Dokumen KEUANGAN yang tidak dapat menggunakan tanda tangan elektronik adalah

Penulis : Chintya Indah Pertiwi, S.H, M.Kn

Sejak Pandemi covid-19 menyerang dunia, dia telah secara langsung mengubah cara manusia dalam berinteraksi termasuk interaksi dalam dunia bisnis. Di Indonesia, khususnya Provinsi DKI Jakarta telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai alternatif solusi mengendalikan penyebaran pandemi. Kebijakan ini berorientasi pada pembatasan segala aktivitas di luar oleh masyarakat sehingga sepanjang aktivitas tersebut bisa tetap berjalan meskipun tanpa keluar dari rumah, maka dianjurkan untuk tetap di rumah.

Pembatasan ini juga diberlakukan pada sektor bisnis dimana Pemerintah memerintahkan kepada Perusahaan-Perusahaan yang bidang usahanya bukan termasuk kategori esensial (sesuai Pergub DKI Jakarta No. 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB jo. No. 88 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB) sementara waktu menerapkan kebijakan sistem kerja dari rumah (Work From Home) bagi karyawan-karyawannya, sepanjang pekerjaan tersebut dapat dilakukan di rumah.

 Penerapan Work From Home ini mengakibatkan meningkatnya penggunaan tanda tangan secara elektronik atau tanda tangan digital karena secara operasional perusahaan tetap berjalan dan masih terjadi transaksi-transaksi yang menghasilkan dokumen-dokumen untuk ditandatangani salah satunya yaitu Perjanjian Kerjasama. Peningkatan penggunaan tanda tangan elektronik atau digital ini menimbulkan banyak pertanyaan dari sisi hukum. Permasalahan ini layak untuk kita bahas bersama-sama mengingat Kontrakmerupakan salah satu dokumen penting sebagai salah satu bukti konkrit adanya hubungan kerjasama yang isinya memuat hak dan kewajiban Para Pihak.

1.      Pengertian Kontrak?

Pertama-tama kita perlu memahami  terlebih dahulu pengertian Kontrak

Menurut Pasal 1313 pada Bab II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Perlu dipahami bahwa persetujuan, kontrak atau perjanjian memiliki pengertian yang sama saja. Dalam praktek memang banyak ditemukan perbedaan istilah ini, tetapi tidak perlu bingung karena pada dasarnya istilah tersebut merujuk pada pengertian yang sama. Hal ini dipertegas oleh Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya “Hukum Perjanjian” Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.

Adapun perjanjian menurut Prof. Subekti,S.H. dalam bukunya “Hukum Perjanjian”  didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

Kemudian, definisi kontrak (contract) menurut “Black’s Law Dictionary”, diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.

Selain itu, Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis” (hal. 30-32) menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa “suatu perbuatan” itu kapan disebut Kontrak (Perjanjian/Persetujuan) adalah sebagai berikut :

a.      Terdapat lebih dari 1 pihak

b.      Ada kesepakatan antara pihak-pihak yang sudah bersifat tetap atau final dan bukan suatu hal yang masih dalam perundingan

c.      Ada tujuan yang akan dicapai

d.      Ada prestasi yang akan dilaksanakan

e.      Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

Jadi jangan bingung lagi ya, kontrak, persetujuan, perjanjian itu sama saja kok. Tetapi demi kenyamanan dan kemudahan dalam membaca tulisan ini, saya hanya akan menggunakan istilah Kontrak untuk penyeragaman saja.

2.      Kenapa Kontrak itu harus dibubuhi Tanda Tangan sih?

Mari kita pahami terlebih dahulu syarat SAH-nya Kontrak Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menetapkan bahwa

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1)     kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2)     kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3)     suatu pokok persoalan tertentu;

4)     suatu sebab yang tidak terlarang.

Kemudian apa sih pengertian Tanda Tangan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KBBI) Tanda tangan adalah tanda sebagai lambang nama yang dituliskan dengan tangan oleh orang itu sendiri sebagai penanda pribadi (telah menerima dan sebagainya).

Adapun Tanda Tangan menurut Tan Thong Kie dalam bukunya Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, yaitu:

Suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penandatanganan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri (si pembuat tanda tangan).

Dalam praktek bisnis, sangat tidak dianjurkan hanya membuat kontrak (persetujuan/perjanjian) dalam bentuk lisan saja, mengingat potensi sengketa yang sangat mungkin terjadi. Kontrak yang dibuat tertulis sangat diperlukan apabila terjadi sengketa bisnis maka Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan kontrak atau perjanjian tersebut menjadi salah satu alat pembuktian hukum di depan pengadilan.

Berdasarkan penjelasaan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hubungan Tanda Tangan dengan Syarat Sah-nya Kontrak yaitu Tanda Tangan merupakan bukti atau pernyataan tertulis bahwa telah terjadi atau adanya kesepakatan Para Pihak dalam Kontrak tersebut (sebagaimana syarat pada 1320 KUHPer ayat 1).

Lalu, apa sih dasar hukumnya Tanda Tangan Elektronik atau Digital?

Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 1 angka 22 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE), tanda tangan elektronik didefinisikan sebagai berikut:

Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Sampai disini, dapat kita simpulkan bahwa Tanda Tangan Elektronik atau Digital itu “diakui” dalam Hukum di Indonesia, karena punya dasar hukumnya.

Terus, kalau gitu SAH dong ya kalau Kontrak-nya ditandatangani secara Elektronik?

Mengenai keabsahan tanda tangan elektronik juga telah secara tegas di atur pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 59 ayat (3) PP PSTE menyatakan sebagai berikut:

Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.      data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;

b.      data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;

c.      segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

d.      segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

e.      terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penanda tangannya; dan

f.       terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Tanda tangan elektronik sendiri terbagi menjadi 2 (dua) yaitu sesuai Pasal 60 ayat (2) PP PSTE bahwa Tanda tangan elektronik itu meliputi:

a.      Tanda tangan elektronik tersertifikasi; dan

b.      Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi

Pada ayat (3) mengatur bahwa :

Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus:

a.      memenuhi keabsahan kekuatan hukum dan akibat hukum Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3);

b.      menggunakan Sertifikat Elektronik yang dibuat oleh jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan

c.      dibuat dengan menggunakan Perangkat Pembuat Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi.

Sedangkan, Tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi yaitu yang dibuat tanpa menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik, berdasarkan pada ayat (4).

Jadi, dari sini udah dapat disimpulkan ya, kalau Tanda Tangan Elektronik itu SAH dan memiliki kekuatan hukum serta akibat hukum yang sama nih seperti tanda tangan basah (konvensional) sepanjang :

a.      Kontraknya juga Sah secara hukum dengan memenuhi persyaratan Pasal 1320 KUHPer

b.      Tanda Tangan Elektroniknya memenuhi Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 59 ayat (3) PP PSTE

Sangat disarankan menggunakan penyedia layanan tanda tangan elektronik atau digital yang sudah mendapatkan sertifikasi dari KOMINFO ya, mengingat bahwa kontrak yang akan ditandatangani tersebut mengandung unsur kerahasiaan confidential. Penyedia layanan tanda tangan elektronik yang dipakai harus benar-benar menjamin keamanan segala informasi yang disimpan, diolah dan dikirimkan melalui layanan mereka. Untuk melihat daftar penyedia layanan tanda tangan digital yang telah tersertifikasi KOMINFO dapat melalui link ini ya https://tte.kominfo.go.id/

3.      Terus, gimana dengan Meterai? Bukannya, Kontrak itu harus diberikan meterai sesuai Undang-Undang 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai) bahwa

Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;”

Nah, disini yang harus kita pahami terlebih dahulu ya, bahwa ketentuan penggunaan Meterai pada kontrak bukan penentu Sah atau tidaknya Kontrak ya, sebagaimana penjelasan syarat sah kontrak sebelumnya.

Bea Meterai sendiri itu berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Bea Meterai didefinisikan sebagai pajak atas dokumen.  Nah, karena sebagai pajak, maka dengan pemakaian meterai pada kontrak tersebut, dapat dikatakan kita telah melunasi kewajiban pajak atas dokumen tersebut. Sebagaimana diatur pada Pasal 7 ayat (2) huruf a UU Bea Meterai.

Dikarenakan meterai yang saat ini masih merupakan meterai tempel, maka tanda tangan pada kontrak tersebut haruslah tanda tangan basah.

Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3), (4), (5) dan (6) masing-masing sebagai berikut :

(3) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

(4) Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tandatangan akan dibubuhkan.

(5) Pembubuhan tandatangan disertai dengan pencatuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tandatangan ada diatas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.

 (6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tandatangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

Jadi, sebelum adanya Revisi atas UU Bea Meterai, maka “nasib” kontrak yang ditandatangani elektronik tersebut tetaplah SAH, namun harus dilakukan Pemeteraian Kemudian jika kontrak elektronik tersebut akan dipergunakan sebagai alat pembuktian di Pengadilan dan Pihak yang melakukan pemeteraian kemudian tersebut harus pula membayar denda administrasi sebesar 200% dari nilai Bea Meterai. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 8 UU Bea Meterai mengatur bahwa :

(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian.

Pasal 1 angka 2 UU Bea Meterai memberikan definisi Pemeteraian kemudian sebagai

berikut :

Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh

Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum dilunasi

sebagaimana mestinya;

Melihat situasi saat ini, Pemerintah berencana melakukan Revisi atas UU Bea Meterai. Berdasarkan informasi media elektronik yang diakses pada halaman https://nasional.kontan.co.id/news/ini-ketentuan-meterai-untuk-dokumen-elektronik tanggal 20 September 2020, Pemerintah bersama DPR sudah menyelesaikan RUU Bea Meterai dan salah satu, aturan dalam RUU tersebut yakni soal ketentuan meterai untuk dokumen elektronik, dimana tahun 2021 akan ada 3 bentuk meterai yang berlaku yaitu meterai tempel, meterai elektronik dan meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Daftar Peraturan :

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2.      Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

3.      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

4.      Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

5.      Undang-Undang 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai

Referensi :

1.      https://www.hukumonline.com, Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian dan Kontrak, diakses pada tanggal 20 September 2020.

2.      https://www.hukumonline.com, Legalitas Penggunaan Tanda Tangan Elektronik oleh Notaris, diakses pada tanggal 20 September 2020.

3.      https://nasional.kontan.co.id/news/ini-ketentuan-meterai-untuk-dokumen-elektronik diakses pada tanggal 20 September 2020.