Dalam qs. al baqarah ayat 275 tersebut dapat dipahami bahwa hukum jual beli itu pada umumnya adalah

(Orang-orang yang memakan riba), artinya mengambilnya. Riba itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya, (tidaklah bangkit) dari kubur-kubur mereka (seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan disebabkan penyakit gila) yang menyerang mereka; minal massi berkaitan dengan yaquumuuna. (Demikian itu), maksudnya yang menimpa mereka itu (adalah karena), maksudnya disebabkan mereka (mengatakan bahwa jual-beli itu seperti riba) dalam soal diperbolehkannya. Berikut ini kebalikan dari persamaan yang mereka katakan itu secara bertolak belakang, maka firman Allah menolaknya, (padahal Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa yang datang kepadanya), maksudnya sampai kepadanya (pelajaran) atau nasihat (dari Tuhannya, lalu ia menghentikannya), artinya tidak memakan riba lagi (maka baginya apa yang telah berlalu), artinya sebelum datangnya larangan dan doa tidak diminta untuk mengembalikannya (dan urusannya) dalam memaafkannya terserah (kepada Allah. Dan orang-orang yang mengulangi) memakannya dan tetap menyamakannya dengan jual beli tentang halalnya, (maka mereka adalah penghuni neraka, kekal mereka di dalamnya).

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu karena mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Setelah Allah menuturkan perihal orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, mengeluarkan zakatnya, lagi suka berbuat kebajikan dan memberi sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan, juga kepada kaum kerabatnya dalam semua waktu dan dengan berbagai cara, maka Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan perihal orang-orang yang memakan riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, serta melakukan berbagai macam usaha syubhat. Melalui ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan keadaan mereka kelak di saat mereka dibangkitkan dari kuburnya, lalu berdiri menuju tempat dihimpunnya semua makhluk. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari kuburnya pada hari kiamat nanti, melainkan seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi berdiri mereka pada saat itu sangat buruk. Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang yang memakan riba (melakukan riba) dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Auf ibnu Malik, Sa'id ibnu Jubair, As-Suddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan. Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abbas, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275), Yakni kelak pada hari kiamat. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abu Nujaih dari Mujahid, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadits Abu Bakar ibnu Abu Maryam dari Damrah ibnu Hanif, dari Abu Abdullah ibnu Mas'ud, dari ayahnya, bahwa ia membaca ayat berikut dengan bacaan berikut tafsirnya, yaitu: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakil gila, kelak di hari kiamat. (Al-Baqarah: 275) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Rabi'ah ibnu Kalsum, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kelak di hari kiamat dikatakan kepada pemakan riba, "Ambillah senjatamu untuk perang," lalu ia membacakan firman-Nya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakil gila. (Al-Baqarah: 275) Demikian itu terjadi ketika mereka bangkit dari kuburnya. Di dalam hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang mengisahkan tentang hadits Isra, seperti yang disebutkan di dalam surat Al-Isra", dinyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam beliau melakukan Isra melewati suatu kaum yang mempunyai perut besar-besar seperti rumah. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada Jibril) tentang mereka, lalu dikatakan kepadanya bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba. Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam hadits yang panjang. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Ibnu Abu Syaibah. telah menceritakan kepada kami Al-Hasan Ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Abus Silt, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Aku bersua di malam aku menjalani Isra dengan suatu kaum yang perut mereka sebesar-besar rumah, di dalam perut mereka terdapat ular-ular yang masuk dari luar perut mereka. Maka aku bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka adalah para pemakan riba." Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hasan dan Affan, keduanya dari Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama, tetapi di dalam sanadnya terkandung kelemahan. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Samurah ibnu Jundub di dalam hadisul manam (mengenai mimpi) yang cukup panjang. Di dalamnya disebutkan bahwa kami menjumpai sebuah sungai, yang menurut dugaanku perawi mengatakan bahwa warna airnya merah seperti darah. Tiba-tiba di dalam sungai itu terdapat seorang lelaki yang sedang berenang, sedangkan di pinggir sungai terdapat lelaki lain yang telah mengumpulkan batu-batuan yang banyak di dekatnya. Lalu lelaki yang berenang itu menuju ke arah lelaki yang di dekatnya banyak batu. Ketika lelaki yang berenang itu mengangakan mulutnya, maka lelaki yang ada di pinggir sungai menyumbatnya dengan batu. Lalu perawi menuturkan dalam tafsir hadits ini bahwa lelaki yang berenang itu adalah pemakan riba. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, sesungguhnya mereka menghalalkan hal tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah dalam syariat-Nya, dan hal ini bukanlah analogi mereka yang menyamakan riba dengan jual beli, karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli yang disyariatkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an. Sekiranya hal ini termasuk ke dalam pengertian kias (analogi), niscaya mereka mengatakan, "Sesungguhnya riba itu seperti jual beli," tetapi ternyata mereka mengatakan: sesungguhnya jual beli sama dengan riba. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, jual beli itu sama dengan riba; mengapa yang ini diharamkan, sedangkan yang itu tidak? Hal ini jelas merupakan pembangkangan dari mereka terhadap hukum syara'. Yakni yang ini sama dengan yang itu, tetapi yang ini dihalalkan dan yang itu (riba) diharamkan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah: 275) Makna ayat ini dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan dari kalam sebelumnya untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana yang tiada akibat bagi keputusan hukum-Nya, tidak dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka pasti dimintai pertanggungjawabannya. Dia Maha Mengetahui semua hakikat segala perkara dan kemaslahatannya; mana yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, hal itu dihalalkan-Nya bagi mereka; dan mana yang membahayakan mereka, maka Dia melarang mereka darinya. Dia lebih belas kasihan kepada mereka daripada belas kasih seorang ibu kepada bayinya. Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, barang siapa yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita itu kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan sebelum ada larangan. Dikatakan demikian karena firman-Nya: Allah memaafkan apa yang telah lalu. (Al-Maidah: 95) Seperti apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kemenangan atas kota Mekah, yaitu: Semua riba Jahiliah telah diletakkan di bawah kedua telapak kakiku ini (dihapuskan), mula-mula riba yang kuhapuskan adalah riba Al-Abbas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengembalikan bunga yang diambil mereka di masa Jahiliah, melainkan memaafkan apa yang telah lalu. Seperti juga yang disebutkan di dalam firman-Nya: maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (Al-Baqarah: 275) Menurut Sa'id ibnu Jubair dan As-Suddi, baginya apa yang telah lalu dari perbuatan ribanya dan memakannya sebelum datang larangan dari Allah subhanahu wa ta’ala Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah membacakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Jarir ibnu Hazm, dari Abu Ishaq Al-Hamdani, dari Ummu Yunus (yakni istrinya yang bernama Aliyah binti Abqa'). Ia menceritakan bahwa Ummu Bahnah (ibu dari anak Zaid ibnu Arqam) pernah mengatakan kepada Siti Aisyah , istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Wahai Ummul Mukminin, kenalkah engkau dengan Zaid ibnu Arqam?" Siti Aisyah menjawab, "Ya." Ia berkata, "Sesungguhnya aku menjual seorang budak kepadanya seharga delapan ratus secara 'ata. Lalu ia memerlukan dana, maka aku kembali membeli budak itu dengan harga enam ratus sebelum tiba masa pelunasannya." Siti Aisyah menjawab, "Seburuk-buruk jual beli adalah apa yang kamu lakukan, alangkah buruknya jual beli kamu. Sampaikanlah kepada Zaid, bahwa semua jihadnya bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan dihapuskan, dan benar-benar akan dihapuskan (pahalanya) jika ia tidak mau bertobat." Ummu Yunus melanjutkan kisahnya, bahwa ia berkata kepada Siti Aisyah , "Bagaimanakah pendapatmu jika aku bebaskan yang dua ratusnya, lalu aku menerima enam ratusnya?" Siti Aisyah menjawab, "Ya, boleh." Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (sebelum datang larangan). (Al-Baqarah: 275) Asar ini cukup terkenal, dan dijadikan dalil bagi orang yang mengharamkan masalah riba 'aini, selain dalil-dalil lainnya berupa hadits-hadits yang disebutkan di dalam kitab mengenai hukum-hukum. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Orang yang kembali. (Al-Baqarah: 275) Yakni kembali melakukan riba sesudah sampai kepadanya larangan Allah, berarti ia pasti terkena hukuman dan hujah mengenainya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 275) Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Mu'in, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja Al-Makki, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275); Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang tidak mau meninggalkan (berhenti dari) mukhabarah (bagi hasil), maka diserukan perang terhadapnya dari Allah dan Rasul-Nya. Hadits riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Abu Khaisam, dan ia mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Muslim, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Mukhabarah, juga dikenal dengan istilah muzara'ah, ialah menyewa lahan dengan bayaran sebagian dari apa yang dihasilkan oleh lahan itu. Muzabanah ialah membeli buah kurma gemading yang ada di pohonnya dengan pembayaran berupa buah kurma yang telah dipetik (masak). Muhaqalah yaitu membeli biji-bijian yang masih hijau dengan biji-bijian yang telah masak (ijon). Sesungguhnya semuanya dan yang semisal dengannya diharamkan tiada lain untuk menutup pintu riba, mengingat persamaan di antara kedua barang yang dipertukarkan tidak diketahui karena belum kering. Karena itulah para ahli fiqih mengatakan bahwa persamaan yang tidak diketahui sama halnya dengan mufadalah (ada kelebihan pada salah satu pihaknya). Berangkat dari pengertian inilah maka mereka mengharamkan segala sesuatu yang menjurus ke arah riba dan memutuskan semua sarana yang membantunya, sesuai dengan pemahaman mereka. Perbedaan pendapat dan pandangan mereka dalam masalah ini berpangkal dari ilmu yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada masing-masing dari mereka, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan di atas setiap orang yang berilmu ada yang lebih berilmu. (Yusuf: 76) Bab "Riba" merupakan bab paling sulit menurut kebanyakan ahli ilmu agama. Amirul Mukminin Umar ibnul Khattab pernah mengatakan, "Seandainya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu keterangan yang memuaskan kepada kami tentang masalah jad (kakek) dan kalalah serta beberapa bab yang menyangkut masalah riba. Yang dimaksudnya ialah beberapa masalah yang di dalamnya terdapat campuran masalah riba." Hukum syariat telah tegas-tegas menyatakan bahwa semua sarana yang menjurus ke arah hal yang diharamkan hukumnya sama haramnya; karena semua sarana yang membantu ke arah hal yang diharamkan hukumnya haram. Sebagaimana hal yang menjadi kesempurnaan bagi perkara yang wajib, hukumnya wajib pula. Di dalam hadits Shahihain, dari An-Nu'man ibnu Basyir, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram jelas (pula), sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat. Maka barang siapa yang memelihara dirinya dari hal-hal yang syubhat, berarti dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat, berarti dia telah terjerumus ke dalam hal yang haram. Perihalnya sama dengan seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tempat yang terlarang, maka sulit baginya menghindar dari tempat yang terlarang itu. Di dalam kitab-kitab sunnah disebutkan dari Al-Hasan ibnu Ali , bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tinggalkanlah hal yang meragukanmu untuk melakukan hal yang tidak kamu ragukan. Di dalam hadits lain disebutkan: Dosa ialah sesuatu yang mengganjal di hati(mu) dan jiwa merasa ragu terhadapnya serta kamu tidak suka bila orang lain melihatnya. Di dalam riwayat yang lain disebutkan: Mintalah fatwa (tanyakanlah) kepada hatimu, sekalipun orang-orang meminta fatwa kepadamu dan mereka memberikan fatwanya kepadamu. Ats-Tsauri meriwayatkan dari ‘Ashim, dari Asy-Sya'bi, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan: Wahyu yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayat mengenai riba. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari melalui Qubaisah, dari Ibnu Abbas. Ahmad meriwayatkan dari Yahya, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Umar pernah mengatakan bahwa ayat yang paling akhir diturunkan ialah ayat yang mengharamkan riba. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keburu wafat sebelum beliau menafsirkannya kepada kami. Maka tinggalkanlah riba dan hal yang meragukan. Ahmad mengatakan bahwa as'ar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Ibnu Mardawaih melalui jalur Hayyaj ibnu Bustam, dari Daud ibnu Abu Hind, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada kami, antara lain isinya mengatakan, "Barangkali aku akan melarang kalian beberapa hal yang baik buat kalian, dan akan memerintahkan kepada kalian beberapa hal yang tidak layak bagi kalian. Sesungguhnya ayat Al-Qur'an yang diturunkan paling akhir adalah ayat riba, dan sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan beliau belum menjelaskannya kepada kami. Maka tinggalkanlah hal-hal yang meragukan kalian untuk melakukan hal-hal yang tidak meragukan kalian." Ibnu Abu Abdi mengatakan bahwa sanad hadits ini berpredikat mauquf, lalu ia mengetengahkan hadits ini. Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali As-Sairafi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Abdi, dari Syu'bah, dari Zubaid, dari Ibrahim, dari Masruq, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud), dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Riba terdiri atas tujuh puluh tiga bab (macam). Imam Hakim meriwayatkan pula hal yang semisal di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Amr ibnu Ali Al-Fallas berikut sanadnya. Ia menambahkan dalam riwayatnya hal berikut: Yang paling ringan ialah bila seorang lelaki mengawini ibunya. Dan sesungguhnya riba yang paling berat ialah kehormatan seorang lelaki muslim. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini. Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, dari Abu Ma'syar, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Riba itu tujuh puluh bagian. Yang paling ringan ialah bila seorang laki-laki mengawini ibunya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ibad ibnu Rasyid, dari Said, dari Abu Khairah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan sejak dari sekitar empat puluh tahun atau lima puluh tahun, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang dalam zaman itu mereka memakan riba. Ketika ditanyakan kepadanya, bahwa apakah semua orang (melakukannya)? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Barang siapa yang tidak memakannya dari kalangan mereka, maka ia terkena oleh debu (getah)-Nya." Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasai, dan Ibnu Majah dari berbagai jalur melalui Sa'id ibnu Abu Khairah, dari Al-Hasan. Termasuk ke dalam bab ini pengharaman semua sarana yang menjurus ke hal-hal yang diharamkan, seperti hadits yang disebutkan oleh Imam Ahmad; telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Masruq, dari Siti Aisyah yang telah menceritakan: Ketika diturunkan ayat-ayat terakhir surat Al-Baqarah yang menyangkut masalah riba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid, lalu membacakan ayat-ayat tersebut, dan beliau mengharamkan jual beli khamr. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam At-Tirmidzi melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafal yang sama. Demikianlah menurut lafal riwayat Imam Al-Bukhari dalam tafsir ayat ini, yaitu: "Maka beliau mengharamkan jual beli khamr." Menurut lafal lain yang juga dari Imam Al-Bukhari, bersumber dari Siti Aisyah , disebut seperti berikut: Setelah diturunkan ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah mengenai masalah riba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada orang-orang, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan jual beli khamr. Salah seorang Imam yang membicarakan hadits ini mengatakan, "Setelah riba dan semua sarananya diharamkan, maka diharamkan pula khamr dan semua sarana yang membantunya, seperti memperjualbelikannya dan lain sebagainya." Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang muttafaq 'alaih (disepakati kesahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim), yaitu: Allah melaknat orang-orang Yahudi, diharamkan kepada mereka lemak, tetapi mereka memulasinya, kemudian mereka menjualnya dan memakan hasilnya. Dalam pembahasan yang lalu disebutkan hadits Ali dan Ibnu Mas'ud serta selain keduanya pada masalah laknat Allah terhadap muhallil (penghapus talak), dalam tafsir firman-Nya: hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) Yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan: Allah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sekali-kali seseorang menyaksikan dan mencatat riba kecuali jika riba ditampakkan dalam bentuk transaksi yang diakui oleh syariat, tetapi pada hakikatnya transaksi itu sendiri batal. Hal yang dijadikan pertimbangan adalah maknanya, bukan gambar lahiriahnya, mengingat semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing. Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan: Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian dan tidak pula kepada harta kalian, melainkan Dia memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian. Abul Abbas ibnu Taimiyyah menulis sebuah kitab yang isinya membatalkan tentang tahlil, di dalamnya terkandung larangan menggunakan semua sarana yang menjurus kepada setiap perkara yang batil. Penyajian yang disuguhkannya itu cukup memuaskan, semoga Allah merahmati dan melimpahkan rida-Nya kepadanya."

Orang-orang yang memakan riba yakni melakukan transaksi riba dengan mengambil atau menerima kelebihan di atas modal dari orang yang butuh dengan mengeksploitasi atau memanfaatkan kebutuhannya, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Mereka hidup dalam kegelisahan; tidak tenteram jiwanya, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian, sebab pikiran dan hati mereka selalu tertuju pada materi dan penambahannya. Itu yang akan mereka alami di dunia, sedangkan di akhirat mereka akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah yang akan mereka tuju dan akan mendapat azab yang pedih. Yang demikian itu karena mereka berkata dengan bodohnya bahwa jual beli sama dengan riba dengan logika bahwa keduanya sama-sama menghasilkan keuntungan. Mereka beranggapan seper-ti itu, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Substansi keduanya berbeda, sebab jual beli menguntungkan kedua belah pihak (pembeli dan penjual), sedangkan riba sangat merugikan salah satu pihak. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, setelah sebelumnya dia melakukan transaksi riba, lalu dia berhenti dan tidak melakukannya lagi, maka apa yang telah diperolehnya dahulu sebelum datang larangan menjadi miliknya, yakni riba yang sudah diambil atau diterima sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan, dan urusannya kembali kepada Allah. Barang siapa mengulangi transaksi riba setelah peringatan itu datang maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Allah memusnahkan harta yang diperoleh dari hasil praktik riba sedikit demi sedikit sampai akhirnya habis, atau menghilangkan keberkahannya sehingga tidak bermanfaat dan menyuburkan sedekah yakni dengan mengembangkan dan menambahkan harta yang disedekahkan, serta memberikan keberkahan harta, ketenangan jiwa dan ketenteraman hidup bagi pemberi dan penerima. Allah tidak menyukai dan tidak mencurahkan rahmat-Nya kepada setiap orang yang tetap dalam kekafiran karena mempersamakan riba dengan jual beli dengan disertai penolakan terhadap ketetapan Allah, dan tidak mensyukuri kelebihan nikmat yang mereka dapatkan, bahkan menggunakannya untuk menindas dan mengeksploitasi kelemahan orang lain, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang bergelimang dosa karena praktik riba tidak hanya merugikan satu orang saja, tetapi dapat meruntuhkan perekonomian yang dapat merugikan seluruh warga masyarakat.

. Ada dua macam riba yang dikenal, yaitu: 1. Riba nasi'ah 2. Riba fadhal Riba nasi'ah ialah tambahan pembayaran utang yang diberikan oleh pihak yang berutang, karena adanya permintaan penundaan pembayaran pihak yang berutang. Tambahan pembayaran itu diminta oleh pihak yang berpiutang setiap kali yang berutang meminta penundaan pembayaran utangnya. Contoh: A berutang kepada B sebanyak Rp 1.000,- dan akan dikembalikan setelah habis masa sebulan. Setelah habis masa sebulan, A belum sanggup membayar utangnya karena itu A meminta kepada B agar bersedia menerima penundaan pembayaran. B bersedia menunda waktu pembayaran dengan syarat A menambah pembayaran, sehingga menjadi Rp 1.300,- Tambahan pembayaran dengan penundaan waktu serupa ini disebut riba nasi'ah. Tambahan pembayaran ini mungkin berkali-kali dilakukan karena pihak yang berutang selalu meminta penundaan pembayaran, sehingga akhirnya A tidak sanggup lagi membayarnya, bahkan kadang-kadang dirinya sendiri terpaksa dijual untuk membayar utangnya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah: "Hai orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah, agar kamu mendapat keberuntungan. (Ali 'Imran/3:130). Riba nasi'ah seperti yang disebutkan di atas banyak berlaku di kalangan orang Arab jahiliah. Inilah riba yang dimaksud Al-Qur'an. Bila dipelajari dan diikuti sistem riba dalam ayat ini dan yang berlaku di masa jahiliah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1. Sistem bunga merupakan sistem yang menguntungkan bagi yang meminjamkan dan sangat merugikan si peminjam. Bahkan ada kalanya si peminjam terpaksa menjual dirinya untuk dijadikan budak agar dia dapat melunasi pinjamannya. 2. Perbuatan itu pada zaman jahiliah termasuk usaha untuk mencari kekayaan dan untuk menumpuk harta bagi yang meminjamkan. Menurut Umar Ibnu Khaththab, ayat Al-Qur'an tentang riba, termasuk ayat yang terakhir diturunkan. Sampai Rasulullah wafat tanpa menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Maka tetaplah riba dalam pengertian yang umum, seperti sistem bunga yang diberlakukan orang Arab pada zaman jahiliah. Keterangan Umar ini berarti bahwa Rasulullah sengaja tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan riba karena orang-orang Arab telah mengetahui benar apa yang dimaksud dengan riba. Bila disebut riba kepada mereka, maka di dalam pikiran mereka telah ada pengertian yang jelas dan pengertian itu telah mereka sepakati maksudnya. Pengertian mereka tentang riba ialah riba nasi'ah. Dengan perkataan lain bahwa sebenarnya Al-Qur'an telah menjelaskan dan menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw mengenai dua peninggalannya yang harus ditaati: Aku telah meninggalkan padamu dua hal, yang kalau kamu berpegang teguh dengannya, kamu tidak akan sesat sepeninggalku ialah Kitabullah dan Sunah Rasul. (Riwayat Ibnu Majah) Agama yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah agama yang telah sempurna dan lengkap diterima beliau dari Allah, tidak ada yang belum diturunkan kepada beliau. ?.Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu?. (al-Ma'idah/5:3) Riba fadhal yaitu menjual sejenis barang dengan jenis barang yang sama dengan katentuan memberi tambahan sebagai imbalan bagi jenis yang baik mutunya, seperti menjual emas 20 karat dengan emas 24 karat dengan tambahan emas 1 gram sebagai imbalan bagi emas 24 karat. Riba fadhal ini diharamkan juga. Dasar hukum haramnya riba fadhal ialah sabda Rasulullah saw: Janganlah kamu jual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir (padi ladang) dengan sya'ir, tamar dengan tamar (kurma), garam dengan garam, kecuali sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai. Barang siapa yang menambah atau meminta tambah, maka sesungguhnya dia telah melakukan riba. (Riwayat al-Bukhari dan Ahmad) Sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai maksudnya ialah jangan merugikan salah satu pihak dari 2 orang yang melakukan barter. Ayat di atas menerangkan akibat yang akan dialami oleh orang yang makan riba, yaitu jiwa dan hati mereka tidak tenteram, pikiran mereka tidak menentu. Keadaan mereka seperti orang yang kemasukan setan atau seperti orang gila. Orang Arab jahiliah percaya bahwa setan dapat mempengaruhi jiwa manusia, demikian pula jin. Bila setan atau jin telah mempengaruhi jiwa seseorang, maka ia seperti orang kesurupan. Al-Qur'an menyerupakan pengaruh riba pada seseorang yang melakukannya, dengan pengaruh setan yang telah masuk ke dalam jiwa seseorang menurut kepercayaan orang Arab jahiliah. Maksud perumpamaan pada ayat ini untuk memudahkan pemahaman, bukan untuk menerangkan bahwa Al-Qur'an menganut kepercayaan seperti kepercayaan orang Arab jahiliah. Menurut jumhur mufasir, ayat ini menerangkan keadaan pemakan riba waktu dibangkitkan pada hari kiamat, yaitu seperti orang yang kemasukan setan. Pendapat ini mengikuti pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud. Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw: Jauhilah olehmu dosa yang tidak diampuni, yaitu: gulul (ialah menyembunyikan harta rampasan dalam peperangan dan lainnya), maka barang siapa melakukan gulul, nanti barang yang disembunyikan itu akan dibawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba, barang siapa yang memakan riba, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, lagi kemasukan (setan). (Riwayat ath-thabrani dari 'Auf bin Malik) Dalam kenyataan yang terdapat di dalam kehidupan manusia di dunia ini, banyak pemakan riba kehidupannya benar-benar tidak tenang, selalu gelisah, tak ubahnya bagai orang yang kemasukan setan. Para mufasir berpendapat, bahwa ayat ini menggambarkan keadaan pemakan riba di dunia. Pendapat ini dapat dikompromikan dengan pendapat pertama, yaitu keadaan mereka nanti di akhirat sama dengan keadaan mereka di dunia, tidak ada ketenteraman bagi mereka. Dari kelanjutan ayat dapat dipahami, bahwa keadaan pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dengan mudarat, antara yang dibolehkan Allah dengan yang dilarang, sehingga mereka mengatakan jual beli itu sama dengan riba. Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya. Allah tidak menerangkan hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan riba, sebab mereka sendiri telah mengetahui, mengalami dan merasakan akibat riba itu. Dari penegasan itu dipahami bahwa seakan-akan Allah memberikan suatu perbandingan antara jual-beli dengan riba. Hendaklah manusia mengetahui, memikirkan dan memahami perbandingan itu. Pada jual-beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak, dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka. Pada riba tidak ada penukaran dan penggantian yang seimbang. Hanya ada semacam pemerasan yang tidak langsung, yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai barang terhadap pihak yang sedang memerlukan, yang meminjam dalam keadaan terpaksa. Setelah Allah menerangkan akibat yang dialami oleh pemakan riba, perkataan yang diucapkan oleh pemakan riba, pikiran yang sedang mempengaruhi keadaan pemakan riba, dan penegasan Allah tentang hukum jual beli dan riba, maka Allah mengajak para pemakan riba dengan ajakan yang lemah lembut, yang langsung meresap ke dalam hati nurani mereka, sebagaimana lanjutan ayat di atas. Allah swt menyebut larangan tentang riba itu dengan cara mau'idhah (pengajaran), maksudnya larangan memakan riba adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri, agar hidup bahagia di dunia dan akhirat, hidup dalam lingkungan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketenteraman dan kedamaian. Barang siapa memahami larangan Allah tersebut dan mematuhi larangan tersebut, hendaklah dia menghentikan perbuatan riba itu dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan. Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan. Mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya. Dalam ayat ini terkandung suatu pelajaran yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan undang-undang, peraturan atau hukum, yaitu: suatu undang-undang, peraturan atau hukum yang akan ditetapkan tidak boleh berlaku surut jika berakibat merugikan pihak-pihak yang dikenai atau yang dibebani undang-undang, peraturan atau hukum itu, sebaliknya boleh berlaku surut bila menguntungkan pihak-pihak yang dikenai atau dibebani olehnya. Akhir ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang telah melakukan riba, dan orang-orang yang telah berhenti melakukan riba, kemudian mengerjakannya kembali setelah turunnya larangan ini, mereka termasuk penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Menurut sebagian mufasir, dosa besar yang ditimpakan kepada pemakan riba ini disebabkan karena di dalam hati pemakannya itu telah tertanam rasa cinta harta, lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengerjakan sesuatu karena kepentingan diri sendiri bukan karena Allah. Orang yang demikian adalah orang yang tidak mungkin tumbuh dalam jiwanya iman yang sebenarnya, yaitu iman yang didasarkan pada perasaan, pengakuan dan ketundukan kepada Allah. Seandainya pemakan riba yang demikian masih mengaku beriman kepada Allah, maka imannya itu adalah iman di bibir saja, iman yang sangat tipis dan tidak sampai ke dalam lubuk hati sanubarinya. Hasan al-Basri berkata, "Iman itu bukanlah perhiasan mulut dan angan-angan kosong, tetapi iman itu adalah ikrar yang kuat di dalam hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan. Barang siapa yang mengatakan kebaikan dengan lidahnya, sedang perbuatannya tidak pantas, Allah menolak pengakuannya itu. Barang siapa mengatakan kebaikan sedangkan perbuatannya baik pula, amalnya itu akan mengangkat derajatnya," Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak memandang kepada bentuk jasmani dan harta bendamu, akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amalmu." (Riwayat Muslim dan Ahmad).


RIBA

Sesudah sampai tiga belas ayat banyaknya Allah menunjukkan jiwa yang subur, sudi memberi karena gemblengan iman, yang di-bentuk oleh ajaran Allah maka Allah membuka kembali kejahatan hidup zaman jahiliyyah. Islam menanamkan kasih sayang di antara yang kaya dan yang miskin, dengan menyuburkan rasa sedekah dan pengorbanan, sedangkan jahiliyah ialah memberi kesempatan bagi si kaya mengisap darah si melarat untuk kepentingan diri sendiri. Yang terutama sekali ialah riba.

Apakah riba jahiliyah itu?

Dimisalkan si A sangat terdesak, entah hendak berniaga, entah hendak bercocok tanam, hartanya tidak ada, lalu dia pergi meminjam modal kepada yang mampu. Misalnya Rp1.000 dan berjanji dibayar dalam setahun. Setelah genap setahun, karena uang pembayar itu belum cukup, datanglah yang berutang itu kepada yang berpiutang menerangkan bahwa dia belum sanggup membayar sekarang. Maka, yang empunya uang berkata, “Bolehlah engkau bayar tahun depan saja asalkan lipat dua: utang Rp1.000 menjadi Rp2.000. Kalau belum juga terbayar tahun itu sehingga minta tangguh setahun lagi, boleh juga asalkan utang yang Rp2.000 menjadi Rp4.000. Akibatnya, bukanlah membantu, bukan memberi waktu, melainkan mencekik leher si melarat tadi, sehingga walaupun bagaimana dia mengangsur utang, sisa yang tinggal bertambah membuat dia melarat. Kadang-kadang harta bendanya yang ada habis licin tandas, bahkan sampai matinya menjadi utang pula kepada keluarganya yang tinggal. Inilah gambar dari riba jahiliyah itu, yang dikenal juga namanya dengan riba nasi'ah atau riba memberi tempo, yaitu memberi tempo, bukan melapangi si berutang, melainkan memperkaya yang berpiutang dan membuat melarat yang dipiutangi. Diperpanjang tempo, tetapi dipersempit bagi berutang. Maka, setelah diterangkan faedah bersedekah, sekarang diterangkanlah bahaya riba,


Ayat 275

“Orang-orang yang memakan riba itu tidaklah akan berdiri, melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan."

Mengapa sampai demikian dia? Sampai seperti orang dirasuk setan? Sehingga wajahnya pun kelihatan bengis, matanya melotot penuh benci? Tetapi mulutnya manis mem-bujuk-bujuk orang supaya suka berutang ke-padanya? Sebelum orang itu jatuh ke dalam perangkapnya yang payah melepaskan diri? “Menjadi demikian karena sesungguhnya mereka berkata, ‘Tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti riba juga."‘ Artinya, karena dia hendak membela pendiriannya menernakkan uang, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang berniaga itu pun serupa juga dengan pekerjaannya memakan riba, yaitu sama-sama mencari keuntungan atau sama-sama mencari makan. Keadaannya jauh berbeda. Berdagang ialah si saudagar menyediakan barang, kadang-kadang didatangkannya dari tempat lain, si pembeli ada uang pembeli barang itu. Harganya sepuluh rupiah, dijualnya sebelas rupiah. Yang menjual mendapat untung, sedangkan yang membelinya mendapatuntung pula karena yang diperlukannya telah didapatnya. Keduanya sama-sama dilepaskan keperluannya. Itu sebabnya, dia dihalalkan Allah. Bagaimana dia akan diserupakan dengan mencari keuntungan secara riba? Padahal dengan riba, yang berutang dianiaya, diisap kekayaannya, dan yang berpiutang hidup senang-senang, goyang kaki dari hasil ternak uang?

“Lantaran itu, barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya, lalu dia berhenti," dari makan riba yang sangat jahat dan kejam itu, “maka baginyalah apa yang telah berlalu." Artinya, yang sudah-sudah itu sudahlah! Kalau dia selama ini telah menangguk keuntungan dari riba, tidaklah perlu dikembalikannya lagi kepada orang-orang yang telah dianiayanya itu; sama saja dengan dosa menyembah berhala di zaman musyrik, menjadi habis tidak ada tuntutan lagi kalau telah Islam."Dan perkaranya terserahlah kepada Allah," sehingga manusia tidak berhak buat membongkar-bongkar kembali sebab yang demikian memang salah satu dari rangkaian kehidupan jahiliyah yang tidak senonoh itu.

“‘Akan tetapi, barangsiapa yang kembali (lagi)," padahal ketenangan yang sejelas ini sudah diterimanya, “maka mereka itu menjadi ahli neraka; mereka akan kekal di dalamnya."

Riba adalah salah satu kejahatan jahiliyah yang amat hina. Riba tidak sedikit pun sesuai dengan kehidupan orang beriman. Kalau di zaman yang sudah-sudah ada yang melakukan itu, sekarang karena sudah menjadi Muslim semua, hentikanlah hidup yang hina itu. Kalau telah berhenti, dosa-dosa yang lama itu habislah hingga itu, bahkan diampuni oleh Allah. Kalau dari harta keuntungan riba mereka mendirikan rumah, tidak usah rumah itu dibongkar. Mulai sekarang, hentikan sama sekali. Akan tetapi, kalau ada yang kembali kepada hidup makan riba itu, samalah dengan

setelah Islam kembali menyembah berhala; sama kekalnya dalam neraka.

Ayat 276

“Allah membasmi riba dan Dia menyuburkan sedekah-sedekah."

Riba mesti dikikis habis sebab itu ter-pangkal dari kejahatan musyrik, kejahatan hidup dan nafsi-nafsi, asal diri beruntung, biar orang lain melarat. Dengan ini, ditegaskan bahwa berkah dari riba itu tidak ada. Itulah kekayaan yang membawa sial, membawa dendam dan kebencian. Kata-kata riba amat jahat. Kalau penyakit riba menjalar, kalau disebut orang “orang kaya", benci dan dendamlah yang timbul, sama dengan menyebut Kapitalisme dalam ukuran besar. Asal disebut kata kapitalisme, rasa benci yang timbul terlebih dahulu dan rasa dendam. Akan tetapi, Allah menyuburkan sedekah-sedekah sebab Dia mempertautkan kasih sayang di antara hati si pemberi dan si penerima, yang bersedekah dengan yang menerima sedekah. Masyarakatnya jadi lain, yaitu masyarakat yang bantu-membantu, sokong-menyokong, doa-mendoakan. Maka, jika disebut kalimat orang kaya, orang teringat akan kedermawanan, kesuburan, dan doa. moga-moga ditambah Allah rezekinya.

“Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang sangat ingkar, lagi pembuat dosa."

Sudah diterangkan manfaat masyarakat bersedekah bantu-membantu dan diterangkan pula celaka masyarakat yang orang kaya pun hidup dari makan riba. Kalau masih juga timbul makan riba dalam masyarakat demikian, nyatalah orang pemakan riba itu sudah sangat ingkar, sangat menolak kebenaran, tidak peduli kepada peraturan Allah yang tidak ada mempunyai rasa belas kasihan kepada sesama manusia. Akan berlarut-larut mereka dalam dosa. Kalau Allah telah menjelaskan bahwa Dia tidak suka kepada orang yang demikian, itu adalah ancaman bahaya yang akan menimpa mereka. Bahaya kacaunya masyarakat dan suburnya rasa dendam serta benci. Orang kaya akan menjadi timbunan benci dan dendam dari orang yang miskin.

Inilah ancaman yang telah disampaikan Allah dengan wahyu kepada Nabi Muhammad saw, empat belas abad yang lalu, yang kian lama kian terasa sekarang, sehingga pertentangan antara the have (yang punya) dan the have not (yang tidak punya) telah menimbulkan Kapitalisme kemudian Imperialisme dan kemudian Kolonialisme, perjuangan kelas, pertentangan buruh dengan majikan. Sehingga, ada orang yang hidup senang, tidak pernah berusaha, hanya semata-mata dari memakan bunga uangnya yang diletakkannya dalam bank yang besar-besar. Dan, tidaklah berhenti ahli-ahli pikir berusaha membanting pikiran mencari jalan kelepasan dari kesulitan-kesulitan ini, di antaranya timbulnya ajaran Sosialisme. Akan tetapi, Sosialisme itu pun gagal karena dia hanya teori manusia dengan mengenyampingkan nilai bentukan moral dan mental manusia.


Ayat 277

“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh, dan mereka pun mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, untuk mereka pahala di sisi Tuhan, dan tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."

Masyarakat orang yang beriman dan beramal saleh itu tidak mungkin menimbulkan riba. Ini karena baik dia kaya maupun miskin, keduanya bergabung dalam satu kepercayaan dan satu ukhuwah (persaudaraan) serta tergabung dalam satu jamaah. Di dalam masjid tidak terhitung lagi mana yang kaya dan mana yang miskin karena semuanya menghadap kepada di satu tujuan, yaitu mengharapkan ridha Allah swt..


***


Ayat 278

“Wahai, orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa dari rniba itu, jikalau benar-benar kamu orang-orang yang beriman."

Orang yang beriman adalah orang yang diliputi oleh rasa kasih sayang kepada sesama manusia. Yang kaya kalau hendak memberi piutang tidaklah bermaksud hendak memeras keringat dan tenaga sesama manusia. Yang miskin mengelak jauh-jauh dari memberikan kesempatan orang kaya untuk memeras dirinya. Di dalam ayat ini diperingatkan Allah pada orang-orang yang beriman setelah masyarakat Muslim terbentuk di Madinah, kalau masih ada sisa-sisa hidup dengan riba itu, mulai sekarang hendaklah hentikan.

Menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu larir dan Ibnu Mundzir serta Ibnu Abi Hatim dari as-Suddi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan diri paman Nabi saw. sendiri yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau di zaman jahiliyyah mendirikan satu perkongsian dengan seseorang dari bani al-Mughirah, yang mata usaha mereka ialah menernakkan uang (makan riba). Mereka pernah meminjamkan uang kepada seseorang dari Bani Tsaqif di Thaif. Abbas kemudian masuk Islam. Setelah datang zaman Islam, datanglah peraturan ini, yaitu bahwa sisa-sisa riba jahiliyah itu ditinggalkan sama sekali. Artinya orang yang berutang di Thaif itu tidak perlu lagi memberikan bunga riba itu, cukup diberikan seberapa banyak yang diutangnya dahulu itu saja. Kalau kamu telah mengaku termasuk orang beriman, tinggalkan pekerjaan itu sama sekali. Itulah tanda beriman sebab cinta kepada harta telah kamu ganti dengan cinta kepada Allah.


Ayat 279

“Akan tetapi, jika tidak kamu kerjakan begitu."

Artinya, kamu telah mengaku beriman, padahal makan riba masih diteruskan juga, “Maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya." Inilah suatu peringatan yang amat keras, yang dalam bahasa kita zaman sekarang bisa disebut ultimatum dari Allah. Menurut penyelidikan kami, tidak terdapat dosa lain yang mendapat peringatan sekeras ancaman terhadap meneruskan riba ini.

Ancaman yang demikian sudahlah patut sebab riba adalah suatu kejahatan yang meruntuh sama sekali hakikat dan tujuan Islam dan iman. Dia menghancur leburkan ukhuwah yang telah ditanamkan sesama orang ber-iman dan sesama manusia. Riba benar-benar pemerasan manusia atas manusia. Segelintir manusia hidup menggoyang-goyang kaki, dari tahun ke tahun menerima kekayaan yang limpah-melimpah, padahal dia tidak bekerja dan berusaha, sedangkan yang menerima piutang memeras keringat mencarikan tambahan kekayaan buat orang lain, sedangkan dia sendiri kadang-kadang hanya lepas makan saja; dia menjadi budak selama dalam berutang itu. Yang empunya uang hanya terima bersih saja, tidak mau tahu dari mana keuntungan yang berlipat ganda terkulai itu dia dapat. Kalau sudah ada manusia yang hidup dengan cara begini, percumalah rasanya menegakkan ibadah dengan jamaah.

“Namun, jika kamu bertobat maka bolehlah kamu ambil pokok harta kamu; tidak kamu dianiaya dan tidak pula kamu menganiaya."

Di sini diterangkan bahwa meneruskan hidup dengan riba setelah menjadi orang Islam berarti memaklumkan perang kepada Allah dan Rasul. Dengan ancaman yang keras itu, dapatlah dipahamkan bahwasanya seluruh harta yang diperibakan itu, baik yang dipinjamkan, maupun bunganya dari harta itu, semuanya menjadi harta yang haram; kelanjutannya ialah bahwa daulah islamiyah berhak merampas seluruh harta itu, baik modal pokok maupun bunganya. Akan tetapi, kalau kamu telah tobat, tidak hendak melanjutkan lagi kehidupan yang jahat itu maka harta yang kamu pinjamkan sebanyak jumlah asalnya, bolehlah kamu ambil kembali. Tidak kamu akan dianiaya. Artinya, dengan perlindungan daulah islamiyah, harta kamu itu dapat diminta kembali kepada yang berutang. Kalau dia tidak mau membayar, daulah islamiyah boleh diminta turun tangan untuk mengambil harta itu dengan paksa. Kamu pun jangan pula menganiaya.

Di dalam ayat “tidak kamu akan dianiaya" ini pun terkandungsiiaturahimyangmendalam sekali. Misalnya uangmu telah berbulan-bulan dipinjamnya, sedangkan kamu tidak boleh, telah haram memakan riba dari harta itu maka Rasulullah saw. sendiri menganjurkan qardh, yaitu suatu perbuatan “timbang rasa" dari si peminjam. Setelah uang kontannya dibayar, kalau engkau ada perasaan, hendaklah engkau beri dia hadiah ala kadarnya, tanda terima kasih. Riba diharamkan, qardh dianjurkan.

Kemudian datang ayat lanjutan tuntunan iman,


Ayat 280

“Dan, jika ada yang kesusahan maka berilah tempo sampai kelapangan."

Ini sudah menjadi tuntunan kepada orang yang beriman. Hanya orang yang beriman yang mau memberikan kelapangan kepada orang yang berutang kepadanya. Apatah lagi kalau yang berutang itu orang yang beriman seperti dia pula. Jangan dia didesak-desak, karena imannya, niscaya utangnya akan dibayarnya; berilah dia kesempatan.

“Akan tetapi, kalau kamu bersedekah, adalah itu lebih baik buat kamu, jikalau kamu ketahui."

Itulah lanjutan jiwa pembangunan masyarakat orang yang beriman. Alangkah baik dan mesranya jika seseorang yang berutang datang meminta maaf dan memohon diberi tempo agar sekian bulan lalu disambut oleh yang memberi utang dengan perkataan, “Utangmu itu telah aku lepaskan. Engkau tidak berutang lagi." Ayat berkata bahwa cara begini jikalau kamu pikirkan, adalah amat baik bagi dirimu sendiri. Dengan demikian, kamu telah menaikkan tingkat budimu. Dia akan berkesan dalam jiwamu sendiri, menjadi dermawan, dan mengokohkan ukhuwah dengan yang diberi utang.

Sebagai penutup dari ayat riba, yang dijiwai dengan membentuk iman dan pergaulan aman damai, kasih dan sayang, di akhir persoalan riba itu ditutuplah dengan ayat,


Ayat 281

“Dan hendaklah kamu takut akan suatu hari, yang di hari itu kamu akan dikembalikan kepada Allah."

Jika hari itu datang, segala harta benda yang membuat kepala pusing di dunia ini tidaklah ada yang akan dibawa mati. Hanya tiga iapis kain kafan, tidak lebih. Itu pun akan hancur dalam bumi, akan kembali kepada Tuhan. Kalau kita pikirkan dalam-dalam apa arti yang terkandung dalam kata kembali, niscaya kita akan merenung panjang. Orang yang kembali ialah orang yang pergi meninggalkan tempat bermula lalu dia kembali pulang. Kalau dipikir-pikir dari segi lain, kita kembali mungkin tidak ada. Sebab, Allah selalu di dekat kita, Dia tidak jauh dari kita. Akan tetapi, pikiran dan wajah hidup kita ini kerap kali lupa bahwa Allah ada di dekat kita atau kita lupa kepada-Nya, sedangkan Dia tidak pernah melupakan kita. Maut adalah kembali kepada Allah yang sebenarnya. Karena, pada waktu itu kita mulai insaf bahwa yang kita tuju adalah Allah. Hanya kemewahan hidup dan harta benda dunia ini juga yang kerap menyebabkan kita lupa."Kemudian akan disempurnakan ganjaran tiap-tiap orang dari apa yang telah mereka usahakan." Artinya, setelah kembali kepada Allah itu, setelah meninggalkan dunia dan masuk ke alam akhirat, akan datanglah waktu perhitungan. Perhitungan itu amat sempurna dan amat teliti; dikaji satu demi satu. Dipertimbangkan (mizan) mana yang lebih berat, amalan yang baikkah atau amalan yang buruk,

“Dan tidaklah mereka akan dianiaya."

Allah tidak ada berkepentingan dalam penganiayaan. Sebab, orang yang menganiaya ialah karena dia mendapat keuntungan dari menganiaya itu. Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah bergembira sekali dapat memberikan ganjaran dan pahala kepada orang yang berbuat baik. Sebab itu, kalau iman telah tumbuh dalam hati, tidaklah mungkin seorang Mukmin mencari keuntungan dengan merugikan orang lain. Sehingga, ujung ayat perkara riba ini pun adalah perbandingan yang dalam di antara kasih Allah di akhirat kelak kepada hamba-Nya dengan kejahatan tukang makan riba yang menggaruk keuntungan dengan memeras keringat orang lain.

Menurut beberapa riwayat, ayat riba di dekat akhir surah al-Baqarah ini adalah ayat yang turun kemudian sekali kepada Rasulullah. Dan, dalam satu riwayat dari Tabi'in Said bin Jubair, hanya sembilan hari saja setelah ayat ini turun, wafatlah Nabi kita.