Hukum memberi pinjaman uang yang sangat dibutuhkan karena keadaan gawat

Dhafi Quiz

Find Answers To Your Multiple Choice Questions (MCQ) Easily at Belajar.dhafi.link. with Accurate Answer. >>

Ini adalah Daftar Pilihan Jawaban yang Tersedia :

  1. sewa menyewa
  2. pinjam meminjam
  3. jual beli
  4. hutang piutang
Klik Disini Untuk Melihat Jawaban

Kuis Dhafi Merupakan situs pendidikan pembelajaran online untuk memberikan bantuan dan wawasan kepada siswa yang sedang dalam tahap pembelajaran. mereka akan dapat dengan mudah menemukan jawaban atas pertanyaan di sekolah. Kami berusaha untuk menerbitkan kuis Ensiklopedia yang bermanfaat bagi siswa. Semua fasilitas di sini 100% Gratis untuk kamu. Semoga Situs Kami Bisa Bermanfaat Bagi kamu. Terima kasih telah berkunjung.

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

27 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

Ilustrasi utang, meminjam uang. /Pixabay

PIKIRAN RAKYAT – Dalam kondisi terdesak, terkadang seseorang memilih cara berutang sebagai solusi. Islam tidak melarang umatnya untuk berutang atau meminjam uang, tetapi ada banyak anjuran dari Al-Qur’an maupun hadits yang menjelaskan tentang meminjam uang (berutang).

Berikut adalah etika dan hukum meminjam uang alias berutang.

Pertama, ketika hendak meminjam uang, seseorang harus mempunyai niat yang kuat untuk membayar kelak saat jatuh tempo. Hal ini sesuai hadits dari Hurairah:

“Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niat ingin melunasinya, Allah akan melunasinya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya” (HR Bukhari: 2387).

Baca Juga: Hukum Menghindari atau Tidak Membayar Utang dalam Islam, Jangan Pernah Menunggu Ditagih

Kedua, dalam menjalankan transaksi utang piutang dengan nominal yang cukup banyak, sebaiknya menghadirkan saksi atau ditulis dengan tanda tangan kedua belah pihak yang bertujuan menghindari perselisihan antara dua pihak walaupun secara normatif dalam masalah ini kedudukan saksi atau tulisan hukumnya tidak wajib.

Menurut riwayat Ibnu Abbas sebagaimana dikutip banyak ulama bahwa ayat 282 Surat al-Baqarah tidak menjelaskan tentang kewajiban menuliskan transaksi utang piutang. Namun, menjelaskan perihal diperbolehkannya akad pesan (salam).

Pernyataan Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutip oleh As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzab lengkapnya sebagaimana berikut:

“Saya bersaksi, sesungguhnya akad salam ditanggung sampai waktu jatuh tempo yang telah ditentukan dan dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Kemudian, Allah Ta’ala berfirman Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya,” (Ibrahim As-Syirazi, Al-Muhadzab, [DKI], juz 2, hal. 71).

Page 2

Baca Juga: Doa Ketika Terbangun Malam Hari, Niscaya Allah Akan Hapus Dosa Hambanya

Ketiga, apabila sudah sampai pada waktu jatuh tempo dan mempunyai harta di luar persediaan makanan pokok dirinya dan keluarganya, utang harus dibayarkan sesuai prinsip dari Nabi bahwa menunda utang bagi orang yang mampu merupakan kezaliman.

“Efek dari utang piutang, bagi orang yang berutang wajib membayarnya apabila sudah jatuh tempo karena sesuai dengan firman Allah memberikannya dengan baik dan berdasar hadits Nabi penundaan membayar utang bagi orang yang mampu membayarkannya merupakan sebuah kedzaliman,” (Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Darus Salasil, cet 2], juz 3, hal. 268).

Keempat, jika sudah jatuh tempo tapi belum dibayar, dan pemberi utang mencekal supaya tidak pergi jauh, ia wajib mematuhi. Bepergian bisa menimbulkan kekhawatiran kreditur karena ada potensi utang tidak terbayarkan.

Kelima, pemilik utang harus mempersilakan seandainya pemberi utang ingin menginap di rumah atau bahkan mengikutinya ke mana-mana karena dia mendapatkan hak tersebut selama sudah sampai waktu jatuh tempo.***

Beberapa kalangan menyamakan aktivitas meminjam dengan berutang.

Jumat , 24 Apr 2020, 10:48 WIB

OJK

Tips meminjam di fintech peer to peer lending.

Rep: Yusuf As-Sidiq Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Pinjam-meminjam telah menjadi bagian keseharian masyarakat, baik yang melibatkan barang, uang, tanah, maupun benda lainnya. Sejak zaman Rasulullah, kegiatan ini telah dipraktikkan dan terus mengalami perkembangan. Kini banyak hadir institusi keuangan yang khusus berkecimpung dalam usaha ini. Misalnya, koperasi simpan-pinjam.

Demikian pula industri perbankan, memiliki divisi perkreditan yang pada dasarnya juga memberikan pinjaman uang bagi nasabahnya. Rasulullah juga telah memberikan petunjuk dan arahan mengenai hal ini. Beberapa kalangan menyamakan aktivitas meminjam dengan berutang. 

Maka itu, pada beberapa hal hukum keduanya saling berkait. Praktik ini dalam bahasa Arab adalah qardh, artinya hampir mirip dengan jual beli. Secara harfiah, maknanya yakni pengalihan hak milik harta atas harta. Menurut paham hanafiah, qardh merupakan harta yang memiliki kesepadanan yang diberikan, kemudian ditagih kembali.

Kalangan ulama membolehkan transaksi tersebut. Dasarnya adalah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. “Bukan seorang Muslim (mereka) yang meminjamkan Muslim (lainnya) dua kali, kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah”. Demikian pernyataan Rasulullah.

Dasar lainya adalah Alquran dalam surah al-Haddid ayat 11. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya. Dan, dia akan memperoleh pahala yang banyak”. Meminjam sesuatu juga punya landasan secara ijma.

Para ulama memandang, kesepakatan itu tidak lepas dari hakikat manusia yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Sesuatu yang tidak dimiliki, padahal sangat dibutuhkan, bisa didapat melalui cara meminjam. Ketentuan mengenai transaksi peminjaman ini mendapat perhatian ulama mazhab.

Mazhab Hanafi memandang beberapa barang bisa dipinjamkan karena mempunyai nilai kesepadanan serta perbedaan nilainya tidak terlampau jauh. Antara lain, barang-barang yang ditimbang, seperti biji-bijian; yang ukurannya serupa, misalnya kelapa dan telur; dan yang diukur, seperti kain dan bahan.

Sementara mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali memperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang dapat diperjualbelikan, semisal perak, emas, binatang, maupun makanan. Adapun menyangkut hak kepemilikan, merujuk pada pendapat Abu Hanifah, maka telah berlaku melalui penyerahan. Seseorang yang meminjam satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh (penyerahan), maka berhak menggunakan dan mengembalikan dengan yang semisalnya. Pendapat dari mazhab Maliki menegaskan hak kepemilikan berlangsung lewat transakasi, meski tidak menjadi qabdh atas harta.

Peminjam diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri, baik harta itu memiliki kesepadanan maupun tidak, selama tidak mengalami perubahan: bertambah atau berkurang. Apabila berubah, maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.

Mazhab Syafi’i dan Hambali mengemukakan, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Muqtaridh mengembalikan harta yang semisal ketika harta yang dipinjam punya nilai sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya.

Imam Hanbali mengharuskan pengembalian harta semisal jika yang diutang adalah harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli fikih.  Bila objek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua versi: harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh atau harus dikembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.

Keempat mazhab sepakat bahwa dalam transaksi ini tidak diperbolehkan qardh yang bertujuan mendatangkan keuntungan bagi peminjam. Dengan kata lain, praktik riba harus dijauhi dan hukumnya haram. Misalnya, memberi pinjaman seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya.

Nabi Muhammad mengatakan, semua utang yang menarik manfaat adalah riba. Dalam kitab Fawaid al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi memberi penekanan terhadap pinjaman yang dilakukan kepada bank konvensional. Ia menggarisbawahi, bank konvensional biasanya menerapkan sistem bunga yang diharamkan Islam.

Namun, ia memberi toleransi dengan beberapa catatan. Pertama, tidak ada alternatif lain. Kedua, hanya untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Dan ketiga, dibolehkan sekadarnya hingga kebutuhan terpenuhi. Apabila sudah terpenuhi, meminjam tersebut menjadi haram kembali. ed: ferry kisihandi

sumber : Pusat Data Republika

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA