Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Bertema.com  – Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau.

Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia.

Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka.

Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun yang kecil.

Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar. Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau,
Tiku, Panchur, dan Barus.

Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.

Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires (1512-1515 )  antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri.

Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah itu mungkin akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka.

Jika kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka.

Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan
Sultan Mansyur Syah (wafat 1477).

Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka.

Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas.

Kampar menghasilkan barang dagangan seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan kayu gaharu.

Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau.

Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh Sultan Mansyûr Syah di mana ditempatkan raja-raja sebagai wakil Kemaharajaan Melayu.

Ketika Sultan Mahmud Syah I berada di Bintan, Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak.

Pada 1596 yang menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul Jalil, sementara saudaranya yang bernama Raja Husain ditempatkan di Kelantan.

Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad.

Sejak VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis ketiga kerajaan, yaitu Siak, Kampar, dan Indragiri berada di bawah pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi–perdagangan VOC. 

Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi, bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC.

Demikian pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan, Kerajaan Siak, juga terikat oleh ikatan perjanjian monopoli perdagangan

sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak.

Raja Kecil kemudian sebagai sultan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), dan selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC, bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka.

Pada 1750, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan ibu kota kerajaan dari Buantan ke Mempura yang terletak di tepi Sunai Memra Besar,

Sungai Jantan diubah namanya menjadi Sungai Siak dan kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Karena VOC, yang kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di mulut Sungai Siak, sering  mengganggu lalu lintas kapal-kapal Kerajaan Siak Sri Indrapura,

maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada 1760 menyerang benteng VOC.

Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyatnya.

Ia berhasil memakmurkan kerajaan dan ia dikenal sebagai seorang Sultan yang jujur.

Daerah-daerah yang pada masa Raja Kecil melepaskan diri dari Kerajaan Siak dan berhasil ia kuasai
kembali.

Sultan Sa’id Ali memundurkan diri sebagai Sultan Siak pada 1811 dan kemudian pemerintahannya diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim.

Di bawah pemerintahan Tengku Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga
banyak orang yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan Pontianak.

Ditambah lagi dengan adanya perjanjian dengan VOC pada 1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan

Kerajaan Siak tidak boleh mengadakan ikatan-ikatan atau perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain kecuali dengan Belanda.

Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin banyak
dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka. 

Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah di Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu.

Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya ke Kampar.

Sultan Abdullah minta bantuan Portugis, dan berhasil mempertahankan Kampar.

Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, maka Kampar ada di bawah  pembesar pembesar kerajaan, di antaranya Mangkubumi Tun Perkasa

yang mengirimkan utusan ke  Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar di Kampar ditempatkan raja.

Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dari Kemaharajaan Melayu ialah Raja Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di Pekantua.

Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Siak dan Kuantan diikat dengan hubungan perdagangan.

Tetapi masa pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibu kota Kerajaan Kampar pada 1725 ke Pelalawan yang kemudian mengganti Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan.

Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah Kemaharajaan Malayu berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC,

mulailah berhubungan dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.

Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII.

Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang pada 1784.

Demikianlah, kekuasaan politik kerajaan ini sama sekali hilang berdasarkan Tractat van Vrede en
Vriend-schap 27 September 1838,

berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yang berarti jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah Hindia Belanda.

Demikian ulasan tekait Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau, semoga bermanfaat.

Rujukan: Sejarah Nasional Indonesia Kelas X

"Pagaruyung" berubah ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar.

Pagaruyung Dārul Qarār
Pagaruyuang
Malayapura
 


1347–1825
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
BenderaCap Mohor

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

IbukotaPagaruyung
BahasaMinang, Melayu, Sanskerta
AgamaDari Buddha berubah menjadi Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
 - Didirikan1347
 - Perang Padri1825
Warning: Value specified for "continent" does not comply

Kerajaan Pagaruyung merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang berada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Dunia Bagagar dari Pagaruyung,[1] yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran anggota dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Dunia Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya kontrak selang Kaum Norma budaya dengan pihak Belanda yang menjadikan daerah Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.[3]

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura merupakan kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah jajahan Adityawarman lainnya.[5]

Sejarah

Berdirinya Pagaruyung

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak berada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang dituturkan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang dibiarkan bebas oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada anggota belakang Arca Amoghapasa[6] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang dikata dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman mendudukkan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat ditetapkan sesuai dengan norma budaya Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) sudah terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara pada sisi lain dari aliran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan beradanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada daerah tersebut.[8]

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang dibiarkan bebas oleh raja ini belum berada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan yang belakang sekali dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 hingga 1377.[9]

Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari beragam Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera anggota tengah sudah muncul lebih kurang pada zaman ke-13,[11] yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan yang belakang sekali pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera anggota tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk daerah Kabupaten Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja memainkan ritual nasihat Tantris dari agama Buddha yang dikata hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang beradanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang berkeinginan permohonan pengakuan sebagai penguasa pada daerah San-fo-ts'i.[12]

Beberapa daerah pedalaman Sumatera tengah hingga sekarang sedang dijumpai pengaruhi agama Buddha selang lain daerah percandian Padangroco, daerah percandian Padanglawas dan daerah percandian Muara Takus. Kemungkinan daerah tersebut termasuk daerah jajahan Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat nasihat ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya merupakan Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[13]

Pengaruh Islam

Perkembangan agama Islam setelah kesudahan zaman ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal zaman ke-16, Suma Oriental yang ditulis selang tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang sudah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.[14]

Pengaruh Islam di Pagaruyung mengembang lebih kurang pada zaman ke-16, yaitu melintasi para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, merupakan ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada zaman ke-17, Kerajaan Pagaruyung belakangnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo norma budaya Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.[15]

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan norma budaya yang bertentangan dengan nasihat agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam norma budaya ditukar dengan aturan agama Islam. Pepatah norma budaya Minangkabau yang terkenal: "Norma budaya basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang gunanya norma budaya Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal sedang berada beberapa sistem dan cara-cara norma budaya sedang dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya selang Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Norma budaya, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.[16]

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berkomunikasi dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat norma budaya juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman aku sendiri sudah membuktikan kepada aku bahwa tidak berada masalah dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Aibku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".

— Argumen dari William Marsden.

Pada awal zaman ke-17, kerajaan ini terpaksa wajib mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[17] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat memainkan usaha dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melintasi seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan hingga ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC sudah menguasai daerah pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan selang daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi dekat kembali. Ketika itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan beradanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias memainkan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau dikatanya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang sudah mencatat bahwa berada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan sudah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun yang belakang sekali setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai daerah pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari daerah tersebut.[27]

Sebagai dampak konflik selang Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda berada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat selang tahun 1795 hingga dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan selang kaum Padri dan kaum Adat. Ketika itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran dampak peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian selang Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak yang didirikan kini tidak berada lagi, hancur karena perang yang sedang berlangsung".

— Argumen dari Thomas Stamford Raffles.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, walaupun raja sedang tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka walaupun resminya sedang tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal zaman ke-19 pecah konflik selang Kaum Padri dan Kaum Norma budaya. Dalam beberapa perundingan tidak berada kata sepakat selang mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]

Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung berkeinginan bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka sudah memainkan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821[3] Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang pemuka norma budaya lainnya menandatangani kontrak dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Dunia Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak menciptakan kontrak dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[1] Dampak dari kontrak ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[16] Yang belakang sekali setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Dunia Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan yang belakang sekali dimakamkan di Pagaruyung.[20]

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah pada sisi lain bersedia diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal sudah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan sorongan pada Sultan Tangkal Dunia Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]

Setelah mendudukkan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda yang belakang sekali berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya menciptakan kaum norma budaya dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Dunia Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) hingga kesudahan hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu pakar waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles sedang bertugas di Semenanjung Malaya, ia bertemu dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya sedang keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah habisnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh berkeinginan pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Dunia Bagagar, namun permintaan ini ditampik oleh Belanda,[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[20]

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga disebutkan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan anggota dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakang daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri yang belakang sekali bebas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung merupakan wilayah tempat hidup, tumbuh, dan mengembangnya norma budaya istiadat Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) bicara Minang ini:[36]

Dari Sikilang Aia BangihHingga Taratak Aia HitamDari Durian Ditakuak RajoHingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih merupakan batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam merupakan daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo merupakan wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi merupakan wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo disebutkan bahwa Dunia Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) merupakan sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang MarapiSaedaran Gunuang PasamanSajajaran Sago jo SinggalangSaputaran Talang jo KurinciDari Sirangkak nan BadangkangHinggo Buayo Putiah DaguakHingga ka Pintu Rajo HiliaHinggo Durian Ditakuak RajoSipisau-pisau HanyuikSialang Balantak BasiHinggo Aia Babaliak MudiakSailiran Batang BangkawehHingga ka ombak nan badabuaSailiran Batang SikilangHinggo lauik nan sadidiehKa timua Ranah Aia BangihRao jo Mapek TungguaGunuang MahalintangPasisia Banda SapuluahTaratak Aia HitamHingga ka Tanjuang SimaliduPucuak Jambi Sambilan LurahDaerah Luhak Nan TigoDaerah di sekeliling Gunung PasamanDaerah sekitar Gunung Sago dan Gunung SinggalangDaerah sekitar Gunung Talang dan Gunung KerinciDaerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnyaDaerah di Pesisir Selatan hingga Muko-MukoDaerah Jambi sebelah baratDaerah yang berbatasan dengan JambiDaerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, KamparDaerah sekitar Gunung Sailan dan SingingiDaerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur atau daerah Kabupaten PelalawanDaerah sekitar Danau Singkarak dan Batang OmbilinDaerah hingga Lautan IndonesiaDaerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman BaratDaerah yang berbatasan dengan Lautan IndonesiaDaerah sebelah timur Cairan Bangis (Sungai Beremas)Daerah di daerah Rao dan Mapek TungguaDaerah perbatasan dengan Tapanuli selatanDaerah sepanjang pantai barat SumatraDaerah sekitar Silauik dan LunangDaerah hingga Tanjung SimaliduDaerah sehiliran Batang Hari

