Jawaharlal nehru adalah pemrakarsa terlaksananya gnb yang berasal dari …


A.   PENDAHULUAN

Keberadaan hukum internasional dalam tata pergaulan internasional, sesungguhnya merupakan konsekuensi dari adanya hubungan internasional yang telah dipraktikan oleh negara-negara selama ini. Hubungan internasional yang merupakan hubungan antar negara, pada dasarnya adalah ”hubungan hukum”. Ini berarti dalam hubungan internasional telah melahirkan hak dan kewajiban antar subyek hukum (negara) yang saling berhubungan baik dalam bentuk hubungan bilateral, regional maupun multilateral.

Hukum internasional mutlak diperlukan dalam rangka menjamin kelancaran tata pergaulan internasional. Hukum internasional menjadi pedoman dalam menciptakan suasana kerukunan dan kerjasama yang saling menguntungkan. Hukum internasional bertujuan untuk mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek-subjek hukum internasional.

Perkembangan dunia global yang sudah melintasi batas-batas wilayah teritorial negara lain, sangat membutuhkan aturan yang jelas dan tegas. Aturan tersebut, bertujuan agar tercipta suasana kerukunan dan kerja sama yang saling menguntungkan. Kerja sama dalam hubungan antar bangsa, memerlukan aturan hukum yang bersifat internasional. Sumber hukum internatsional berupa perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan sebagainya, mempunyai peranan penting dalam mengatur masalah-masalah bersama antara subyek-subyek hukum internasional.

Istilah lain untuk hukum internasional adalah “hukum bangsa-bangsa”. Munculnya sengketa-sengketa internasional yang banyak terjadi, lebih sering disebabkan oleh ulah segelintir negara (terutama yang memiliki kekuatan tertentu) yang mengabaikan aturan-aturan internasional yang telah disepakati bersama. Oleh sebab itu, dihormati atau tidaknya hukum internasional sangat tergantung dari komitmen setiap negara dalam memandang dan menghargai bangsa atau negara-negara lain. Dan tidak kalah pentingnya adalah bagaimana peranan Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Dewan Keamanan yang sesuai tugasnya adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional di atas kepentingan negara-negara tertentu. Karena sampai dengan sekarang masalah-masalah sengketa internasional masih sulit untuk diselesaikan melalui Pengadilan Internasional, manakala sudah melibatkan negara-negara adikuasa.

B.   SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL

1.      Sistem Hukum Internasional

Dalam berbagai kesempatan kita sering mendengar kata “sistem”. Ketika berbicara hukum, maka orang akan bertanya pentingnya sistem hukum, demikian juga ketika orang berbicara tentang hukum internasional, orang akan bertanya bagaimana sistem hukum internasionalnya dan sebagainya. Kata “sistem” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengandung arti susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara keseluruhan. Pengertian sistem dalam penerapannya, tidak seluruhnya berasal dari suatu disiplin ilmu yang mandiri, karena dapat pula hanya berasal dari pengetahuan, seni maupun kebiasaan : seperti sistem mata pencaharian, sistem tarian, sistem perkawinan, sistem pemerintahan, sistem hukum dan sebagainya.

Bertolak dari pengertian sistem yang telah dikemukakan di atas, maka sistem hukum internasional dimaksudkan adalah satu kesatuan hukum yang berlaku untuk komunitas internasional (semua negara-negara di dunia) yang harus dipatuhi dan diataati oleh setiap negara. Sistem hukum internasional juga merupakan aturan-aturan yang telah diciptakan bersama oleh negara-negara anggota yang melintasi batas-batas negara. Kepatuhan terhadap sistem hukum internasional tersebut, adakalanya karena negara tersebut terlibat langsung dalam proses pembuatan dan tidak sedikit juga yang tinggal meratifikasinya.

2.     Pengertian Hukum Internasional

Hugo de Groot (Grotius) dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai) mengemukakan, bahwa hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya. Sedangkan Sam Suhaedi berpendapat bahwa hukum internasional merupakan himpunan aturan-aturan, norma-norma dan asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat Internasional.

Dalam pengertian umum, Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.

(//id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Perserikatan_Bangsa-Bangsa)

Beberapa sarjana lain menyatakan pendapatnya tentang hukum internasional adalah sebagai berikut :

a.      J.G. Starke

Hukum internasional, adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar negara.

b.      Wirjono Prodjodikoro

Hukum internasional, adalah hukum yang mengatur perhubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai negara.

c.      Mochtar Kusumaatmadja

Hukum internasional, adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara :

§  negara dan negara

§  negara dan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.

3.     Asal Mula Hukum Internasional

Bangsa Romawi sudah mengenal hukum internasional sejak tahun 89 SM. Hukum tersebut lebih dikenal dengan Ius Civile (hukum sipil) dan Ius Gentium (hukum antar bangsa). Ius Civile merupakan hukum nasional yang berlaku bagi warga Romawi di manapun mereka berada. Ius Gentium yang kemudian berkembang menjadi Ius Inter Gentium ialah hukum yang merupakan bagian dari hukum Romawi dan diterapkan bagi kaula negara (orang asing) yang bukan orang Romawi, yaitu orang-orang jajahan atau orang-orang asing.

Hukum ini kemudian berkembang menjadi Volkernrecht (bahasa Jerman), Droit des Gens (bahasa Prancis) dan Law of Nations atau International Law (Bahasa Inggis). Pengertian Volkernrecht dan Ius Gentiumsebenarnya tidak sama karena dalam hukum Romawi, istilah Ius Gentum mempunyai pengertian berikut ini.

a.   Hukum yang mengatur hubungan antara dua orang warga kota Roma dan orang asing (orang yang bukan warga kota Roma).

b.   Hukum yang diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat segala bangsa, yaitu hukum alam (natuurecht). Menjadi dasar perkembangan hukum internasional di Eropa pada abad ke-15 sampai abad ke-19.

Dalam perkembangan berikutnya, pemahaman tentang hukum internasional dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal, yaitu:

a.   Hukum perdata Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antar warga negara suatu negara dan warga negara dari negara lain (antar bangsa).

b.   Hukum Publik Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur negara yang satu dan negara yang lain dalam hubungan internasional (hukum antar negara).

4.     Hukum Internasional Dalam Arti Modern

Terwujudnya Hukum Internasional yang kita kenal sekarang merupakan hasil kerja keras para pakar hukum dunia yang mengadakan konferensi di Wina tahun 1969 atas prakarsa PBB. Hasil konferensi tersebut menyepakati sebuah naskah hukum internasional, baik yang menyangkut lapangan Hukum Perdata Internasional maupun Hukum Publik Internasional.

Bonus Info Kewarganegaraan

Perjanjian tidak tertulis tidak sama dengan perjanjian internasional lisan. Perjanjian internasional lisan hanya merupakan salah satu bagian dari perjanjian internasional tak tertulis. Dalam hubungan antar negara satu dengan lainnya, negara-negara akan bertindak sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan internasional dan sopan santun internasional. Hubungan itu dapat menimbulkan suatu kebiasaan internasional yang lama kelamaan menjadi hukum kebiasaan internasional.

Negara-negara yang mengadakan hubungan internasional diwakili oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh serta bertindak untuk dan atas nama wewenang umum atau wewenang yang diwakili oleh presiden, menteri luar negeri, perdana menteri, atau wewenang khusus yang diwakili oleh Menteri-menteri yang bertindak sesuai dengan departemennya. Sebagai wakil yang sah, apa yang dilakukan dan diucapkan oleh mereka dalam forum resmi dapat dijadikan ukuran untuk melihat dan mengetahui pandangan setiap negara tersebut sehingga merupakan janji. Jika negara itu ingkar janji, maka negara yang merasa dirugikan dapat mengklaimnya.

Walaupun perjanjian internasional tidak tertulis, namun akibat hukum yang timbul tidak jauh berbeda dengan perjanjian internasional tertulis. Perjanjian internasional tak tertulis berperan sebagai pendamping perjanjian internasional dalam menampung dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pergaulan internasional. Setiap pejabat tinggi suatu negara harus hati-hati dalam bertindak mewakili negaranya karena pernyataan dan perilakunya akan selalu dijadikan pegangan bagi negara lain. Seandainya terjadi pergantian pemerintah baik secara konstitusional maupun inkonstitusional, pemerintah yang baru harus tetap terikat pada pernyataan (statement) dari wakil-wakil atau pejabat pemerintah lama.

5.     Asas-Asas Hukum Internasional

Dalam menjalin hubungan antar bangsa, setiap negara harus memperhatikan asas-asas hukum internasional, yaitu:

  Asas Teritorial

Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi terhadap semua barang atau orang yang berada di luar wilayah tersebut, berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya.

  Asas Kebangsaan

Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Menurut asas ini, setiap negara di manapun dia berada, tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan exteritorial. Artinya hukum di negara tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun berada di negara asing.

  Asas Kepentingan Umum

Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut  dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara.

Apabila ketiga  asas ini  tidak  diperhatikan, akan timbul kekacauan hukum dalam hubungan antar bangsa. Oleh sebab itu, antara satu negara dan negara lain perlu ada hubungan yang teratur dan tertib dalam bentuk hukum internasional.

Bonus Info Kewarganegaraan

Dalam rangka pelaksanaan hukum internasional sebagai bagian dari hubungan internasional, dikenal beberapa asas lain sebagai berikut :

1.      PACTA SUNT SERVANDA

Setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan.

2.      EGALITY RIGHTS

Pihak yang saling mengadakan hubungan itu berkedudukan sama.

3.      RECIPROSITAS

Tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif maupun positif.

4.      COURTESY

Asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara.

5.      RIGHT SIG STANTIBUS

Asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.

6.     Sumber Hukum Internasional

Sumber-sumber hukum internasional, adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional, menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam buku ”Hukum Internasional Humaniter”, dapat dibedakan antara sumber hukum dalam arti material dan sumber hukum dalam arti formal.

Dalam arti material bahwa, hukum internasional tidak dapat dipaksakan seperti hukum nasional, karena masyarakat internasional bukanlah suatu negara dunia yang memiliki badan kekuasaan atau pemerintahan tertentu seperti halnya sebuah negara. Masyarakat internasional adalah masyarakat negara-negara atau bangsa-bangsa yang anggotanya didasarkan atas kesukarelaan dan kesadaran, sedangkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi tetap berada di negara masing-masing.

Meskipun demikian, dalam kenyataannya kaidah-kaidah hukum internasional juga ditaati oleh sebagian besar negara-negara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang berarti juga mengikat. Mengenai hal ini, ada dua aliran yang memiliki pendapat yang berbeda. Kedua aliran itu adalah sebagai berikut :

a.      Aliran Naturalis

Aliran ini bersandar pada hak asasi atau hak-hak alamiah. Aliran ini berpendapat bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan. Menurut teori ini dasar mengikatnya hukum internasional, karena hukum internasional adalah hukum alam, sehingga kedudukannya dianggap lebih tinggi daripada hukum nasional. Pencetus teori ini adalahGrotius (Hugo de Groot) yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Emmerich Vattel, ahli hukum dan diplomat Swiss.

b.      Aliran Positivisme

Aliran ini mendasarkan berlakunya hukum internasional pada persetujuan bersama dari negara-negara ditambah dengan asas pacta sunt servanda yang dianut oleh madzhab Wina dengan pellopornyaHans Kelsen. Menurut Hans Kelsen pacta sunt servanda  merupakan kaidah dasar pasal 26Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Viena Convention of The Law of Treaties) tahun 1969.

Dalam arti formal,  merupakan sumber hukum yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber hukum paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dapat dipergunakan oleh Mahkamah Internasional di dalam memutuskan suatu sengketa internasional adalah Pasal 38Piagam Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16 Desember 1920.

Sumber-sumber hukum internasional sesuai dengan yang tercantum di dalam Piagam Mahkamah Internasional Pasal 38, adalah sebagai berikut :

a.       Perjanjian Internasional (Traktat = Treaty),

b.      Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum,

c.       Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab,

d.    Keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum, dan

e.       Pendapat-pendapat para ahli hukum yang terkemuka.

5.     Subjek Hukum Internasional

Subjek hukum internasional adalah orang, negara, badan/organisasi-organisasi tertentu yang dapat melakukan tindakan-tindakan untuk dan atas nama sendiri atau pihak lain yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional. Pihak-pihak yang dapat disebut sebagai subjek hukum internasional adalah Negara, Tahta Suci, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional, Orang Perorangan (Individu), Pemberontak dan pihak dalam sengketa.

No

Subjek

Uraian

Keterangan

1.

Negara

Merupakan subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, artinya bahwa negara semenjak lahirnya hukum internasional negara sudah diakui sebagai subjek hukum internasional.  

Dalam istilah lain, hu-kum internasional adalah hukum antar negara.

2.

Tahta Suci

Tahta Suci (Vatikan) merupakan suatu contoh dari subjek hukum internasional selain negara. Hal ini merupakan peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya merupakan kepala gereja Roma tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.

Tahta Suci mewakili perwakilan diplomatik di banyak ibukota negara.

3.

Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional berkedu-dukan di Jenewa dan merupakan salah satu subjek hukum internasional. Hal ini diperkuat dengan adanya perjanjian, kemudian oleh beberapa konvensi Palang Merah (Konvensi Jenewa) tentang perlindungan korban perang.

Saat ini Palang Merah Internasional dikenal dengan organisasi inter-nasional.

4.

Organisasi Internasional

Merupakan subjek hukum yang mempu-nyai hak-hak dan kewajiban yang dite-tapkan dalam konvensi-konvensi inter-nasional yang merupakan anggaran dasarnya atau merupakan subjek hukum internasional menurut hukum interna-sional, khususnya yang bersumber pada konvensi-konvensi internasional tadi.

Organisasi internasional seperti PBB, ILO,WHO dan FAO memiliki hak dan kewajiban seperti telah ditetapkan dalam konvensi-konvesi inter-nasional sebagai angga-ran dasarnya.

5.

Orang Perseorangan

Dalam arti yang terbatas orang perseorangan dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. PerjanjianPerdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Ingris dan Prancis, dengan masing-masing sekutunya, telah menetapkan pasal-pasal yang memung-kinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrasi Internasional. Misalnya ada penuntutan terhadap bekas para pemimpin perang Jerman dan Jepang, yang dituntut untuk orang perseorangan (individu) dalam perbuatan yang dikualifikasikan sebagai : kejahatan terhadap perdamaian, kejaha-tan terhadap manusia, penjahat perang oleh Mahkamah Internasional.

Dalam perkembangan lebih lanjut, selain  individu para perwakilan suatu negara dapat juga para turis, para pelajar, para musisi yang sedang muhibah ke negara lain, para wakil olahraga, dan sebagainya.

6.

Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa

Menurut hukum perang; pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa hal tertentu.

Para pemberontak di-anggap sebagai salah satu subjek hukum inter-nasional yang memiliki beberapa alasan, misal-nya merekapun memiliki hak yang sama untuk:

§  Menentukan nasibnya sendiri ;

§ Hak secara bebas memilih sistem eko-nomi, politik, sosial sendiri; dan

§ Hak menguasai sum-ber kekayaan alam di wilayah dari wilayah yang didudukinya.

6.     Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, praktik-praktik penyelenggaraan negara pada suatu negara antara hukum internasional dengan hukum nasional tidak dapat dipisahkan. Hal ini, karena hukum nasional menjadi dasar pembentukkan hukum internasional. Adanya hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional ternyata menarik para ahli hukum untuk menganalisis lebih jauh. Terdapat 2 (dua) aliran yang mencoba memberikan gambaran bagaimana keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu sebagai berikut :

E Aliran Monoisme

Dengan tokohnya Hanz Kelsen dan Georges Scelle. Menurut aliran ini semua hukum merupakan satu sistem kesatuan hukum yang mengikat individu-individu dalam suatu negara ataupun terhadap negara-negara dalam masyarakat internasional. Menurut aliran monoisme antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan:

a.     Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, tetapi subjek hukumnya tetap sama, yaitu individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.

b.   Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hukum tidak mungkin  untuk dibantah. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat apakah terhadap individu-individu maupun negara.

