Iman seseorang kepada allah harus dibuktikan dengan a teori b. perbuatan c. alasan d niat

tirto.id - Rukun iman ada 6 yang mesti diyakini umat Islam. Iman dalam Islam merupakan dasar atau pokok kepercayaan yang harus diyakini setiap muslim. Jika tak memiliki iman, seseorang dianggap tidak sah menganut Islam.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab RA, ketika malaikat Jibril menyaru menjadi seorang laki-laki, ia bertanya kepada Nabi Muhammad SAW:

" ... 'Beritahukan kepadaku tentang Iman' Rasulullah SAW menjawab 'Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.' Orang tadi [Jibril] berkata, 'Engkau benar'," (H.R. Muslim).

Hadis di atas menjelaskan enam rukun Iman yang mesti diyakini seorang muslim sebagai berikut:

Iman seseorang kepada allah harus dibuktikan dengan a teori b. perbuatan c. alasan d niat

  1. Iman pada adanya Tuhan Allah Yang Maha Esa.
  2. Iman pada adanya malaikat Allah SWT.
  3. Iman pada adanya kitab-kitab Allah SWT.
  4. Iman pada adanya rasul-rasul Allah SWT.
  5. Iman pada adanya hari kiamat.
  6. Iman pada qada dan qadar, adanya takdir baik dan buruk ciptaan Allah SWT.
Dalam buku Rukun Iman (2012), Hudarrohman menjelaskan bahwa iman menjadi sah ketika dilakukan dalam tiga hal, yaitu iman yang diyakini dalam hati, kemudian diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.

Aspek-aspek rukun iman dalam Islam dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:

1. Iman kepada Allah SWT

Iman kepada Allah SWT dilakukan dengan mempercayai dan meyakini bahwa Allah itu benar-benar ada, kendati seseorang tidak pernah melihat wujud-Nya atau mendengar suara-Nya.

Untuk beriman kepada-Nya, seorang muslim harus mengetahui sifat-sifat-Nya, baik itu sifat-sifat wajib, jaiz, atau mumkin, atau dapat juga dilakukan dengan mengenal 99 Asmaul Husna yang tertuang dalam Alquran atau hadis.

2. Iman kepada Malaikat Allah SWT

Iman kepada malaikat Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa malaikat itu benar-benar ada. Seorang muslim mesti meyakini adanya malaikat kendati tidak pernah melihat wujudnya, mendengar suaranya, atau menyentuh zatnya.

Perintah mengimani malaikat ini tertera dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 285:

"Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya," (QS. Al-Baqarah [2]: 285).

Baca juga: 10 Nama-Nama Malaikat dan Tugasnya Menurut Agama Islam

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah SWT

Iman kepada kitab-kitab Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah menurunkan kitab kepada utusan-Nya. Kitab ini merupakan pedoman, petunjuk kebenaran dan kebahagiaan, baik itu di dunia maupun akhirat.

Keberadaan kitab-kitab Allah SWT ini tertera dalam Alquran surah Al-Hadid ayat 25:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca [keadilan] supaya manusia dapat melaksanakan keadilan," (QS.Al-Hadid [57]: 25).

Dengan beriman kepada kitab Allah, seorang muslim membenarkan secara mutlak bahwa kitab-kitab itu merupakan firman Allah SWT. Isinya adalah kebenaran yang wajib diikuti dan dilaksanakan.

Dalam buku Rukun Iman (2007) yang diterbitkan Universitas Islam Madinah, disebutkan bahwa beriman kepada kitab Allah dapat dilakukan dengan dua hal, yaitu beriman secara umum dan terperinci.

Pertama, beriman secara umum artinya meyakini bahwa Allah SWT menurunkan kitab-kitab kepada rasul-Nya. Jumlahnya, tiada yang tahu kecuali Allah SWT sendiri.

Kedua, beriman secara terperinci artinya mengimani kitab-kitab yang disebutkan Allah SWT secara spesifik dalam Alquran, seperti Taurat, Injil, Zabur, Alquran, serta Suhuf Ibrahim dan Musa.

4. Iman kepada Rasul-rasul Allah SWT

Iman kepada rasul-rasul Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah benar-benar menurunkan rasul-Nya kepada suatu masyarakat tertentu untuk menyampaikan ajaran-Nya.

Siapa saja yang mengikuti rasul-rasul itu akan memperoleh hidayah dan petunjuk. Sebaliknya, yang mengingkari Rasul-Nya akan tersesat.

Keberadaan rasul Allah SWT ini tertera dalam Alquran surah Al-Hajj ayat 75:

“Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat," (QS.Al-Haj [22]:75).

Baca juga: Tugas Rasul-Rasul Allah SWT sebagai Penyampai Wahyu kepada Manusia

5. Iman kepada Hari Kiamat

Iman kepada hari kiamat dilakukan dengan mempercayai bahwa suatu hari kehidupan di semesta akan musnah. Selepas itu, manusia akan dibangkitkan dari kubur, dikumpulkan di padang mahsyar, dan diputuskan ke surga atau neraka.

Dalam surah Al-Infithar ayat 14 dan 15, Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan [hari kiamat]," (QS. Al-Infithar [82]:14-15).

6. Iman kepada Qada dan Qadar

Iman kepada qada dan qadar dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah SWT telah menetapkan takdir manusia, baik itu yang buruk maupun yang baik.

Pertama, qada merupakan takdir atau ketetapan yang tertulis di lauh al-mahfuz sejak zaman azali.

Takdir dan ketetapan ini sudah diatur oleh Allah SWT bahkan sebelum Dia menciptakan semesta berdasarkan firman-Nya dalam surah Al-Hadid ayat 22:

“Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat dalam kitab [lauh al-mahfuz] dahulu sebelum kejadiannya," (QS. Al-Hadid [57]: 22).

Artinya, qada merupakan ketetapan Allah SWT terhadap segala sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Hal ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

"Allah SWT telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi," (H.R. Muslim).

Kedua, qadar adalah realisasi dari qada itu sendiri. Artinya, adalah ketetapan atau keputusan Allah SWT yang memiliki sifat Maha Kuasa (qudrah dan qadirun) atas segala ciptaan-Nya, baik berupa takdir yang baik, maupun takdir yang buruk.

Jika qada itu ketetapan yang belum terjadi, maka qadar adalah terwujudnya ketetapan yang sudah ditentukan sebelumnya itu.

Dilansir dari NU Online, karena qada dan qadar adalah perkara gaib, keduanya tidak bisa menjadi alasan seorang muslim bersikap pasif dan pasrah dengan takdirnya.

Dengan beriman kepada qada dan qadar, seorang muslim tetap harus berikhtiar, berusaha, dan mengupayakan potensinya agar dapat terwujud, serta produktif di kehidupan sehari-hari.

Baca juga:

  • Iman kepada Qada dan Qadar: Pengertian & Maknanya Menurut Islam
  • Dalil Naqli yang Menjelaskan Qada dan Qadar

Baca juga artikel terkait RUKUN IMAN atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/tha)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno
Kontributor: Abdul Hadi

Array

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Keimanan dalam Islam adalah pengesahan dan penegasan, dan itu adalah bahan kepercayaan dalam bahasa, di mana buku-buku bahasa telah berkembang dalam perluasan yang memenuhi pemahaman ulama.

Dalam terminologi hukum Islam alias syariah, itu adalah kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan pada malaikat-Nya, dan kepercayaan pada kitab-kitabnya. kepercayaan kepada Rasul-Nya, kepercayaan kepada Hari Akhir, dan kepercayaan kepada takdir, baik dan buruknya. [1]

Tafsirkan keimanan dalam arti: pengesahan, dan artinya: “ penerimaan dan penyerahan hati kepada apa yang diketahuinya tentang kebutuhan yang berasal dari agama Muhammad , saw. ” Itu adalah keyakinan di dalam hati, dan hanya Tuhan tahu sifat aslinya. Rukun iman ada enam: percaya kepada Tuhan, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul -rasul-Nya , Hari Akhir, dan takdir, yang baik dan yang buruk, dan ini adalah dasar-dasar iman.Semoga keselamatan dan berkah Allah atasnya dari Allah, dengan penerimaan, penerimaan dan kepastian.” Ini juga termasuk: kepercayaan pada yang gaib, seperti surga dan neraka, hari akhir,hari kebangkitan, hisab, keseimbangan, jalan, dan sebagainya. pada. Perbedaan antara Islam dan iman adalah bahwa Islam adalah pernyataan dan tindakan yang nyata, dan iman adalah keyakinan yang nyata, jadi tempatnya adalah hati. Iman adalah syarat benarnya bekerja dengan Allah, maka barang siapa mengerjakan amal saleh dalam keadaan tidak beriman kepada Allah; Tuhan tidak menerima itu darinya, tetapi dalam aturan duniawi, dia menerima yang nyata dan pertanggung jawabannya ada di sisi Tuhan. Dan iman mendorong pemiliknya untuk melakukan perbuatan yang diperintahkan Allah swt dalam hukum syariat berdasarkan quran dan dahis, tetapi perbuatan bukanlah syarat sahnya keimanan, dan sebagai imbalannya, dosa tidak menghilangkan keimanan sepenuhnya, tetapi keimanan bertambah dengan perbuatan dan ibadah.[2]

