Dari pihak Quraisy yang diutus untuk memperbarui perjanjian dengan kaum Muslimin adalah

PELAJARAN hidup (lesson learning) dari Nabi Muhammad SAW tidak pernah kering. Keberhasilan Muhammad memperkenalkan misinya lebih banyak ditentukan kekuatan dan keunggulan diplomasi beliau, bukan karena kekuatan bala tentaranya.

Rasulullah lebih menonjol sebagai diplomat ketimbang seorang jenderal perang meskipun semasa di Madinah beliau disuguhi sejumlah peperangan dan beberapa kali memimpin langsung.

Salah satu contoh keunggulan diplomasi Nabi ialah Perjanjian Hudaibiyah. Keputusan Nabi dalam perjanjian ini sangat tidak populis. Bahkan sahabat terdekat seperti Umar tidak mau menuliskan perjanjian itu karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga melecehkan simbol akidah Islam.

Ketika merundingkan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin lagsung delegasinya dan pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim. Namun, Suhail menolaknya karena menilai kalimat itu asing. Lalu dia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang populer di masyarakat Arab ketika itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata, Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Lagi-lagi Suhail menolak kalimat ini dan mengusulkan kata, Hadza ma qudhiya 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetapkan Muhammad putra Abdullah). Pencoretan basmalah dan kata 'Rasulullah' membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu. Akan tetapi, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu.

Konon Rasulullah mengambil alih sendiri penulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu prinsip dasar akidah Islam. Kelemahan lain dari segi substansi, menurut para sahabat Nabi, terdapat materi yang dinilai tidak adil karena kalau orang kafir Quraisy yang menyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, segera dibebaskan dan segera dikembalikan ke Mekah. Adapun kalau yang melanggar batas umat Islam, orangnya ditahan di Mekah. Materi perjanjian seperti ini pun Rasulullah menyetujuinya.

Kelihatannya memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu akidah, yakni berupa pencoretan kata Bismillah dan Rasulullah yang dianggap prinsip dalam Islam. Namun, Nabi tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan.

Nabi tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan senjata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan. Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Nabi itu. Seandainya saja Nabi hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, sudah pasti tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan tetapi, para sahabat tahu bahwa Nabi di samping seorang kepala negara yang cerdas juga seorang Nabi sehingga para sahabat diam dan menurut.

Pada akhirnya, apa yang ditetapkan Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, sudah barang tentu akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Mekah. Sebaliknya, kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Mekah dibiarkan, karena pasti mereka itu para kader dan dapat melakukan upaya politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraish.

Pada saat bersamaan, Nabi terus menggalang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggiran dan karena kepiawaiannya, Nabi berhasil memukau sejumlah kabilah kecil dan bersatu di bawah kekuatan Nabi. Kabilah-kabilah yang tadinya terpecah belah di kawasan Yatsrib (Madinah) berhasil disatukan Nabi, terutama dua suku besar yaitu suku 'Aus dan suku Khazraj.

Akhirnya, kekuatan umat Islam yang juga didukung umat agama lain semakin besar.

MEKAH, (MCH) Rasulullah saw. sempat diprotes sejumlah sahabat, karena beliau menandatangani Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian yang dilakukan 628 Masehi ini dinilai tidak adil dan berat sebelah. Kaum Quraish Mekah yang belum masuk Islam ketika itu diuntungkan dengan surat perjanjian ini. Simaklah isi perjanjian itu. "Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad (saw.) dan Suhail bin `Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapa pun yang ingin mengikuti Muhammad, diperbolehkan secara bebas. Siapa pun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas." Isi perjanjian ini dinilai masih adil dan netral. Namun simaklah isi perjanjian berikutnya. "Pemuda, yang masih memiliki ayah, atau memiliki wali, jika mengikuti Muhammad tanpa izin mereka, akan dikembalikan ke ayah atau walinya. Bila ada orang Islam yang masuk ke kelompok Quraisy, ia tidak boleh kembali." Pasal inilah yang diprotes sejumlah umat Islam. Namun ada juga pasal yang menguntungkan kaum Muslimin, yaitu, "Tahun ini Muhammad akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka boleh masuk ke Mekah, untuk melakukan tawaf selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Namun umat Islam tidak boleh bersenjata saat memasuki Mekah." Meskipun sejumlah sahabat memprotes, namun Rasulullah meminta mereka bersabar dan menunggu hasil perdamaian itu. Saat itu Rasulullah saw. bermaksud melaksanakan haji dan umrah di Mekah. Beliau singgah di Hudaibiyah dan mengutus Utsman bin Affan memberitahukan kepada penduduk Mekah. Penduduk Quraisy Mekah yang masih kafir tentu saja merasa kaget atas kedatangan Nabi yang agamanya semakin tersebar dan popular itu. Maka utusan Rasul, Utsman bin Affan pun ditahan. Para pengikut Nabi sempat berang dan akan menuntut balas atas setiap peristiwa yang menimpa Utsman. Mengetahui kemarahan kaum Muslimin, kaum Quraisy tidak berani memperlakukan Utsman secara semena-mena. Selain melepaskan Utsman, mereka bahkan mengutus Suhail bin `Amru menemui Rasulullah di Hudaibiyah. Hasil peretemuan ini, maka ditandatanganilah perjanjian damai antara umat Islam dengan kaum kafir Quraisy itu, atau yang popular disebut Perjanjian Hudaibiyah. Apa yang terjadi setelah ditandatangani perjanjian itu? Ternyata, orang Quraisy yang ingin datang ke Madinah semakin banyak. Saat masuk Madinah, mereka menyatakan masuk Islam, atau setidaknya menyatakan simpati kepada umat Islam. Tapi Rasulullah tetap meminta mereka kembali ke Mekah, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah. Beberapa orang Islam yang berasal dari Quraisy yang ikut berhijrah bersama Rasulullah juga banyak yang ingin menengok saudaranya di Mekah. Namun sesuai perjanjian, mereka tidak boleh kembali kepada umat Islam jika sudah masuk Mekah. Rupanya, baik orang kafir yang sudah bersimpati kepada Islam maupun orang Islam yang masuk ke Mekah merupakan para dai yang menyebarkan Islam dari pintu ke pintu. Saat di Mekah, orang Islam justru terus berdakwah mengajak orang kafir menerima agama hanif ini. Berkat perjanjian Hudaibiyah ini, Mekah justru semakin kondusif menerima Islam. Justru orang Qurasiy yang melanggar perdamaian karena beberapa kali menyulut pertempuran. Maka ketika Rasulullah datang kembali ke Mekah untuk menaklukkan kota kelahirannya itu, masyarakat Mekah sesungguhnya sudah kondusif. Ketika Rasulullah mengumumkan, "Barang siapa yang masuk ke Masjidilharam, aman. Barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sofyan, aman", maka penduduk Mekah berbondong-bondong datang ke tempat sesuai yang ditunjukkan Nabi. Itulah keuntungan Perjanjian Hudaibiyah yang semula dinilai tidak adil, justru sangat menguntungkan pasukan Islam. Tempat miqat Hudaibiyah terletak sekitar 30 km di luar Kota Mekah Al-Mukaramah. Jalan ke tempat ini sekarang tidak banyak penduduknya. Pengembangan Kota Mekah memang terus meluas, namun belum menjangkau wilayah ini. Pabrik pembuatan kiswah atau kelambu penutup Kabah berada di dekat Hudaibiyah ini. Sepanjang perjalanan di Hudaibiyah terdapat banyak peternakan onta. Bahkan, para peziarah bisa mampir ke peternakan ini untuk meminum air susu segarnya. Peninggalan dari tempat perjanjian ini kini didirikan masjid. Namun di belakang masjid ini ada puing-puing bangunan yang tua. Jemaah dari Malaysia dan Turki suka melakukan umrah sunat dari wilayah ini. Sebagaimana diketahui, orang yang ingin melakukan umrah harus bertolak dari miqat. Bagi penduduk Mekah, mereka bisa mengambil miqat dari Ji`ranah, Tan`im, ataupun Hudaibiyah. Jemaah haji Indonesia yang sudah tinggal di Mekah pada umumnya lebih suka mengambil miqat dari Ji`ranah atau Tan`im. Namun jemaah Malaysia sekarang lebih suka mengambil miqat dari Hudaibiyah. Jemaah Turki juga banyak yang mengambil miqat dari Hudaibiyah ini. Melihat letak geografis Hudaibiyah, Arafah, Muzdalifah, Mina dan tempat Rasulullah tinggal selama melaksanakan haji, termasuk tempat pemondokan beliau di wilayah Abthah, menunjukkan bahwa Rasulullah sangat mobile saat melaksnakan haji. Mobilitas Nabi sangat tinggi saat berhaji yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain dalam beberapa hari. Melihat dari kasus Rasulullah, sesungguhnya secara syar’i ,tidaklah salah jika jemaah haji tinggal di penginapan yang jauh dari Masjidilharam, sebagaimana Rasulullah tinggal di Abthah, wilayah di luar Kota Mekah, saat berhaji. (Wachu)

© Copyright 2021 Kementerian Agama RI