Ibarat dua sisi koin, investasi dan risiko adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Setiap instrumen investasi memiliki risiko yang harus dihadapi oleh investornya. Tidak terkecuali investasi di obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah. Risiko berinvestasi di obligasi pemerintah ini bervariasi, mulai dari konservatif, moderat dan agresif. Setiap nasabah perlu menyesuaikan diri dengan risiko yang siap dihadapinya dalam berinvestasi tersebut. Risiko dalam obligasi biasanya ditentukan jangka waktu jatuh tempo (maturity). Jatuh tempo adalah suatu tanggal di masa depan dimana penerbit obligasi akan membayar nilai pokok investasi atau nilai nominal kepada investor obligasi. Jatuh tempo itu bervariasi mulai dari kurang dari 10 tahun hingga lebih dari 30 tahun. Semakin lama jatuh tempo sebuah obligasi tersebut maka akan semakin tinggi pula risikonya. Begitu pula sebaliknya. Mengapa? Semakin lama maturity tersebut maka semakin besar pula peluang obligasi terdampak terhadap perubahan suku bunga. Perubahan suku bunga berpotensi mempengaruhi harga obligasi di pasar. Seperti diketahui, perubahan suku bunga di masa depan tidak selalu bisa diprediksi pada masa kini. Pada saat suku bunga meningkat, harga obligasi akan turun, demikian sebaliknya. Hubungan itu disebut sebagai interest rate risk atau risiko suku bunga. Oleh karena itu, penerbit obligasi biasanya akan mengkompensasi lamanya jatuh tempo tersebut dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Semakin lama jatuh temponya, obligasi biasanya memiliki imbal hasil yang lebih tinggi karena risikonya lebih tinggi. Profil RisikoPada umumnya, profil risiko investasi obligasi bisa dibagi menjadi tiga yaitu konservatif, moderat dan agresif. Setiap investor memiliki profil risiko yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan karakteristik pribadinya. Investor dengan profil risiko konservatif biasanya menempatkan dana di obligasi dengan jangka waktu yang relatif pendek (5 tahun atau kurang dari 5 tahun). Investor dengan profil risiko moderat biasanya menempatkan dana di obligasi dengan jangka waktu menengah (lebih dari 5 tahun sampai 10 tahun). Sementara itu, investor dengan profil risiko agresif biasanya menempatkan dana di obligasi dengan jangka waktu menengah dan panjang (lebih dari 10 tahun). Sebelum berinvestasi di obligasi, investor perlu mengenal profil risikonya. Profil risiko ini kurang lebih bisa diibaratkan dengan pendakian gunung. Semakin tinggi sebuah gunung maka semakin indah pemandangan yang dilihat. Tentu saja, perjuangan untuk mencapai gunung yang lebih tinggi itu juga tidak kecil. Dibandingkan dengan instrumen investasi lain seperti deposito, keuntungan yang diperoleh investor obligasi umumnya lebih tinggi. Oleh karena itu, risiko di instrumen obligasi berbeda dibandingkan dengan instrumen deposito. Jenis RisikoSelain interest rate risk yang sudah disebut di atas, investor di obligasi menghadapi berbagai risiko lainnya. Berikut ini sejumlah risikonya: Risiko Likuiditas Risiko ini dapat terjadi apabila investor obligasi sedang membutuhkan dana tetapi kesulitan menjual obligasi dalam waktu cepat di harga yang wajar di pasar sekunder. Dalam situasi tertentu, obligasi yang dijual oleh investor bukan tidak mungkin berada di harga diskon dibandingkan dengan harga belinya. Risiko Pasar Risiko ini dapat terjadi apabila harga obligasi berfluktuasi karena berbagai faktor ekonomi makro seperti inflasi. Pada saat inflasi meningkat, harga obligasi berpotensi turun. Pada saat obligasi dijual dengan harga lebih rendah maka investor mengalami kerugian (capital loss). Penurunan harga dapat terjadi karena sejumlah faktor seperti perubahan suku bunga, perubahan kondisi perekonomian hingga kondisi politik yang tidak stabil. Risiko Gagal Bayar Risiko ini dapat terjadi apabila penerbit obligasi yaitu pemerintah/perusahaan tidak sanggup membayar nilai pokok investasi beserta kuponnya. Dalam kondisi ini, investor dapat kehilangan seluruh atau sebagian nilai pokok yang diinvestasikan di obligasi. Sebagai pengingat, obligasi negara dijamin oleh pemerintah berdasarkan serangkaian undang-undang dan pembayaran nilai pokok serta investasinya disediakan dalam APBN. Risiko Perubahan Peraturan Risiko ini dapat terjadi apabila pemerintah mengubah peraturan terkait perpajakan obligasi yang dapat mempengaruhi hasil investasi yang diperoleh investor. Pada saat ini, pajak penghasilan (Pph) obligasi sebesar 15%. Nah, demikian sejumlah risiko obligasi. Risiko dan potensi keuntungan dari investasi selalu berjalan beriringan. Dibandingkan dengan instrumen investasi berisiko tinggi lainnya seperti saham, risiko investasi obligasi lebih rendah. Dengan berbagai risiko yang melekat, investasi obligasi merupakan pilihan yang menarik apabila kita ingin memiliki instrumen investasi yang keuntungannya dapat diprediksi di masa depan. Di samping itu, apabila kita memegang obligasi hingga jatuht empo, nilai nominalnya atau modal akan kembali kepada investor. Kalau kamu masih bingung tentang investasi obligasi, kamu bisa DM kami di Instagram @digibankid untuk tanya seputar investasi. Yuk, mulai investasi obligasi!
