Jelaskan cara penyebaran agama Islam menurut teori Cina Tiongkok

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Artikel ini ditulis berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan teman penulis yang beretnis Tioghoa. Kurang lebih dialog antara penulis dan teman penulis tersebut sebagai berikut. “Di China ada masjid?” “ Ada, bahkan di China sejak dulu sudah ada masjid. Di China juga ada masjid kuno yang sekarang masih berdiri megah dan masih aktif, Masjid Feng Huan atau Phoenix Mosque” jawab penulis. “Berarti di China ada pemeluk agama Islam?” “Ada, seperti di Indonesia juga ada etnis Tionghoa yang memeluk Islam. Bahkan etnis Tionghoa juga yang menyebarkan agama Islam di Indonesia”. “Lho, kenapa bisa etnis Tionghoa yang menyebarkan agama Islam, apa tidak salah, yang menyebarkan agama Islam di Indonesia bukannya orang-orang Gujarat (India) dan Arab?”.

Ternyata masih ada yang belum mengetahui bahwa etnis Tionghoa yang minoritas di Indonesia memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Orang-orang Arab Handramaut, Persia, dan Gujarat memang menyebarkan agama Islam di Indonesia, namun tidak hanya mereka, imigran etnis Tionghoa juga menyebarkan agama Islam di Indonesia. Berikut sejarah singkatnya.

Di masa lalu, China dan Arab telah memiliki hubungan dagang. Pedagang yang berasal dari Arab dan China saling menjajakan hasil negaranya untuk dijual ke negara lain melalui dua jalur perdagangan utama dunia waktu itu jalur sutera dan jalur keramik. Jalur sutera yaitu membawa barang dagangan melalui jalur darat. Disebut jalur sutera karena sebagian besar barang dagangan yang diangkut melalui jalur darat adalah kain sutera. Jalur keramik yaitu membawa barang dagangan melalui laut. Disebut dengan jalur keramik karena memang barang-barang yang diangkut sebagian besar berupa keramik.

Pada masa Rasulullah Nabi Muhammad SAW, hubungan dagang antara China dan Arab telah semakin meningkat. Nabi Muhammad juga menjadi pedagang perantara antara pedagang China dan Arab. Pedagang China yang datang ke Arab di Mekkah, selain berdagang mereka juga mempelajari ajaran agama Islam. Beberapa dari mereka kemudian memeluk Islam dan saat kembali ke China pedagang-pedagang muslim China tersebut menyebarkan ajaran agama Islam tersebut ke China. Nabi Muhammad SAW, juga mengirimkan beberapa Da’i ke China untuk mengajarkan agama Islam. Melalui dua model pengajaran agama Islam ini, maka Islam menyebar ke China terutama di provinsi Guang Dong (Guang Zhou) dan Fujian.

Sekitar abad ke 15 imigran China Muslim yang sebagian besar berasal dari Guang Dong dan Fujian, mendarat di Nusantara (Indonesia). Mereka tinggal di Indonesia dengan mata pencaharian pedagang, pertanian, dan pertukangan. Pada masa inilah para imigran China (Tionghoa) muslim menyebarkan ajaran agama Islam. Beberapa daerah tujuan imigran China (Tionghoa) muslim adalah Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Pada tahun 1405 sampai 1433, rombongan muhibah Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam beberapa kali singgah di Indonesia. Anak buah laksamana Cheng Ho terdiri atas berbagai pemeluk agama, termasuk agama Islam. Saat singgah di Indonesia terutama di Sumatera dan Jawa mereka juga menyebarkan ajaran agama Islam. Jadi nampak jelas peran etnis Tionghoa sebagai salah satu penyebar agama Islam di Indonesia.

Imigran China (Tionghoa) muslim di Indonesia telah ada sebelum bangsa Portugis dan Belanda datang. Imigran China di abad ke 15 datang untuk tinggal di Indonesia dan sekaligus menyebarkan agama Islam. Portugis dan Belanda datang ke Indonesia untuk mencari daerah koloni dan sekaligus menyebarkan ajaran agama Katolik. Imigran China muslim hidup membaur dengan penduduk pribumi, sedangkan Belanda dan Portugis memperlakukan penduduk pribumi secara diskriminatif dan di bawah mereka. Pada masa penindasan Portugis dan Belanda, imigran China muslim juga mendapatkan penindasan seperti penduduk pribumi. Bahkan saat perang kolonial, penduduk muslim Tionghoa juga bergabung dengan para pejuang di setiap daerah melawan Belanda dan Portugis. Bahkan sejarah mencatat bahwa selain penduduk pribumi yang mengalami pembunuhan massal dari Belanda, penduduk muslim Tionghoa juga mengalami pembunuhan massal.

Penduduk muslim Tionghoa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan dari penjajah Belanda karena mereka memiliki kedekatan dengan penduduk pribumi, mereka beragama muslim seperti sebagian besar agama penduduk pribumi. Penduduk muslim Tionghoa juga melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan bergabung dengan pejuang Indonesia. Beberapa hal ini menunjukkan bahwa di masa lalu, etnis Tionghoa juga memiliki hubungan yang baik dengan penduduk asli Indonesia, keeratan hubungan sebagai saudara karena mendapatkan tekanan yang sama dari pihak Portugis dan Belanda. Imigran Etnis Tionghoa Muslim dapat diterima penduduk Indonesia peran mereka di pertanian, perdagangan, pertukangan, dan penyebaran agama Islam.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, terutama dalam meningkatkan kerukunan antara etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sejarah kenangan masa lalu yang indah, dapat kita bawa dalam kehidupan yang sekarang sehingga kehidupan yang sekarang dapat menjadi lebih baik. Luka-luka batin yang terjadi setelah kenangan indah dapat menutup kenangan indah, namun dengan membuka kenangan indah itu kembali diharapkan dapat menutup luka-luka tersebut. Begitulah salah satu prinsip positive psychology.

Foto: Masjid Cheng Hoo [dok. http://www.republika.co.id]

Referensi

http://id.wikipedia.org/wiki/Cheng_Ho

http://id.wikipedia.org/wiki/Penyebaran_Islam_di_Nusantara

Herman, R. (2012). Imigran Muslim China Abad XV di Indonesia. Surabaya : PT. Karya Pembina Swajaya.

tirto.id - Ada beberapa teori masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Agama Islam masuk ke Nusantara Indonesia melewati perjalanan panjang dan dibawa oleh kaum muslim dari berbagai belahan bumi. Kini, Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Merunut beberapa teori yang ada, ajaran Islam masuk ke Indonesia melalui orang-orang dari berbagai bangsa. Sebagian dari mereka ada yang datang ke Nusantara untuk berdagang sembari berdakwah. Ada pula kaum ulama atau ahli agama yang memang datang ke Nusantara untuk mensyiarkan ajaran Islam.

Terlepas dari perdebatan dan diskusi yang kemudian muncul, ke-4 teori terkait masuknya Islam di Indonesia tersebut antara lain Teori India (Gujarat), Teori Arab (Mekah), Teori Persia (Iran), dan Teori Cina.

Teori Masuknya Islam ke Indonesia: Teori India (Gujarat)

Teori yang dicetuskan oleh G.W.J. Drewes yang lantas dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette, hingga Sucipto Wirjosuparto ini meyakini bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang dari Gujarat, India, pada abad ke-13 Masehi.

Jelaskan cara penyebaran agama Islam menurut teori Cina Tiongkok

Kaum saudagar Gujarat datang melalui Selat Malaka dan menjalin kontak dengan orang-orang lokal di bagian barat Nusantara yang kemudian melahirkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Salah satu bukti yang mendukung teori ini adalah ditemukannya makam Malik As-Saleh dengan angka 1297. Nama asli Malik As-Saleh sebelum masuk Islam adalah Marah Silu. Ia merupakan pendiri Kesultanan Samudera Pasai di Aceh.

Dikutip dari buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) karya Uka Tjandrasasmita, corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh memiliki kemiripan dengan corak batu nisan di Gujarat. Selain itu, hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah lama terjalin

Ditemukan pula batu nisan lain di pesisir utara Sumatera bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428 M. Makam ini memiliki batu nisan serupa dari Cambay, Gujarat, dan menjadi nisan pula untuk makam Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo, yang wafat tahun 1419.

Sesuai namanya, Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 Hijriah, atau abad ke-13 Masehi. Gujarat terletak di India bagian barat dan berdekatan dengan Laut Arab.

Sarjana Belanda J. Pijnapel dari Universitas Leiden adalah orang pertama yang mengemukakan teori ini pada abad ke-19. Menurut Pijnapel, orang-orang Arab bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriah (abad ke-7 Masehi). Namun, yang menyebarkan Islam ke Indonesia, menurut Pijnapel, bukan orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Nusantara.

Kemudian, dalam perkembangannya, pendapat Pijnapel diamini dan disebarkan oleh orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Dalam pandangannya, yang termuat dalam Revue de l'histoire des religions (1894), Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India.

Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Menurut Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya.

Baca juga: Perdebatan dan Ragam Versi Masuknya Islam ke Nusantara

Selain Hurgronje, pada tahun 1912, giliran J.P. Moquetta memberikan afirmasi atas Teori Gujarat dengan bukti sebuah batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh.

Menurut Moquetta, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.

Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafi’i yang dianut oleh masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

Pendapat Moquetta tersebut mendapat dukungan dari para sarjana lain seperti: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall. Mereka ini sependapat dengan Moquette, dalam hal Gujarat sebagai tempat datangnya Islam di Nusantara, tentu saja dengan beberapa tambahan.

