Dalam PERSPEKTIF Islam hukum penerapan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah adalah

            Pasal 1 Undang–Undang No 16 Tahun 2009 mengatakan bahwa Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang–Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan di gunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Sementara dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.

Sementara dalam Islam Pajak dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan nama Dharibah. Dalam islam Dharibah salah satu sumber pendapatan negara hanya sebagai solusi dalam keadaan “darurat”, yaitu dimana sumber pendapatan yang lain tidak dapat mencukupi kebutuhan baitul mal kas Negara, tetapi jika baitul mal (kas negara) sudah mencukupi maka pajak (Dharibah) harus dihapus. Hal yang serupa dengan dharibah adalah Kharaj. Sedangkan Kharaj berbeda dengan Dharibah, karena Kharaj adalah pajak yang obyeknya adalah tanah taklukan dan subyeknya adalah non-muslim.

Jika menurut Hukum Positif Indonesia telah jelas mengatakan bahwasanya Pajak itu Wajib bagi setiap Warga Negara pribadi maupun suatu badan. Sementara dalam Hukum Islam mengatakan bahwasanya Pajak itu diberlakukan ketika kas Negara kosong dan sebagai solusi dalam keadaan darurat, dan apabila kas negara sudah mencukupi, maka Pajak tersebut harus di hapuskan.

Sebagai seorang muslim, kami memandang perlunya Pajak ini berlaku di Indonesia, karena Indonesia saat ini memiliki begitu banyak hutang. Akan tetapi, masih banyak para oknum yang enggan untuk membayar Pajak sebagaimana mestinya, bahkan ada yang memanfaatkan momentum ini untuk melakukan Korupsi terhadap uang Pajak. Untuk itu, perlu sekiranya untuk memberikan Hukuman yang seberat–beratnya bagi para oknum yang enggan membayar Pajak dan melakukan Korupsi.

Sebagai warga Jawa Barat, setidaknya ada beberapa jenis pajak (daerah) yang wajib kita tunaikan. Antara lain pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dst.

Pertanyaannya kemudian, sebagai provinsi terbesar jumlah penduduk beragama Islam, kita sebagai warga Jabar ingin mendengar seperti apakah pandangan agama kita terkait pajak ini?

Secara garis besar, mengacu berbagai literatur yang dihimpun, ada pendapat mayoritas (jumhur) ulama yang umumnya mendukung/mempebolehkan pajak dan tentu saja pendapat minoritas.

Pun, kedua opini ini bersandar pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi, “Tidak akan masuk surga orang yang memungut mukus” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah).

Mukus diartikan sebagi pungutan yang mendzalimi. Secara etimologis, mukus artinya pengurangan dengan penzhaliman. Yakni segala pungutan (uang) yang diambil makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang dengan cara-cara zhalim atau pemaksaan.

Istilah lain yang terkait dengannya adalah usyr yakni pajak 10% atau cukai sebesar 10% atas suatu komoditas.

Nah, jumhur ulama berpendapat mukus ataupun ‘usyr tidak dapat digeneralisasikan sebagai bea cukai apalagi pajak. Jumhur ulama Ahlul Sunnah wal Jama’ah dari empat madzhab, Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali, sepakat pajak tidak dapat serta merta di-qiyas-kan (dianalogikan) sebagai mukus.

Jumhur sepakat bahwa pajak yang dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas dari mulai membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dst, adalah bukan mukus.

Karenanya, halal untuk dipungut/dipotong sebagai pajak oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat juga.

Bahkan mulai masa kepemerintahan khalifah kedua Islam, Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab ra., pemerintah negara Islam saat itu memungut ‘usyr alias pajak 10% atau cukai sebesar 10% atas suatu komoditas demi kemaslahatan masyarakat.

Abdur Razaq dalam Mushannaf Abd ar-Razaq meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar ra. yang menuturkan, ayahnya yakni Umar bin Khaththab Ra. memungut pajak dari Nabth (gandum dan minyak zaitun) sebesar ½ usyr (5%) agar mereka lebih banyak membawanya ke Madinah.

Sayyidina ‘Umar bin Khaththab ra juga memungut usyr (10%) dari komoditas al-Quthniyah (biji-bijian seperti Adas, Buncis, dsb). Peristiwa fakta sejarah itu juga diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syai’bah di dalam Mushannaf Ibn Abi Syai’bah dari Ubaydullah bin Abdullah ra.

Ulama Madzhab Syafi’i, seperti Imam al-Ghazali, menyatakan, memungut uang (pajak) selain zakat pada rakyat diperbolehkan jika memang diperlukan dan kas di baitul mal/kas negara tidak lagi mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara, baik untuk perang atau keperluan negara lainnya. Namun jika masih ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.

Kemudian jumhur ulama Madzhab Hanafi, seperti Muhammad ‘Uma’im al-Barkati, menyamakan pajak dengan naibah. Ia berpendapat, naibah (pajak) boleh jika memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.

Lalu jumhur ulama Madzhab Maliki, seperti Imam Al-Qurtubi, mengemukakan, ulama Madzhab Maliki sepakat dibolehkannya menarik pungutan (pajak) selain zakat apabila dibutuhkan.

Selanjutnya jumhur ulama Madzhab Hanbali, seperti Ibnu Taimiyah, membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah. Jumhur ulama Madzhab Hanbali menilai pajak yang diambil dari orang-orang yang mampu secara ekonomis merupakan jihad harta.

Sementara ulama-ulama kontemporer seperti Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi berpendapat, pajak dihalalkan dalam Islam. Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar V/39 menafsirkan Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat ke-29 dengan penjelasan sebagai berikut, bahwa : “… adanya kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat) untuk kebaikan”.

Yusuf al-Qardhawi dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077) menjelaskan negara terkadang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunannya. Untuk itu, harud dikumpulkan pajak sebagai salahsatu bentuk jihad harta.

Sementara Abu Zahrah menuturkan, bahwa pajak tidak ada pada era Nabi saw, namun itu bukan karena pajak diharamkan dalam Islam, tapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi.

Adapun pendapat minoritas umumnya berasal dari ulama Madzhab Wahabi seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Mereka menyamakan mukus ataupun ‘usyr (artinya sepersepuluh) sebagai pajak atau cukai sehingga ulama Wahabi mengharamkan pajak dan bea cukai, sekaligus menfatwakan petugas pajak/bea cukai adalah pelaku dosa besar!

Tentu saja, sebagai warga dari provinsi dengan penganut ahlu sunnah waljamaah terbesar, terutama Mahzab Syafi’i, sudah selayaknya kita mengikuti pendapat jumhur ulama tersebut di atas.

Sebagai salah satu bentuk jihad harta, ditambah tidak ada praktek dzalim saat pemungutan pajak, sudah selayaknya kita membayar pajak guna menciptakan pertumbuhan pembangunan dan menjaga stabilitas perekonomian negara. ***