Ketika Anda ingin melakukan investasi, pastikan Anda memilih dengan tepat. Dalam melakukan investasi ada dua jenis investasi yang cukup populer namun, masih belum diketahui perbedaan-perbedaannya. Kedua jenis investasi ini adalah saham dan obligasi. Banyak orang atau investor pemula belum memahami perbedaan saham dan obligasi. Secara umum, saham dan obligasi memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menanamkan modal atau dana untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan dari perusahaan. Baca Juga : Ajari Si Kecil Menabung dengan Tabungan Anak Sebelum membahas perbedaan saham dan obligasi lebih lanjut, Anda harus memahami terlebih dahulu pengertian dan perbedaan saham dan obligasi secara umum. Saham adalah bentuk kepemilikan individu atas aset sebuah perusahaan yang biasanya berbentuk dokumen. Pemilik surat saham berhak atas keuntungan yang didapatkan perusahaan sesuai dengan jumlah lot saham yang mereka miliki. Keuntungan dalam investasi saham ini disebut dengan dividen. Sementara itu perbedaan saham dan obligasi yaitu, obligasi adalah surat utang yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemerintah, lengkap dengan bunga serta informasi jatuh tempo pembayarannya. Surat ini merupakan sebuah bukti perjanjian peminjaman dana, sekaligus besaran bunga yang harus dibayarkan oleh pihak penerima obligasi. Meski perusahaan bisa mengeluarkan obligasi, namun obligasi lebih sering dikeluarkan oleh instansi pemerintahan. Kesimpulan perbedaan saham dan obligasi adalah, pemilik saham memiliki hak atas keuntungan perusahaan dan juga hak suara. Sedangkan obligasi, Pemilik hanya berstatus sebagai pemberi utang. Persamaan Saham dan Obligasi Sebelum kita membahas perbedaan saham dan obligasi, terlebih dahulu kita bahas persamaan antara saham dan obligasi. Baca Juga : Ciri-Ciri dan Kiat Usaha yang Menguntungkan di Tahun 2020
Perbedaan Saham dan Obligasi Sementara itu, ada beberapa perbedaan saham dan obligasi yang harus Anda ketahui. Berikut adalah perbedaan saham dan obligasi: Baca Juga : Bisnis Untuk Pemula yang Bisa Dilakukan Secara Online
Jika Anda sudah memahami perbedaan saham dan obligasi serta resiko dari obligasi. Anda juga harus memahami siapa saja yang dapat berinvestasi pada obligasi. Di pasar perdana (khusus ORI, Savings Bond Ritel, Sukuk Tabungan dan Sukuk Negara Ritel): investor individu (orang perorangan) Warga Negara Indonesia yang disertai dengan KTP yang masih berlaku. Sedangkan di pasar sekunder:
Baca Juga : Bisnis Kuliner, Bisnis Andalan Para Pengusaha Pemula Jika Anda tertarik untuk berinvestasi dengan Obligasi, Anda bisa transaksi Obligasi di CIMB Niaga. Anda juga dapat membelinya melalui OCTO Mobile & OCTO Clicks. Dengan membeli Obligasi, Anda akan mendapatkan keuntungan berupa, pendapatan kupon secara berkala, potensi kenaikan/apresiasi terhadap modal awal, dan terdaftar pada bank kustodian atas nama masing-masing nasabah. Untuk informasi lebih lanjut Anda bisa mendatangi cabang bank CIMB Niaga terdekat atau klik di sini. |