Buku yang berjudul al- munazir adalah karya terbesar dari

Buku yang berjudul al- munazir adalah karya terbesar dari

Fisikawan besar yang hidup di abad pertengahan dengan penemuannya yang luar biasa, menghabiskan satu dekade di penjara dan pernah pada suatu ketika pura-pura sakit jiwa untuk keluar dari tempat yang mengekangnya. Abu Ali al-Hassan ibn al-Haytham (Bahasa Latin : Alhazen) lahir di Basra, sekarang di Irak selatan, tahun 965. Karyanya yang terbesar dan paling terkenal, tujuh jilid Kitab Optik (Book of Optics) – Kitab Al Manathir, dipengaruhi dari banyak disiplin ilmu, dari teori persepsi mata (yang dilihat mata) sampai dengan teori perilaku manusia di abad pertengahan, baik di Timur dan Barat, selama lebih dari 600 tahun. Setelahnya, banyak sarjana Eropa dan beberapa polymath (seseorang yang menguasai beberapa disiplin ilmu) yang mengikuti pemikiran Ibn al-Haytham, dari Robert Grosseteste dan Leonardo da Vinci sampai Galileo Galilei, René Descartes, Johannes Kepler dan Isaac Newton. Buku tentang optic dari Ibn al-Haytham mempengaruhi buku karya Newton dengan judul yang sama, yang diterbitkan 700 tahun kemudian.

Ketertarikan pada bidang optik sudah ada sejak jaman dahulu. Orang Babelonia, Mesir dan Asyur menggunakan lensa-lensa kuarsa yang dipoles. Prinsip dasar optik yang ditetapkan oleh Plato dan Euclid. Mereka memasukkan ide-ide seperti propagasi (penyebaran) cahaya sejajar garis lurus, dan hukum sederhana refleksi (pantulan) dari cermin. Kontribusi penting dari dunia Islam berasal dari sarjana Arab abad kesembilan Ya’qub bin Ishaq al-Kindi.

Sebagai pemuda, Ibn al-Haytham menerima pendidikan yang sangat baik dan secara luas tercatat sebagai ahli matematika dan ilmu pengetahuan. Bosan dengan tugas-tugas administrasi saat bekerja di pemerintahan di Kekaisaran Islam – yang pada saat itu membentang dari India ke Spanyol – ia dipecat karena sakit jiwa (sebagian berpendapat, Ibn al-Haytham hanya pura-pura sakit jiwa).

Suatu ketika di dekade pertama milenium baru, ia pernah mengusulkan sebuah proyek ambisius yaitu bendungan di sungai Nil. Dia diundang ke Mesir oleh Khalifah Fatimiyah al-Hakim bi’amr Illah. Namun, saat mengetahui tugas-tugas yang harus dilakukan, Ibn al-Haytham menyadari bahwa dia tidak akan sanggup mengerjakannya. Karena itu dia dimasukkan ke penjara di Kairo karena dianggap membuang-buang waktu khalifah.

Selama di penjara, Ibn al-Haytham mempunyai banyak waktu untuk berpikir dan menulis, terutama pada bidang optik. Setelah dibebaskan sekitar tahun 1020, ia mulai melakukan serangkaian percobaan termasuk percobaan pada sifat cahaya. Misalnya, dengan kamera obscura (kamera lubang jarum), ia membuktikan bahwa gerak cahaya adalah sejajar dengan garis lurus, ia juga menghitung bidang catoptrics (refleksi cahaya oleh cermin) dan dioptrics (pembiasan cahaya melalui lensa). Dari percobaan-percobaan yang dilakukan tersebut lahirlah teori-teori yang dijelaskan dalam Kitab Optik.

Risalah ini dapat dianggap sebagai buku teks ilmu pengetahuan. Di dalamnya, Ibn al-Haytham memberikan deskripsi rinci dari percobaannya, seperti menjelaskan bagaimana arah cahaya yang dipantulkan dari permukaan polos dan melengkung. Dia juga menjelaskan alat-alat yang digunakan, cara dia meletakkan alat-alat tersebut (posisi alat), cara pengukuran dan hasilnya. Dia kemudian menggunakan pengamatan ini untuk membuktikan teorinya, yang ia kembangkan dengan model geometris (behubungan dengan geometri, cabang matematika yang bersangkutan dengan bentuk, ukuran, posisi objek, sifat ruang). Dia bahkan meminta orang lain untuk mengulangi percobaannya untuk membuktikan kesimpulannya. Banyak cendekiawan ilmu pengetahuan menganggap Ibn al-Haytham sebagai pelopor dari metode ilmu pengetahuan modern.

Dari 7 jilid Kitab Optik dapat dibagi menjadi Buku I, II dan III, yang menjelaskan teori visi dan fisiologi terkait mata dan psikologi persepsi; dan Buku IV sampai VII, yang menjelaskan pengetahuan dasar dari physical optics (bidang yang mempelajari gerak cahaya yang mengalami gangguan, difraksi, polarisasi dan fenomena lainnya). Karyanya yang paling terkenal untuk ilmu pengetahuan adalah tentang mata (indera penglihatan).

Pada masa itu, teori optik Ibn al-Haytham bertentangan dengan pemahaman para cendekiawan yang lain. Orang Yunani memiliki beberapa teori. Di abad kelima sebelum masehi, Empedocles berpendapat bahwa terdapat cahaya khusus yang keluar dari mata dan mengenai sebuah objek, sehingga membuatnya terlihat. Ini dikenal sebagai teori pancaran sinar dari mata (the emission theory of vision). Kemudian ‘disempurnakan’ oleh Plato, yang menjelaskan bahwa untuk melihat maka dibutuhkan juga cahaya eksternal. Aristoteles, murid Plato, menyebutkan bahwa alih-alih mata mengeluarkan cahaya untuk melihat, objek akan ‘mempengaruhi’ udara di antara objek dan mata, sehingga memicu penglihatan. Filsuf lain sekitar waktu tersebut, termasuk Epicurus, berusaha membuktikan teori “memasukkan cahaya” pada penglihatan (cahaya luar yang masuk mata), teori Plato tersebut berdasarkan hitungan matematis oleh Euclid, yang menjelaskan pancaran cahaya yang masuk dalam sel retina mata. Beberapa abad kemudian, Ptolemy memperluas ide ini.

Pemikiran cendekiawan Islam seperti al-Kindi dan Hunayn ibn Ishaq lebih disukai karena mengkombinasikan teori pancaran sinar dari mata dan teori cahaya luar yang masuk ke mata. Mereka mengemukakan bahwa mata mengirimkan cahaya ke objek yang diamati, yang kemudian memantulkan cahaya kembali ke mata.

Seorang jenius bernama Ibn al-Haytham akhirnya menyelesaikan masalah tersebut. Dia berargumen bahwa jika kita melihat karena adanya cahaya yang dipancarkan dari mata ke obyek (Plato dan Euclid, “pancaran cahaya”), maka bisa jadi objek mengirimkan kembali sinyal ke mata atau bisa juga tidak. Jika tidak, bagaimana mata bisa membedakan apakah cahaya dari mata telah sampai pada objek ? Cahaya harus datang kembali ke mata, dan ini adalah cara bagaimana kita melihat. Tapi jika demikian, apa gunanya ada cahaya yang dipancarkan oleh mata ? Cahaya bisa datang langsung dari objek jika objek tersebut mempunyai cahaya, jika tidak, cahaya bisa dipantulkan objek dimana cahaya dipancarkan oleh sumber lain. Cahaya dari mata, menurut Ibn al-Haytham, merupakan bagian yang tidak diperlukan.

Dia juga telah melakukan penelitian lebih jauh dari siapa pun untuk memahami fisika yang mendasari hukum pembiasan cahaya (refraction). Dia berargumen bahwa kecepatan cahaya adalah terbatas dan beragam di media yang berbeda, dan ia menggunakan ide tersebut untuk merumuskan arah rambat cahaya ke dalam komponen vertikal dan horisontal (cahaya yang masuk ke mata harus secara tegak lurus). Dia menempatkan semua pemikirannya secara geometris dan memperkenalkan banyak ide-ide baru, seperti studi tentang bagaimana atmosfer memantulkan cahaya dari benda-benda angkasa.

Cendekiawan Islam yang ada setelahnya, termasuk cendekiawan di abad ketiga belas-Persia Qutb al-Din al-Shirazi dan Kamal al-Din al-Farisi, mempelajari lebih jauh tentang Optik. Al-Farisi, yang menulis The Revision of the Optics, revisi tentang optik (Tanqih al-Manazir), menggunakan pendekatan matematika untuk menjelaskan tentang pelangi (disekitar waktu yang sama, secara terpisah, Cendekiawan Jerman Theodoric dari Freiberg, juga melakukan penelitian tentang pelangi).

“Banyak cendekiawan mengakui Ibn al-Haytham sebagai pelopor metode ilmu pengetahuan modern.”

Kitab Optik pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada akhir abad kedua belas atau awal abad ketiga belas, seperti De Aspectibus. Filsuf dan pengamat perilaku dari Inggris, Roger Bacon, kemudian membuat ringkasan isi Kitab Optik, seperti yang dilakukan cendekiawan Polandia, Witelo, dimasa yang sama. Buku dari Roger Bacon tersebut dengan cepat menjadi rujukan ilmu optik di seluruh Eropa. Di antara banyak pemikiran dari Ibn al-Haytham yang diterjemahkan dalam Bahasa latin adalah cahaya murni (cahaya tunggal) itu tidak terlihat, dan bahwa fungsi cahaya murni adalah memungkinkan kita untuk melihat warna. Bahkan Kepler, yang mempelajari karya Ibn al-Haytham, berpendapat ; dengan pemikiran Newton lah diketahui bahwa cahaya terdiri dari warna yang berbeda (banyak pemikiran yang keliru lainnya di bidang optik termasuk hukum pembiasan cahaya dari Ptolemy, dan pemahaman yang salah bahwa pantulan cahaya adalah bentuk yang lebih kuat dari pembiasan cahaya).

Karya Ibn al-Haytham tegas dipengaruhi teori perspektif yang berkembang di era gerakan ilmu pengetahuan dan budaya yang berkembang di eropa pada periode kira-kira dari abad ke-14 sampai abad ke-17 (Renaissance European). De aspectibus diterjemahkan ke dalam bahasa Italia pada abad keempat belas, sehingga dapat dipelajari praktisi seperti Florentine (ahli seni/budaya), Leon Battista Alberti (arsitek, penulis 1.435 risalah On Painting – Della pittura), Lorenzo Ghiberti (pematung) dan Piero della Francesca (pelukis). Mereka menggunakan pemikiran Ibn al-Haytham untuk menciptakan ilusi tiga dimensi di atas kanvas dan media lainnya. Seniman-seniman tersebut berusaha memahami hal yang nyata dan sesuatu yang hanya terlihat oleh mata.

Dewasa ini, kita menggunakan sinar laser untuk memanipulasi atom, merangsang sel otak dengan cahaya atau menyampaikan informasi secara elektromagnet, dan yang sangat perlu dipahami bahwa dasar-dasar bidang ini termuat sekitar 1.000 tahun yang lalu oleh Ibn al-Haytham.

By Jim Al-Khalili, published in Nature, February 11th 2015.

Source : Islam & Science, Book Of Optic Ibn Al Haytham