Lihat Foto JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun ini Jakarta genap berusia 492 tahun. Dengan usia hampir lima abad, membuat kota ini mengalami perubahan yang signifikan. Pembangunan terus dilakukan untuk membuat Jakarta menjadi cerminan ibu kota sebuah negara. Hal yang unik, ada banyak daerah di Jakarta yang meskipun berubah secara fisik tetapi memiliki nama yang merujuk kondisinya dahulu. Toponimi, itu istilahnya. Dalam buku "Tenabang Tempo Doeloe" karya Abdul Chaer, terbitan Masup Jakarta 2017, toponimi di Jakarta biasanya berasal dari nama pohon atau kebun yang dahulu ditanam di daerah tersebut. Nama ini berdasarkan kontur tanah, berdasarkan nama golongan etnis, berasal dari nama orang atau kejadian, atau beradal dari lima keterangan sebelum tetapi diberi imbuhan seperti pe-an. Berikut asal usul nama di daerah Jakarta, sesuai buku "Tenabang Tempo Doloe": 1. Karet Semanggi Dahulu nama kawasan yang di atasnya berdiri Universitas Atma Jaya dan Rumah Sakit Jakarta ini bernama Bendungan Udik. Dinamakan demikian lantaran lokasi ini berada di daerah Selatan bendungan. Udik memiliki arti sama dengan Selatan. Dahulu di sepanjang Jalan Sudirman, dari Kali Krukut sampai Jembatan Semanggi terdapat bendungan untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Setelah dibangun Banjir Kanal dan Pintu Air Karet, aliran air di bendungan dialihkan ke sana. 2. Cideng Nama Cideng berasal dari Bahasa Sunda, yakni Ci yang artinya air atau sungai dan deng dari Hideung yang artinya hitam. Sungai yang mengalir dari Tanah Abang sampai Petojo (wilayah Cideng) sedari dulu memiliki air yang hitam.
Lihat Foto JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta sebagai kota kosmopolitan merupakan tempat pertemuan bermacam etnis, suku, dan budaya. Secara toponimi, penamaan tempat dan wilayah di kota ini kerap dilakukan berdasarkan sejumlah hal seperti bentuk fisik lingkungan hingga nama pemilik lahan. Selama 493 tahun Jakarta berdiri, ada banyak daerah yang secara fisik sudah berubah namun tetap memiliki nama yang merujuk pada kondisinya dahulu. Berikut rangkuman sejumlah asal usul nama wilayah di Jakarta, berdasarkan sejumlah sumber. Di antaranya buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat, Tenabang Tempo Doeloe karya Abdul Chaer, dan Lexicografi Sejarah dan Manusia Betawi IV karya Ridwan Saidi. Baca juga: Perda Tata Ruang Jakarta Siap Diubah, Begini Penjelasan Wagub DKI MentengNama Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, muncul karena kawasan itu dulunya merupakan hutan yang banyak ditumbuhi pohon buah menteng. Kawasan yang dulunya merupakan kampung mulai tumbuh menjadi permukiman menengah atas, sekitar tahun 1912, kala Pemerintah Belanda membangun perumahan pegawainya di sana. Menteng dipilih karena kawasannya asri, nyaman, dan indah. Sebuah kriteria permukiman yang digemari oleh masyarakat Eropa dan pribumi kelas menengah atas, sehingga tidak heran jika kini terdapat banyak rumah mewah dan megah di kawasan ini. Beberapa di antaranya masih mempertahankan bentuk bangunan era kolonial Belanda. Saat ini Menteng dikenal dengan keberadaan taman-taman terbuka. Taman terbesar adalah Taman Suropati, kemudian Taman Lawang, Situ Lembang, serta Taman Cut Meutia. Tanah AbangHingga akhir abad ke-19, kawasan yang saat ini bernama Tanah Abang dijuluki ‘Nabang’, yang diambil dari nama jenis pohon yang banyak tumbuh di sana. Dalam penulisan formal zaman Hindia Belanda, diberi partikel “De” sehingga menjadi De Nabang. Baca juga: Jelang Natal dan Tahun Baru, Pemprov DKI Jakarta Awasi Penjualan Pangan di Kelapa Gading Penduduk sekitar kemudian menyebutnya “Tenabang”, sebagai pelesetan dari De Nabang. Lantaran dikira itu benar, perusahaan jawatan kereta api mencoba “meluruskan” nama tersebut menjadi Tanah Abang.
Jika suatu saat rubrik Nabati ini mengadakan penganugerahaan atau award untuk berbagai kategori yang dianggap “paling nabati”, maka untuk kategori kota paling nabati, pemenangnya sudah barang tentu adalah Jakarta. Lha. bagaimana tidak? Provinsi ini banyak wilayahnya yang menggunakan nama tumbuhan, baik yang setingkat kelurahan maupun kecamatan. Selain Jakarta, wilayah sekitarnya, seperti Depok dan Tangerang, juga mengoleksi tempat-tempat yang dinamai dengan nama tumbuhan. Berikut ini beberapa di antaranya. Kapuk Kalau ada yang belum tahu kapuk, kapuk ini adalah istilah lain dari kapas. Pegadungan Diambil dari kata gadung, yang merupakan salah satu jenis tanaman umbi. Kebon Jeruk Nggak cuma tanamannya, ia bahkan sampai ke kebon-kebonnya. Kemanggisan Tentu saja ini berasal dari kata manggis, yang kulitnya bisa bikin kabar gembira itu. Tanjung Duren Sudah cukup jelas, nggak perlu ditanyakan lagi. Cipete Ci artinya sungai, pete artinya petai. Mungkin ini daerah yang banyak tumbuh petai di sekitar sugainya. Pondok Labu Kalau yang tadi bawa-bawa nama kebon, nah kalau ini bawa-bawa nama pondok. Karet Masih perlu penjelasan? Cempaka Putih Cempaka adalah bahasa Indonesia untuk bunga kantil. Kebon Kelapa Ada kebon lagi nih. Mangga Dua Nah, kalau yang ini sudah main jumlah. Kebon Melati Ah, kebon lagi, kebon lagi, tapi nggak apa-apa, melati harum soalnya. Kelapa gading Kelapa yang pendek pohonnya, kelapa kate, lah. Sungai Bambu Kalau yang tadi petai di pinggir kali, kalau yang ini mungkin bambu di tengah kali. Pondok Kopi Perpaduan pas antara tempat singgah dan minuman panas. Rambutan Tidak butuh penjelasan. Kelapa Dua Kalau yang tadi Mangga Dua, sekarang Kelapa Dua. Duren Sawit Yang ini keren, dua tanaman sekaligus, duren sama sawit. Rawa Terate Kebon sudah, pondok sudah, kali ini rawa, biar adil. Dan masih banyak lagi, di antaranya Kota Bambu, Srengseng, Pinangsia, Gandaria, Kebayoran, Bintaro, Gambir, Bidaracina, dll. Nah, sampai sekarang, kami tidak tahu pasti mengapa banyak wilayah di Jakarta diberi nama dengan nama tumbuhan, tapi yang jelas, hal ini kemungkinan memang sudah menjadi tradisi lama. Maklum, bahkan sejak dulu, nama awal Jakarta pun memang sudah mengandung nabati, Sunda Kelapa. Lha, jangankan nama wilayah, nama kuburan pun pakainya nama tanaman. Jeruk purut, misalnya. Yah, inilah salah satu bentuk kreativitas sesepuh-sesepuh Jakarta. Semoga nama-nama wilayah yang unik ini tetap lestari tanpa adanya pemekaran, sebab kalau sampai ada, saya takut nanti akal muncul kelurahan atau kecamatan baru yang namanya pakai nama tanaman juga. Kelurahan Resede, Kecamatan Enceng Gondok, misalnya. |