Kendati demikian, Teori Gujarat tak lepas dari kritik. Argumentasi Moquette, misalnya, ditentang oleh S.Q. Fatimi. Ia berpendapat, mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk yang ada di makam Maulana Malik al-Saleh, dengan Gujarat adalah keliru.

Menurut penelitian Fatimi, yang berjudul Islam Comes to Malaysia (2009), bentuk dan gaya batu nisan Malik la-Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan Nusantara. Fatimi berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Oleh karena itu, Fatimi menyimpulkan, seluruh batu nisan itu hampir bisa dipastikan berasal dari Bengal.

Baca juga:

  • Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit
  • Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Lokasi, & Pusat Pengajaran Agama Buddha
  • Sejarah & Daftar Kerajaan-kerajaan Maritim Islam di Indonesia

Jelaskan cara penyebaran agama Islam menurut teori Cina Tiongkok

Teori Arab (Mekah)

Teori selanjutnya tentang masuknya Islam di Indonesia diperkirakan berasal dari Timur Tengah, tepatnya Arab. Teori Arab (Mekah) ini didukung oleh J.C. van Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, hingga Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka.

Menurut Buya Hamka, Islam sudah menyebar di Nusantara sejak abad 7 M. Hamka dalam bukunya berjudul Sejarah Umat Islam (1997) menjelaskan salah satu bukti yang menunjukkan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari orang-orang Arab.

Bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari Cina yang menyebutkan bahwa sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera pada 625 M. Di kawasan yang pernah dikuasai Kerajaan Sriwijaya itu juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 M.

Teori dan bukti yang dipaparkan Hamka tersebut didukung oleh T.W. Arnold yang menyatakan bahwa kaum saudagar dari Arab cukup dominan dalam aktivitas perdagangan ke wilayah Nusantara.

Sebagian dari pedagang Arab tersebut kemudian menikah dengan warga lokal dan membentuk komunitas muslim. Mereka bersama-sama kemudian melakukan kegiatan dakwah Islam di berbagai wilayah di Nusantara.

Baca juga:

  • Kisah Buya Hamka dan Awka: Kakak Ulama, Adik Pendeta
  • Sejarah Kekhalifahan Umayyah, Kejayaan, Hingga Keruntuhannya
  • Wali Songo dan Jalan Setapak Syekh Siti Jenar

Teori Persia (Iran)

Teori bahwa ajaran Islam masuk ke Nusantara dari bangsa Persia (atau wilayah yang kemudian menjadi negara Iran) pada abad ke-13 Masehi didukung oleh Umar Amir Husen dan Husein Djajadiningrat.

Abdurrahman Misno dalam Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia (2016) menuliskan, Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia memiliki persamaan dengan Persia.

Salah satu contohnya adalah seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara. Ada pula budaya Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Sumatera Barat yang serupa dengan ritual di Persia setiap tanggal 10 Muharam.

Akan tetapi, ajaran Islam yang masuk dari Persia kemungkinan adalah Syiah. Kesamaan tradisi tersebut serupa dengan ritual Syiah di Persia yang saat ini merujuk pada negara Iran. Teori ini cukup lemah karena mayoritas pemeluk Islam di Indonesia adalah bermazhab Sunni.

Baca juga:

  • Tan Go Wat: Datang Dari Cina, Lalu "Mengislamkan" Jawa
  • Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa
  • Chengho, Panglima Islam Kekaisaran Cina Merambah Nusantara

Teori Cina

Penyebaran Islam di Indonesia juga diperkirakan masuk dari Cina. Ajaran Islam berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash. Kanton pernah menjadi pusatnya para pendakwah muslim dari Cina.

Jean A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi pada 713 M. Diyakini bahwa Islam memasuki Nusantara bersamaan migrasi orang-orang Cina ke Asia Tenggara. Mereka dan memasuki wilayah Sumatera bagian selatan Palembang pada 879 atau abad ke-9 M.

Bukti lain adalah banyak pendakwah Islam keturunan Cina yang punya pengaruh besar di Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, seiring dengan keruntuhan Kemaharajaan Majapahit pada perjalanan abad ke-13 M. Sebagian dari mereka disebut Wali Songo.

Dalam buku Sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna diungkapkan, Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah, putra Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal Cina yang telah masuk Islam. Raden Patah yang memiliki nama Cina, Jin Bun, memimpin Demak bersama Wali Songo sejak 1500 M.

Baca juga:

  • Yazdegerd III, Penjaga Terakhir Persia Sebelum Era Islam
  • Alasan Umar bin Khattab Menolak Salat di Gereja
  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit &Peninggalannya

Baca juga artikel terkait MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/isw)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates