Diunggah pada : 4 September 2012 14:12:35 823 Pada 17 Agustus 2012 bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-67. Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 juga bertepatan dengan Ramadhan, tepatnya hari ke sembilan. Tahun ini untuk kesekian kalinya peringatan kemerdekaan bertepatan dengan puasa. Alangkah baiknya jika moment ini bisa memacu semangat kebangsaan masyarakat, sehingga bisa ikut bersama membangun Indonesia menjadi lebih baik.Berbicara tentang kemerdekaan tentu mengarah pada suatu tatanan kehidupan yang bebas dan merdeka. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan. Mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, menjadi tujuan kemerdekaan itu.Alam kemerdekaan yang telah 67 tahun ternyata masih menyisakan duri, korupsi. Penghancur upaya menyejahterakan rakyat ini tetap tumbuh subur. Penyakit parah ini membuat upaya pengentasan kemiskinan terhambat. Arti kemerdekaan pun tercederai karena kesejahteraan rakyat jadi barang langka. Suburnya korupsi bukanlah omong kosong. Ini bisa dilihat pada jumlah pengaduan masyarakat pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Sepanjang 2011 pengaduan masyarakat 5.742 kasus, Setelah ditelaah 1.026 mengandung indikasi tindak pidana korupsi. Besarnya jumlah kasus juga ditangani Kejaksaan. Negeri ini subur bagi petualang korupsi.Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan di atas penderitaan orang lain. Jatah anggaran yang seharusnya digunakan untuk rakyat, digunakan segelintir orang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Di usianya yang sudah 67 tahun, negara ini mestinya mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyatnya, sebagaimana diamanatkan para founding fathers (pahlawan pendiri bangsa ini dan Soekarno-Hatta).Menurut Komandan Resimen Mahasiswa (Menwa) Mahasurya Provinsi Jatim, Dr Budi Rianto Msi, secara fisik, negara Indonesia memang sudah berdaulat. “Tidak ada lagi penjajahan fisik seperti saat Belanda dan Jepang menjajah kita. Tetapi secara ideologi, teknologi dan ekonomi, kita justru lebih menderita ketimbang penjajahan sebelumnya,” katanya. Ada beberapa ancaman bangsa ini yang mesti dipecahkan. Kebijakan ekonomi liberal dan perdagangan pasar bebas, apalagi sistem monopoli, hanya menguntungkan investor plus technician yang didatangkan dari Amerika. Kasus Freeport, Exon Mobil adalah contohnya. “Tanpa kita sadari, konsep globalisasi yang dicetuskan Amerika, lambat-laun akan mencabik-cabik keutuhan kebhinekaan kita,” katanya.Simak konflik antaretnis, antarsuku, antaragama. Juga munculnya benih-benih disintegrasi, kasus GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Yang sangat ideologis dan ‘meresahkan’ adalah apa yang sering disebut sebagai gerakan ‘terorisme’. Fenomena konflik dan disintegrasi ini menyiratkan betapa lebih mengerikannya penjajahan konsep globalisasi. Jika nation-state tidak berbenah dengan menyegarkan semangat nasionalismenya, negara ini bakal mengalami keruntuhan. Menurutnya, seperti yang dikatakan Alvin Toffler dalam bukunya ''The Third Wave'' (1980), bahwa problem peradaban yang disebabkan konsep globalisasi bakal mendera negara-negara bangsa (nation states) termasuk Indonesia. Lantaran canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, kata Toffler, lahirlah apa yang disebut the global village, yakni sebuah kawasan dunia ''menggelobal'' yang tidak bisa dilihat sekat-sekat teritorialnya. Keadaan ini sangat menguntungkan monopoli Amerika atas negara berkembang, dan menempatkannya pada posisi raja-diraja.Perlu Karakter Kuat Yang dibutuhkan saat ini, kata Dr Budi, adalah karakter yang kuat. Secara sederhana, karakter dapat diartikan sebagai tabiat, perangai, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Maka, membangun karakter sebenarnya adalah proses mengukir atau menempa jiwa sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Proses pembentukan karakter bermula dari pengenalan nilai-nilai secara kognitif, yang berlanjut dengan penghayatan nilai-nilai secara afektif, berujung pada penerapan dan pengamalan secara nyata dalam kehidupan (praksis). Sebelum terwujud, dalam diri manusia bersangkutan harus bangkit keinginan atau dorongan alamiah yang sangat kuat (tekad), untuk mengamalkan nilai-nilai. Persoalannya, ada ”ketidaktuntasan” dalam sistem pendidikan menyangkut pembentukan karakter ini. Memang di sekolah-sekolah sudah diajarkan pelajaran agama, kewarnegaraan, kewiraan, dan sebagainya, yang dianggap sebagai bagian dari pendidikan karakter. Namun pendidikan karakter macam ini tampaknya lebih banyak pada aspek kognitif, pengetahuan di permukaan, kurang masuk lebih dalam ke tahap penghayatan, apalagi ke tahap pengamalan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter tidak termasuk yang diujikan di Ujian Nasional atau seleksi masuk perguruan tinggi. Karena itu dipandang sebagai pelengkap semata, bukan betul-betul penting dan perlu. Di sisi lain, benar juga bahwa pembentukan karakter bukan cuma terjadi di lembaga sekolah, melalui interaksi antara murid dan guru. Pembentukan karakter juga terjadi di rumah (lewat interaksi dengan orangtua, saudara, kerabat), lingkungan sekitar (interaksi dengan pemuka masyarakat, ustadz, rohaniwan, jamaah masjid, teman, dan sebagainya), dan media massa.------------------------- Sejarah Sebuah Bangsa Penting Belajarlah |