Ciri utama yang menandai kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi parlemeter adalah

Ciri utama yang menandai kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi parlemeter adalah

Ciri utama yang menandai kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi parlemeter adalah
Lihat Foto

Kemendikbud RI

Dekrit Presiden 1959.

KOMPAS.com - Indonesia adalah negara demokrasi yang dapat dibuktikan dari sudut pandang normatif dan empirik.

Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, bukti empirik bahwa Indonesia adalah negara demokrasi bisa dilihat dari alur sejarah politik di Indonesia, yaitu:

  1. Pemerintahan masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949).
  2. Pemerintahan parlementer (1949-1959).
  3. Pemerintahan demokrasi terpimpin (1959-1965).
  4. Pemerintahan orde baru (1965-1998).
  5. Pemerintahan orde reformasi (1998-sekarang).

Berikut ini pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada masa pemerintahan parlementer:

Baca juga: Prinsip-prinsip Demokrasi

Demokrasi Indonesia periode parlementer (1949-1959)

Periode kedua pemerintahan negara Indonesia merdeka berlangsung dalam rentang waktu antara 1949-1959.

Pada periode ini terjadi dua kali pergantian undang-undang dasar, yaitu:

  • Pergantian UUD 1945 dengan Konstitusi RIS pada rentang waktu 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950.

Dalam rentang waktu ini, bentuk negara Indonesia berubah dari kesatuan menjadi serikat. Sistem pemerintahan berubah dari presidensil menjadi quasi parlementer.

  • Pergantian Konstitusi RIS dengan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 pada rentang waktu 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959.

Periode pemerintahan ini bentuk negara kembali berubah menjadi negara kesatuan. Sistem pemerintahan menganut sistem parlementer.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada periode 1949-1959, negara Indonesia menganut demokrasi parlementer.

Baca juga: Sistem Demokrasi di Indonesia

Masa kejayaan demokrasi Indonesia

Masa demokrasi parlementer adalah masa kejayaan demokrasi di Indonesia. Karena hampir perwujudan semua elemen demokrasi dapat ditemukan dalam kehidupan politik di Indonesia.

Berikut ini enam indikator ukuran kesuksesan pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan parlementer:

Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen berperan tinggi dalam proses politik.

Perwujudan kekuasaan parlemen terlihat dari sejumlah mosi tidak percaya pada pihak pemerintah.

Akibatnya kabinet harus meletakkan jabatan meski pemerintahan baru berjalan beberapa bulan. Seperti Djuanda Kartawidjaja diberhentikan dengan mosi tidak percaya dari parlemen.

Kedua, akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi.

Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai alat kontrol sosial.

Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini merupakan contoh konkret tingginya akuntabilitas.

Baca juga: Karakter Utama Demokrasi Pancasila

Ketiga, kehidupan kepartaian memperoleh peluang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal.

Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem multipartai.

Pada periode ini 40 partai politik terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses rekrutmen, baik pengurus atau pimpinan partai maupun para pendukungnya.

Campur tangan pemerintah dalam hal rekrutmen tidak ada. Sehingga setiap partai bebas memilih ketua dan segenap anggota pengurusnya.

Keempat, sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali pada 1955, tetapi Pemilihan Umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.

Kompetisi antar partai politik berjalan sangat intensif dan fair. Setiap pemilih dapat menggunakan hak pilih dengan bebas tanpa ada tekanan atau rasa takut.

Kelima, masyarakat umumnya dapat merasakan hak-hak dasar dan tidak dikurangi sama sekali.

Meski tidak semua warga negara dapat memanfaatkan hak-hak dasar dengan maksimal.

Tetapi hak untuk berserikat dan bekumpul dapat diwujudkan, dengan terbentuknya sejumlah partai politik dan organisasi peserta Pemilihan Umum.

Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dirasakan dengan baik. Masyarakat bisa melakukan tanpa rasa takut menghadapi risiko, meski mengkritik pemerintah dengan keras.

Contoh Dr. Halim, mantan Perdana Menteri, menyampaikan surat terbuka dengan kritikan sangat tajam terhadap sejumlah langkah yang dilakukan Presiden Soekarno. Surat tersebut tertanggal 27 Mei 1955.

Keenam, dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah yang memperoleh otonomi yang cukup.

Daerah-daerah bahkan memperoleh otonomi seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak, dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

tirto.id - Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan di mana parlemen negara punya peran penting. Pada sistem ini, rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur urusan politik dan boleh membuat partai. Selain itu, para anggota kabinet juga diperbolehkan mengkritik pemerintah jika tidak setuju terhadap sesuatu.

Negara Indonesia ternyata pernah menganut sistem ini mulai 17 Agustus 1945 sampai 5 Juli 1959. Tokoh-tokoh Indonesia yang mempercayai dibutuhkannya Demokrasi Parlementer atau dikenal Demokrasi Liberal di antaranya, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.

Menurut keduanya, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.

Dengan kata lain, Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122) menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.

Terdapat sejarah tentang kelahiran paham Demokrasi Parlementer yang dikatakan berawal dari Demokrasi secara umum di salah satu kota polis, Athena, di zaman Yunani Kuno, hingga meluas ke Eropa, dan akhirnya dikenal dunia. Selain itu, ada juga ciri-ciri, kekurangan, dan kelebihan dari sistem tersebut.

Ciri utama yang menandai kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi parlemeter adalah

Sejarah Demokrasi Parlementer

Cikal-bakal sistem Demokrasi Parlementer terlacak di zaman peradaban Yunani Kuno, tepatnya di sebuah kota polis yang disebut Athena. Dalam makalah Demokrasi, Dulu, Kini, dan Esok (2009) karya Wasino, terungkap bahwa polis dikenal saat itu sebagai tempat pusat ilmu dan pembelajaran.

Di sana, pembuatan keputusan terkait masalah masyarakat dan kehidupan kota dilakukan dengan mencari suara terbanyak (musyawarah). Akan tetapi, seiring hilangnya peradaban Yunani Kuno, sistem demokrasi ini juga turut memudar (Faud Hasan, Bab Pengantar, dalam Plato, ApologiaL Pidato Sicrates yang diabadikan Plato, 1986:29-31).

Di zaman abad pertengahan yang beralih ke modern, Eropa mengalami masa Reinesance atau zaman pencerahan. Demokrasi yang semula kehilangan eksistensi mulai digali kembali di daratan Eropa. Bukan hanya itu, bahkan pemikiran sistem tersebut menjadi unsur fundamental yang dikatakan sebagai pedoman hidup beberapa tokoh.

Simon Petrus L. Tjahjadi dalam Petualangan Intelektual (2014:271-277) mengungkapkan, tokoh yang terkenal dalam sistem demokrasi adalah John Locke, Rossoeau, dan Montesque. Teori yang didasari oleh para filsuf Yunani Kuno saat itu dirancang ulang sedemikian rupa oleh mereka hingga melahirkan berbagai macam aliran, salah satunya demokrasi parlementer.

Setelah itu, banyak negara Eropa dan dunia yang menggunakan Demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Di Indonesia, Mohammad Hatta mengamini bahwa sistem dengan memperhatikan suara masyarakat dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah negara.

Misalnya dalam bidang politik, ia menekankan adanya musyawarah. Di ranah ekonomi, ia menyarankan dibutuhkannya gerakan gotong royong membangun ekonomi rakyat bersama.

Sementara itu, untuk bidang sosial, ia menyarankan untuk memberi jaminan terhadap perkembangan SDM. Singkatnya, rakyat diprioritaskan sejahtera ketika menjadi bagian negara.

Ciri-ciri Sistem Parlementer

1. Pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri dan presiden atau raja berperan sebagai kepala negara.

2. Lembaga eksekutif, presiden, dipilih oleh lembaga legislatif. Lalu, raja dipilah berdasarkan peraturan atau undang-undang.

3. Perdana menteri punya hak istimewa (prerogatif) yang bisa mengangkat dan menurunkan menteri.

4. Menteri terbatas tanggung jawabnya pada lembaga legislatif.

5. Lembaga eksekutif bertanggung jawab atas kekuasaan legislatif.

6. Lembaga legislatif bisa menurunkan lembaga eksekutif.

7. Parlemen dianggap penguasa utama negara.

Kekurangan Demokrasi Parlementer

1. Jabatan kuasa eksekutif (kabinet) bergantung pada dukungan parlemen yang berakibat suatu waktu bisa dijatuhkan parlemen.

2. Periode pemerintahan eksekutif tidak selalu berjalan sesuai tergantung suara dari parlemen.

3. Waktu pelaksanaan Pemilu (Pemilihan Umum) selalu berubah-ubah.

4. Eksekutif berpotensi mengendalikan parlemen ketika mayoritas pendukung atau teman partainya ternyata banyak yang menjadi parlemen.

5. Parlemen dijadikan wadah kaderisasi para calon eksekutif. Mereka dimanfaatkan untuk mengisi jabatan eksekutif dan menteri dengan pengalamannya selama parlemen.

Kelebihan Demokrasi Parlementer

1. Pembentukan kebijakan dapat dilakukan dengan cepat karena adanya musyawarah antara eksekutif dan legislatif yang merupakan satu bagian partai.

2. Pelaksanaan, tanggung jawab dan pembuatan kebijakan jelas.

3. Pengawasan parlemen terhadap kabinet ketat sehingga mengurangi potensi kesalahan dalam pelaksanaan pemerintahan.

4. Keputusan jika terjadi suatu masalah dapat didapatkan tanpa memakan banyak waktu.

Baca juga: Sejarah Demokrat: Pendiri & Isu di Balik Kudeta yang Diungkap AHY

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI PARLEMENTER atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/ylk)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yulaika Ramadhani
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates