Dalil yang benar bahwa alquran menjadi sumber hukum islam adalah

Ilustrasi alquran dan hadist. Sumber: islamoformation

Sebagai umat muslim, kita tentu sudah sangat tahu bahwasanya sumber hukum Islam yang paling utama ialah alquran dan hadist dari nabi Muhammad SAW. Pasalnya kedua hal tersebut merupakan panduan hidup beragama yang sering kita amalkan.

Berdasarkan banyak sumber sendiri, sebenarnya terdapat 4 sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh para ulama. Selain alquran dan hadist, dikenal pula sumber hukum lainnya yakni ijma dan qiyas. Namun yang menjadi pokok utama atau yang paling kuat dalil-lalilnya ialah alquran dan hadist. Sedangkan ijma dan qiyas sifatnya hanyalah sebagai dalil pendukung saja.

Sumber Hukum Islam yang Paling Utama ialah Alquran dan Hadist

Kitab suci alquran merupakan pedoman utama bagi seorang muslim untuk menjalankan kehidupan beragama sesuai apa yang sudah diperintahkan oleh Allah SWT. Sedangkan hadist nabi Muhammad SAW sendiri merupakan sumber hukum penjelas atau penegas untuk menerangkan poin-poin yang telah disebutkan oleh Allah SWT dalam firmanNya.

Kedua sumber hukum Islam tersebut merupakan pokok paling sentral atau juga bisa disebut sebagai jantung hukum dalam ajaran agama Islam. Hal ini sendiri telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya yakni surat An Nisa ayat 59, yang berbunyi berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu bener-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Berdasarkan ayat tadi, maka umat muslim diharuskan untuk selalu mencari pedoman ataupun sumber ajaran hukum berdasarkan ketentuan yang sudah terangkum dalam ayat suci alquran yang sempurna beserta hadist/sunnah Nabi Muhammad SAW karena sifatnya lebih utama dan memiliki akibat yang jauh lebih baik jika kita pergunakan. (HAI)

Alquran Sebagai Sumber Hukum Islam

Allah menurunkan Al-Quran kepada umat manusia melalui nabi Muhammad SAW sebagai kitab suci terakhir untuk dijadikan pedoman hidup. Al-Quran yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat menyinari seluruh isi alam ini.

Sebagai kitab suci sepanjang zaman, Al-Quran memuat informasi dasar berbagai masalah termasuk informasi mengenai hukum, etika, science, antariksa, kedokteran dan sebagainya. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa kandungan Al-Quran bersifat luas dan luwes.

Mayoritas kandungan Al-Quran merupakan dasar-dasar hukum dan pengetahuan, manusialah yang berperan sekaligus bertugas menganalisa, merinci, dan membuat garis besar kebenaran Al-Quran agar dapat dijadikan sumber penyelesaian masalah kehidupan manusia.

Pada zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Rasulullah selalu menunggu wahyu untuk menjelaskan sebuah kasus tertentu, namum apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits.

Sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama, Al-Quran berperan penting dalam rangka penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya Rasulullah SAW.

Seperti kita ketahui bahwa Al-Quran merupakan buku petunjuk (hidayah) bagi orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang percaya kepada hal ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagain rizki mereka, dan yang meyakini adanya akhirat. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam dan menjadi pembahasan pokok makalah ini ialah kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam kapanpun dan dimanapun termasuk seharusnya di Indonesia (Pen.).

Pengertian, Nama, dan Turunnya Alquran

  1. Pengertian Alquran
  2. Pengertian Al-Quran Menurut Bahasa (Etimologi)
    Quran merupakan isim Mashdar (kata benda) dari kata kerja qoro-’a (أرق) yang bermakna talaa (الت) yang berarti membaca, atau bermakna jama’a yang berati mengumpulkan atau mengoleksi.

    Makna kata quran sinonim dengan qira’ah yang keduanya berasal dari kata qara’a. Dari segi makna, lafal quran bermakna bacaan.

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ – فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ

“Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut” (Al-Qiyamah: 17-18)


  1. Pengertian Al-Quran Menurut Syariat (Termonologi)

    Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas, membaca Al-Quran adalah ibadah.

    Kata “kalam” sebenarnya meliputi seluruh perkataan, namun karena istilah itu disandarkan kepada Allah akhirnya menjadi kalamullah. Perkataan yang berasal dari selain Allah seperti perkataan manusia, jin maupun malaikat tidak dinamakan Al-Quran.

    Allah telah menjamin untuk menjaga Al-Quran dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantinya.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (Al-Hijr:9)

A.Nama Alquran

  1. Al-Kitab (kitabullah)
    Al-Kitab merupakan sinonim dari kata Al-Quran yang artinya kitab suci sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Nama ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat A-Baqarah ayat 2.
  2. Az-zikr
    Az-Zikr artinya peringatan, nama ini di terangkan dalam Al-Quran surat Al-Hijr :9.
  3. Al-Furqan
    Al-Furqan artinya pembeda, nama ini diterangkan dalam Al-Quran surat Al-Furqan ayat 1.
  4. As-Suhuf
    As-Suhif artinya lembaran-lembaran, Nama ini dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Bayinah ayat 2.
  5. Pembagian Surat Dalam Al-Quran
  6. Assabi’uthiwaal
    Yaitu tujuh surat yang panjang, ketujuh surat itu yaitu Al-Baqarah (286), Al-A’raf (206), Ali Imran (200), An-Nisa (176), Al-An’am (165), Al-Mmaidah (120), dan Yunus ( 109).
  7. Al-Miuun
    Yaitu surat yang berisi seratus ayat lebih. Maksudnya surat-surat tersebut memiliki ayat sekitar seratus ayat atau lebih. Misalnya surat Hud (123 ayat),Yusuf (111 ayat), dan At-Taubah (129 ayat).
  8. Al-Matsaani
    Yaitu surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Misalnya surat Al-Anfal (75 ayat), Ar-Rum (60 ayat), dan Al-Hijr(99 ayat).
  9. Al- Mufashshal
    Yaitu surat-surat pendek seperti Al-Ikhlas, Ad-Dluha, dan An-Nasr. Surat-surat seperti ini kebannyakan di temukan dalam juz ke 30.

Turunnya Al-Quran merupakan peristiwa besar karena Allah menurunkan Al-Quran kepada Rasulullah SAW sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia. Al-Quran pertama kali turun pada malam Lailatul Qodar yang merupakan pemberitahuan kepada para malaikat-malaikat bahwa Allah telah memuliakan umat ini dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan nya (Al-Quran) pada malam kemuliaan (malam Lailatul Qodr)”. (QS. Al-Qodr: 1)
Selanjutnya Al-Quran diturunkan secara bertahap berdasarkan peristiwa dan kejadian sampai Allah menyempurnakan agama Islam dan mencukupkan nikmatnya.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (Al-Insaan:23)

  1. Sejarah Turunnya Al-Quran

Allah menurunkan Al-Quran melalui perantaraan malaikat Jibril sebagai pengantar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua Hiro pada tanggal 17 Ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia 41 tahun, surat tersebut adalah Al-Alaq : 1-5. Sedangkan ayat terakhir Al-Quran turun pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah yakni surah Al-Maidah ayat 3.

Al-Quran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Lama Al-Quran diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.

  1. Hikmah Diturunkannya Al-Quran Secara Berangsur-Angsur
  2. Menguatkan hati Rosulullah SAW.

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Orang-orang kafir berkata, kenapa Al-Quran tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (Al-Furqaan: 32)

  1. Menantang orang-orang kafir yang mengingkari Al-Quran (karena menurut mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur), Allah menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Alhasil, mereka tidak sanggup membuat satu surat pun seperti Al-Quran.
  2. Mudah dihapal dan dipahami.
  3. Motivator bagi orang-orang mukmin untuk menerima, mempelajari, dan mengamalkan Al-Quran.
  4. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dengan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.

AL-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

oleh Andi Mardian, Lc., MA

Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua, salah satu kajian yang penting untuk dipelajari lebih mendalam.
II. PEMBAHASAN

Al-Sunnah secara etimologi berarti:

الطريقة المسثقيمة و السيرة المستمرة حسنة كانت او سيئة

“Jalan yang lurus dan berkesinambungan yang baik atau yang buruk”[1]

Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan al-Sunnah sesuai dengan perbedaan dengan keahlian masing-masing. Para ulama Hadits mengatakan bahwa al-Sunnah adalah:

“Setiap apa yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul saw berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, akhlak atau kehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya, seperti tahanuts (berdiam diri) yang dilakukan di gua Hira atau sesudah kerasulan beliau”[2]

Para ulama Hadits memberikan pengertian yang luas terhadap al-Sunnah disebabkan pandangan mereka terhadap Nabi Muhammad saw sebagai contoh yang baik bagi umat manusia, bukan sebagai sumber hukum. Oleh karena itu, ulama Hadits menerima dan meriwayatkan al-Sunnah secara utuh atas segala berita yang diterima tentang diri Nabi saw tanpa membedakan apa-yang diberitakan itu-isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara ataupun tidak, juga menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan Nabi sebelum atau sesudah beliau diangkat menjadi Rasul sebagai Sunnah.

Sedangkan ulama ushul fiqh menjadikan al-Sunnah secara terminology yaitu:

“Setiap yang datang dari Rasul saw selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’”.[3]

Melalui definisi diatas dapat disimpulakn bahwa segala sifat, prilaku, dan segalanya yang bersumber dari Nabi saw dan tidak ada relevansinya dengan hukum syara’ tidak dapat dijadikan sebagai al-Sunnah. Karenanya, jumlah al-Sunnah dalam pandangan ulama ushul sangat terbatas.

Adapu ulama ushul fiqh Syi’ah menganggap bahwa al-Sunnah berarti ucapan, tindakan, ketatapan Nabi saw dan para imam. Merujuk kepada Hadits versi mereka: “Aku tinggalkan setelah kepergianku dua hal yang amat berharga kepada kalian untuk merujuk dan Allah melarangmu jika kalian tidak merujuk kepadanya yaitu Kitab Allah dan Ahlul baitku”.[4]

Sunnah dikalangan dilakalangan Syi’ah bukan hanya dari Rasul (al-Hadits al-nabawi) juga berasal dari 12 imam mereka (al-Hadits al malawi). Seperti diungkapkan oleh imam ke 6 mereka, Ja’far al-Shadiq:

“Hadistku adalah Hadits ayahku (Muhammad bin al-Baqir) dan Hadits ayahku adalah Hadits kakekku (Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Thalib), dan Hadits kakekku adalah Hadits Husein (Husein ibn Ali ibn Abi Thalib) dan Hadits Husein adalah Hadits Hasan (Hasan ibn Abi Thalib) dan Hadits Hasan adalah Hadits Amirul Mukminin (Ali ibn Abi Thalib) dan Hadits Amirul Mukminin adalah Hadits rasulullah saw, dan Hadits Rasuullah saw pada hakikatnya berasal dari Allah swt”.[5]

Adapun istilah al-Sunnah seringkali diidentikkan dengan Hadits, Khabar dan Atsar.

Hadits secara etimologi berarti الجديد (sesuatu yang baru),   الخبر(kabar, berita atau cerita), الكلام (perkataan).[6]

Sama dengan al-Sunnah, pengertian al-Hadits secara terminology dijelaskan oleh para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda. Menurut ulama Hadits, Hadits adalah: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya”.[7]

Sementara ulama ushul fiqh mengatakan bahwa Hadits adalah: “meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw yang dapat dijadikan dalil dalam menentukan hukum syara’”.[8]

Dalam pandangan ulama ushul fiqh, segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw tapi bukan berkaitan dengan hukum, seperti makan, tidur dan berpakaian tidak dianggap sebagai Hadits.

Secara etimologi khabar berarti النباء (berita),[9] yaitu segala berita yang diberikan kepada orang lain.

Sedangkan pengertian khabar secara terminology, khabar terbagi kedalam tiga pendapat, yaitu:

  1. Khabar adalah sinonim dengan Hadits, keduanya dapat digunakan untuk sesuatu yang marfu’ mauquf dan maqhthu’, mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, sahabat dan tabi’in.[10]
  2. Khabar berbeda dengan Hadits, khabar adalah berita dari selain Nabi saw, sementara Hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. Sehingga yang berkecimpung dalam kegiatan sejarah dan sejenisnya disebut akhbari, sedangkan seorang ahli Hadits disebut Muhaddits.[11]
  3. Khabar lebih umum daripada Hadits, setiap khabar dapat dikatakan Hadits tetapi tidak setiap khabar, tapi tidak setiap khabar dikatakan Hadits.[12]

Kegiatan yang trjado dalam masalah khabar pasti terjadi dalam masalah Hadits, tetapi tidak semua yang ada dalam khabar terdapat dalam Hadits.

Secara etimologi, al-Atsar berarti sisa atau peninggalan sesuatu. Secara terminology, atsar terbagi kedalam dua pendapat:

  1. Atsar adalah sinonim dengan Hadits yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw
  2. Atsar adalah sesuatu yang yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang terdiri atas perbuatan.[13]

Jumhur ulama berpendapat bahwa khabar dan atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan Tabi’in. Sedangkan ulama Khurasan berpendapat bahwa atsar untuk yang mauquf (berita yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu’ (sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw).

MACAM-MACAM DAN PEMBAGIAN AL-SUNNAH

  1. Macam-macam al-Sunnah dilihat dari Segi bentuknya

Al-Sunnah jika dilihat dari segi bentuknya terdapat tiga perkara, yaitu:

  1. Sunnah qauliyah, yaitu Hadits-Hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi saw dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang utuh sebagaimana diucapkan oleh Nabi saw.[14]Diantara contohnya yaitu Hadits dari Anas bin Malik bahwa rasulullah saw bersabda:

سووا صفوفكم فإن تسوية الصف من تمام الصلاة (رواه مسلم)

“Hendaklah kamu meluruskan shaf (barisan) mu, karena sesungguhnya shaf yang lurus itu termasuk dari kesempurnaan shalat” (H. R. Muslim)[15]

  1. Sunnah Fi’liyah, yaitu Hadits-Hadits yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw yang dilihat atau diketahui para sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain.[16]

Dalam masalah ini, para ulama ushul fiqh membahas secara mendalam tentang kedudukan  Sunnah fi’liyah. Masalah yang dikemukakan adalah: Apakah seluruh perbuatan Rasulullah saw wajib diikuti umatnya atau tidak. Ulama ushul fiqh membaginya kepada:[17]

  1. Perbuatan yang dilakukan Nabi saw sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, duduk, berpakaian, memelihara jenggot dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak termasuk sunnah yang wajib diikuti oleh umatnya. Hal ini dikarenakan perbuatan Nabi sebagai manusia biasa.
  2. Perbuatan yang dikerjakan Rasul saw yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut khusus untuk dirinya, seperti melakukan shalat tahajjud setiap malam, menikahi perempuan lebih dari empat atau menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan seperti ini adalah khusus untuk diri Rasul dan tidak wajib diikuti.
  3. Perbuatan yang berkenaan dengan hukum dan ada alasannya, yaitu, sunnat, haram, makruh dan mubah. Perbuatan seperti ini menjadi syari’at bagi umat Islam.
  4. Sunnah Taqririyah, yaitu Hadits yang berupa ketetapan Nabi saw terhadap apa yang datang atau yang dilakukan sahabatnya. Nabi saw membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya tanpa memberikan penegasan apakah beliau bersikap membenarkan atau mempermasalahkannya.[18]
  1. Macam-macam al-Sunnah jika dilihat dari Segi Kualitas Rawinya

Al-Sunnah jika ditinjau dari segi periwayatannya, para ulama ushul fiqh membaginya menjadi dua macam, yaitu:[19]

  1. Sunnah yang bersambung mata rantai perawinya
  2. Sunnah yang tidak bersambung mata rantai perawinya

Sunnah yang bersambung mata rantai perawinya terbagi kepada tiga macam:

Sunnah mutawattir adalah adalah sunnah yang diriwayatkan oleh rawi yang jumlahnya banyak dan diyakini mustahila adanya kebohongan. Penukilan sunnah mutawattir dengan jumlah perawi yang banyak yang terdiri dari 3 generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabi al-tabi’in.[20]

Jumhur ulama sepakat bahwa sunnah mutawattir adalah hujjah setelah al-Qur’an. Ditinjau dari segi bentuknya, para ulama ushul membagi sunnah mutawattir menjadi dua macam, yaitu:[21]

Pertama; mutawattir lafzhi, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh banyak orang, susunan redaksi dan maknanya sesuai antara riwayat dengan yang lainnya. Contohnya:

من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ( رواه البخارى و المسلم )

“Barang siapa berdusta dengan sengaja terhadapku, maka hendaklah ia mengambil tempat dalam neraka.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat bahkan lebih.

Kedua; mutawattir maknawi, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang berlainan lafal (redaksi) tetapi memiliki persamaan dalam maknanya. Contohnya:

انه كان يرفع يديه فى الدعاء

Terdapat pula lafal yang berbeda tetapi maknanya sama:

وهو رفع اليد عند الدعاء

Sunnah masyhur adalah sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw oleh dua orang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawattir. Kemudian Hadits ini tersebar pada generasi kedua (tabi’in) dan generasi ketiga (tabi al-tabi’in).

Sunnah masyhur pada mulanya berawal dari sunnah ahad, kemudian tersebar dikalangan orang banyak dan terjadi pada generasi tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.[22] Menurut Hanafiyah, Hadits masyhur berada dibawah sunnah mutawattir dan berfungsi memperkuat ayat al-Qur’an.[23]

Sunnah ahad adalah sunnah yang jumlah perawinya tidak sampai kepada jumlah mutawattir, baik perawi itu satu, dua, tiga atau lebih, namun tidak memberikan pengertian jika bilangan tersebut masuk kedalam jumlah mutawattir.

Ketiga imam madzhab (Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad) menerima Hadits ahad jika dianggap memenuhi syarat-syarat periwayatan yang sahih. Namun Abu Hafifah disamping meriwayatkan perawi harus tsiqah dan adil, juga perawi tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan isi Hadits yang diceritakannya.[24]

Sementara, sunnah yang tidak bersambung jumlah perawinya kepada Nabi Muhammad saw dinamakan Hadits mursal. Hadits mursal adalah Hadits yang salah seorang perawinya tidak disebutkan.  Ulama yang lain menyebutnya dengan Hadits munqhathi’ (terputus).[25]

Para ulama berbeda pendapat dalam pemakaian Hadits mursal. Imam Ahmad tidak memakai Hadits mursal kecuali jika pada kasus tersebut tidak disebutkan Hadits lain. Menurutnya, Hadits mursal seperti Hadits dhaif (lemah) dan tidak memakainya kecuali dalam keadaan dharurat saja.[26] Sementara Imam Syafi’i menetapkan beberapa syarat dalam menerima dan tidak menolaknya secara mutlak. Syarat-syarat tersebut:[27]

  1. Hadits mursal itu diperkuat dengan Hadits musnad yang bersambung sanadnya dari segi makna. Dalam keadaan seperti ini yang diambil sebagai hujjah adalah Hadits musnad, bukan Hadits mursalnya.
  2. Hadits mursal itu diperkuat dengan Hadits mursal yang lain. Dengan demikian keduanya saling menguatkan
  3. Hadits mursal itu sesuai dengan perkataan sahabat, maka hal itu sama artinya dengan mengangkat status Hadits mursal menjadi marfu’
  4. Apabila kalangan ulama telah menerima Hadits mursal itu dan segolongan dari mereka mengeluarkan fatwa seperti yang terkandung dalam Hadits itu.

Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menerima Hadits mursal secara mutlak. Menurut keduanya, Hadits mursal ini sederajat dengan Hadits musnad. Keduanya tidak hanya menerima Hadits mursal tabi’in saja, yaitu Hadits yang tidak disebutkan perawi sahabat,  tetapi keduanya menerima Hadits mursal tabi al-tabi’in, yaitu Hadits yang tidak disebutkan perawi tabi’in dan sahabat. Ini disebabkan karena riwayat kedua imam ini berasal langsung dari tabi’in dan tabi al-tabi’in. Bagi keduanya yang terpenting adalah tingkat kepercayaan dari orang yang meriwayatkannya.[28]

KEHUJAHAN AL-QUR’AN

Jumhur ulama ushul fiqh sepakat bahwa sunnah mutawattir, masyhur dan ahad adalah sumber istinbath hukum Islam jika tidak ditemukan dalam Hadits. Dari ketiga bentuk Hadits diatas para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kehujahan Hadits ahad.

Imam Syafi’i misalnya, beliau tidak menempatkan Hadits ahad setingkat dengan al-Qur’an atau Hadits mutawattir, karena al-Qur’an dan Hadits mutawattir adalah qathi al-wurud sedangkan Hadits ahad adalah zhonni al-wurud. Imam Syafi’i memberikan syarat-syarat ketat dalam menjadikan Hadits ahad sebagai hujjah dalam menentukan hukum Islam. Syarat-syarat tersebut diantaranya:[29]

  1. Rawi adalah orang yang dapat dipercaya atau adil.
  2. Rawi adalah orang yang berakal
  3. Rawi adalah orang yang kuat hapalannya
  4. Hadits yang diriwayatkannya tidak berbeda dengan Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang lebih dipercaya.

Ulama Hanafiyah menerima Hadits ahad dengan syarat:[30]

  1. Hadits ahad diterima jika terkait dengan berbagai peristiwa
  2. Hadits ahad tidak bertentangan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam syari’at
  3. Perawi ahad tidak menyalahi ahadnya.

Ulama Malikiyah menerima Hadits ahad jika tidak bertentangan dengan amal ahli madinah..[31] Sikap mendahulukan amal ahli Madinah daripada Hadits ahad disebabkan oleh tradisi hidup Nabi Muhammad saw telah menjadi sikap hidup penduduk Madinah dan secara factual dijadikan sebagai landasan menetapkan hukum.

Sementara kedudukan al-Sunnah terhadap al-Qur’an, para ulama ushul fiqh mengelompokkannya kedalam tiga bagian:[32]

  1. Al-Sunnah berfungsi memperkuat apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an, tidak menjelaskan apalagi menambahkan ketetapan al-Qur’an.
  2. Al-Sunnah berfungsi memperjelas dan merinci apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an. Seperti Hadits-Hadits yang berhubungan dengan tata cara salat, puasa dan sebagainya.
  3. Al-Sunnah berfungsi menetapkan hukum yang belum ditentukan dalam al-Qur’an.