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang berada di Majapahit[15] masa itu, walaupun yang belakang sekali menyesuaikannya dengan karakter dan susunan kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah berada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[37]

Setelah masuknya Islam, Raja Dunia yang mempunyai kedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Norma budaya yang mempunyai kedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang mempunyai kedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga dikata Rajo Tigo Selo, gunanya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Norma budaya memutuskan masalah-masalah norma budaya, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila berada masalah yang tidak habis barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang dipergunakan untuk mereka dalam bahasa Minang merupakan tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38] berlainan dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang sedang tetap pada sistem matrilineal.[15]

Selain kedua raja tadi, Raja Dunia juga dibantu oleh para pembesar yang dikata Basa Ampek Balai, gunanya "empat menteri utama". Mereka adalah:

Belakangan, pengaruh Islam mendudukkan Tuan Kadi yang mempunyai kedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang dikata rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi merupakan di VII Koto tidak jauh Sijunjung, Indomo punya rantau di anggota utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires sudah memformulasikan susunan wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan sudah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan norma budayanya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X merupakan persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini berperan sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya sudah dikenal dalam istilah pepatah yang berada pada masyarakat norma budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Aci dalam sistem administrasi pemerintahan di daerah Minang dimulai dari susunan terendah dikata dengan Taratak, yang belakang sekali mengembang menjadi Dusun, yang belakang sekali mengembang menjadi Koto dan yang belakang sekali mengembang menjadi Nagari. Pada umumnya setiap nagari yang dibuat minimal sudah terdiri dari 4 suku yang mendomisili daerah tersebut.[15]

Darek

Luhak nan Tigo
Luhak Tanah DataLuhak AgamLuhak Limopuluah
Dunia Surambi Sungai PaguAmpek-Ampek AngkekHulu
Batipuah Sapuluah KotoLawang nan Tigo BalaiLareh
Kubuang TigobalehNagari-nagari Danau ManinjauLuhak
Langgam nan Tujuah Ranah
Limokaum Duobaleh Koto Sandi
Lintau Sambilan Koto  
Lubuak nan Tigo  
Nilam Payuang Sakaki  
Pariangan Padangpanjang  
Sungai Tarab Salapan Batua  
Talawi Tigo Tumpuak  
Tanjuang nan Tigo  
Sapuluah Koto di Ateh  

Di daerah Darek atau daerah isi Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakang menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada daerah luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melintasi kesepakatan para penghulu di Balai Norma budaya, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah isi Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya berperan sebagai penengah dan penentu batas wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh menciptakan peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu daerah yang menjadi pintu masuk ke dunia Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, daerah perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang dikata sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berubah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di daerah lain mengambil gelar Yang Dipertuan Luhur.

Pembagian daerah rantau merupakan sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data

Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah atau daerah Kabupaten Kuantan Singingi

  • Lubuak Ambacang
  • Lubuak Jambi
  • Gunuang Koto
  • Benai
  • Pangian
  • Basra
  • Sitanjua
  • Kopa
  • Taluak Bersedia
  • Inuman
  • Surantiah
  • Taluak Rayo
  • Simpang Kulayang
  • Aia Molek
  • Pasia Ringgik
  • Kuantan
  • Talang Mamak
  • Kualo Enok

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Anduriang Kayu Tanam
  • Guguak Kapalo Hilalang
  • Sicincin
  • Toboh Pakandangan
  • Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
  • Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)

Rantau Luhak Agam

  • Tiku Pariaman
  • Pasaman Barat
  • Pasaman Timur

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Palembayan
  • Silareh Aia
  • Lubuak Basuang
  • Kampuang Pinang
  • Simpang Ampek
  • Sungai Garinggiang
  • Lubuak Bawan
  • Tigo Koto
  • Garagahan
  • Manggopoh

Rantau Luhak Limopuluah

  • Mangilang
  • Tanjuang Belakang
  • Pangkalan
  • Koto Dunia
  • Gunuang Malintang
  • Muaro Paiti
  • Rantau Barangin
  • Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan Ampek Koto)
  • Gunuang Sailan
  • Kuntu
  • Lipek Kain
  • Ludai
  • Ujuang Bukik
  • Batu Sanggan
  • Tigo Baleh Koto Kampar
  • Sibiruang
  • Gunuang Malelo
  • Tabiang
  • Tanjuang
  • Gunuang Bungsu
  • Muaro Takuih
  • Pangkai
  • Binamang
  • Tanjuang Tidak dipedulikan
  • Pulau Gadang
  • Baluang Koto Sitangkai
  • Tigo Baleh
  • Lubuak Aguang
  • Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih)
  • Taratak Buluah
  • Pangkalan Indawang
  • Pangkalan Kapeh
  • Pangkalan Sarai
  • Koto Laweh

Sementara daerah Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Daerah ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut merupakan

Nagari-nagari ini yang belakang sekali dikenal sebagai anggota dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa daerah rantau tersebut menjadi nagari, yang belakang sekali masyarakatnya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal berkeinginan dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, daerah tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut merupakan

  • Jelai
  • Jelebu
  • Johol
  • Klang
  • Naning
  • Pasir Luhur
  • Rembau
  • Segamat
  • Sungai Ujong

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  2. ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung
  3. ^ a b Stuers, H.J.J.L.; Veth, P.J. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 
  4. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1. 
  5. ^ a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara". Tamadun Melayu 3: 918–943. 
  6. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  7. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
  8. ^ a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49. 
  9. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6. 
  10. ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3. 
  11. ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n; Phāk Wichā Phāsā Tawanʻō̜k (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8. 
  12. ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K. 
  13. ^ Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X. 
  14. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  15. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Norma budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  16. ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  17. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  18. ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
  19. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  20. ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9. 
  21. ^ SWK 1703 VOC 1664, f. 117-18
  22. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  23. ^ Kato, Tsuyoshi (2005). Norma budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1. 
  24. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  25. ^ a b Marsden, William (1784). The history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. 
  26. ^ Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4. 
  27. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
  28. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter XII". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  29. ^ Francis, E. (1859). Herinneringen uit den Levensloop van een Indisch Ambtenaar van 1815 tot 1851: Medegedeeld in briefen door E. Francis. van Dorp. 
  30. ^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  31. ^ Teitler, G., (2004), Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw.
  32. ^ Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
  33. ^ Anon, (1893), Mededelingen...Kwantan. TBG 36: 325–42.
  34. ^ Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka. 
  35. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 
  36. ^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  37. ^ Muljana, S. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-8451-62-7. 
  38. ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58. 

Bacaan lanjut

  • Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  • Hamka, Prof. Dr. (12-02-1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta. 
  • Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert; Veth, Pieter Johannes (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 

Lihat pula

  • Daftar Raja Pagaruyung
  • Perang Padri

Pranala luar

  • (Indonesia) Wilayah Rantau Minangkabau
  • (Inggris) Kerajaan Pagaruyung

edunitas.com


Page 2

"Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar.

Pagaruyung Dārul Qarār
Pagaruyuang
Malayapura
 


1347–1825
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
BenderaCap Mohor

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

IbukotaPagaruyung
BahasaMinang, Melayu, Sanskerta
AgamaDari Buddha berubah menjadi Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
 - Didirikan1347
 - Perang Padri1825
Warning: Value specified for "continent" does not comply

Kerajaan Pagaruyung adalah suatu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, mencakup provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang benar pada warga Minangkabau, adalah nama suatu nagari yang bernama Pagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Dunia Bagagar dari Pagaruyung,[1] adalah pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bidang dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Dunia Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya akad selang Kaum Hukum budaya dengan pihak Belanda yang menjadikan daerah Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.[3]

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] suatu kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa diistilahkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[5]

Sejarah

Berdirinya Pagaruyung

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai suatu kerajaan Melayu tidak dapat dikenal dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh warga Minangkabau tidak benar yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang dikemukakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, akuratnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bidang belakang Arca Amoghapasa[6] diistilahkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang dikata dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada bertempur menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya probabilitas Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman mendudukkan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya adalah Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat ditentukan sesuai dengan hukum budaya Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara pada sisi lain dari aliran irigasi tersebut terdapat juga suatu prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan benarnya sekelompok warga dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada daerah tersebut.[8]

Adityawarman pada awal mulanya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum benar satu pun yang menyebut sesuatu hal yang bersesuaian dengan bhumi jawa dan kesudahan dari berita Cina dikenal Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sejumlah 6 kali selama rentang waktu 1371 mencapai 1377.[9]

Setelah meninggalnya Adityawarman, probabilitas Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian sebab jumlahnya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa sukses dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya warga di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang adalah lembaga musyawarah dari beragam Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung adalah semacam perubahan sistem administrasi semata untuk warga setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bidang tengah telah muncul lebih kurang pada masa zaman ke-13,[11] adalah dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kesudahan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bidang tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk daerah Kabupaten Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar diistilahkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melaksanakan ritual nasihat Tantris dari agama Buddha yang dikata hevajra adalah upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang benarnya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang menanti permohonan pengakuan sebagai penguasa pada daerah San-fo-ts'i.[12]

Beberapa daerah pedalaman Sumatera tengah mencapai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha selang lain daerah percandian Padangroco, daerah percandian Padanglawas dan daerah percandian Muara Takus. Probabilitas daerah tersebut termasuk daerah taklukan Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat nasihat ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[13]

Pengaruh Islam

Perkembangan agama Islam setelah kesudahan masa zaman ke-14 sedikit jumlahnya memberi pengaruh terutama yang bersesuaian dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada warga di pedalaman Minangkabau. Pada awal masa zaman ke-16, Suma Oriental yang ditulis selang tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim semenjak 15 tahun sebelumnya.[14]

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang lebih kurang pada masa zaman ke-16, adalah melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada masa zaman ke-17, Kerajaan Pagaruyung hasilnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo hukum budaya Minangkabau diistilahkan bernama Sultan Alif.[15]

Dengan masuknya agama Islam, karenanya aturan hukum budaya yang bertentangan dengan nasihat agama Islam mulai dibubarkan dan hal-hal yang pokok dalam hukum budaya diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah hukum budaya Minangkabau yang terkenal: "Hukum budaya basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang faedahnya hukum budaya Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih benar beberapa sistem dan cara-cara hukum budaya masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awal mulanya selang Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Hukum budaya, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.[16]

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang mengadakan komunikasi dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang berisi kata kudus yang bersumber dari kata Quduus (suci) sebagai tempat letak Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang berisi kata qaum jelas adalah pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat hukum budaya juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang adalah pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman aku sendiri telah membuktikan kepada aku bahwa tidak benar persoalan dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Keliruku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".

— Argumen dari William Marsden.

Pada awal masa zaman ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[17] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, warga Minang di pesisir pantai barat bentuk dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk memberhentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya mencakup dari Kotawan di selatan mencapai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai daerah pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah berpulang tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]

Saat VOC sukses mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan selang daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi akrab kembali. Saat itu Pagaruyung adalah salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan benarnya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melaksanakan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris sukses menguasai Padang untuk sementara waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas kesuksesan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah Minangkabau semenjak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau dikatanya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa benar seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kesudahan setelah pihak Belanda maupun Inggris sukses mencapai daerah pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari daerah tersebut.[27]

Sebagai dampak konflik selang Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda benar di pihak Perancis, karenanya Inggris memerangi Belanda dan kembali sukses menguasai pantai barat Sumatera Barat selang tahun 1795 mencapai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan selang kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan merasakan pembakaran dampak peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian selang Inggris dan Belanda pada tahun 1814, karenanya Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri suatu peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari jumlah kontruksi sekarang tidak benar lagi, hancur sebab perang yang masih berlangsung".

— Argumen dari Thomas Stamford Raffles.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, walaupun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka walaupun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal masa zaman ke-19 pecah konflik selang Kaum Padri dan Kaum Hukum budaya. Dalam beberapa perundingan tidak benar kata sepakat selang mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]

Sebab terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung menanti pertolongan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melaksanakan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan pertolongan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821[3] Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah, adalah kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang pemuka hukum budaya lainnya menandatangani akad dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Dunia Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak menciptakan akad dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[1] Dampak dari akad ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[16] Kesudahan setelah Belanda sukses merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Dunia Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kesudahan dimakamkan di Pagaruyung.[20]

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah pada sisi lain akan diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Probabilitas sebab kebijakan tersebut menimbulkan desakan pada Sultan Tangkal Dunia Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]

Setelah mendudukkan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kesudahan berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda terlihatnya menciptakan kaum hukum budaya dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Dunia Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) mencapai kesudahan hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan warga Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu berbakat waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles masih bekerja di Semenanjung Malaya, dia bertemu dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah hasilnyanya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh menanti pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan letak yang semakin tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Dunia Bagagar, namun permintaan ini ditampik oleh Belanda,[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain persoalan cultuurstelsel.[20]

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga diberitahukan tanah Indragiri, Siak dan Arcat adalah bidang dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakang daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kesudahan bebas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya hukum budaya istiadat Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbicara Minang ini:[36]

Dari Sikilang Aia BangihHingga Taratak Aia HitamDari Durian Ditakuak RajoHingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah ketentuan yang tidak boleh dilampaui utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, bersamaan batasnya dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo diberitahukan bahwa Dunia Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang MarapiSaedaran Gunuang PasamanSajajaran Sago jo SinggalangSaputaran Talang jo KurinciDari Sirangkak nan BadangkangHinggo Buayo Putiah DaguakMencapai ka Pintu Rajo HiliaHinggo Durian Ditakuak RajoSipisau-pisau HanyuikSialang Balantak BasiHinggo Aia Babaliak MudiakSailiran Batang BangkawehMencapai ka ombak nan badabuaSailiran Batang SikilangHinggo lauik nan sadidiehKa timua Ranah Aia BangihRao jo Mapek TungguaGunuang MahalintangPasisia Banda SapuluahTaratak Aia HitamMencapai ka Tanjuang SimaliduPucuak Jambi Sambilan LurahDaerah Luhak Nan TigoDaerah di sekeliling Gunung PasamanDaerah sekitar Gunung Sago dan Gunung SinggalangDaerah sekitar Gunung Talang dan Gunung KerinciDaerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnyaDaerah di Pesisir Selatan hingga Muko-MukoDaerah Jambi sebelah baratDaerah yang bersamaan batasnya dengan JambiDaerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, KamparDaerah sekitar Gunung Sailan dan SingingiDaerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur atau daerah Kabupaten PelalawanDaerah sekitar Danau Singkarak dan Batang OmbilinDaerah hingga Samudra IndonesiaDaerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman BaratDaerah yang bersamaan batasnya dengan Samudra IndonesiaDaerah sebelah timur Cairan Bangis (Sungai Beremas)Daerah di daerah Rao dan Mapek TungguaDaerah perbatasan dengan Tapanuli selatanDaerah sepanjang pantai barat SumatraDaerah sekitar Silauik dan LunangDaerah hingga Tanjung SimaliduDaerah sehiliran Batang Hari

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awal mulanya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang benar di Majapahit[15] masa itu, walaupun kesudahan menyesuaikannya dengan watak dan yang dibangun kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah benar pada warga setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[37]

Setelah masuknya Islam, Raja Dunia yang bermarkas di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan pertolongan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), adalah Raja Hukum budaya yang bermarkas di Buo, dan Raja Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga dikata Rajo Tigo Selo, faedahnya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Hukum budaya memutuskan masalah-masalah hukum budaya, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila benar persoalan yang tidak beres barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[15]

Selain kedua raja tadi, Raja Dunia juga dibantu oleh para pembesar yang dikata Basa Ampek Balai, faedahnya "empat menteri utama". Mereka adalah:

Belakangan, pengaruh Islam menaruh Tuan Kadi yang bermarkas di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser letak Tuan Gadang di Batipuh, dan berjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang dikata rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto tidak jauh Sijunjung, Indomo punya rantau di bidang utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan yang dibangun wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang diistilahkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi semakin dari 500 nagari, yang adalah satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini adalah landasan kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang lebar dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan hukum budayanya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini berperan sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari semenjak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang benar pada warga hukum budaya Minang itu sendiri adalah Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Sah dalam sistem administrasi pemerintahan di daerah Minang dimulai dari yang dibangun terendah dikata dengan Taratak, kesudahan berkembang menjadi Dusun, kesudahan berkembang menjadi Koto dan kesudahan berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang diwujudkan minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili daerah tersebut.[15]

Darek

Di daerah Darek atau daerah pokok Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, adalah Luhak Tidak nan Data, belakang menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada daerah luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Hukum budaya, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah pokok Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya berperan sebagai penengah dan penentu ketentuan yang tidak boleh dilampaui wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh menciptakan peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau adalah suatu daerah yang menjadi pintu masuk ke dunia Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, daerah perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Masyarakat Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, masyarakat Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan masyarakat Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, adalah Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang dikata sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering beralih kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di daerah lain mengambil gelar Yang Dipertuan Akbar.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data

Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah atau daerah Kabupaten Kuantan Singingi

  • Lubuak Ambacang
  • Lubuak Jambi
  • Gunuang Koto
  • Benai
  • Pangian
  • Basra
  • Sitanjua
  • Kopa
  • Taluak Akan
  • Inuman
  • Surantiah
  • Taluak Rayo
  • Simpang Kulayang
  • Aia Molek
  • Pasia Ringgik
  • Kuantan
  • Talang Mamak
  • Kualo Enok

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Anduriang Kayu Tanam
  • Guguak Kapalo Hilalang
  • Sicincin
  • Toboh Pakandangan
  • Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
  • Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)

Rantau Luhak Agam

  • Tiku Pariaman
  • Pasaman Barat
  • Pasaman Timur

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Palembayan
  • Silareh Aia
  • Lubuak Basuang
  • Kampuang Pinang
  • Simpang Ampek
  • Sungai Garinggiang
  • Lubuak Bawan
  • Tigo Koto
  • Garagahan
  • Manggopoh

Rantau Luhak Limopuluah

  • Mangilang
  • Tanjuang Belakang
  • Pangkalan
  • Koto Dunia
  • Gunuang Malintang
  • Muaro Paiti
  • Rantau Barangin
  • Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan Ampek Koto)
  • Gunuang Sailan
  • Kuntu
  • Lipek Kain
  • Ludai
  • Ujuang Bukik
  • Batu Sanggan
  • Tigo Baleh Koto Kampar
  • Sibiruang
  • Gunuang Malelo
  • Tabiang
  • Tanjuang
  • Gunuang Bungsu
  • Muaro Takuih
  • Pangkai
  • Binamang
  • Tanjuang Tidak dipedulikan
  • Pulau Gadang
  • Baluang Koto Sitangkai
  • Tigo Baleh
  • Lubuak Aguang
  • Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih)
  • Taratak Buluah
  • Pangkalan Indawang
  • Pangkalan Kapeh
  • Pangkalan Sarai
  • Koto Laweh

Sementara daerah Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Daerah ini adalah semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah

Nagari-nagari ini kesudahan dikenal sebagai bidang dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa daerah rantau tersebut menjadi nagari, kesudahan warganya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal menanti dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, daerah tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah

  • Jelai
  • Jelebu
  • Johol
  • Klang
  • Naning
  • Pasir Akbar
  • Rembau
  • Segamat
  • Sungai Ujong

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  2. ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung
  3. ^ a b Stuers, H.J.J.L.; Veth, P.J. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 
  4. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1. 
  5. ^ a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara". Tamadun Melayu 3: 918–943. 
  6. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  7. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
  8. ^ a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49. 
  9. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6. 
  10. ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3. 
  11. ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n; Phāk Wichā Phāsā Tawanʻō̜k (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8. 
  12. ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K. 
  13. ^ Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X. 
  14. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  15. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  16. ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  17. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  18. ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
  19. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  20. ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9. 
  21. ^ SWK 1703 VOC 1664, f. 117-18
  22. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  23. ^ Kato, Tsuyoshi (2005). Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1. 
  24. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  25. ^ a b Marsden, William (1784). The history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. 
  26. ^ Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4. 
  27. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
  28. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter XII". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  29. ^ Francis, E. (1859). Herinneringen uit den Levensloop van een Indisch Ambtenaar van 1815 tot 1851: Medegedeeld in briefen door E. Francis. van Dorp. 
  30. ^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  31. ^ Teitler, G., (2004), Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw.
  32. ^ Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
  33. ^ Anon, (1893), Mededelingen...Kwantan. TBG 36: 325–42.
  34. ^ Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka. 
  35. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 
  36. ^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  37. ^ Muljana, S. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-8451-62-7. 
  38. ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58. 

Bacaan lanjut

  • Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  • Hamka, Prof. Dr. (12-02-1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta. 
  • Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert; Veth, Pieter Johannes (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 

Lihat pula

  • Daftar Raja Pagaruyung
  • Perang Padri

Tautan luar

  • (Indonesia) Wilayah Rantau Minangkabau
  • (Inggris) Kerajaan Pagaruyung

edunitas.com


Page 3

"Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar.

Pagaruyung Dārul Qarār
Pagaruyuang
Malayapura
 


1347–1825
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
BenderaCap Mohor

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

IbukotaPagaruyung
BahasaMinang, Melayu, Sanskerta
AgamaDari Buddha berubah menjadi Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
 - Didirikan1347
 - Perang Padri1825
Warning: Value specified for "continent" does not comply

Kerajaan Pagaruyung adalah suatu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang benar pada warga Minangkabau, yaitu nama suatu nagari yang bernama Pagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Dunia Bagagar dari Pagaruyung,[1] yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran anggota dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Dunia Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya akad selang Kaum Hukum budaya dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.[3]

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] suatu kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa diistilahkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[5]

Sejarah

Berdirinya Pagaruyung

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai suatu kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh warga Minangkabau tidak benar yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, akuratnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada anggota belakang Arca Amoghapasa[6] diistilahkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang dikata dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada bertempur menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya probabilitas Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan hukum budaya Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara pada sisi lain dari aliran irigasi tersebut terdapat juga suatu prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan benarnya sekelompok warga dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.[8]

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum benar satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kesudahan dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.[9]

Setelah meninggalnya Adityawarman, probabilitas Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian sebab banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa sukses dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya warga di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata untuk warga setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera anggota tengah telah muncul lebih kurang pada masa zaman ke-13,[11] yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kesudahan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera anggota tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar diistilahkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual nasihat Tantris dari agama Buddha yang dikata hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang benarnya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang menanti permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.[12]

Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha selang lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Probabilitas kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat nasihat ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[13]

Pengaruh Islam

Perkembangan agama Islam setelah belakang masa zaman ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada warga di pedalaman Minangkabau. Pada awal masa zaman ke-16, Suma Oriental yang ditulis selang tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim semenjak 15 tahun sebelumnya.[14]

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang lebih kurang pada masa zaman ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada masa zaman ke-17, Kerajaan Pagaruyung hasilnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo hukum budaya Minangkabau diistilahkan bernama Sultan Alif.[15]

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan hukum budaya yang bertentangan dengan nasihat agama Islam mulai dibubarkan dan hal-hal yang pokok dalam hukum budaya diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah hukum budaya Minangkabau yang terkenal: "Hukum budaya basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang faedahnya hukum budaya Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih benar beberapa sistem dan cara-cara hukum budaya masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya selang Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Hukum budaya, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.[16]

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang mengadakan komunikasi dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang berisi kata kudus yang bersumber dari kata Quduus (suci) sebagai tempat letak Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang berisi kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat hukum budaya juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman aku sendiri telah membuktikan kepada aku bahwa tidak benar masalah dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Keliruku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".

— Argumen dari William Marsden.

Pada awal masa zaman ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[17] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, warga Minang di pesisir pantai barat bangung dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah berpulang tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]

Ketika VOC sukses mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan selang daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi akrab kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan benarnya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris sukses menguasai Padang untuk sementara waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas kesuksesan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah Minangkabau semenjak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau dikatanya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa benar seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kesudahan setelah pihak Belanda maupun Inggris sukses mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.[27]

Sebagai dampak konflik selang Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda benar di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali sukses menguasai pantai barat Sumatera Barat selang tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan selang kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan merasakan pembakaran dampak peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian selang Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri suatu peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak kontruksi kini tidak benar lagi, hancur sebab perang yang masih berlangsung".

— Argumen dari Thomas Stamford Raffles.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal masa zaman ke-19 pecah konflik selang Kaum Padri dan Kaum Hukum budaya. Dalam beberapa perundingan tidak benar kata sepakat selang mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]

Sebab terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung menanti bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821[3] Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang pemuka hukum budaya lainnya menandatangani akad dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Dunia Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak menciptakan akad dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[1] Dampak dari akad ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[16] Kesudahan setelah Belanda sukses merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Dunia Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kesudahan dimakamkan di Pagaruyung.[20]

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah pada sisi lain akan diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Probabilitas sebab kebijakan tersebut menimbulkan desakan pada Sultan Tangkal Dunia Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kesudahan berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda terlihatnya menciptakan kaum hukum budaya dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Dunia Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai belakang hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan warga Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu berbakat waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles masih bekerja di Semenanjung Malaya, dia bertemu dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah hasilnyanya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh menanti pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan letak yang lebih tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Dunia Bagagar, namun permintaan ini ditampik oleh Belanda,[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[20]

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga diberitahukan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan anggota dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakang daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kesudahan bebas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya hukum budaya istiadat Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbicara Minang ini:[36]

Dari Sikilang Aia BangihHingga Taratak Aia HitamDari Durian Ditakuak RajoHingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah ketentuan yang tidak boleh dilampaui utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, bersamaan batasnya dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo diberitahukan bahwa Dunia Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang MarapiSaedaran Gunuang PasamanSajajaran Sago jo SinggalangSaputaran Talang jo KurinciDari Sirangkak nan BadangkangHinggo Buayo Putiah DaguakSampai ka Pintu Rajo HiliaHinggo Durian Ditakuak RajoSipisau-pisau HanyuikSialang Balantak BasiHinggo Aia Babaliak MudiakSailiran Batang BangkawehSampai ka ombak nan badabuaSailiran Batang SikilangHinggo lauik nan sadidiehKa timua Ranah Aia BangihRao jo Mapek TungguaGunuang MahalintangPasisia Banda SapuluahTaratak Aia HitamSampai ka Tanjuang SimaliduPucuak Jambi Sambilan LurahDaerah Luhak Nan TigoDaerah di sekeliling Gunung PasamanDaerah sekitar Gunung Sago dan Gunung SinggalangDaerah sekitar Gunung Talang dan Gunung KerinciDaerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnyaDaerah di Pesisir Selatan hingga Muko-MukoDaerah Jambi sebelah baratDaerah yang bersamaan batasnya dengan JambiDaerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, KamparDaerah sekitar Gunung Sailan dan SingingiDaerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur atau daerah Kabupaten PelalawanDaerah sekitar Danau Singkarak dan Batang OmbilinDaerah hingga Samudra IndonesiaDaerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman BaratDaerah yang bersamaan batasnya dengan Samudra IndonesiaDaerah sebelah timur Cairan Bangis (Sungai Beremas)Daerah di kawasan Rao dan Mapek TungguaDaerah perbatasan dengan Tapanuli selatanDaerah sepanjang pantai barat SumatraDaerah sekitar Silauik dan LunangDaerah hingga Tanjung SimaliduDaerah sehiliran Batang Hari

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang benar di Majapahit[15] masa itu, meskipun kesudahan menyesuaikannya dengan karakter dan yang dibangun kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah benar pada warga setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[37]

Setelah masuknya Islam, Raja Dunia yang bermarkas di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Hukum budaya yang bermarkas di Buo, dan Raja Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga dikata Rajo Tigo Selo, faedahnya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Hukum budaya memutuskan masalah-masalah hukum budaya, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila benar masalah yang tidak beres barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[15]

Selain kedua raja tadi, Raja Dunia juga dibantu oleh para pembesar yang dikata Basa Ampek Balai, faedahnya "empat menteri utama". Mereka adalah:

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang bermarkas di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser letak Tuan Gadang di Batipuh, dan berjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang dikata rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto tidak jauh Sijunjung, Indomo punya rantau di anggota utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan yang dibangun wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang diistilahkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan landasan kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan hukum budayanya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari semenjak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang benar pada warga hukum budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Sah dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari yang dibangun terendah dikata dengan Taratak, kesudahan berkembang menjadi Dusun, kesudahan berkembang menjadi Koto dan kesudahan berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang diwujudkan minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[15]

Darek

Luhak nan Tigo
Luhak Tanah DataLuhak AgamLuhak Limopuluah
Dunia Surambi Sungai PaguAmpek-Ampek AngkekHulu
Batipuah Sapuluah KotoLawang nan Tigo BalaiLareh
Kubuang TigobalehNagari-nagari Danau ManinjauLuhak
Langgam nan Tujuah Ranah
Limokaum Duobaleh Koto Sandi
Lintau Sambilan Koto  
Lubuak nan Tigo  
Nilam Payuang Sakaki  
Pariangan Padangpanjang  
Sungai Tarab Salapan Batua  
Talawi Tigo Tumpuak  
Tanjuang nan Tigo  
Sapuluah Koto di Ateh  

Di daerah Darek atau daerah isi Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakang menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Hukum budaya, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah isi Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu ketentuan yang tidak boleh dilampaui wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh menciptakan peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke dunia Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang dikata sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering beralih kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Akbar.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data

Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah atau daerah Kabupaten Kuantan Singingi

  • Lubuak Ambacang
  • Lubuak Jambi
  • Gunuang Koto
  • Benai
  • Pangian
  • Basra
  • Sitanjua
  • Kopa
  • Taluak Akan
  • Inuman
  • Surantiah
  • Taluak Rayo
  • Simpang Kulayang
  • Aia Molek
  • Pasia Ringgik
  • Kuantan
  • Talang Mamak
  • Kualo Enok

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Anduriang Kayu Tanam
  • Guguak Kapalo Hilalang
  • Sicincin
  • Toboh Pakandangan
  • Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
  • Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)

Rantau Luhak Agam

  • Tiku Pariaman
  • Pasaman Barat
  • Pasaman Timur

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Palembayan
  • Silareh Aia
  • Lubuak Basuang
  • Kampuang Pinang
  • Simpang Ampek
  • Sungai Garinggiang
  • Lubuak Bawan
  • Tigo Koto
  • Garagahan
  • Manggopoh

Rantau Luhak Limopuluah

  • Mangilang
  • Tanjuang Belakang
  • Pangkalan
  • Koto Dunia
  • Gunuang Malintang
  • Muaro Paiti
  • Rantau Barangin
  • Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan Ampek Koto)
  • Gunuang Sailan
  • Kuntu
  • Lipek Kain
  • Ludai
  • Ujuang Bukik
  • Batu Sanggan
  • Tigo Baleh Koto Kampar
  • Sibiruang
  • Gunuang Malelo
  • Tabiang
  • Tanjuang
  • Gunuang Bungsu
  • Muaro Takuih
  • Pangkai
  • Binamang
  • Tanjuang Tidak dipedulikan
  • Pulau Gadang
  • Baluang Koto Sitangkai
  • Tigo Baleh
  • Lubuak Aguang
  • Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih)
  • Taratak Buluah
  • Pangkalan Indawang
  • Pangkalan Kapeh
  • Pangkalan Sarai
  • Koto Laweh

Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah

Nagari-nagari ini kesudahan dikenal sebagai anggota dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kesudahan warganya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal menanti dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah

  • Jelai
  • Jelebu
  • Johol
  • Klang
  • Naning
  • Pasir Akbar
  • Rembau
  • Segamat
  • Sungai Ujong

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  2. ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung
  3. ^ a b Stuers, H.J.J.L.; Veth, P.J. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 
  4. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1. 
  5. ^ a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara". Tamadun Melayu 3: 918–943. 
  6. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  7. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
  8. ^ a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49. 
  9. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6. 
  10. ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3. 
  11. ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n; Phāk Wichā Phāsā Tawanʻō̜k (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8. 
  12. ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K. 
  13. ^ Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X. 
  14. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  15. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  16. ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  17. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  18. ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
  19. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  20. ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9. 
  21. ^ SWK 1703 VOC 1664, f. 117-18
  22. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  23. ^ Kato, Tsuyoshi (2005). Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1. 
  24. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  25. ^ a b Marsden, William (1784). The history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. 
  26. ^ Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4. 
  27. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
  28. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter XII". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  29. ^ Francis, E. (1859). Herinneringen uit den Levensloop van een Indisch Ambtenaar van 1815 tot 1851: Medegedeeld in briefen door E. Francis. van Dorp. 
  30. ^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  31. ^ Teitler, G., (2004), Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw.
  32. ^ Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
  33. ^ Anon, (1893), Mededelingen...Kwantan. TBG 36: 325–42.
  34. ^ Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka. 
  35. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 
  36. ^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  37. ^ Muljana, S. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-8451-62-7. 
  38. ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58. 

Bacaan lanjut

  • Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  • Hamka, Prof. Dr. (12-02-1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta. 
  • Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert; Veth, Pieter Johannes (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 

Lihat pula

  • Daftar Raja Pagaruyung
  • Perang Padri

Pranala luar

  • (Indonesia) Wilayah Rantau Minangkabau
  • (Inggris) Kerajaan Pagaruyung

edunitas.com


Page 4

"Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar.

Pagaruyung Dārul Qarār
Pagaruyuang
Malayapura
 


1347–1825
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
BenderaCap Mohor

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

IbukotaPagaruyung
BahasaMinang, Melayu, Sanskerta
AgamaDari Buddha berubah menjadi Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
 - Didirikan1347
 - Perang Padri1825
Warning: Value specified for "continent" does not comply

Kerajaan Pagaruyung adalah suatu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang benar pada warga Minangkabau, yaitu nama suatu nagari yang bernama Pagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Dunia Bagagar dari Pagaruyung,[1] yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran anggota dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Dunia Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya akad selang Kaum Hukum budaya dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.[3]

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] suatu kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa diistilahkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[5]

Sejarah

Berdirinya Pagaruyung

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai suatu kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh warga Minangkabau tidak benar yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, akuratnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada anggota belakang Arca Amoghapasa[6] diistilahkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang dikata dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada bertempur menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya probabilitas Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan hukum budaya Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara pada sisi lain dari aliran irigasi tersebut terdapat juga suatu prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan benarnya sekelompok warga dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.[8]

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum benar satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kesudahan dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.[9]

Setelah meninggalnya Adityawarman, probabilitas Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian sebab banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa sukses dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya warga di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata untuk warga setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera anggota tengah telah muncul lebih kurang pada masa zaman ke-13,[11] yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kesudahan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera anggota tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar diistilahkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual nasihat Tantris dari agama Buddha yang dikata hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang benarnya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang menanti permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.[12]

Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha selang lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Probabilitas kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat nasihat ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[13]

Pengaruh Islam

Perkembangan agama Islam setelah belakang masa zaman ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada warga di pedalaman Minangkabau. Pada awal masa zaman ke-16, Suma Oriental yang ditulis selang tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim semenjak 15 tahun sebelumnya.[14]

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang lebih kurang pada masa zaman ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada masa zaman ke-17, Kerajaan Pagaruyung hasilnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo hukum budaya Minangkabau diistilahkan bernama Sultan Alif.[15]

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan hukum budaya yang bertentangan dengan nasihat agama Islam mulai dibubarkan dan hal-hal yang pokok dalam hukum budaya diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah hukum budaya Minangkabau yang terkenal: "Hukum budaya basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang faedahnya hukum budaya Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih benar beberapa sistem dan cara-cara hukum budaya masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya selang Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Hukum budaya, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.[16]

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang mengadakan komunikasi dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang berisi kata kudus yang bersumber dari kata Quduus (suci) sebagai tempat letak Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang berisi kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat hukum budaya juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman aku sendiri telah membuktikan kepada aku bahwa tidak benar masalah dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Keliruku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".

— Argumen dari William Marsden.

Pada awal masa zaman ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[17] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, warga Minang di pesisir pantai barat bangung dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah berpulang tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]

Ketika VOC sukses mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan selang daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi akrab kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan benarnya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris sukses menguasai Padang untuk sementara waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas kesuksesan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah Minangkabau semenjak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau dikatanya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa benar seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kesudahan setelah pihak Belanda maupun Inggris sukses mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.[27]

Sebagai dampak konflik selang Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda benar di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali sukses menguasai pantai barat Sumatera Barat selang tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan selang kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan merasakan pembakaran dampak peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian selang Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri suatu peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak kontruksi kini tidak benar lagi, hancur sebab perang yang masih berlangsung".

— Argumen dari Thomas Stamford Raffles.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal masa zaman ke-19 pecah konflik selang Kaum Padri dan Kaum Hukum budaya. Dalam beberapa perundingan tidak benar kata sepakat selang mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]

Sebab terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung menanti bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821[3] Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang pemuka hukum budaya lainnya menandatangani akad dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Dunia Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak menciptakan akad dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[1] Dampak dari akad ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[16] Kesudahan setelah Belanda sukses merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Dunia Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kesudahan dimakamkan di Pagaruyung.[20]

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah pada sisi lain akan diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Probabilitas sebab kebijakan tersebut menimbulkan desakan pada Sultan Tangkal Dunia Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kesudahan berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda terlihatnya menciptakan kaum hukum budaya dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Dunia Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai belakang hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan warga Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu berbakat waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles masih bekerja di Semenanjung Malaya, dia bertemu dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah hasilnyanya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh menanti pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan letak yang lebih tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Dunia Bagagar, namun permintaan ini ditampik oleh Belanda,[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[20]

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga diberitahukan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan anggota dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakang daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kesudahan bebas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya hukum budaya istiadat Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbicara Minang ini:[36]

Dari Sikilang Aia BangihHingga Taratak Aia HitamDari Durian Ditakuak RajoHingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah ketentuan yang tidak boleh dilampaui utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, bersamaan batasnya dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo diberitahukan bahwa Dunia Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang MarapiSaedaran Gunuang PasamanSajajaran Sago jo SinggalangSaputaran Talang jo KurinciDari Sirangkak nan BadangkangHinggo Buayo Putiah DaguakSampai ka Pintu Rajo HiliaHinggo Durian Ditakuak RajoSipisau-pisau HanyuikSialang Balantak BasiHinggo Aia Babaliak MudiakSailiran Batang BangkawehSampai ka ombak nan badabuaSailiran Batang SikilangHinggo lauik nan sadidiehKa timua Ranah Aia BangihRao jo Mapek TungguaGunuang MahalintangPasisia Banda SapuluahTaratak Aia HitamSampai ka Tanjuang SimaliduPucuak Jambi Sambilan LurahDaerah Luhak Nan TigoDaerah di sekeliling Gunung PasamanDaerah sekitar Gunung Sago dan Gunung SinggalangDaerah sekitar Gunung Talang dan Gunung KerinciDaerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnyaDaerah di Pesisir Selatan hingga Muko-MukoDaerah Jambi sebelah baratDaerah yang bersamaan batasnya dengan JambiDaerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, KamparDaerah sekitar Gunung Sailan dan SingingiDaerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur atau daerah Kabupaten PelalawanDaerah sekitar Danau Singkarak dan Batang OmbilinDaerah hingga Samudra IndonesiaDaerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman BaratDaerah yang bersamaan batasnya dengan Samudra IndonesiaDaerah sebelah timur Cairan Bangis (Sungai Beremas)Daerah di kawasan Rao dan Mapek TungguaDaerah perbatasan dengan Tapanuli selatanDaerah sepanjang pantai barat SumatraDaerah sekitar Silauik dan LunangDaerah hingga Tanjung SimaliduDaerah sehiliran Batang Hari

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang benar di Majapahit[15] masa itu, meskipun kesudahan menyesuaikannya dengan karakter dan yang dibangun kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah benar pada warga setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[37]

Setelah masuknya Islam, Raja Dunia yang bermarkas di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Hukum budaya yang bermarkas di Buo, dan Raja Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga dikata Rajo Tigo Selo, faedahnya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Hukum budaya memutuskan masalah-masalah hukum budaya, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila benar masalah yang tidak beres barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[15]

Selain kedua raja tadi, Raja Dunia juga dibantu oleh para pembesar yang dikata Basa Ampek Balai, faedahnya "empat menteri utama". Mereka adalah:

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang bermarkas di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser letak Tuan Gadang di Batipuh, dan berjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang dikata rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto tidak jauh Sijunjung, Indomo punya rantau di anggota utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan yang dibangun wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang diistilahkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan landasan kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan hukum budayanya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari semenjak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang benar pada warga hukum budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Sah dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari yang dibangun terendah dikata dengan Taratak, kesudahan berkembang menjadi Dusun, kesudahan berkembang menjadi Koto dan kesudahan berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang diwujudkan minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[15]

Darek

Luhak nan Tigo
Luhak Tanah DataLuhak AgamLuhak Limopuluah
Dunia Surambi Sungai PaguAmpek-Ampek AngkekHulu
Batipuah Sapuluah KotoLawang nan Tigo BalaiLareh
Kubuang TigobalehNagari-nagari Danau ManinjauLuhak
Langgam nan Tujuah Ranah
Limokaum Duobaleh Koto Sandi
Lintau Sambilan Koto  
Lubuak nan Tigo  
Nilam Payuang Sakaki  
Pariangan Padangpanjang  
Sungai Tarab Salapan Batua  
Talawi Tigo Tumpuak  
Tanjuang nan Tigo  
Sapuluah Koto di Ateh  

Di daerah Darek atau daerah isi Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakang menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Hukum budaya, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah isi Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu ketentuan yang tidak boleh dilampaui wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh menciptakan peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke dunia Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang dikata sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering beralih kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Akbar.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data

Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah atau daerah Kabupaten Kuantan Singingi

  • Lubuak Ambacang
  • Lubuak Jambi
  • Gunuang Koto
  • Benai
  • Pangian
  • Basra
  • Sitanjua
  • Kopa
  • Taluak Akan
  • Inuman
  • Surantiah
  • Taluak Rayo
  • Simpang Kulayang
  • Aia Molek
  • Pasia Ringgik
  • Kuantan
  • Talang Mamak
  • Kualo Enok

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Anduriang Kayu Tanam
  • Guguak Kapalo Hilalang
  • Sicincin
  • Toboh Pakandangan
  • Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
  • Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)

Rantau Luhak Agam

  • Tiku Pariaman
  • Pasaman Barat
  • Pasaman Timur

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Palembayan
  • Silareh Aia
  • Lubuak Basuang
  • Kampuang Pinang
  • Simpang Ampek
  • Sungai Garinggiang
  • Lubuak Bawan
  • Tigo Koto
  • Garagahan
  • Manggopoh

Rantau Luhak Limopuluah

  • Mangilang
  • Tanjuang Belakang
  • Pangkalan
  • Koto Dunia
  • Gunuang Malintang
  • Muaro Paiti
  • Rantau Barangin
  • Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan Ampek Koto)
  • Gunuang Sailan
  • Kuntu
  • Lipek Kain
  • Ludai
  • Ujuang Bukik
  • Batu Sanggan
  • Tigo Baleh Koto Kampar
  • Sibiruang
  • Gunuang Malelo
  • Tabiang
  • Tanjuang
  • Gunuang Bungsu
  • Muaro Takuih
  • Pangkai
  • Binamang
  • Tanjuang Tidak dipedulikan
  • Pulau Gadang
  • Baluang Koto Sitangkai
  • Tigo Baleh
  • Lubuak Aguang
  • Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih)
  • Taratak Buluah
  • Pangkalan Indawang
  • Pangkalan Kapeh
  • Pangkalan Sarai
  • Koto Laweh

Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah

Nagari-nagari ini kesudahan dikenal sebagai anggota dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kesudahan warganya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal menanti dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah

  • Jelai
  • Jelebu
  • Johol
  • Klang
  • Naning
  • Pasir Akbar
  • Rembau
  • Segamat
  • Sungai Ujong

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  2. ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung
  3. ^ a b Stuers, H.J.J.L.; Veth, P.J. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 
  4. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1. 
  5. ^ a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara". Tamadun Melayu 3: 918–943. 
  6. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  7. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
  8. ^ a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49. 
  9. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6. 
  10. ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3. 
  11. ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n; Phāk Wichā Phāsā Tawanʻō̜k (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8. 
  12. ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K. 
  13. ^ Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X. 
  14. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  15. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  16. ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  17. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  18. ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
  19. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  20. ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9. 
  21. ^ SWK 1703 VOC 1664, f. 117-18
  22. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  23. ^ Kato, Tsuyoshi (2005). Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1. 
  24. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  25. ^ a b Marsden, William (1784). The history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. 
  26. ^ Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4. 
  27. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
  28. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter XII". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  29. ^ Francis, E. (1859). Herinneringen uit den Levensloop van een Indisch Ambtenaar van 1815 tot 1851: Medegedeeld in briefen door E. Francis. van Dorp. 
  30. ^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  31. ^ Teitler, G., (2004), Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw.
  32. ^ Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
  33. ^ Anon, (1893), Mededelingen...Kwantan. TBG 36: 325–42.
  34. ^ Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka. 
  35. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 
  36. ^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  37. ^ Muljana, S. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-8451-62-7. 
  38. ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58. 

Bacaan lanjut

  • Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  • Hamka, Prof. Dr. (12-02-1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta. 
  • Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert; Veth, Pieter Johannes (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 

Lihat pula

  • Daftar Raja Pagaruyung
  • Perang Padri

Pranala luar

  • (Indonesia) Wilayah Rantau Minangkabau
  • (Inggris) Kerajaan Pagaruyung

edunitas.com


Page 5

"Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar.

Pagaruyung Dārul Qarār
Pagaruyuang
Malayapura
 


1347–1825
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires
BenderaCap Mohor

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

IbukotaPagaruyung
BahasaMinang, Melayu, Sanskerta
AgamaDari Buddha berubah menjadi Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
 - Didirikan1347
 - Perang Padri1825
Warning: Value specified for "continent" does not comply

Kerajaan Pagaruyung adalah suatu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, mencakup provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang benar pada warga Minangkabau, adalah nama suatu nagari yang bernama Pagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Dunia Bagagar dari Pagaruyung,[1] adalah pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bidang dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Dunia Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya akad selang Kaum Hukum budaya dengan pihak Belanda yang menjadikan daerah Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.[3]

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] suatu kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa diistilahkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[5]

Sejarah

Berdirinya Pagaruyung

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai suatu kerajaan Melayu tidak dapat dikenal dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh warga Minangkabau tidak benar yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang dikemukakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, akuratnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bidang belakang Arca Amoghapasa[6] diistilahkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang dikata dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada bertempur menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya probabilitas Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman mendudukkan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya adalah Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat ditentukan sesuai dengan hukum budaya Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara pada sisi lain dari aliran irigasi tersebut terdapat juga suatu prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan benarnya sekelompok warga dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada daerah tersebut.[8]

Adityawarman pada awal mulanya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum benar satu pun yang menyebut sesuatu hal yang bersesuaian dengan bhumi jawa dan kesudahan dari berita Cina dikenal Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sejumlah 6 kali selama rentang waktu 1371 mencapai 1377.[9]

Setelah meninggalnya Adityawarman, probabilitas Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian sebab jumlahnya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa sukses dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya warga di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang adalah lembaga musyawarah dari beragam Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung adalah semacam perubahan sistem administrasi semata untuk warga setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bidang tengah telah muncul lebih kurang pada masa zaman ke-13,[11] adalah dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kesudahan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bidang tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk daerah Kabupaten Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar diistilahkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melaksanakan ritual nasihat Tantris dari agama Buddha yang dikata hevajra adalah upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang benarnya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang menanti permohonan pengakuan sebagai penguasa pada daerah San-fo-ts'i.[12]

Beberapa daerah pedalaman Sumatera tengah mencapai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha selang lain daerah percandian Padangroco, daerah percandian Padanglawas dan daerah percandian Muara Takus. Probabilitas daerah tersebut termasuk daerah taklukan Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat nasihat ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[13]

Pengaruh Islam

Perkembangan agama Islam setelah kesudahan masa zaman ke-14 sedikit jumlahnya memberi pengaruh terutama yang bersesuaian dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada warga di pedalaman Minangkabau. Pada awal masa zaman ke-16, Suma Oriental yang ditulis selang tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim semenjak 15 tahun sebelumnya.[14]

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang lebih kurang pada masa zaman ke-16, adalah melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada masa zaman ke-17, Kerajaan Pagaruyung hasilnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo hukum budaya Minangkabau diistilahkan bernama Sultan Alif.[15]

Dengan masuknya agama Islam, karenanya aturan hukum budaya yang bertentangan dengan nasihat agama Islam mulai dibubarkan dan hal-hal yang pokok dalam hukum budaya diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah hukum budaya Minangkabau yang terkenal: "Hukum budaya basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang faedahnya hukum budaya Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih benar beberapa sistem dan cara-cara hukum budaya masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awal mulanya selang Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Hukum budaya, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.[16]

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang mengadakan komunikasi dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang berisi kata kudus yang bersumber dari kata Quduus (suci) sebagai tempat letak Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang berisi kata qaum jelas adalah pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat hukum budaya juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang adalah pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman aku sendiri telah membuktikan kepada aku bahwa tidak benar persoalan dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Keliruku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".

— Argumen dari William Marsden.

Pada awal masa zaman ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[17] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, warga Minang di pesisir pantai barat bentuk dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk memberhentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya mencakup dari Kotawan di selatan mencapai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai daerah pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah berpulang tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]

Saat VOC sukses mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan selang daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi akrab kembali. Saat itu Pagaruyung adalah salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan benarnya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melaksanakan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris sukses menguasai Padang untuk sementara waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas kesuksesan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah Minangkabau semenjak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau dikatanya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa benar seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kesudahan setelah pihak Belanda maupun Inggris sukses mencapai daerah pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari daerah tersebut.[27]

Sebagai dampak konflik selang Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda benar di pihak Perancis, karenanya Inggris memerangi Belanda dan kembali sukses menguasai pantai barat Sumatera Barat selang tahun 1795 mencapai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan selang kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan merasakan pembakaran dampak peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian selang Inggris dan Belanda pada tahun 1814, karenanya Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri suatu peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari jumlah kontruksi sekarang tidak benar lagi, hancur sebab perang yang masih berlangsung".

— Argumen dari Thomas Stamford Raffles.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, walaupun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka walaupun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal masa zaman ke-19 pecah konflik selang Kaum Padri dan Kaum Hukum budaya. Dalam beberapa perundingan tidak benar kata sepakat selang mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]

Sebab terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung menanti pertolongan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melaksanakan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan pertolongan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821[3] Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah, adalah kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang pemuka hukum budaya lainnya menandatangani akad dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Dunia Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak menciptakan akad dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[1] Dampak dari akad ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[16] Kesudahan setelah Belanda sukses merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Dunia Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kesudahan dimakamkan di Pagaruyung.[20]

Jelaskan apa yang terjadi di kerajaan minang kabau Menurut Tome Pires

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Dunia Bagagarsyah pada sisi lain akan diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Probabilitas sebab kebijakan tersebut menimbulkan desakan pada Sultan Tangkal Dunia Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]

Setelah mendudukkan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kesudahan berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda terlihatnya menciptakan kaum hukum budaya dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Dunia Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) mencapai kesudahan hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan warga Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu berbakat waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles masih bekerja di Semenanjung Malaya, dia bertemu dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah hasilnyanya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh menanti pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan letak yang semakin tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Dunia Bagagar, namun permintaan ini ditampik oleh Belanda,[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain persoalan cultuurstelsel.[20]

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga diberitahukan tanah Indragiri, Siak dan Arcat adalah bidang dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakang daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kesudahan bebas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya hukum budaya istiadat Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbicara Minang ini:[36]

Dari Sikilang Aia BangihHingga Taratak Aia HitamDari Durian Ditakuak RajoHingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah ketentuan yang tidak boleh dilampaui utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, bersamaan batasnya dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo diberitahukan bahwa Dunia Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang MarapiSaedaran Gunuang PasamanSajajaran Sago jo SinggalangSaputaran Talang jo KurinciDari Sirangkak nan BadangkangHinggo Buayo Putiah DaguakMencapai ka Pintu Rajo HiliaHinggo Durian Ditakuak RajoSipisau-pisau HanyuikSialang Balantak BasiHinggo Aia Babaliak MudiakSailiran Batang BangkawehMencapai ka ombak nan badabuaSailiran Batang SikilangHinggo lauik nan sadidiehKa timua Ranah Aia BangihRao jo Mapek TungguaGunuang MahalintangPasisia Banda SapuluahTaratak Aia HitamMencapai ka Tanjuang SimaliduPucuak Jambi Sambilan LurahDaerah Luhak Nan TigoDaerah di sekeliling Gunung PasamanDaerah sekitar Gunung Sago dan Gunung SinggalangDaerah sekitar Gunung Talang dan Gunung KerinciDaerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnyaDaerah di Pesisir Selatan hingga Muko-MukoDaerah Jambi sebelah baratDaerah yang bersamaan batasnya dengan JambiDaerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, KamparDaerah sekitar Gunung Sailan dan SingingiDaerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur atau daerah Kabupaten PelalawanDaerah sekitar Danau Singkarak dan Batang OmbilinDaerah hingga Samudra IndonesiaDaerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman BaratDaerah yang bersamaan batasnya dengan Samudra IndonesiaDaerah sebelah timur Cairan Bangis (Sungai Beremas)Daerah di daerah Rao dan Mapek TungguaDaerah perbatasan dengan Tapanuli selatanDaerah sepanjang pantai barat SumatraDaerah sekitar Silauik dan LunangDaerah hingga Tanjung SimaliduDaerah sehiliran Batang Hari

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awal mulanya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang benar di Majapahit[15] masa itu, walaupun kesudahan menyesuaikannya dengan watak dan yang dibangun kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah benar pada warga setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[37]

Setelah masuknya Islam, Raja Dunia yang bermarkas di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan pertolongan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), adalah Raja Hukum budaya yang bermarkas di Buo, dan Raja Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga dikata Rajo Tigo Selo, faedahnya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Hukum budaya memutuskan masalah-masalah hukum budaya, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila benar persoalan yang tidak beres barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[15]

Selain kedua raja tadi, Raja Dunia juga dibantu oleh para pembesar yang dikata Basa Ampek Balai, faedahnya "empat menteri utama". Mereka adalah:

Belakangan, pengaruh Islam menaruh Tuan Kadi yang bermarkas di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser letak Tuan Gadang di Batipuh, dan berjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang dikata rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto tidak jauh Sijunjung, Indomo punya rantau di bidang utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan yang dibangun wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang diistilahkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi semakin dari 500 nagari, yang adalah satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini adalah landasan kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang lebar dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan hukum budayanya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini berperan sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari semenjak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang benar pada warga hukum budaya Minang itu sendiri adalah Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Sah dalam sistem administrasi pemerintahan di daerah Minang dimulai dari yang dibangun terendah dikata dengan Taratak, kesudahan berkembang menjadi Dusun, kesudahan berkembang menjadi Koto dan kesudahan berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang diwujudkan minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili daerah tersebut.[15]

Darek

Di daerah Darek atau daerah pokok Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, adalah Luhak Tidak nan Data, belakang menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada daerah luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Hukum budaya, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah pokok Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya berperan sebagai penengah dan penentu ketentuan yang tidak boleh dilampaui wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh menciptakan peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau adalah suatu daerah yang menjadi pintu masuk ke dunia Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, daerah perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Masyarakat Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, masyarakat Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan masyarakat Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, adalah Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang dikata sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering beralih kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di daerah lain mengambil gelar Yang Dipertuan Akbar.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data

Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah atau daerah Kabupaten Kuantan Singingi

  • Lubuak Ambacang
  • Lubuak Jambi
  • Gunuang Koto
  • Benai
  • Pangian
  • Basra
  • Sitanjua
  • Kopa
  • Taluak Akan
  • Inuman
  • Surantiah
  • Taluak Rayo
  • Simpang Kulayang
  • Aia Molek
  • Pasia Ringgik
  • Kuantan
  • Talang Mamak
  • Kualo Enok

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Anduriang Kayu Tanam
  • Guguak Kapalo Hilalang
  • Sicincin
  • Toboh Pakandangan
  • Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
  • Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)

Rantau Luhak Agam

  • Tiku Pariaman
  • Pasaman Barat
  • Pasaman Timur

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

  • Palembayan
  • Silareh Aia
  • Lubuak Basuang
  • Kampuang Pinang
  • Simpang Ampek
  • Sungai Garinggiang
  • Lubuak Bawan
  • Tigo Koto
  • Garagahan
  • Manggopoh

Rantau Luhak Limopuluah

  • Mangilang
  • Tanjuang Belakang
  • Pangkalan
  • Koto Dunia
  • Gunuang Malintang
  • Muaro Paiti
  • Rantau Barangin
  • Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan Ampek Koto)
  • Gunuang Sailan
  • Kuntu
  • Lipek Kain
  • Ludai
  • Ujuang Bukik
  • Batu Sanggan
  • Tigo Baleh Koto Kampar
  • Sibiruang
  • Gunuang Malelo
  • Tabiang
  • Tanjuang
  • Gunuang Bungsu
  • Muaro Takuih
  • Pangkai
  • Binamang
  • Tanjuang Tidak dipedulikan
  • Pulau Gadang
  • Baluang Koto Sitangkai
  • Tigo Baleh
  • Lubuak Aguang
  • Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih)
  • Taratak Buluah
  • Pangkalan Indawang
  • Pangkalan Kapeh
  • Pangkalan Sarai
  • Koto Laweh

Sementara daerah Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Daerah ini adalah semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah

Nagari-nagari ini kesudahan dikenal sebagai bidang dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa daerah rantau tersebut menjadi nagari, kesudahan warganya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal menanti dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, daerah tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah

  • Jelai
  • Jelebu
  • Johol
  • Klang
  • Naning
  • Pasir Akbar
  • Rembau
  • Segamat
  • Sungai Ujong

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  2. ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung
  3. ^ a b Stuers, H.J.J.L.; Veth, P.J. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 
  4. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1. 
  5. ^ a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara". Tamadun Melayu 3: 918–943. 
  6. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  7. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
  8. ^ a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49. 
  9. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6. 
  10. ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3. 
  11. ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n; Phāk Wichā Phāsā Tawanʻō̜k (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8. 
  12. ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K. 
  13. ^ Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X. 
  14. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  15. ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  16. ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  17. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  18. ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
  19. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  20. ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9. 
  21. ^ SWK 1703 VOC 1664, f. 117-18
  22. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  23. ^ Kato, Tsuyoshi (2005). Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1. 
  24. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  25. ^ a b Marsden, William (1784). The history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. 
  26. ^ Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4. 
  27. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
  28. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter XII". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan. 
  29. ^ Francis, E. (1859). Herinneringen uit den Levensloop van een Indisch Ambtenaar van 1815 tot 1851: Medegedeeld in briefen door E. Francis. van Dorp. 
  30. ^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  31. ^ Teitler, G., (2004), Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw.
  32. ^ Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
  33. ^ Anon, (1893), Mededelingen...Kwantan. TBG 36: 325–42.
  34. ^ Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka. 
  35. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 
  36. ^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  37. ^ Muljana, S. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-8451-62-7. 
  38. ^ Benda-Beckmann, Franz von (1979). "Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (86): 58. 

Bacaan lanjut

  • Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  • Hamka, Prof. Dr. (12-02-1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Dunia Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta. 
  • Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert; Veth, Pieter Johannes (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. 

Lihat pula

  • Daftar Raja Pagaruyung
  • Perang Padri

Tautan luar

  • (Indonesia) Wilayah Rantau Minangkabau
  • (Inggris) Kerajaan Pagaruyung

edunitas.com


Page 6

Tags (tagged): 2 Title of articles, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 5, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 7, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 8, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 9, 2006 FIFA World Cup Qualifying - Final Round Zone North, Central America and the Caribbean, 2006 FIFA World Cup Qualifying - First round African Zone, 2006 FIFA World Cup Qualifying - First round of Asian Zone, 2006 FIFA World Cup Qualifying - Qualifying Zone North, Central America and the Caribbean, 2011 AFC Cup, 2011 Asian Cup, 2011 CONCACAF Gold Cup, 2011 Copa America squad, 2014 FIFA World Cup Qualifying - Second Round Zone North, Central America and the Caribbean, 2014 FIFA World Cup Qualifying - Third Round Zone North, Central America and the Caribbean, 2014 FIFA World Cup squads, 2014 Winter Olympics, 27 September, 270, 273 BC, 28


Page 7

Tags (tagged): 2 Title of articles, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 5, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 7, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 8, 2002 FIFA World Cup Qualifying - European Zone Group 9, 2006 FIFA World Cup Qualifying - Final Round Zone North, Central America and the Caribbean, 2006 FIFA World Cup Qualifying - First round African Zone, 2006 FIFA World Cup Qualifying - First round of Asian Zone, 2006 FIFA World Cup Qualifying - Qualifying Zone North, Central America and the Caribbean, 2011 AFC Cup, 2011 Asian Cup, 2011 CONCACAF Gold Cup, 2011 Copa America squad, 2014 FIFA World Cup Qualifying - Second Round Zone North, Central America and the Caribbean, 2014 FIFA World Cup Qualifying - Third Round Zone North, Central America and the Caribbean, 2014 FIFA World Cup squads, 2014 Winter Olympics, 27 September, 270, 273 BC, 28


Page 8

Tags (tagged): F Title of articles, F/A-18 Hornet, F1 2011 European Grand Prix, F1 Brazilian Grand Prix 2003, F1 Brazilian Grand Prix 2009, FC Sion, FC Slavyansky Slavyansk-na-Kubani, FC Slovan Liberec, FC Smena Komsomolsk-na-Amure, FIFA Ballon d' Or 2011, FIFA Ballon d'Or, FIFA Ballon d'Or 2012, FIFA Ballon d'Or 2013, Flag of Slovakia, Flag of Slovenia, Flag of Solomon Islands, Flag of Somalia, foster brother, Fotodiode, Fouad Rachid, Foued Kadir


Page 9

Tags (tagged): F Title of articles, F/A-18 Hornet, F1 2011 European Grand Prix, F1 Brazilian Grand Prix 2003, F1 Brazilian Grand Prix 2009, FC Sion, FC Slavyansky Slavyansk-na-Kubani, FC Slovan Liberec, FC Smena Komsomolsk-na-Amure, FIFA Ballon d' Or 2011, FIFA Ballon d'Or, FIFA Ballon d'Or 2012, FIFA Ballon d'Or 2013, Flag of Slovakia, Flag of Slovenia, Flag of Solomon Islands, Flag of Somalia, foster brother, Fotodiode, Fouad Rachid, Foued Kadir


Page 10

Tags (tagged): G Title of articles, Gary Andrew Stevens, Gary Breen, Gary Cahill, Gary Caldwell, Georginio Wijnaldum, Georgios George Koumantarakis, Georgios Karagounis, Georgios Samaras, Giuseppe Wilson, giussano, Givi Chokheli, Givi Dmitriyevich Chokheli, Granze, graph, grapheme, graphic, Gunter Friesenbichler, Gunungkidul Persig, Gunungsitoli, Gupta script


Page 11

Tags (tagged): G Title of articles, Gary Andrew Stevens, Gary Breen, Gary Cahill, Gary Caldwell, Georginio Wijnaldum, Georgios George Koumantarakis, Georgios Karagounis, Georgios Samaras, Giuseppe Wilson, giussano, Givi Chokheli, Givi Dmitriyevich Chokheli, Granze, graph, grapheme, graphic, Gunter Friesenbichler, Gunungkidul Persig, Gunungsitoli, Gupta script


Page 12

Tags (tagged): H Title of articles, Half-Blood Prince (character), Hali, halide, Halil Altintop, Harut and Marut, harvest, Harvesters combination, harvesting, Henk Bos (football player), Henk Ngantung, Henk Pellikaan, Henk Sneevliet, Hirofumi Moriyasu, Hirohito, Hiroki Sakai, Hiroshi Kiyotake, Houssine Kharja, Houston, Houston Dynamo, Houston Texans


Page 13

Tags (tagged): H Title of articles, Half-Blood Prince (character), Hali, halide, Halil Altintop, Harut and Marut, harvest, Harvesters combination, harvesting, Henk Bos (football player), Henk Ngantung, Henk Pellikaan, Henk Sneevliet, Hirofumi Moriyasu, Hirohito, Hiroki Sakai, Hiroshi Kiyotake, Houssine Kharja, Houston, Houston Dynamo, Houston Texans


Page 14

Tags (tagged): I Title of articles, Ibrahima Traore, Ibrox Stadium, Ibu Kota Beijing International Airport, Ibu Tien, Independiente, Index Kompas100, Index of Economic Freedom, India, Indonesian Young, Indonesian Youth Party, Indonesian ZALORA, Indonesias Got Talent, Internet Movie Database, Internet protocol, Internet protocol suite, Internet protocol television, ISO 3166-2, ISO 3166-2 : PH, ISO 3166-2 GB, ISO 4217


Page 15

Tags (tagged): I Title of articles, Ibrahima Traore, Ibrox Stadium, Ibu Kota Beijing International Airport, Ibu Tien, Independiente, Index Kompas100, Index of Economic Freedom, India, Indonesian Young, Indonesian Youth Party, Indonesian ZALORA, Indonesias Got Talent, Internet Movie Database, Internet protocol, Internet protocol suite, Internet protocol television, ISO 3166-2, ISO 3166-2 : PH, ISO 3166-2 GB, ISO 4217


Page 16

Tags (tagged): J Title of articles, Jabu Mahlangu, Jabu Pule, Jaca, Jacatra, January, January 1, January 10, January 11, Jens Bertelsen, Jens Hegeler, Jens Janse, Jens Jeremies, Johan Devrindt, Johan Djourou, Johan Elmander, Johan Hendrik Caspar Kern, Jorge Larrionda, Jorge Lobo Carrascosa, Jorge Luis Burruchaga, Jorge Luis Pinto


Page 17

Tags (tagged): J Title of articles, Jabu Mahlangu, Jabu Pule, Jaca, Jacatra, January, January 1, January 10, January 11, Jens Bertelsen, Jens Hegeler, Jens Janse, Jens Jeremies, Johan Devrindt, Johan Djourou, Johan Elmander, Johan Hendrik Caspar Kern, Jorge Larrionda, Jorge Lobo Carrascosa, Jorge Luis Burruchaga, Jorge Luis Pinto


Page 18

Tags (tagged): K Title of articles, Karl Erik Algot Almgren, Karl Gosta Herbert Lofgren, Karl Henry, Karl Hohmann, Kerkrade, Kermes ilicis, Kern County, California, Kernel (computer science), King of Bahrain Cup 2012, King of Bandits Jing, King Osanga, King Power Stadium, Konstantinos Mitroglou, Konstanz, Konya, Koo Ja-Cheol, Kwandang, North Gorontalo, Kwasi Appiah, KY, Kyai


Page 19

Tags (tagged): K Title of articles, Karl Erik Algot Almgren, Karl Gosta Herbert Lofgren, Karl Henry, Karl Hohmann, Kerkrade, Kermes ilicis, Kern County, California, Kernel (computer science), King of Bahrain Cup 2012, King of Bandits Jing, King Osanga, King Power Stadium, Konstantinos Mitroglou, Konstanz, Konya, Koo Ja-Cheol, Kwandang, North Gorontalo, Kwasi Appiah, KY, Kyai


Page 20

Tags (tagged): L Title of articles, La Romareda, La Romareda Stadium, La Rosaleda Stadium, La Spezia, Laureano Sanabria Ruiz, Lauren, Lauren Colthorpe, Lauren Etame Mayer, lesions, Lesley de Sa, lesmo, Lesotho, List of counties and cities in Central Java, List of counties and cities in Central Kalimantan, List of counties and cities in Central Sulawesi, List of counties and cities in East Java, List of Indonesian leaders, List of Indonesian legendary football player, List of Indonesian local clothing, List of Indonesian minister


Page 21

Tags (tagged): L Title of articles, La Romareda, La Romareda Stadium, La Rosaleda Stadium, La Spezia, Laureano Sanabria Ruiz, Lauren, Lauren Colthorpe, Lauren Etame Mayer, lesions, Lesley de Sa, lesmo, Lesotho, List of counties and cities in Central Java, List of counties and cities in Central Kalimantan, List of counties and cities in Central Sulawesi, List of counties and cities in East Java, List of Indonesian leaders, List of Indonesian legendary football player, List of Indonesian local clothing, List of Indonesian minister


Page 22

Tags (tagged): O Title of articles, Obu, Aichi- Obu, Aichi, Occidental Mindoro, Occimiano, Occitania, OIC, OIC Islamic University, Oier Olazabal, Oier Sanjurjo, Olympic Stadium Berlin, Olympic Stadium Fisht, Olympic Stadium San Marino, Olympic Stadium, Munich, Orchid, Orchidaceae, Orchids, North Gorontalo, Order of Carmelites, Oskemen, Oslo, Oslo Peace Agreement, Osman Chavez


Page 23

Tags (tagged): O Title of articles, Obu, Aichi- Obu, Aichi, Occidental Mindoro, Occimiano, Occitania, OIC, OIC Islamic University, Oier Olazabal, Oier Sanjurjo, Olympic Stadium Berlin, Olympic Stadium Fisht, Olympic Stadium San Marino, Olympic Stadium, Munich, Orchid, Orchidaceae, Orchids, North Gorontalo, Order of Carmelites, Oskemen, Oslo, Oslo Peace Agreement, Osman Chavez


Page 24

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta


Page 25

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta


Page 26

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan