Selain orang pribadi, subjek pajak lain yang memiliki kewajiban membayar pajak adalah badan. Menurut ketentuan perpajakan, yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang atau modal yang menjadi suatu kesatuan, dengan tujuan untuk melakukan usaha ataupun tidak melakukan usaha. Show
Bentuk-bentuk badan antara lain adalah perseroan komanditer, perseroan terbatas, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, firma, koperasi, kongsi, dana pensiun, yayasan, lembaga, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk lainnya. Tidak hanya itu, badan juga dapat berbentuk perkumpulan seperti asosiasi, perhimpunan, dan ikatan. Dasar hukum dari ketentuan wajib pajak badan ini telah diatur dalam Undang-undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang merupakan peraturan terbaru dan telah berlaku sejak 1 Januari 2022 lalu. Perubahan Aturan PPh berdasarkan UU HPPDalam UU HPP, beberapa aturan tentang Pajak Penghasilan (PPh) juga terjadi, di antaranya:
Seperti yang dlihat bahwa terdapat perubahan tarif pada PPh Badan pada Tahun 2022 yang tadinya 20% menjadi 22%. Cara Menghitung PPh BadanSebagai subjek pajak dalam negeri, badan memiliki kewajiban untuk membayar pajak sejak saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia. Kewajiban tersebut akan berakhir ketika badan dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia. Untuk menghitung pajak yang dikenakan pada badan atas penghasilan yang didapatkan, berikut mekanisme yang umum digunakan. Untuk mendapatkan nominal penghasilan kena pajak badan, pertama-tama wajib pajak badan perlu mengetahui besaran jumlah penghasilan bruto yang didapatkan selama 1 tahun berjalan. Kemudian, kurangi penghasilan bruto tersebut dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible expense). Biaya yang dapat dikurangkan sebagaimana diatur dalam ketentuan fiskal adalah biaya yang terkait dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Biaya-biaya ini diatur dalam UU HPP Pasal 6, di antaranya:
Sementara di dalam perusahaan, terdapat biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan (non-deductible expense). Biaya ini diatur dalam Pasal 9 UU HPP, di antaranya:
Biaya yang termasuk ke dalam deductible expense tidak dapat digunakan sebagai pengurang untuk menghitung penghasilan kena pajak. Karena itu, ada baiknya untuk memisahkan terlebih dahulu antara deductible expense dan non-deductible expense dalam menghitung PPh Badan. Biaya-biaya yang termasuk ke dalam non-deductible expense ini akan menimbulkan koreksi fiskal positif, dan biaya-biaya yang termasuk ke dalam deductible expense akan menimbulkan koreksi fiskal negatif. Selanjutnya, didapatkan penghasilan neto fiskal, yaitu penghasilan neto yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati proses rekonsiliasi fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan. Penghasilan neto fiskal ini kemudian dikurangkan dengan kompensasi kerugian fiskal, yaitu sisa saldo kerugian badan dari tahun sebelumnya (jika ada). Sebagai informasi, kerugian fiskal yang akan dikompensasikan wajib dihitung berdasarkan aturan perpajakan terlebih dahulu dan bukan merupakan kerugian komersial. Kemudian, hasil dari pengurangan penghasilan neto fiskal dan kompensasi kerugian fiskal tersebut adalah besaran penghasilan kena pajak yang dimaksud. Jika penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya tersebut didapat kerugian sehingga tidak terdapat penghasilan kena pajak, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun berikutnya. Untuk mendapatkan nominal PPh terutang atau pajak penghasilan yang dibayarkan, wajib pajak dapat mengalikan penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 22%. Besar tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2022. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah menurunkan tarif umum PPh Badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, lalu menjadi 20%. Namun, dengan adanya UU HPP, tarif PPh Badan kembali 22%. Sedangkan untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbuka (Go Public) dengan jumlah keseluruhan saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan memenuhi syarat tertentu, memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif umum PPh Badan. Setelah mendapatkan besaran PPh yang terutang, jangan lupa untuk mengkreditkan pajak-pajak lain, seperti:
Kemudian, akan didapatkan perhitungan akhir PPh Badan, baik kurang bayar atau lebih bayar. Baca Juga : Ketentuan Terbaru e-Filling SPT PPh BadanKetentuan Fasilitas Pengurangan TarifWajib pajak badan dalam negeri mendapatkan fasilitas pengurangan tarif. Fasilitas pengurangan tarif ini ditentukan berdasarkan besaran peredaran bruto. Jika peredaran bruto berada di antara Rp4,8 miliar–Rp50 miliar, maka wajib pajak badan mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto yang berjumlah Rp4,8 miliar. Berikut rumusnya:
Tetapi jika peredaran bruto di atas Rp50 miliar, akan dihitung berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas pengurangan tarif. Hasilnya, besar PPh Badan tetap 22% dikalikan penghasilan kena pajak. Contoh Sederhana Penghitungan SPT PPh BadanMari mencoba menghitung PPh Badan menggunakan penjelasan di atas. Berikut ini ada dua contoh penghitungan PPh Badan yang menggunakan fasilitas pengurangan tarif dan tidak. Mengutip dari laman Pajak.go.id, berikut contoh kasus penghitungan PPh Badan: Contoh Penghitungan PPh Badan dengan Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31EPada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 6 Miliar. Selain itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan pendapatan sebagai berikut:
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad XYZ: Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto Rp6.000.000.000 – Rp5.400.000.000 = Rp600.000.000 Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya Rp50.000.000 – Rp30.000.000 = Rp20.000.000 Total Penghasilan Neto = Rp600.000.000 + Rp20.000.000 Total Penghasilan Neto = Rp620.000.000 Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian Penghasilan Kena Pajak = Rp620.000.000 – Rp10.000.000 Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp610.000.000 Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp4,8 miliar, maka memperoleh fasilitas pengurangan tarif: Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas (Rp4.800.000.000 x Rp610.000.000) / Rp6.000.000.000 = Rp488.000.000 Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas Rp610.000.000 – Rp488.000.000 = Rp122.000.000 Maka, besaran PPh terutangnya adalah (50% x 22%) x Rp488.000.000 = Rp53.680.000 22% x Rp122.000.000 = Rp26.840.000 Total PPh terutang= Rp53.680.000 + Rp26.840.000 PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp80.520.000 PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar: PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25 Rp10.000.000 + Rp20.000.000 + Rp100.000.000 Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut. Rp80.520.000 – Rp130.000.000= (Rp49.480.000) Dalam hal ini, PT Abjad XYZ memiliki lebih bayar pajak sebesar Rp49.480.000 Contoh Penghitungan PPh Badan Tanpa Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31EPada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp60 Miliar. Selain itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan pendapatan sebagai berikut:
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad XYZ: Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto Rp60.000.000.000 – Rp54.000.000.000 = Rp6.000.000.000 Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya Rp500.000.000 – Rp300.000.000 = Rp200.000.000 Total Penghasilan Neto = Rp6.000.000.000 + Rp200.000.000 Total Penghasilan Neto = Rp6.200.000.000 Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian Penghasilan Kena Pajak = Rp6.200.000.000 – Rp100.000.000 Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp6.100.000.000 Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp50 miliar, maka tidak memperoleh fasilitas pengurangan tarif sehingga penghitungannya: 22% x Penghasilan Kena Pajak 22% x Rp6.100.000.000 = Rp1.342.000.000 PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp1.342.000.000 PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar: PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25 Rp100.000.000 + Rp400.000.000 + Rp500.000.000 Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut. Rp1.342.000.000 – Rp1.000.000.000= Rp342.000.000 Dalam hal ini, PT Abjad XYZ masih harus membayar pajak sebesar Rp342.000.000 Setelah mendapatkan nominal PPh kurang bayar, wajib pajak badan kemudian dapat menyetorkan dan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan pada negara. Proses setor dan lapor ini dapat dilakukan melalui situs resmi DJP di e-SPT. Alternatif lainnya, wajib pajak badan juga dapat melakukannya SPT PPh Badan mereka melalui OnlinePajak, penyedia jasa aplikasi perpajakan (PJAP) mitra resmi DJP. Proses hitung, setor, dan lapor dapat dilakukan di satu aplikasi terpusat dengan nyaman dan aman. Tertarik menggunakan OnlinePajak? Daftar sekarang! |