Di antara istilah-istilah di bawah ini yang merupakan istilah hpi adalah

Hukum perdata internasional adalah keseluruhan peraturan dan putusan hukum yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam hal terjadinya sengketa antara dua atau lebih orang dengan kewarganegaraan yang berbeda-beda. Hukum perdata internasional mempertanyakan di yurisdiksi mana sengketa harus diselesaikan, hukum mana yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa tersebut, dan bagaimana penegakan terhadap hukum asing.[1] Sengketa-sengketa yang dimaksud di antaranya perihal perkawinan, perceraian, hak asuh anak, kontrak dagang dengan pihak asing. Di Indonesia, pengaturan terkait hukum perdata internasional masih mengandalkan pasal 16, 17, dan 18 Algemene Bepalingen yang merupakan peraturan dari masa kolonial dengan upaya kodifikasi dalam hukum nasional masih sebatas rancangan undang-undang di DPR.[2]

Pada masa ini pola hubungan internasional masih berwujud sederhana tetapi sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara (i) warga Romawi dengan penduduk provinsi-provinsi yang menjadi bagian dari wilayah kekaisaran karena pendudukan di mana penduduk asli provinsi-provinsi tersebut dianggap sebagai orang asing dan ditundukkan pada hukum mereka sendiri dan (ii) penduduk provinsi yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah kekaisaran Romawi, sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subjek hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.[3]

Masalah-masalah hukum yang timbul diselesaikan melalui sebuah peradilan khusus bernama Praetor Peregirinis dengan Ius Civile yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pergaulan antarabangsa sebagai dasar hukumnya. Ius Civile tersebut kemudian berkembang menjadi Ius Gentium dan terdiri atas hukum privat dan hukum publik. Ius Gentium inilah cikal bakal baik hukum perdata internasional maupun hukum internasional publik.[3]

Terdapat tiga asas hukum perdata internasional yang lahir pada masa ini yakni (i) asas lex rei sitae atau lex situs, mengatur tentang benda-benda tidak bergerak di tempat benda tersebut berada; (ii) asas lex domicili, mengatur tentang hak dan kewajiban subjek hukum berdasarkan tempat tinggalnya; dan (iii) asas lex loci contractus, mengatur tentang perjanjian-perjanjian mengikuti hukum di mana tempat pembuatannya.[3]

Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad ke-6 hingga abad ke-10)

Jatuhnya Kekaisaran Romawi membuat hukum Romawi menjadi tidak lagi berlaku dan digantikan dengan hukum adat, hukum personal, hukum keluarga, dan hukum agama yang berbeda-beda. Persoalan hukum perdata internasional lambat laun muncul tetapi tidak memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas layaknya pada masa Kekaisaran Romawi dulu.[3]

Namun prinsip-prinsip hukum perdata internasional tumbuh berdasarkan asas genealogis yang dapat dijelaskan sebagai (i) asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum, hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat; (ii) penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak; (iii) proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris; (iv) peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak transferor; (v) penyelesaian perkara tentang perbuatan melawan hukum harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum; dan (vi) pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.[3]

Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad ke-11 dan ke-12)

Asas genealogis semakin sulit untuk dipertahankan akibat perubahan struktur masyarakat yang semakin condong ke arah masyarakat teritorialistik di seluruh wilayah Eropa di mana terdapat dua kubu dalam transformasi tersebut. Di Eropa Utara, feodalisme berkembang dan hal tersebut berdampak pada hukumnya yakni hukum tuan tanah yang bersifat eksklusif terhadap siapapun yang berada di dalam wilayah mereka. Hak-hak asing tidak diakui, termasuk hak-hak yang sebetulnya diatur dalam hukum internasional publik. Sementara itu di Eropa Selatan, pertumbuhan kota-kota perdagangan di Italia membuat hukum perdata internasional berperan penting dalam penyelesaian sengketa di antara para pihak. Di sinilah lahir asas pemberlakuan hukum berdasarkan tempat kediaman di kota yang sama atau kerap disebut sebagai teori statuta. Tokoh pengembang teori statuta adalah Accursius.[3]

Pertumbuhan Teori Statuta (Abad ke-13 hingga abad ke-15)

Bartolus de Sassoferato kemudian mengkaji lebih lanjut teori yang dikemukakan Accursius dan mengklasifikasikannya ke dalam tiga kelompok yakni (i) statuta personalia, yang objek pengaturannya bersifat pribadi dan keluarga dan bersifat ekstrateritorial; (ii) statuta realia, yang objek pengaturannya adalah benda dan statuta hukum dari benda dan berprinsip teritorial; dan (iii) statuta mixta, yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan hukum berdasarkan prinsip teritorial.[3]

Perkembangan Teori Statuta di Prancis (Abad ke-16)

