Hubungan wawasan nusantara dengan globalisasi

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

29 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

BLORA.

 Perkembangan kehidupan manusia dalam era globalisasi semakin mengarah pada kehidupan yang individualistik. Akibatnya, mereka terkadang menunjukkan sikap yang kurang peduli dalam memelihara, menjaga, serta mengembangkan wawasan kebangsaan. Minimnya kepedulian terhadap nasionalisme atau wawasan kebangsaan itu juga mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Kalimat tersebut disampaikan oleh Ketua Fraksi PPP MPR-RI Moh. Arwani Thomafi dalam kegiatan sosialisasi empat pilar kebangsaan di  pondok pesantren Al Hikmah Desa Ngadipurwo Blora, Jumat (18/11) yang juga dihadiri oleh KH Habib Najib.

Lebih lanjut dihadapan santri dan para guru ponpes setempat, Arwani mengungkapkan  kehidupan individualistik tersebut secara perlahan mulai menggerus rasa kepedulian terhadap kehidupan bersama, terutama rasa cinta terhadap bangsa dan negara. Gambaran kondisi kehidupan masyarakat Indonesia seperti itu tidak bisa terus dibiarkan, sehingga perlu disikapi secara bijak dan arif agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh dan kokoh, Save NKRI.

 

Sejumlah santri dan pengurus pesantren Al Hikmah mengikuti kegiatan  sosialisasai
4 pilar kebangsaan dari anggota MPR RI. (foto: geg-ib)

“Arus globalisasi telah menyebabkan nilai-nilai yang mengikat persatuan bangsa terabaikan, tergeser oleh nilai-nilai dari luar yang dipandang sebagai nilai universal. Nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, paham liberalisme diterapkan tanpa dilandasi oleh adat budaya bangsa. Kondisi itu menggambarkan semakin lunturnya semangat nasionalisme. Akibatnya, banyak warga negara merasa tidak terikat dengan negara bangsanya, serta tidak merasa bangga sebagai warga bangsa,” ucapnya.

Jika situasi ini terus terjadi, menurutnya lambat laun wawasan kebangsaan mereka akan terkikis. Untuk itu, perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh dan serius gerakan memperkokoh wawasan kebangsaan di era globalisasi. Wawasan kebangsaan disini pada hakekatnya adalah hasrat yang sangat kuat untuk bersama-sama mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi. Wawasan kebangsaan tidak dilandasi atas asal-usul kedaerahan, suku, keturunan, status sosial dan agama.

“Sebagai sebuah bangsa, saat ini Indonesia dapat dikatakan tengah mengalami krisis kebangsaan yang cukup serius, dan itu berpotensi mengarah pada situasi yang lebih buruk. Hal itu ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok eklusifisme berdasarkan pada sentimen primordial yang sempit. Situasi itu bisa memicu konflik horizontal dan cenderung mudah terjadi di seluruh Indonesia,” terangnya

Faktor lain penyebab timbulnya krisis kebangsaan tersebut menurut Arwani karena nilai-nilai yang ada pada Pancasila sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai perekat kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat perlu terus ditingkatkan pemahaman dan implementasinya dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, serta pembentukan jati diri sebuah bangsa.

“Pancasila beserta nilai yang terkandung di dalamnya sebagai pandangan ideologi dan hidup bangsa ini harus terus diaktualisasikan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat, sehingga kita dapat membuat konsep kebangsaan yang tepat untuk masa depan.“Imbuhnya

Dengan semangat kebangsaan yang tinggi, kekhawatiran akan terjadinya ancaman terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa akan dapat dielakkan. Semangat itu akan berbuah kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban, serta dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Rasa kesetiakawanan sosial akan mempertebal semangat kebangsaan suatu bangsa. (ima)

PERAN WAWASAN NUSANTARA DI ERA GLOBALISASI

 

Hubungan wawasan nusantara dengan globalisasi

Nama                    : Acib Setia Ibadah

NRP                     : 1513100051

Kelompok             : 4

Mata Kuliah         : Kewarganegaraan

Dosen                   : Soedarso

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA 2013

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keanekaragaman (suku, budaya, pendapat, kepercayaan, hubungan, dan sebagainya) memerlukan suatu perekat agar bangsa yang bersangkutan dapat bersatu untuk memelihara keutuhan negaranya. Suatu bangsa dalam menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya, yang didasarkan atas hubungan timbal balik atau kait-mengait antara filosofi bangsa, idiologi, aspirasi, dan cita-cita yang dihadapkan pada kondisi sosial masyarakat, budaya dan tradisi masyarakat, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah. Upaya pemerintah dan rakyat menyelenggarakan kehidupannya, memerlukan suatu konsepsi yang berupa wawasan nasional yang dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri.

Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia yang dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut wawasan nusantara dan politik luar negeri bebas aktif, sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, karena dua per tiga wilayah Indonesia adalah laut, maka diperlukan strategi besar maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim yang dapat menjamin kedaulatan dan intregitas wilayah dari berbagai ancaman.

Nusantara dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Sedangkan wawasan nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputih tanah (darat), air (laut), dan udara yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh dan menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam (pertahanan dan keamanan).

Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan moral. Seseorang dapat berperilaku buruk akibat penggunaan teknologi yang tidak pada tempatnya. Efek dari globalisasi tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Meleburnya norma dan nilai di masyarakat akibat globalisasi membuat generasi muda tidak lagi mengindahkan aturan. Tindakan dan perilaku masyarakat yang arogan, mengikuti mode/trend, bergaya hidup mewah/boros, merupakan contoh nyata dari adanya globalisasi.

BAB II

PEMBAHASAN

Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa, dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut, dan udara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahaan keamanan. Wawasan nusantara merupakan sebuah alat yang menyatukan semua kepulauan yang ada di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beberapa pulau, dan untuk menyatukannya bukanlah suatu tindakan yang mudah. Setelah Deklarasi Djuanda itu terjadi yang sudah melahirkan konsep wawasan nusantara, laut nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan yang mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia (Erwin, 2011).

Wawasan nusantara di era globalisasi ini kini mengalami perubahan, akibat semakin berkembangnya iptek dan kemajuan teknologi. Agar rakyat Indonesia tidak mengalami ketertinggalan akibat semakin berkembangnya kemajuan teknologi maka dalam penulisan ini akan diungkapkan sedikit pengetahuan tentang apa saja yang  harus dilakukan masyarakat Indonesia agar wawasan masyarakat Indonesia semakin berkembang untuk menghadapi pengaruh globalisasi di dunia (Erwin, 2011).

Masuknya globalisasi ekonomi dan budaya oleh negara sekular ke negara berkembang selalu akan melalui system pemerintahan negara berkembang itu sendiri. Oleh karena itu, system pemerintahan negara berkembang yang bercorak sekular dan materialistic akan menjadi makanan empuk bagi program globalisasi negara maju. Akan ditemui segelintir elit (pejabat pemerintah dan swasta ) nasional yang mendukung program mereka dalam memperkaya diri dan mengeksplorasi rakyat serta menyerap kekayaan tanah air. Oleh karena itu diperlukan orang “kuat” dalam negara berkembang yang mampu menahan gelombang arus globalisasi disamping penataan sistem pemerintahan berdasarkan moral agama (Gatara, 2011).

Globalisasi telah mengikis pula budaya dan kultur yang telah menjadi ciri khas bangsa. Dunia seni dan hiburan banyak dipengaruhi oleh negara Barat, identitas bangsapun mulai luntur seiring dengan kemajuan zaman. Indonesia kaya akan seni dan budaya, akan tetapi potensi tersebut tidak mampu diberdayakan dengan baik. Hal ini dikarenakan pemberdayaan seni dan budaya terkesan sentralistik, sehingga kebudayaan kita terhegemoni dan dimonopoli oleh etnik tertentu. Fenomena ini dapat berimplikasi pada terancamnya masa depan bangsa sehingga perlu perumusan nasionalisme baru untuk menanggulanginya. Abad 21 juga jelas merupakan era kompetitif dan Indonesia sebagai suatu kesatuan bangsa akan menghadapi kompetisi yang ketat di dunia Internasional dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu secara internal bangsa ini perlu mempersiapkan diri dalam segala aspek khususnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (Gatara, 2011).

Arus modernisasi dan globalisasi mempunyai banyak nilai positif dan negatifnya. Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali diejrk teman sejawatnya. Sisi negatif dari arus modernisasi yaitu fasilitas-fasilitas yang ada di era globalisasi ini sebagian besar disalahgunakan oleh para penggunanya. Contoh, internet sekarang ini sering dijadikan arena untuk mencari situs-situs ‘dewasa’, hand phone digunakan untuk menyimpan data-data yang tidak mendidik moral seseorang, dan lain-lain (Aburaera, 2013)

Fenomena globalisasi yang telah merong-rong ideologi Pancasila semakin jelas terlihat. Nilai-nilai sosial yang dulu dijunjung tinggi kini perlahan mulai terkikis oleh kebudayaan ‘pop’ yang menyebar dengan leluasa. Banyak diantara masyarakat yang tidak menyadari akan dampak-dampak globalisasi ini. Akibatnya dengan begitu mudah dampak negatif ini mengotori dan akan segera menggeser peradaban. Masyarakat awam cenderung menikmati globalisasi ini bukan sebagai kemajuan, namun hanya kesenangan materi semata (Gatara, 2011).

Remajalah yang menjadi korban paling banyak dalam globalisasi ini, gaya hidup ‘pop’ yang mulai membudaya semakin memperburuk keadaan moral remaja. Sekarang ini, tawuran antar pelajar sudah menjadi berita yang biasa. Pornografi dan kekerasan yang dilakukan juga tak luput merupakan efek dari globalisasi ini. Canggihnya koneksi internet tanpa batas semakin mempermudah para remaja untuk terjangkit dampak negatif itu. Remaja saat ini juga lebih mementingkan penampilan semata. Mereka menjadi korban iklan dan mode yang sebenarnya merupakan penjajahan besar-besaran. Akan tetapi sayangnya hanya sedikit sekali diantara mereka yang menyadari semua itu. Kebanyakan dari mereka justru terbawa arus hedonisme (adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup). Pendidikan seakan-akan bukan lagi menjadi kebutuhan, namun hanya menjadi pelengkap saja.

Untuk menanggulangi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para orangtua dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang negatif. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Sesungguhnya nilai moral dan budi pekerti yang merupakan fondasi utama perilaku baik dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakannya.

Pemahaman dan pengalaman ajaran agama semenjak dini pun diyakini dapat menanggulangi permasalahan di atas. Pengetahuan agama akan membentengi seseorang dari perilaku amoral, kriminal, dan budaya-budaya asing yang negatif (Aburaera, 2013).

Pancasila sebagai moral bangsa juga diharapkan bisa menjadi tuntutan bagi bangsa kita agar mampu menghindarkan hal-hal buruk yang akan membawa bangsa kita pada perubahan yang memprihatinkan. Dengan penerapan ini, bangsa kita akan mempunyai manusia-manusia dengan kualitas yang tinggi sehingga Indonesia akan menjadi bangsa yang maju.

Dengan penerapan Pancasila sebagai moral bangsa, bangsa kita akan mampu menghindarkan diri dari watak hipokrit yang senang berpura-pura. Sifat ini akan membatasi manusia untuk berbuat jujur dan kebohongan akan membawa negara kita pada kehancuran ini. Nilai Pancasila yang diterapkan akan membantu masyarakat untuk bersikap tanggung jawab sehingga tidak perlu melemparkan kesalahan pada orang lain. Selain itu, penerapan Pancasila sebagai moral bangsa juga akan melatih bangsa kita menjadi bangsa yang adil sehingga tidak aka nada perbudakan pada yang lemah oleh yang kuat (Aburaera, 2013).

Penerapan Pancasila sebagai moral bangsa ini juga penting dalam membentuk pribadi yang kuat akan keyakinan yang benar dan tidak mudah goyah oleh tekanan dan godaan apapun. Selain itu, penerapan tersebut juga akan membuat kita terhindar dari sifat dengki, cemburu dan juga kurang sabar (Aburaera, 2013).

BAB III

KESIMPULAN

Wawasan nusantara pada hakekatnya membawa kita untuk memikirkan kembali cara pandang kita terhadap Negara dan bangsa ini dipandang dari sudut politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan dan keamanan. Kepedulian kita sebagai anak bangsa, jiwa persatuan yang kokoh, dan semangat perjuangan yang tinggi untuk membangun tanah air dan bangsa menguatkan masyarakat dalam kancah pergaulan antar bangsa di era globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aburaera, Sukarno. 2013. “Filsafat Hukum Teori dan Praktik”. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.

Erwin, Muhammad. 2011. “Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Refika Aditama: Bandung.

Gatara, Asep Sahid dan Subhan Sofhian. 2011. “Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pendidikan Politik, Nasionalisme, dan Demokrasi”. Fokusmedia: Bandung.