Pendapat para ulama

Nama iman menurut Ahl al-Sunnah wal-Jamaa’ah adalah: “ Beriman dengan hati, berbicara dengan lisan, dan bertindak dengan anggota badan dan rukun; Itu bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan ketidaktaatan. » , dan di antara ucapan mereka tentang itu: [3]

  • Ibn Abd al-Barr berkata : “ Para ahli fiqih dan hadits sepakat bahwa iman adalah pernyataan dan perbuatan, dan tidak ada perbuatan tanpa niat . » .
  • Al - Syafi'i mengatakan dalam Kitab al-Umm : " Konsensus para sahabat , dan orang-orang yang mengikuti mereka setelah mereka, adalah bahwa kami menyadari bahwa iman adalah pernyataan, tindakan, dan niat . Salah satu dari tiga tidak. cukup untuk yang lain. » .
  • Muhammad bin Ismail bin Muhammad bin Al-Fadl Al-Taymi Al-Asbahani berkata : “ iman dengan hati, dan bekerja dengan rukun . ”
  • Sufyan bin Uyaynah berkata : “ Iman adalah ucapan dan perbuatan, itu bertambah dan berkurang. » . [4]
  • Abu Al -Hasan Al-Asy’ari berkata : “ Mereka sepakat bahwa iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, dan kami tidak ragu-ragu tentang apa yang Dia perintahkan kepada kami untuk beriman, dan kami tidak menguranginya, karena itulah tidak percaya. Bahkan jika kita semua melakukan tugas kita.”

Perbedaan antara meningkatnya keimanan dan menurunnya iman, dan dampaknya terhadap Islam seseorangkeadilan

Iman itu ada derajatnya, bertambahnya keimanan dengan mencapainya, dan kebalikan dari itu semua adalah ciri-ciri orang munafik , dan kemunafikan juga ada ciri-cirinya.Mungkin seseorang telah mengumpulkan sebagian orang beriman dan sebagian ciri orang munafik. Semua itu tidak menghilangkan keislaman seseorang secara teori, tetapi berbeda dalam praktiknya, karena Allah mengancam orang-orang munafik dengan siksaan seperti azab orang-orang kafir, dan bahkan dimulai dengan orang-orang munafik; Di mana dia berkata: " Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di Neraka ."  Dan di tempat-tempat lain, dengan siksaan yang lebih berat, sebagaimana firman Yang Maha Kuasa: Orang-orang munafik akan berada di kedalaman api neraka yang paling rendah, dan kamu tidak akan menemukan penolong bagi mereka.  . Meskipun itu tidak menghilangkannya dari gelar Muslim di kalangan Muslim, selama dia tidak menemukan sesuatu yang menghilangkannya.

Kualitas iman dikenal sebagai orang beriman . Adapun kebalikan dari (sifat-sifat orang munafik), sebagian dari apa yang disebutkan Nabi dalam hadits: ((Empat orang yang ada di dalamnya adalah kemunafikan murni, dan siapa pun yang ada di dalamnya adalah salah satu yang istimewa di dalamnya. , dan itu boleh. Dan ketika dia bertengkar, dia bangun).[5]

Adapun sikap 'percaya' didapatkan setelah memahami apa yang disampaikan oleh mu'min mubaligh serta visi konsep kehidupan yang dibawakan. Percaya dalam Qur'an selalu dalam konteks sesuatu yang ghaib, atau yang belum terrealisasi, ini artinya sifat orang yang beriman dalam tingkat paling rendah adalah mempercayai perjuangan para pembawa risalah dalam merealisasikan kondisi ideal bagi umat manusia yang dalam Qur'an disebut dengan 'surga', serta meninggalkan kondisi buruk yang diamsalkan dengan 'neraka'. Dalam tingkat selanjutnya orang yang beriman ikut serta dalam misi penegakkan Din Islam.

Adapun sebutan orang yang beriman adalah Mu'min

Tahap dan Tingkatan Iman serta Keyakinan
Tahap-tahap keimanan dalam Islam adalah:

  • Dibenarkan di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan Kebenaran yang disampaikan)
  • Diikrarkan dengan lisan (menyebarkan Kebenaran)
  • Diamalkan (merealisasikan iman dengan mengikuti contoh Rasul)

Tingkatan Keyakinan terhadap Islam (Yaqin) adalah:

  • Ilmul Yaqin (yakin setelah ada keilmuan yang cocok dengan kitab suci dan hadis) contoh ---- seperti keyakinan ilmuwan amerika telah membuktikan bahwa seluruh alam semesta diciptakan hanya dalam 6 hari[6]
  • 'Ainul Yaqin (yakin setelah melihat fakta di depan mata hasilnya baik berupa mu'zizat, karomah dll ) contoh ----- keyakinan orang-orang mekah yakin setelah melihat mu'zizat dari nabinya yang bisa membelah bulan.
  • Haqqul Yaqin (yakin yang sebenar-benarnya meskipun tidak dapat dibuktikan secara empiris dan ilmiah atau belum adanya bukti-bukti yang mendukung.) ------ keyakinan umat muslim yang harus percaya bahwa Muhammad Saw telah pergi ke langit ketujuh dan ke Israel untuk menego Allah SWT agar dapat diturunkan jumlah sholat dari 50 menjadi 5, walaupun itu masih tidak dapat dibuktikan kebenarannya namun harus diyakini.

Keimanan dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan teologi Islam yaitu rukun iman. Lingkup keimanan dalam Islam juga membahas mengenai akidah dan akhlak. Hal demikian memperoleh keterangan salah satunya dalam Surah Al-Kahfi ayat 30.[7] Keluasan lingkup keimanan dalam Islam juga diketahui dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah mengenai iman. Dalam hadis tersebut, disebutkan bahwa cabang iman berjumlah lebih dari 70 macam. Cabang dengan tingkatan tertinggi adalah tauhid dan yang terendah adalah menghilangkan bahaya yang dapat terjadi di jalan.[7]

Pembenaran keimanan dalam Islam dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan huruf alif, mim, dan nun. Ayat-ayat yang menggunakan huruf-huruf tersebut dengan arti pembenaran antara lain Surah Yunus ayat 90, Surah Yusuf ayat 17 dan Surah Yasin ayat 25.[8] Sementara dalam Surah Al-Hujurat ayat 15 dijelaskan mengenai pembuktian keimanan dalam Islam. Keimanan harus dibuktikan melalui keyakinan di dalam hati disertai dengan lisan dan amal perbuatan.[9]

Seruan pertama di dalam Al-Quran kepada orang-orang yang beriman kepada Allah adalah di Surah Al-Baqarah ayat 104. Ayat ini menyeru kepada orang-orang yang beriman untuk tidak mengatakan ra'ina tetapi unzhurna.[10] Penyebab turunnya ayat ini adalah adanya pengumpatan kata dari orang-orang Yahudi pada masa Nabi Muhammad melalui perbedaan penyebutan ra'ina.[11]

  1. ^ مارف, م.م خليل أحمد (2016-04-01). "ندرة الموارد الاقتصادية من حيث الأصل بين الحقيقة والأوهام". Halabja University Journal. 1 (3): 28–46. doi:10.32410/huj-10153. ISSN 2412-9607. 
  2. ^ Tabari, Al. "Tafsir al-Tabari". https://islamweb.net/ar/library/index.php?page=bookcontents&ID=5047&idfrom=4972&idto=4972&flag=0&bk_no=50&ayano=0&surano=0&bookhad=0. Diakses tanggal 1-1-2019.  Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan); Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  3. ^ عبود, ثائر غازي (2018). "حقيقة الإيمان عند أهل اللغة والفرق الكلامية :, الماتريدية والاشاعرة إنموذجاً". مجلة كلية الإمام الأعظم الجامعة: 619. doi:10.36047/1227-000-026-013. 
  4. ^ المنصوري, عبدالواحد زيارة اسكندر; يعقوب, مصطفى حامد (2018). "الظواهر الصوتية عند الأجهوري ت. 1066 هـ في شرح الدرر السنية في نظم السيرة النبوية للحافظ العراقي ت. 806 هـ". مجلة أبحاث البصرة للعلوم الإنسانية: 392. doi:10.33762/0694-043-004-019. 
  5. ^ Al-Bukhari, 2459.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  6. ^ Quran 50:38
  7. ^ a b Shofaussamawati 2016, hlm. 212.
  8. ^ Shofaussamawati 2016, hlm. 213.
  9. ^ Shofaussamawati 2016, hlm. 214.
  10. ^ Buhairi 2012, hlm. 6.
  11. ^ Buhairi 2012, hlm. 7.

  • Buhairi, Muhammad Abdul Athi (2012). Tafsir Ayat-Ayat Yā Ayyuhal-ladzīna Āmanū. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. ISBN 978-979-592-593-4.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Keimanan_dalam_Islam&oldid=21469154"