di bagian hulu maupun hilir. Pohon-pohon pelindung sumber-sumber air terus ditebang sehingga mengganggu peresapan air ke dalam tanah dan berkurangnya debit air di sumber atau mata air. Kondisi ini juga menyebabkan terjadinya erosi tanah, sedimentasi, banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Konsekuensinya, kompetisi masyarakat dalam memanfaatkan air semakin tinggi, sehingga sangat potensial menimbulkan konflik antar stakeholders (Adnyana, 2003, Hidayati dkk, 2012). Kerusakan hutan dan penyusutan vegetasi penutup tanah masih terus berlangsung. Menurut the World Resource Institute tahun 2015 Indonesia kehilangan tutupan hutan sekitar satu juta hektar pada 2013 dan hutan primer seluas 8.400 km2 tahun 2012. Kondisi ini berimplikasi pada menurunnya pasokan air secara signifikan, baik untuk konsumsi maupun pengembangan sektor pertanian yang sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Pemerintah atas nama pembangunan sering mengabaikan pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air yang telah dilakukannya secara turun temurun. Hal ini diindikasikan oleh upaya- upaya pemerintah, seperti dalam meningkatkan produksi padi melalui teknologi dan subsidi harga untuk pupuk dan pestisida/herbisida (Dick, 1982; Fox, 1991; Mears, 1984), dan mengontrol harga beras serta pembangunan infrastruktur, terutama sistem irigasi (Collier et al, 1982; Dick, 1982; Fox, 1991). Akibatnya, pengelolaan air mengalami perubahan dari oleh masyarakat menjadi oleh pemerintah dengan pendekatan top-down. Akibatnya, banyak sistem nilai dalam pengelolaan sumber daya air dan tataguna air untuk pertanian yang telah dilakukan masyarakat secara turun temurun terancam oleh modernisasi pembangunan sistem irigasi dan kegiatan pembangunan lainnya. Pengelolaan air, dengan pengembangan sistem irigasi, beralih dari masyarakat kepada pemerintah. Pada mulanya, masyarakat dengan kearifan lokal yang ada bergotong royong membuat saluran dan mengatur pergiliran air sesuai dengan kondisi dan kebutuhan petani, namun dalam sistem irigasi, pemerintah membangun saluran irigasi menggunakan teknologi dan mengatur pengelolaannya, misalnya melalui P3A. Perubahan sistem ini sangat mempengaruhi tatanan yang berkembang di masyarakat, yang semula berdimensi sosial budaya bergeser menjadi ekonomi berbasis teknologi. Kemajuan teknologi di bidang pertanian telah menggeser pengetahuan lokal dan kepercayaan petani dalam mengatur waktu dan cara bercocok tanam mereka. Maraknya pembangunan irigasi teknis untuk meningkatkan frekuensi tanam dan produksi hasil pertanian telah menyebabkan tergerusnya pengetahuan lokal tentang ‘perbintangan’ yang digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui musim dan curah hujan, misalnya pada Pronoto Mongso petani Jawa. Pedoman ini sangat penting untuk menentukan kegiatan petani, misalnya kapan mulai menyemai bibit dan menanam serta kapan waktu panen. Selain itu, maraknya penggunaan teknologi input pertanian dari bahan-bahan kimia, seperti pesitisa, insektisida dan herbisida, juga berimplikasi pada menurunnya penggunaan pengetahuan dan kearifan lokal dalam menanggulangi hama dan penyakit tanaman dengan predator alam. Kemajuan teknologi pertanian di satu sisi sangat diperlukan untuk peningkatan produksi, namun di sisi lain penerapan teknologi mempunyai dampak negatif terhadap petani, usaha tani, dan sumber daya lahan serta lingkungan di sekitarnya. Kemajuan teknologi, baik dalam bentuk peralatan, seperti traktor dan pompa air, maupun input atau sarana produksi (saprodi) pertanian (pupuk, pestisida/herbisida) dari bahan kimia bermanfaat untuk meningkatkan frekuensi tanam, namun hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan air dan limbah pertanian yang mengakibatkan meningkatnya pencemaran air. Selain itu, perubahan ini tidak prospektif karena menjadikan ketergantungan masyarakat petani kepada pemerintah dan input pertanian yang tidak ramah lingkungan. Kegiatan pembangunan dan modernisasi teknologi memberikan harapan akan peningkatan kesejahteraan |