Meningkatnya aktivitas perdagangan antarprovinsi di Prancis membuat hukum perdata internasional perlu dipelajari dalam menyelesaikan sengketa-sengketa hukum yang timbul mengingat masing-masing provinsi memiliki hukum atau coutume-nya masing-masing. Charles Dumoulin berpandangan bahwa subjek hukum dalam perjanjian memiliki kebebasan berkontrak yang bermakna para pihak juga dapat menentukan hukum apa yang hendak mereka gunakan dalam kontrak mereka. Dapat dikatakan bahwa Dumoulin memperluas ruang lingkup statuta personalia yang dikembangkan Bartolus dan memasukkan unsur perjanjian ke dalamnya.[3]

Manakala Dumoulin memperluas statuta personalia, Bertrand d’Argentré  justru memperluas statuta realia dengan memasukkan unsur perjanjian dan perbuatan hukum ke dalamnya. Dia berpandangan bahwa suatu statuta yang berkaitan erat dengan wilayah provinsi dari penguasa yang memberlakukannya harus dikategorikan sebagai statuta realia sehingga otonomi provinsi-provinsi harus diutamakan, dan bukan otonomi subjek hukum.[3]

Perkembangan Teori Statuta di Belanda (Abad ke-17)

Perkembangan teori statuta di Belanda menekankan pada kedaulatan eksklusif negara. Ulrik Huber memiliki tiga prinsip dalam melihat perkara hukum perdata internasional yakni (i) hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu; (ii) semua subjek hukum secara tetap atau sementara di dalam wilayah suatu negara berdaulat merupakan subjek hukum dari negara tersebut dan tunduk serta terikat pada hukum negara tersebut; tetapi (iii) hukum yang berlaku di negara asal dapat memiliki kekuatan berlaku di mana-mana (comitas gentium) selama tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberi pengakuan. Ketiga prinsip tersebut harus ditafsirkan dengan melihat dua prinsip lain yakni (iv) suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum setempat harus dianggap sah di negara lain sekalipun hukum negara lain menganggap perbuatan semacam itu batal; dan (v) perbuatan hukum yang batal menurut hukum setempat dianggap batal pula di manapun juga.[3]

Johannes Voet berpandangan bahwa pemberlakuan hukum asing di suatu negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional publik atau karena sifat hubungan perdatanya. Negara asing tidak dapat menuntut pengakuan atau pemberlakuan kaidah hukumnya di wilayah hukum negara lain dan oleh karena itu pengakuan atau berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan antarnegara (comitas gentium). Namun asas comitas gentium harus ditaati oleh setiap negara dan harus dianggap sebagai bagian dari sistem hukum nasional negara tersebut.[3]

Teori Universal (Abad ke-19)

Ahli hukum Jerman C. G. von Wächter menilai teori statuta Italia menimbulkan ketidakpastian hukum oleh karena sifat ekstrateritorialnya yang mengakibatkan timbulnya kewajiban hukum di negara asing. Titik tolak penentuan hukum yang seharusnya diberlakukan dalam suatu perkara hukum perdata internasional adalah hukum dari tempat yang merupakan tempat kedudukan dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu. Dengan demikian lex fori (hukum di mana pengadilan berada) yang seharusnya diberlakukan sebagai hukum yang berwenang dalam perkara hukum perdata internasional.[3]

F. C. von Savigny kemudian mengembangkan gagasan von Wächter dengan mengasumsikan bahwa setiap jenis hubungan hukum dapat ditentukan tempat kedudukan hukumnya dengan melihat pada hakikat dari hubungan hukum tersebut. Bila seseorang hendak menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara dalam suatu hubungan hukum, hakim berkewajiban untuk menentukan tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu dengan bantuan titik-titik taut. Inilah awal mula pengembangan teori lex causae.[3]

Dalam konsepsi hukum umum dikenal istilah conflict of laws atau konflik hukum. Meskipun sekilas conflict of laws mirip dengan hukum perdata internasional, patut diperhatikan bahwa pengertian conflict of laws lebih luas daripada hukum perdata internasional di mana pertentangan-pertentangan hukum dapat terjadi di dalam negara yang sama seperti di Amerika Serikat yang menganut sistem federal dengan banyaknya pertentangan hukum antara negara bagian satu dengan lainnya terkait suatu objek yang sama.[4]

  1. ^ McClelland, Lynn. "LibGuides: Private International Law: Introduction". libguides.law.ucla.edu (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-08. Diakses tanggal 2019-07-08. 
  2. ^ "Indonesia Butuh Kodifikasi Hukum Perdata Internasional". hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). 2012-09-13. Diakses tanggal 2019-07-08. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m Gautama, Sudargo (1987). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: Bina Cipta. 
  4. ^ "Hukum Perdata Internasional (HPI): Pendahuluan". 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-06. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_perdata_internasional&oldid=18328308"