§  Aliran Dualisme

Dengan tokohnya Triepel dan Anzilotti, Aliran ini beranggapan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem terpisah yang berbeda satu sama lain. Menurut aliran dualisme perbedaan kedua hukum tersebut disebabkan pada :

a.       Perbedaan Sumber Hukum

Hukum nasional bersumber pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara, sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional.

b.       Perbedaan Mengenai Subjek

Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara, sedangkan subjek hukum hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat internasional

c.        Perbedaan Mengenai Kekuatan Hukum

Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika dibandingkan dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horizontal.

7.     Proses Ratifikasi Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional

a.      Proses Ratifikasi Hukum Internasional menurut UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Dalam UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip persamaansaling menguntungkan danmemperhatikan hukum nasional atau hukum internasional yang berlaku. Lebih lanjut pada pasal 5, disebutkan bahwa pembuatan perjanjian harus didahului dengan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri dan posisi pemerintah harus dituangkan dalam suatu pedoman delegasi.

Pembuatan perjanjian dapat dilakukan dengan surat kuasa penuh. Surat kuasa diperlukan bagi seseorang yang mewakili pemerintah untuk menerima atau menandatangani suatu naskah, sedangkan presiden dan menteri tidak memerlukan dokumen tersebut. Surat kuasa dikeluarkan oleh menteri luar negeri sesuai dengan praktik internasional yang telah dikukuhkan dalam konvensi Wina tahun 1969. Di samping itu, ada pula dokumen lain, yaitu surat kepercayaan yang dikeluarkan menteri luar negeri untuk menghadiri, merundingkan, atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.

Surat kuasa tidak diperlukan jika penandatanganan suatu perjanjian internasional hanya bersifat kerjasama teknis sebagai pelaksanaan perjanjian yang sudah berlaku. Selain itu, undang-undang tentang perjanjian internasional pun berisi ketentuan mengenai persyaratan atau pernyataan terhadap suatu perjanjian internasional yang dapat dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian, kemudian ditugaskan pada waktu dilakukannya pengesahan. Persyaratan dan pengesahan dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis.

Pengesahan perjanjian internasional merupakan tahap yang sangat penting dalam proses pembuatan perjanjian internasional karena pada tahap tersebut suatu negara menyatakan diri untuk terikat secara definitif. Tentang pengesahan perjanjian internasional, dapat dibedakan antara pengesahan dengan undang-undang dan pengesahan dengan keputusan presiden.

Selanjutnya, setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pemberlakuan perjanjian internasional yang tidak disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik ataupun melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak terkait.

Adapun yang termasuk kategori perjanjian yang langsung berlaku ini antara lain adalah perjanjian yang secara teknis mengatur kerjasama di bidang pendidikan, sosial budaya, pariwisata, penerangan, kesehatan dan keluarga berencana, lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, serta kerjasama persaudaraan antara provinsi dan kota. Selanjutnya juga terdapat kemungkinan bagi Indonesia untuk melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian Internasional berdasarkan kesepakatan para pihak terkait melalui tata cara yang ditetapkan dalam perjanjian dan disahkan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat.

Penyimpanan perjanjian internasional merujuk pada tanggung jawab menteri luar negri untuk menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional, serta menyampaikan salinan naskah resmi dari setiap perjanjian internasional kepada lembaga negara, lembaga pemerintah, dan kepada sekretariat organisasi nasional. Suatu perjanjian internasional dapat berakhir apabila:

a.       Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;

b.      Tujuan perjanjian tersebut telah dicapai;

c.       Terdapat perubahan dasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

d.      Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan dalam perjanjian;

e.       Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

f.        Munculnya norma-norma baru dalam dalam hukum internasional;

g.       Hilangnya objek perjanjian

h.      Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Selanjutnya, pasal 19 menegaskan pula bahwa perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya berdasarkan kesepakatan para pihak terkait, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut.

b.      Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Pasal 11 UUD 1945.

§  Pengertian Ratifikasi

Dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (perjanjian) internasional, disebutkan bahwa dalam pembuatan hukum (perjanjian) baik bilateral maupun multilateral dapat dilakukan melalui tahap-tahap : Perundingan (Negotiation), Penandatanganan (Signature), dan Pengesahan (Ratification).

Ratifikasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan hukum (perjanjian) internasional. Hal ini menumbuhkan keyakinan pada lembaga-lembaga perwakilan rakyat bahwa wakil yang menandatangani suatu perjanjian tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum. Ratifikasi dapat dibedakan sebagai berikut :

a.  Ratifikasi oleh badan eksekutif. Sistem ini biasa dilakukan oleh raja-raja absolut dan pemerintah otoriter.

b.      Ratifikasi oleh badan legislatif. Sistem ini jarang digunakan.

c.  Ratifikasi campuran (DPR dan Pemerintah). Sistem ini paling banyak digunakan karena peranan legislatif dan eksekutif sama-sama menentukan dalam proses ratifikasi suatu perjanjian.

§  Proses Ratifikasi

Suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan syarat apabila telah disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Penandatanganan atas perjanjian hanya bersifat sementara dan masih harus dikuatkan dengan pengesahan atau penguatan. Persetujuan untuk meratifikasi (mengikatkan diri) tersebut, dapat diberikan dengan berbagai cara, tergantung pada persetujuan mereka. Misalnya, dengan penandatanganan, ratifikasi, pernyataan turut serta (accession), ataupun pernyataan menerima (acceptance) dan dapat juga dengan cara pertukaran naskah yang sudah ditandatangani.

Berikut ini ada beberapa contoh proses ratifikasi dari hukum (perjanjian) internasional menjadi hukum nasional.

a.       Persetujuan Indonesia – Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (Papua) yang ditandatangani di New York (15 Januari 1962), disebut Agreement. Akan tetapi, karena pentingnya materi yang diatur di dalam agreement tersebut maka dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk “pernyataan pendapat”.

b.      Perjanjian antara Indonesia – Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New Guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun, karerna pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangkan ke dalam bentuk Undang-undang, yaitu UU No. 6 Tahun 1973.

c.       Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Singapura tentang selat Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk ”Keputusan Presiden”.

§  Proses Ratifikasi Menurut UUD 1945

Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerjasama antara Eksekutif (Presiden) dengan Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), harus memperhatikan hal-hal berikut.

1)  Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.

2)   Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

3)      Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan hal tersebut, hanya perjanjian-perjanjian yang penting (treaty) yang disampaikan kepada DPR, sedangkan perjanjian lain (agreement) akan disampaikan kepada DPR hanya untuk diketahui. Pasal 11 UUD 1945 tidak menentukan bentuk yuridis dari persetujuan DPR. Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi DPR untuk memberikan persetujuannya dalam bentuk undang-undang.

Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, pemerintah dapat berpendapat bahwa perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh presiden ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty dan mengandung materi sebagai berikut.

1)  Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik negara, seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian perubahan wilayah, atau penetapan tapal batas.

2)  Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara, perjanjian kerjasma ekonomi, atau pinjaman uang.

3)  Soal-soal yang menurut UUD atau menurut sistem perundangan harus diatur dengan undang-undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman.

Bonus Info Kewarganegaraan

Praktik ratifikasi di Indonesia didasarkan pada landasan juridis konstitusional UUD 1945 Pasal 11 ayat (1), yang berbunyi ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negara lain”. Mengenai kata perjanjian tersebut, masih bersifat umum dan di dalam Penjelasan UUD 1945 juga tidak ditemukan kriterianya (hanya disebutkan kedudukan presiden sebagai kepala negara). Untuk itu, pada tanggal 22 Agustus 1960, Presiden Soekarno mengirim Surat Nomor 2826 HK/60, perihal pembuatan perjanjian dengan negara lain kepada DPR. Inti surat tersebut adalah bahwa surat perjanjian akan meminta persetujuan DPR, jika hal itu bersifat penting. Akan tetapi, jika perjanjian mengandung materi lain, cukup diberitahukan kepada DPR saja.

Praktik-praktik demikian telah lazim dilaksanakan di Indonesia dan disebut dengan ”sistem campuran”. Sistem ini biasanya dibuat untuk perjanjian, seperti treaties, agreement tertentu atau protocol(protokol). Dalam bentuk protokol yang diratifikasi DPR (16 Juli 2004), misalnya Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati ( Protocol on Biosefety to the Convention on Biological Diversity) merupakan bentuk kesepakatan antara berbagai pihak yang mengatur tata cara gerakan lintas batas suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh bioteknologi modern dari satu negara ke negara lain oleh seseorang atau badan.

8.     Peradilan Internasional

Peradilan Internanasional, dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu organ perlengkapan PBB yang berkedudukan di Den Haag (Belanda). Para anggotanya terdiri terdiri atas ahli hukum terkemuka, yakni 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara berdasarkan kecakapannya dalam hukum. Masa jabatan mereka 9 (sembilan) tahun, sedangkan tugasnya antara lain selain memberi nasihat tentang persoalan hukum kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan, juga memeriksa perselisihan atau sengketa antara negara-negara anggota PBB yang diserahkan kepada Mahkamah Internasional.

Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada perjanjian-perjanjian internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan keputusan terakhir walaupun dapat diminta banding. Di samping pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan arbitrasi internasional. Arbitrasi internasional hanya untuk perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturan hukum.

Dalam hukum internasional dikenal juga istilah Adjudication, yaitu suatu teknik hukum untuk menyelesaikan persengkataan internasional dengan menyerahkan putusan kepada lembaga peradilan. Adjudikasi berbeda dari arbitrasi, karena adjudikasi mencakup proses kelembagaan yang dilakukan oleh lembaga peradilan tetap, sementara arbitrasi dilakukan melalui prosedur ad hoc. Lembaga peradilan internasional pertama yang berkaitan dengan adjudikasi adalah permanen Court of International Justice (PCJI) yang berfungsi sebagai bagian dari sistem LBB mulai tahun 1920 hingga 1946. PCJI dilanjutkan dengan kehadiran International Court of Justice(ICJ), suatu organ pokok PBB.

Bonus Info Kewarganegaraan

Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia (bahasa Inggris: International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY)) adalah sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den HaagBelanda.

Badan ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada tanggal 25 Mei 1993. Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991: pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undang-undang peranggenosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan. Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini. Vonis terakhir dijatuhkan pada 15 Maret 2004. Badan ini memiliki tujuan untuk mengakhiri semua sidang pada akhir 2008 dan semua kasus banding pada2010.

Sumber : //id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Internasional_untuk_Bekas_Yugoslavia

C.   PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA INTERNASIONAL DAN CARA PENYELESAIAN OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL

1.     Sengketa Internasional dan Faktor Penyebab.

Sengketa internasional adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antar negara baik yang berupa masalah wilayah, warganegara, hak asasi manusia, maupun masalah yang bersifat pelik, yaitu masalah terorisme. Dalam mengatasi perselisihan atau sengketa antar bangsa, keberadaan hukum internasional dapat berperan untuk mengatur batas negara, mengatur hubungan diplomasi, membuat, melaksanakan dan menghapus traktat. Selain itu mengatur masalah kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum dan hankam.

Selain hukum internasional peran hukum damai pun tidak dapat diabaikan. Hukum damai mengatur cara memecahkan perselisihan dengan jalan damai, seperti perundingan diplomatik dan mediasi dengan meminta pihak ketiga menjadi perantara atau penengah dalam menyelesaikan sengketa internasional yang terjadi. Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa internasional sangat kompleks. Namun demikian, dapat disebutkan antara lain :

No

Faktor Penyebab

Uraian

Keterangan

1.

Segi Politis (Adanya Pakta Pertahanan atau Pakta Perdamaian)

Pasca perang dunia kedua (1945) muncul dua blok kekuatan besar, barat (liberal membentuk pakta pertahanan NATO) di bawah pimpinan Amerika dan timur (komunis membentuk pakta pertahanan Warsawa) dipimpin Uni Soviet. Kedua blok tersebut, saling berebut pengaruh dibidang idielogi dan ekonomi serta saling berlomba memperkuat senjata. Akibatnya sering terjadi konflik (sengketa) diberbagai negara yang menjadi korban

Krisis Kuba dan krisis semenanjung Indocina yang berakibat Korea terbagi menjadi Korea Utara (komunis) dan Korea Selatan (liberal), Kamboja, Vietnam, dan sebagainya.

2.

Hak Atas Suatu Wilayah Teritorial

Wilayah teritorial menjadi sangat kompleks, manakala wilayah tersebut menjadi sengketa ”saling mengklaim” antar negara yang berbeda

§ Masalah kepulauanSipadan Ligitan an-tara pemerintah Indo-nesia dengan Malaysia. Yang akhirnya berda-sarkan penetapan Mahkamah Interna-sional kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia.

§ Konflik Palestina – Israel yang merupakan konflik klasik antara bangsa Arab dan bangsa Yahudi.

3.

Pengembangan Senjata Nuklir atau Senjata Biologi

Negara-negara selain yang memiliki hak veto di PBB dan pemenang Perang Dunia II, sulit untuk mendapat kepercayaan dunia internasional dalam mengembangkan berbagai senjata yang berbasis teknologi nuklir dan biologi. Mereka akan selalu dicurigai dan dianggap sebagai ”destabilitas” untuk kawasan sekitarnya.

§ Korea Utara dan Iran yang sampai hari ini masih dicurigai Ame-rika dan sekutunya, karena kepemilikan teknologi ”senjata nuklir”.

§ Amerika dan sekutu-nya menuduh Irakmengembangkan sen-jata pemusnah masal.

4.

Permasalahan Terorisme

Kasus Amerika – Afganistan, kasus ini diawali peristiwa 11 November 2001 atau peristiwa serangan teroris terhadap gedung World Trade Center dan gedung Pentagon di Amerika. Amerika menduga serangan tersebut dilakukan oleh kelompok Islam Al Qaeda (Afganistan) pimpinan Osama bin Laden.

Dampak peristiwa ini adalah serangan/invasi Amerika dan sekutunya terhadap negara Afganis-tan, Irak dan Somalia (negara-negara yang di-anggap sarang teroris).

5.

Ketidakpuasan Terhadap Rezim Yang Berkuasa.

Pemerintah dalam melaksanakan kekua-saannya, dirasakan kurang adil oleh sebagian masyarakat atau daerah sehingga menuntut adanya otonomi lebih luas atau separatis (pemisahan untuk merdeka).

§  Kasus kelompok mi-noritas muslim Moro di Filipina yang me-nuntut pemerintahan otonomi.

§  Kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia yang me-nuntut kemerdekaan.

6.

Adanya Hegemoni (pengaruh kekuatan) Amerika.

Pasca perang dingin, kekuatan dunia telah menjadi monopolar (satu kekuatan) yaitu Amerika dan sekutunya. Hal ini berakibat dominasi Amerika di berbagai wilayah negara sering melakukan tindakan unilateral (sepihak) yang sering melanggar kaidah-kaidah hukum internasional.

§  Penyerarangan terhadap negara Afghanistan, Irak, dan Somalia yang tanpa minta restu Dewan Keamanan PBB.

§  Amerika hampir sela-lu menutup mata ter-hadap apa yang dila-kukan Israel di kawa-san Timur Tengah dalam konflik dengan Palestina.

2.     Peran Mahkamah Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional

Mahkamah internasional adalah badan PBB yang berkedudukan di Den Haag (Belanda) Mahkamah dapat bersidang di tempat lain kalau dianggap perlu. Masa bersidang diadakan setiap tahun kecuali waktu-waktu libur. Sidang-sidang lengkap pada prinsipnya dihadiri oleh 15 anggota, tetapi quorum dengan 9 anggota sudah cukup untuk mengadili suatu perkara. Biasanya mahkamah bersidang dengan 11 anggota tidak termasuk hakim-hakim ad hoc.

Mahkamah memilih ketua dan wakil ketua untuk masa jabatan tiga tahun dan dapat dipilih kembali. Mahkamah juga mengangkat panitera dan pegawai-pegawai lain yang dianggap perlu. Adapun bahasa-bahsa resmi yang digunakan menurut pasal 39 Statuta, harus Prancis dan Inggris. Namun, atas permintaan salah satu dari pihak yang bersengketa, mahkamah dapat mengizinkan penggunaan bahasa lain.

  Wewenang Mahkamah Internasional

Wewenang mahkamah diatur oleh Bab II statuta yang khusus mengenai wewenang mahkamah dengan ruang lingkup masalah-masalah mengenai sengketa. Untuk mempelajari wewenang ini harus dibedakan antara wewenang ratione personae, yaitu siapa-siapa saja yang dapat mengajukan perkara ke mahkamah dan wewenang ratione materiae, yaitu mengenai jenis sengketa-sengketa yang dapat diajukan.

No

Wewenang

Uraian

Keterangan

1.

Ratione Personae

Yaitu  akses ke Mahkamah In-ternasional yang hanya terbuka untuk  negara, individu dan organisasi-organisasi internasi-onal tidak dapat menjadi pihak dari suatu sengketa di depan mahkamah. Pada prinsipnya, mahkamah  hanya terbuka bagi negara-negara anggota dari statuta. Negara-negara ini teru-tama semua anggota PBB (189 negara). Namun  selain anggota PBB, negara yang bukan ang-gota PBB dapat menjadi pihak pada statuta mahkamah dengan syarat-syarat yang akan diten-tukan oleh Majelis Umum atasrekomendasi Dewan Keamanan.

Keputusan mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi di dunia. Penolakan suatu negara terhadap keputusan lembaga tersebut, akan dapat merusak citranya dalam pergaulan antar bangsa apalagi jika sebelumnya jika negara-negara tersebut telah wewenang wajib mahkamah. Oleh karena itu, dengan menga-dakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut, juga diberi-kan kemungkinan kepada negara-negara lain yang bukan pihak pada statuta untuk dapat mengajukan suatu perkara ke mahkamah (Pasal 35 ayat 2 statuta). Dalam hal ini, dewan keamanan dapat menentukan syarat-syaratnya.

2.

Ratione Materiae

Menurut pasal 36 ayat 1 wewenang Mahkamah Inter-nasional meliputi semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa kepadanya, teruta-ma yang terdapat dalam piagam PBB atau dalam perjanjian-perjanjian dan konvesi-konvensi yang berlaku. Walaupun Pasal 36 ayat 1 ini tidak tidak mengadakan pembedaan antara sengketa hukum dan politik yang boleh dibawa ke mahka-mah, dalam praktiknya mahka-mah selalu menolak memeriksa perkara-perkara yang tidak ber-sifat hukum.

Wewenang mahkamah pada prinsipnya bersifat fakultatif. Ini berari jika terjadi suatu sengketa antar dua negara, mahkamah baru dengan persetujuan bersama dapat membawa perkara mereka ke mahkamah. Akan tetapi adanya persetujuan antara pihak-pihak yang bersengketa, wewenang mahkamah tidak akan berlaku terhadap sengketa tersebut.

Selain kedua wewenang tersebut, Mahkamah Internasional memiliki wewenang wajib (Compulsory Jurisdiction). Wewenang wajib dari mahkamah hanya dapat terjadi jika negara-negara sebelumnya dalam suatu persetujuan menerima wewenang tersebut.

1)      Wewenang Wajib Berdasarkan Ketentuan Konvensional

Seperti juga halnya dengan arbitrasi, dalam praktiknya wewenang wajib ini dapat diterima dalam bentuk klausula khusus atau dalam bentuk perjanjian-perjanjian umum. Klausula khusus ini terdapat dalam suatu perjanjian sebagai tambahan dari perjanjian itu sendiri. Klausula bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin lahir di masa yang akan datang mengenai pelaksanaan dan interpretasi perjanjian tersebut di depan mahkamah.

Klausula-klausula khusus dijumpai dalam perjanjian-perjanjian perdamaian tahun 1919, perjanjian-perjanjian wilayah mandat, dan perjanjian-perjanjian mengenai minoritas. Setelah perang dunia II, klausula-klausula yang demikian juga terdapat dalam piagam-piagam konstitutif organisasi-organisasi internasional. Klausula-klausula tersebut terdapat dalam konvensi-konvensi kodifikasi yang baru, misalnya konvensi-konvensi mengenai hubungan diplomatik tahun 1961 dan mengenai hukum perjanjian 1969.

Di samping itu, ada pula perjanjian-perjanjian umum bilateral dan multilateral, yaitu perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara yang khusus bertujuan menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa hukum mereka di masa datang di muka mahkamah. Perlu diingat bahwa keharusan untuk menerima wewenang wajib mahkamah hanya terbatas pada sengketa-sengketa hukum.

2)     Klausula Opsional

Pasal 36 ayat 2 statuta mengatakan bahwa  negara-negara pihak statuta, dapat setiap saat menyatakan menerima wewenang wajib mahkamah dan tanpa persetujuan khusus dalamhubungannya dengan negara lain menerima kewajiban yang sama dalam semua sengketa hukum megenai:

a)      penafsiran suatu perjanjian

b)      setiap persoalan hukum internasional

c)     adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional;

d)   jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu kewajiban internasional.

  Fungsi Konsultatif Mahkamah Internasional

Mahkamah juga mempunyai fungsi konsultatif, yaitu memberikan pendapat-pendapat yang tidak mengikat atau apa yang disebut advisory opinion. Hal ini ditulis dalam pasal 69 ayat 1 Piagam Statuta dan aturan prosedur, mahkamahlah yang menetapkan syarat-syarat pelaksanaan pasal tersebut yang terdapat pada Bab IV Statuta.

1)      Natur Yuridik Pendapat Hukum (Advisory Opinion)

Terdapat perbedaan dalam penyelesaian sengketanya, keputusan-keputusan mahkamah merupakan keputusan-keputusan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersengketa, sedangkan pendapat-pendapat yang dikeluarkan mahkamah bukan merupakan keputusan hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Apalagi pelaksanaan pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak bisa dipaksakan. Jadi yang dikeluarkan mahkamah hanyalah suatu pendapat dan bukan merupakan suatu keputusan. Pendapat ini bertujuan memberikan penjelasan-penjelasan kepada badan-badan yang mengajukan pertanyaan kepada mahkamah atas permasalahan hukum.

Sebagai contoh, konvensi 1946 mengenai hak-hak istimewa, dan kekebalan PBB, menyebutkan bahwa kalau terjadi sengketa antara PBB dan negara-negara anggota mengenai pelaksanaan dan intrepretasi konvensi, sengketa dapat diajukan ke mahkamah untuk meminta pendapatnya. Selain itu, pihak-pihak yang bersengketa berjanji untuk bertindak sesuai dengan pendapat mahkamah tersebut. Mekanisme pendapat yang menjadi wajib ini merupakan jalan keluar bagi organisasi internasional yang diperbolehkan mengajukan sengketa ke mahkamah dengan keputusan yang mengikat.

Dengan demikian, pendapat-pendapat mahkamah tidak mempunyai kekuatan hukum dan jika pihak-pihak yang bersengketa menerimanya, semata-mata disebabkan kekuatan moral pendapat-pendapat itu sendiri. Pada umumnya, organ-organ yang meminta pendapat dan negara-negara yang bersangkutan menerima pendapat-pendapat mahkamah dan jarang sekali pendapat mahkamah itu dilaksanakan.

2)     Permintaan Pendapat Mahkamah Internasional

Pasal 96 dan pasal 65 statuta menyatakan bahwa mahkamah dapat memberikan pendapat mengenai  semua persoalan hukum. Berbeda dengan mahkamah yang dulu, mahkamah yang sekarang  dapat diminta  pendapatnya untuk semua persoalan hukum, baik yang bersifat konkrit maupun yang abstrak,  sedangkan mahkamah yang dulu hanya dapat ditanya tentang  sengketa-sengketa hukum yang konkrit.

a)     Badan yang dapat meminta pendapat mahkamah

Kebalikan dari prosedur wajib, prosedur konsultatif  hanya terbuka bagi organisasi-organisasi internasional dan bukan bagi negara-negara. Menurut pasal 96 ayat 1, Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat minta advisori opinion mengenai masalah hukum ke mahkamah. Selanjutnya, menurut ayat 2 pasal tersebut, hak untuk meminta pendapat mahkamah ini juga dapat diberikan kepada organ-organ lain PBB dan badan-badan khusus dengan syarat bahwa semua harus mendapat otoritas terlebih dahulu dari Majelis Umum.

b)     Pemberian pendapat oleh mahkamah

Secara  teoritis, mahkamah  tidak diwajibkan untuk menjawab. Namun, dalam praktiknya, mahkamah tidak pernah lalai dalam melakukan tugasnya, bahkan mahkamah harus berpegang teguh pada pendapat mahkamah bahwa sebagai organ hukum PBB, kewajiban memberikan pendapat-pendapat kalau diminta, untuk membantu lancarnya tugas PBB.

Sebaliknya, mahkamah dapat menolak permintaan pendapat kalau dianggap terdapat ketidak normalan dalam permintaan tersebut. Selain itu, mahkamah memeriksa apakah pertanyaan yang diajukan suatu organisasi  internasional betul-betul berada di bawah wewenang organisasi tersebut, serta apakah organisasi-organisasi mempunyai wewenang khusus. Juga dilihat dari prakteknya mahkamah menolak memberikan pendapat terhadap soal-soal politik atau soal-soal yang berada di bawah wewenang nasional suatu negara.

Mengenai kegiatan mahkamah dari tahun 1922-1940, mahkamah tetap internasional telah mengeluarkan 31 keputusan, 27 advisory opinion, dan 5 ordonasi. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan mahkamah tetap tidak mengecewakan, sedangkan tentang mahkamah internasional yang sekarang dari tahun 1946-1993 telah memutuskan 44 perkara dan telah memberikan 21 pendapat (advisory opinion). Mahkamah Internasional dewasa ini bukanlah merupakan satu-satunya peradilan tetap, tetapi terdapat pula mahkamah-mahkamah lain yang mempunyai wewenang yang terbatas.

Bonus Info Kewarganegaraan

Berikut beberapa istilah penting yang berhubungan dengan upaya-upaya penyelesaian Internasional.

1.      Advisory Opinion

Suatu opini hukum yang dibuat oleh pengadilan dalam melarasi permasalahan yang diajukan oleh lembaga berwenang. Prosedur opini petunjuk (Advisory Opinion) berbeda dari proses peradilan yang penuh perdebatan karena di dalam pembentukan opini petunjuk tidak ada satu pihak pun yang dianggap sebagai penggugat atau tergugat.

2.      Compromis

Suatu kesepakatan awal di anatara pihak yang bersengketa yang menetapkan ketentuan ihwal persengketaan yang akan diselesaikan. Compromis menetapkan batasan jurisdiksi mengenai peradilan arbitrase melalui :

a)       Penetapan ihwal persengketaan,

b)      Menetapkan prinsip untuk memandu peradilan, dan

c)       Membuat aturan prosedur yang harus diikuti dalam menentukan kasus.

Suatu putusan dapat bersifat nihil bila peradilan melampaui otoritasnya seperti yang ditentukan oleh pihak yang bersangkutan dalam compromis.

4.   Ex Aequo Et Bono

asas untuk menetapkan keputusan oleh pengadilan internasional atas dasar keadilan dan keterbukaan. Konsep ini dicantumkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkama Internasional yang dapat diterapkan sebagai dasar untuk membuat keputusan hanya jika di sepakati oleh pihak yang bersengketa.

3.     Prosedur Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mahkamah Internasional

Ketentuan-ketentuan prosedural dalam penyelesaian sengketa internasional berada di luar kekuasaan negara-negara yang bersengketa. Ketentuan-ketentuan tersebut sudah ada sebelum lahirnya sengketa-sengketa dan hal ini terdapat dalam Bab III statuta. Selanjutnya, pasal 30 statuta memberikan wewenang kepada mahkamah untuk membuat aturan-aturan tata tertib guna melengkapi Bab III tersebut.  Jadi, jika statuta merupakan suatu konvensi, aturan prosedural tadi merupakan satu perbuatan unilateralmahkamah yang  mengikat negara-negara yang bersengketa. Di sini teknik internasional identik  dengan teknik intern suatu negara.

Mengenai isi ketentuan-ketentuan prosedural dicatat bahwa proses di depan mahkamah mempunyai banyak kesamaan dengan yuridiksi intern suatu negara, yaitu :

a.   Prosedur tertulis dan perdebatan lisan diatur sedemikian rupa untuk menjamin setiap pihak dalam dalam mengemukakan pendapatnya;

b.  Sidang-sidang mahkamah terbuka untuk umum, sedang sidang-sidang arbitrasi tertutup. Tentu saja rapat hakim-hakim mahkamah diadakan dalam sidang tertutup.

Selanjutnya, sesuai pasal 26 statuta, mahkamah dari waktu kewaktu dapat membentuk satu atau beberapa kamar yang terdiri atas tiga hakim atau lebih untuk  memeriksa kategori tertentu kasus-kasus seperti perburuhan atau masalah-masalah yang berkaitan dengan transit dan komunikasi. Kemungkinan ini telah digunakan beberapakali oleh mahkamah. Sengketa internasional dapat diselesaikan oleh Mahkamah Internasional melalui prosedur berikut :

Sanksi dapat dijatuhkan bila terbukti bahwa suatu pemerintahan atau individu yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran terhadap traktat atau konvensi-konvensi internasional berkaitan dengan pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter. Dalam hal ini, sesungguhnya pemerintah/individu mempunyai wewenang untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut, tetapi tidak dilakukan dan tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjdinya perbuatan tersebut.

Berikut ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah Internasional.

a.      Wewenang Mahkamah

Mahkamah dapat mengambil tindakan sementara dalam bentuk ordonasi. Tindakan sementara ialah tindakan yang diambil mahkamah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa sambil menunggu keputusan dasar atau penyelesaian lainnya yang akan ditentukan mahkamah secra defenitif.

Dalam kasus okupasi Kedutaan Besar Amerika Serikat oleh kelompokmilitan di Teheran tanggal 4 Nopember 1979, mahkamah menetapkan tindakan-tindakan sementara agar menyerahkan kembali kedutaan besar tersebut dan pembebasan sandera. Demikian juga dalam sengketa antara Amerika Serikat dan Nikaragua, mahkamah pada 10 Mei 1984 menetapkan tindakan-tindakan sementara agar hak Nikaragua atas kedaulatan dan kemerdekaan politiknya tidakdiancam oleh kegiatan-kegiatan militer Amerika Serikat. Selanjutnya, selama berlangsungnya proses, mahkamah dapat membuat angket, melakukan pemeriksaan-pemeriksaan oleh para ahli, berkunjung ke tempat sumber sengketa untuk keperluan pengumpulan bukti.

b.      Penolakan Hadir di Mahkamah

Sehubungan dengan ketidakhadiran salah satu pihak yang bersengketa di mahkamah, pasal 53 statuta menyatakan bahwa sikap salah satu pihak tidak muncul di mahkamah atau tidak mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat meminta mahkamah mengambil keputusan untuk mendukung tuntutannya. Masalah ketidakhadiran salah satu pihak dalam perkara di mahkamah pernah terjadi pada waktu mahkamah tetap dan dalam sistem mahkamah sekarang. Sebagai contoh dapat diambil ketidakhadiran Albania dalam peristiwa Selat Corfu (keputusan mahkamah 15 Desember 1949), ketidak hadiran Islandia dalam peristiwa wewenang dibidang penangkapan ikan (keputusan 25 Juli 1974), Prancis 20 Desember 1974 dalam peristiwa uji coba nuklir, Turki dalam peristiwa landas kontinen laut Egie (19 Desember 1978), Iran dalam peristiwa personel diplomatik, dan konsulat Asdi Teheran tanggal 21 Mei 1980, serta tanggal 21 Mei 1980, serta tanggal 27 Juni1986 dalam aktivitas militer kontra- Nikaragua.

Negara bersengketa yang tidak hadir di mahkamah tidak menghalangi organ tersebut untuk mengambil keputusan dengan syarat seperti tercantum dalam pasal 53 ayat 2 statuta. Pasal tersebut menjelaskan bahwa sebelum menjatuhkan keputusan kepada pihak yang tidak hadir , mahkamah harus yakin bahwa ia bukan saja mempunyai wewenang, melainkan juga keputusannya betul-betul didasarkan atas fakta dan hukum. Dengan demikian, pihak yang dihukum, walaupun tidak hadir pada prinsipnya tidak dapat menolak keputusan yang telah ditetapkan oleh mahkamah.

4.     Keputusan Mahkamah Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional

Keputusan mahkamah internasional diambil dengan suara mayoritas dari hakim-hakim yang hadir. Jika suara seimbang, suara ketua atau wakilnya yang menentukan. Keputusan mahkamah terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama berisikan komposisi mahkamah, informasi mengenai pihak-pihak yang bersengketa, serta wakil-wakilnya, analisis mengenai fakta-fakta, dan argumentasi hukum pihak-pihak yang bersengketa. Bagian kledua berisikan penjelasan mengenai motivasi mahkamah.

Pemberian motivasi keputusan mahkamah merupakan suatu kaeharusan karena penyelesaianyuridiksional sering merupakan salah satu unsur dari penyelesaian yang lebih luas dari sengketa dan karena itu, perlu dijaga sensibilitas pihak-pihak yang bersengketa. Bagian ketiga berisi dispositif. Dispositif ini berisikan keputusan mahkamah yang mengikat negara-negara yang bersengketa.

Seperti halnya dengan praktik peradilan intern negara-negara Anglo Saxon, pernyataan pendapat yang terpisah diperbolehkan. Maksud pendapat terpisah ialah jika suatu keputusan tidak mewakili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, hakim-hakim yang lain berhak memberikan pendapat secara terpisah (pasal 57 Statuta). Jadi pendapat terpisah ini disebut Jissenting Opinion (pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu keputusan dan menyatakan keberatan terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan tersebut). Dengan kata lain, pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh kebanyakan hakim. Pengaturan resmi pendapat terpisah akan melemahkan kekuatan keputusan mahkamah, walaupun di lain pihak akan menyebabkan hakim-hakim mayoritas berhati-hati dalam memberikan motif keputusan mereka.

Pasal 13 Pakta Liga Bangsa-Bangsa telah menegaskan jika suatu keputusan peradilan tidak dilaksanakan, dewan dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan menjamin pelaksanaan keputusan tersebut. Selain itu Piagam PBB dalam pasal 94 menjelaskan hal-hal berikut.

a.  Tiap-tiap negara anggota PBB harus melaksanakan keputusan mahkamah internasional dalam sengketa.

b.  Jika negara yang bersengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh mahkamah kepadanya, negara pihak lain dapat mengajukan persoalannya kepada Dewan Keamanan. Kalau perlu, dapat membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan yang akan diambil supaya keputusan tersebut dilaksanakan.

Bonus Info Kewarganegaraan

COMPULSORY JURISDICTION

Merupakan kekusaan peradilan internasional untuk mendengar dan memutuskan kategori tertentu mengenai suatu kasus tanpa memerlukan kesepakatan terlebih dahulu dari pihak yang terlibat untuk menerima ketentuan hukum dalam kasus tersebut. Statuta Mahkamah Internasional dilengkapi dengan kekuasaan hukum yang tercantum dalam ”aturan tambahan” pasal 36 yang menentukan bahwa ”pihak yang bersengketa di hadapan statuta harus menyatakan bahwa mereka mengakui kekuasaan hukum ipso facto tanpa persetujuan khusus, dan pihak negara lainnya menerima kewajiban serupa. Kekuasaan hukum mahkamah internasional mencakup seluruh permasalahan hukum dalam ihwal 1) Penafsiran perjanjian, b) Setiap permasalahan hukum internasional, c) Keadaan yang dianggap melanggar kewajiban internasional, d) Sifat dan peringkat ganti rugi yang harus dikenakan bagi pelanggaran terhadap kewajiban internasional.

Sumber : Jack C. Plano dan Roy Olton dalam “Kamus Hubungan Internasiona”

5.     Peranan Hukum Internasional Dalam Menjaga Perdamaian Dunia

Permasalahan yang terjadi antara satu negara dan negara lain atau satu negara dan banyak negara akan dapat menimbulkan konflik dan pertentangan, baik dalam kaitannya dengan hak suatu negara atau banyak negara, maupun dengan kebiasaan seorang kepala negara, diplomatik atau duta besar.

Kesemua subjek ini mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, yang dalam pelaksanaannya harus mengikuti permainan internasional dan mengikuti aturan yang telah disepakati secara bersama atau secara internasional. Suatu negara yang telah membina hubungan kerja dengan negara lain, haruslah mempunyai korps diplomatik pada negara yang bersangkutan. Seorang diplomat harus tunduk pada hukum diplomatik yang telah ditentukan secara internasional.

Berikut ini ada beberapa contoh mengenai peranan hukum internasional (berdasarkan sumber-sumbernya) dalam menjaga perdamaian dunia.

a.       Perjanjian pemanfaatan Benua Antartika secara damai (Antartika Treaty)pada tahun 1959.

b.      Perjanjian pemanfaatan nuklir untuk kepentingan perdamaian (Non-Proliferation Treaty) pada tahun 1968.

c.    Perjanjian damai Dayton (Ohio- AS) pada tahun 1995 yang mengharuskan pihak Serbia, Muslim Bosnia, dan Kroasia untuk mematuhinya.untuk mengatasi perjanjian tersebut, NATO menempatkan pasukannya guna meneggakkan hukum internasional yang telah disepakati.

6.     Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai Berdasarkan Persamaan Derajat

Dalam penyelesaian sengketa internasional, diupayakan melalui cara-cara damai dan pelarangan akan penggunaan kekerasan. Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai ini, pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat 3 Piagam PBB, selanjutnya oleh deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24 Oktober 1970. Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai agar perdamaian, keamanan internasional, dan keadilan tidak sampai terganggu.

Dengan demikian, pelarangan penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan norma-norma imperatif dalam pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, hukum internasional telah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai dan menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya pergaulan antarbangsa yang serasi.

Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal. Hal tersebut dimuat dalam deklarasi mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antarnegara tanggal 24 Oktober 1970 (A/RES/2625/XXV), serta deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 (A/RES/37/10) mengenai penyelesaian sengketa internasional secara damai sebagai berikut.

a.  Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam      integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB.

b.   Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara.

c.   Prinsip-prinsip persamaan hak menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa.

d.   Prinsip persamaan kedaulatan negara.

e.  Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas teritorial suatu negara.

f.   Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional.

g.   Prinsip keadilan dan hukum internasional.

D.  MENGHARGAI KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL

Mahkamah Internasional ialah organ hukum utama PBB yang berkedudukan di Den Haag (Belanda). Sejak didirikan tahun 1945, lembaga ini bertugas memutuskan hukum antar negara dan memberikan pendapat hukum bagi PBB dan lembaga-lembaganya tentang hukum internasional.

Seluruh anggota PBB secara otomatis menjadi anggota Mahkamah Internasional. Oleh sebab itu, jika terjadi sengketa maka sudah menjadi ketentuan bagi negara-negara anggota untuk menggunakan haknya bila merasa dirugikan oleh negara lain. Akan tetapi sebaliknya, jika suatu keputusan Mahkamah Internasional telah diputuskan maka dengan segala konsekuensi yang ada harus mau menerimanya. Hal tersebut mengingat bahwa apa yang menjadi keputusan Mahkamah Internasional merupakan keputusan terakhir walaupun dapat dimintakan banding.

Berikut ini adalah beberapa contoh negara-negara dan orang-perorang yang karena ketaatannya terhadap ketentuan hukum internasional, maka mau menerima proses penyelesaian sengketa internasional sebagai wujud penghargaan terhadap keputusan Mahkamah Internasional.

No

Pihak-Pihak Yang Terlibat

Uraian Kasus atau Kejadian

Keterangan

1.

Amerika Serikat di Filipina, Indo China & Jepang

G  Tahun 1906, tentara Amerika telah melakukan kejahatan perang dengan membunuh warga Filipina (moro massacre), pada waktu itu detasemen Amerika menyerang sebuah desa Moro dan membunuh lebih dari 600 rakyat desa itu, membakar sawah beserta rumah-rumahnya.

G  Tahun 1968, peristiwa yang lebih dikenal dengan My Lai Massacre, sebuah kompi Amerika menyapu warga desa dengan senjata otomatis hingga menewaskan sekitar 500 korban.

G  Pada tahun 1945, lebih dari 40.000 rakyat Jepang yang tidak berdosa telah terpanggang dengan dijatuhkannya bom atom di Hirosima dan Nagasaki (Jepang). Hal ini belum termasuk dampak kelainan genetis yang dialami korban cedera dan keturunanya.

Para pelaku kejaha-tan perang telah diajukan ke peng-adilan militer, na-mun tidak lama kemudian banyak yang dibebaskan. (Mahkamah inter-nasional belum dapat berbuat banyak).

2.

Jerman & Jepang dalam aksinya di Eropa dan Asia.

G  Peeriode antara tahun 1933 s.d. 1939 Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler telah melakukan pembasmian terhadap lawan politik maupun orang-orang Yahudi serta penyerbuan terhadap negara Austria, Polandia dan  Cekoslowakia dengan cara-cara yang sangat biadab (holocaust).

G  Demikian juga Pasukan Jepang baik di Indonesia, Korea maupun di China yang sangat kejam selama pendudukan di nagara-negara tersebut. Di Indonesia, selama pendudukan Jepang yang dikenal denganRomusha telah memaksa rakyat Indonesia menjadi budak dan diperlakukan sangat kejam. Tidak kurang dari 10.000 rakyat Indonesia hilang dan tidak pernah kembali selama berlangsungnya romusha tersebut.

Sebelum Perang Dunia II, kolonia-lisme Barat dengan jutaan korban tidak tersentuh. Baru sete-lah sekutu membukaPengadilan Nu-remberg (1945-1946) untuk Nazi dan Jepang, dimu-lailah proses pelem-bagaan untuk keja-hatan perang mela-lui empat Konvensi Geneva  tahun 1949.

3

Serbia di Kroasia dan Bosnia Herzegovina (Yugoslavia)

G  Kurun waktu antara tahun 1992-1995, pasukan Serbia telah melakukan pemmbersihan etnik (etnic cleansing) terutama terhadap warga sipil muslim Bosnia (di Sarajevo) dan daerah-daerah lain serta di Kroasia yang ingin melepaskan diri dari Serbia setelah bubarnya negara federasi Yugoslavia. Tidak kurang 700.000 warga sipil telah disiksa dan dibunuh dengan kejam. Beberapa nama yang harus bertanggungjawab atas perbuatan kejahatan perang tersebut antara lain : Stanislav Galic, Gojko Jankovic, Janco Janjic, Dragon Zelenovic, Karadzic, Mladic, dan lain-lain.

Tahun 1994 penga-dilan terhadap para penjahat perag telah terbukti Den Haag (Belanda). Proses pengadilan terus berlangsung, namun hasilnya belum sesuai harapan. Banyak yang masih gagal ditangkap.

4

Pemerintah Rwanda terhadap etnis Hutu dan Tutsi

G  Dalam waktu tiga bulan di tahun 1994, tidak kurang 500.000 etnis Hutu dan Tutsi telah terbunuh. Pemerintah Rwanda bertanggung-jawab atas kasus terbunuhnya kedua etnis tersebut.

PBB menggelar pe-ngadilan kejahatan perang yang digelar di Arusha (Tan-zania), namun ha-nya mampu menye-rat 29 orang yang diadilli.

Catatan :

Berdasarkan modal Pengadilan Rwanda ini, akhirnya PBB menggelar pengadilan untuk penjahat-penjahat perang. Internasionalisasi pengadilan penjahat perang semakin menjadi penting dengan disetujuinya oleh 91 negara sebuah Statuta Roma 1998, sebuah langkah untuk membentuk ICC (International Criminal Court) yang permanen. Namun, banyak pengamat mengkritik pengadilan di Den Haag saja, lebih banyak gagal daripada suksesnya, apalagi model ICC.

Contoh lain dalam penyelesaian sengketa internasional selain kejahatan perang, yaitu : Timor-Timur yang akhirnya diselesaikan secara Internasional dengan cara referandum dan sejak tahun 1999, Timor-Timur berdiri sendiri menjadi sebuah negara Republik Timor Lorosae. Demikian juga perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia tentang status pulau Sipadan dan Ligitan. Karena kedua negara tersebut tidak mampu menyelesaikan dengan hukum nasionalnya, akhirnya diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Pada tahun 2002, keluar keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah kedua pulau tersebut.

Meskipun bangsa Indonesia sangat menyesalkan hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan dari peta wilayah kedaulatan republik Indonesia, namun demi penghormatan terhadap keputusan Mahkamah Internasional maka dengan besar hati (legowo) keputusan tersebut dapat dipahami. Berikut adalah pernyataan resmi dari Menteri Luar Negeri atas nama Pemerintah Republik Indonesia.

KESIMPULAN

1.      Hukum internasional, disebut juga sebagai hukum bangsa-bangsa yang dilakukan oleh suatu negara atau bangsa dalam mengadakan hubungan dengan negara lain agar terjalin kerja sama yang baik dan saling menguntungkan.

2.   Menurut para ahli, bahwa penekanan tentang hukum internasional adalah terletak pada kaidah-kaidah yang mengatur hubungan atau yang melintasi batas-batas negara lain. Dengan demikian dalam hukum internasional dapat dibedakan antara hukum perdata internasional dan hukum publik internasional. Asas-asas yang digunakan dalam membina hubungan dengan negara lain adalah asas teritorial, asas kebangsaan, dan asas kepentingan umum.

3.    Sumber hukum internasional dapat dibedakan menjadi sumber yang bersifat material dan formal. Sedangkan sumber-sumbernya berasal dari traktat, kebiasaan-kebiasaan internasional, asas-asas umum yang diakui bangsa beradab, keputusan-keputusan hakim, dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka.

4.  Bahwa dalam praktik penyelenggaraan negara, penerapan antara hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena hukum nasional menjadi dasar pembentukan hukum internasional. Untuk lebih memahami tentang hubungan tersebut, terdapat aliran monoisme dan aliran dualisme.

5.   Ratifikasi merupakan proses penandatanganan yang dilakukan oleh pemerintah dengan lembaga perwakilan rakyat. Dalam prakteknya, ratifikasi dapat dibedakan antara lain ; ratifkasi oleh badan eksekutif, ratifikasi oleh badan legislatif, dan ratifikasi campuran (pemerintah dan parlemen). Ratifkasi campuran, merupakan ratifkasi yang paling banyak diterapkan.

6.    Beberapa penyebab timbulnya sengketa internasional antara lain adalah dapat dilihat dari segi     politis, misalnya persaingan antar negara-negara yang tergabung dalam blok pertahan NATO (pimpinan Amerika Serikat) dan blok pertahanan Warsawa (pimpinan Uni Soviet).

7.      Dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional, Mahkamah Internasional mempunyai peranan penting dalam upaya penyelesesaian berbagai sengketa atau konflik-konflik baik bilateral, regional maupun internasional. Misalnya upaya penyelesaian mengadili para penjahat perang di kawasan Balkan.

8.  Prinsip hidup berdampingan secara damai, merupakan dambaan semua bangsa-bangsa beradab dimuka bumi ini. Oleh sebab itu, PBB yang dibentuk untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia memiliki organ Dewan Keamanan yang salah satu fungsinya adalah untuk menyelesaikan berbagai sengketa internasional secara damai.

9.      Dalam upaya pelaksanaan penyelesaian sengketa internasional, ada beberapa istilah yang perlu kita pahami bersama, antara lain: adfisory opinion, compromis, compulsory jurisdiction, ex aequo et bono, dan lain-lain.

10. Sebagai bangsa yang beradab dan bagian tidak terpisahkan dari anggota masyarakat dunia, bangsa Indonesia mau tunduk dan patuh kepada ketentuan-ketentuan internasional yang telah disepakati bersama. Oleh sebab itu, apapun keputusan dari organ utama PBB yaitu Mahkamah Internasional tentang sengketa-sengketa internasional dengan negara lain harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA