Jelaskan keterkaitan kebijakan tanam paksa dengan munculnya kebijakan politik Etis di Indonesia

Auditorium Sekolah Pascasarjana, BERITA UIN Online – Politik etis memberikan kontribusi besar dalam pembebasan suatu bangsa dari imperialism dan kolonialisme. Politik etis seperti pisau bermata dua dan secara tak langsung memberi keuntungan bagi pribumi.

Secara empiris hubungan timbal balik antara pendidikan dan nasionalisme dapat terlihat dalam satu episode perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak awal abad ke-20 ketika Belanda menjalankan politik etis, politik balas budi.

Politik etis atau balas budi yang disuguhkan Belanda waktu itu, dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal seperti Hollandsche-Inlandsche School (HIS), sekolah Belanda untuk bumiputera, Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO) dan School tot Opleiding Van Indische Arisen (STOVIA).

“Dari sekolah inilah, muncul kesadaran pada peserta didik akan nilai-nilai kebangsaan. Para peserta didik menyadari  akan kondisi penderitaan bangsanya sebagai akibat penjajahan Belanda,” ungkap Heni Lestari ketika memaparkan disertasinya bertajuk “Pendidikan Agama dan Nasionalisme (Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)” pada ujian Promosi Doktor yang digelar di Ruang Auditorium SPs, Kamis, 14 Desember 2017. Di hadapan para penguji Prof. Dr. Husni Rahim; Prof. Dr. Zulkifli, MA; Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag; dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah. Sedangkan selaku Promotor adalah Prof. Dr. Dede Rosyada, MA dan Prof. Dr. Abuddin Nata, Heni berhasil meraih prestasi Sangat Memuaskan dengan IPK 3,48.

Heni menjelaskan lebih jauh, politik etis merupakan bentuk tanggung jawab moral pemerintah kolonial Belanda terhadap pribumi, rakyat Indonesia, yang mengalami penderitaan luar biasa akibat politik tanam paksa kolonial Belanda.

“Politik etis ini dipelopori Pieter Brooshooft dan C Th Van de Venter, yang membuka mata pemerintah kolonial Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat pribumi,” ujar Heni menjawab pertanyaan Prof Dr Dede Rosyada.

Dalam pandangan Heni, dalam konteks Indonesia dan negara-negara Islam saat itu, membangun nasionalisme melalui kesadaran intelektual dan kembali kepada nilai-nlai agama, merupakan pandangan yang menguatkan bahwa cinta tanah air, merupakan semangat utama nasionalisme.

“Semangat nasionalisme tak sekadar perjuangan fisik dengan memangul senjata. Tapi aura nasionalisme juga dengan menanamkan nilai-nilai luhur yang bersifat educative, seperti kesdaran akan penderitaan bangsanya,” tegas Heni. (Edy E)

Politik seakan senantiasa menimbulkan gejolak di manapun ia berada. Hasilnya pun tak selalu menguntungkan masyarakat. Di satu sisi, gejolak politik juga tidak melulu merugikan masyarakat. 

Sebagaimana ketika gejolak politik yang terjadi di Belanda pada awal abad ke-20 yang akhirnya melahirkan politik etis di Indonesia pada tahun 1901. 

Lahirnya politik etis di Indonesia salah satunya dilatar belakangi oleh perintah Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda saat itu) yang merasa bahwa Belanda harus mensejahterakan rakyat di negara yang mereka jajah sebagai salah satu timbal balik karena telah memberikan keuntungan pada Belanda. 

Tujuannya sih untuk mensejahterakan, tapi apakah benar politik etis adalah sistem yang bekerja sebagaimana perintah sang ratu? Lagian, memangnya ada ya kebijakan yang bisa memuaskan semua pihak?

Dari pada bingung, mendingan langsung gue bahas aja lengkap isi dari politik etis hingga dampaknya pada masyarakat Indonesia saat itu. 

Asal Mula Politik Etis 

Jelaskan keterkaitan kebijakan tanam paksa dengan munculnya kebijakan politik Etis di Indonesia
Ilustrasi Pemerintahan Belanda Saat Menjajah Hindia Belanda (Indonesia) Hingga Memunculkan Politik Etis (dok. Shutterstock)

Politik etis adalah suatu gagasan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan masyarakat kolonial (yang dijajah). 

Karena alasan inilah politik etis dapat diartikan sebagai politik balas budi.

Munculnya politik etis yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi wajib ditunaikan karena telah sekian waktu lamanya Belanda memperoleh keuntungan dari tanah Hindia Belanda (nama Indonesia saat itu) sedangkan rakyat pribumi menderita kesengsaraan, salah satunya adalah akibat adanya tanam paksa. 

Awalnya penderitaan ini tidak pernah digubris oleh para petinggi Belanda di Indonesia. Tanam paksa secara nyata telah merenggut nyawa yang entah berapa jumlahnya. 

Para petinggi Belanda memiliki motto bahwa persoalannya yang terjadi di Hindia Belanda (Indonesia) akan tetap berada di Hindia Belanda. “What happens in East Indies stays in East Indies.”

Namun nampaknya Tuhan mulai membuka aib yang disembunyikan para petinggi di Hindia Belanda, hingga akhirnya berita penderitaan ini sampai di telinga Ratu Wilhelmina.

 Sang ratu memerintahkan para bawahannya untuk membalas budi para pribumi atas perjuangan dan penderitaan yang telah mereka rasakan.

Namun, politik etis mengalami banyak perselisihan paham yang melatarbelakanginya. Ini disebabkan karena adanya konflik antara golongan humanis dan golongan liberal di parlemen Belanda. 

Meski pro dan kontra senantiasa menyelimuti, pada tanggal 17 desember 1901 Belanda memberlakukan politik etis melalui pidato yang diumumkan oleh Ratu Wilhelmina I.

Sejak diberlakukannya sistem ini, secara sah, perintah Belanda memiliki kewajiban untuk membayar utang budi kepada Hindia Belanda (Indonesia).

Tokoh Pencetus Politik Etis

Dari awal artikel ini gue selalu mention Ratu Wilhelmina, memang benar dia yang memerintahkan politik etis diberlakukan di Hindia-Belanda, namun apakah politik etis adalah hasil pemikirannya?

Jawabannya, tidak. 

Tokoh pencetus politik etis adalah seorang pengacara dan ahli hukum bernama lengkap Conrad Theodore van Deventer ini.

Melalui tulisan berjudul “Een eereschuld” (utang kehormatan) yang dipublikasikan di koran De Gids pada tahun 1899, Van Deventer seolah menampar keras-keras pipi Belanda yang telah sekian waktu lamanya menghisap kekayaan Hindia Belanda tanpa menghiraukan kesejahteraan warga pribumi. 

Tulisan inilah yang akhirnya memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Belanda hingga akhirnya politik etis diberlakukan pada tahun 1901. 

Van Deventer sendiri telah bergabung dengan partai liberal demokrat pada tahun 1897 dan menjadi anggota parlemen Belanda selama dua periode. 

Periode pertama adalah pada tahun 1905-1909 sedangkan periode kedua dijabatnya sejak 1913 hingga kematiannya pada tahun 1915. 

Selain Deventer, tokoh lain yang memiliki peran atas tercetusnya politik ini adalah seorang wartawan Belanda bernama Pieter Brooshooft. 

Brooshooft menghabiskan hidupnya mengelilingi Indonesia untuk melihat sendiri ketidaksejahteraan yang dialami pribumi. 

Dan melalui buku berjudul Memorie over den toestand in indie (Catatan tentang keadaan di Hindia), Brooshooft menggugat parlemen Belanda hingga mendorong adanya keadilan kepada rakyat Hindia-Belanda. 

Selain karena merasa telah diuntungkan dari kerja keras para pribumi Hindia-Belanda, alasan lain politik etis didukung adalah adanya kewajiban meningkatkan kedudukan hukum masyarakat adat Umat ​​Kristen di Hindia Belanda.

Dan memberikan dukungan yang kuat kepada misi Kristen (Kristenisasi) agar dapat ditanamkan di seluruh wilayah jajahan Belanda. 

Lalu apa saja isi dari politik etis ini? Jika benar-benar ingin membalas budi, bukankah harusnya Belanda memiliki sistem yang matang untuk membantu para pribumi?

Isi Politik Etis: Trias Etika

Kebijakan politik etis berisikan 3 program yaitu: Irigasi, Transmigrasi dan Pendidikan.

Tiga kebijakan ini juga sering disebut sebagai Trias Etika atau ‘Tiga Kebijakan’.

Edukasi 

Edukasi yang dimaksudkan di sini adalah adanya akses terhadap pendidikan oleh masyarakat bumiputera. Dengan adanya akses pendidikan, diharapkan ke depannya akan lahir kesetaraan atau emansipasi. 

Kedengarannya kebijakan pertama sangat baik ya? Tapi kenyataannya tidak begitu ferguso~

Kebijakan politik etis yang satu ini diselenggarakan untuk melaksanakan eksploitasi terhadap ‘otak’ para pribumi. 

Tujuannya bukan untuk mendidik rakyat, melainkan untuk mendapatkan pekerja terdidik untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan dan tentunya (dengan) gaji rendah.

Ditambah, pendidikan nyatanya hanya bisa diakses oleh pribumi yang ‘berada’. Contohnya Sekolah Kelas Satu (ongko siji), yang merupakan sekolah khusus untuk anak-anak priyayi dan diberikan pelajaran bahasa Belanda dengan waktu sekolah 6 tahun.

Sedangkan sekolah Kelas Dua (ongko loro) yang merupakan sekolah untuk anak-anak biasa tanpa diajari bahasa Belanda (mungkin ini salah satu penyebab 350 tahun dijajah tapi jarang orang Indonesia yang fasih berbahasa Belanda). 

Sekolah ini didirikan di desa dan dengan waktu belajar hanya 3 tahun belajar dengan materi dasar menulis, membaca dan berhitung.

Masalah baru juga muncul saat pemerintah Belanda melakukan pendidikan dengan upaya westernisasi yang ditolak mentah-mentah karena dianggap tidak sejalan dengan adat istiadat Indonesia saat itu. 

Hingga, pada dekade pertama abad ke-20, dengan segala konflik, dalam perkembangannya politik etis di bidang pendidikan melahirkan kaum terpelajar perintis putra bumi, yang telah menyadari kebanggaan dan kehormatan bangsanya.

Irigasi

Keberadaan pengairan yang baik sangatlah vital bagi pertanian dan perkebunan. Tanpa adanya pengairan yang baik, keberlangsungan perkebunan dapat terancam. 

Sebagai bentuk balas budi, ide irigasi ditujukan untuk membantu pribumi supaya dapat mengurus perkebunannya dan dari sana kesejahteraannya dapat terangkat. 

Sayangnya, program irigasi dalam pelaksanaan politik etis dianggap gagal karena yang akhirnya irigasi yang dibangun justru ditujukkan kepada perkebunan para tuan Belanda bukan untuk pribumi. 

Transmigrasi 

Pada masa itu, dan masa sekarang sebenarnya, pulau Jawa dianggap sudah terlalu padat sehingga muncullah ide untuk mengadakan transmigrasi. 

Transmigrasi ditujukan untuk memindahkan orang-orang yang tinggal di Jawa ke daerah lain yang masih sepi penduduk. 

Di samping itu, adanya transmigrasi juga ditujukan untuk membantu masyarakat yang kesulitan memperoleh pekerjaan. 

Dengan memindahkannya ke daerah yang lebih sepi atau perkebunan di luar Jawa, diharapkan orang-orang tersebut dapat memperoleh pekerjaan yang layak. 

Akan tetapi ide tersebut pada akhirnya tinggalah sebuah ide. Pada akhirnya, program transmigrasi yang dijalankan malah dimanfaatkan oleh para pemilik perkebunan untuk mendatangkan buruh murah dari pulau Jawa. 

Pada prinsipnya, ide-ide yang dicetuskan oleh Van Deventer adalah baik. Masalahnya, ketika dipraktikkan ternyata hasilnya benar-benar bertentangan dengan ide awal. 

Sekolah-sekolah memang dibangun pasca diberlakukannya politik etis. Akan tetapi sekolah-sekolah tersebut ternyata menetapkan biaya yang tidak murah sehingga tidak dapat diakses oleh pribumi yang tidak memiliki banyak harta. 

Sama halnya dengan program irigasi dan transmigrasi pun nyatanya malah semakin menguntungkan para pemilik perkebunan swasta.

Dampak Berlakunya Politik Etis bagi Indonesia

Dibangunnya Infrastruktur

Terlepas dari kenyataan bahwa politik etis menghadirkan keuntungan tersendiri bagi kalangan swasta, ada manfaat yang dibawa oleh politik etis yang bahkan masih bisa kita rasakan sampai sekarang. 

Salah dua dari dampak berlakunya politik etis adalah bendungan dan rel kereta api. Rel kereta yang biasa elo lalui adalah warisan dari politik etis yang masih kita gunakan sampai sekarang. 

Demikian juga bendungan-bendungan yang sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat penampungan air. 

Salah satu bendungan yang dibangun dan mulai dioperasikan pasca dijalankannya politik etis adalah Bendungan Katulampa yang ada di Bogor. FYI aja nih, bendungan katulampa sudah mulai beroperasi pada tahun 1911.

Jelaskan keterkaitan kebijakan tanam paksa dengan munculnya kebijakan politik Etis di Indonesia
Foto Bendungan Katulampa Sebagai Hasil Adanya Politik Etis. (dok. Shutterstock)

Masyarakat Perkotaan yang Semakin Modern, Tapi . . .

Politik etis ternyata melahirkan akulturasi. Arti dari akulturasi sendiri adalah suatu proses sosial yang terjadi dalam masyarakat di mana terjadi interaksi antara dua budaya berbeda dan mengakibatkan terbentuknya budaya baru, namun unsur dan sifat budaya yang asli tidaklah hilang atau tetap ada. 

Akulturasi yang terjadi antara budaya Belanda dengan Indonesia melahirkan masyarakat yang mulai gemar berpakaian seperti orang Eropa. 

Tradisi pesta pun juga mulai diikuti oleh pribumi. Masyarakat kota memang mengalami modernisasi tetapi tidak demikian halnya dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan. 

Salah satu hal yang memicu kondisi tersebut adalah penyimpangan dari politik etis itu sendiri. 

Sebagaimana gue sebutkan sebelumnya, terjadi penyelewengan dari ide-ide besar politik etis seperti irigasi yang nyatanya malah cenderung menguntungkan perkebunan swasta. 

Akibatnya ya, lahan milik pribumi tidak mendapat pengairan sebaik milik swasta. Belum lagi dengan akses pendidikan yang nyatanya masih tetap sulit diakses oleh masyarakat miskin. 

Edukasi yang Melahirkan Dua Kelompok 

Politik etis memunculkan banyak sekolah di Hindia Belanda. Beberapa di antaranya adalah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah setingkat SMP hari ini dan Algemeene Middelbare School (AMS) atau sekolah setara SMA. 

Pendidikan yang mulai dienyam oleh pribumi nyatanya melahirkan dua kelompok yang berseberangan.

Kelompok pertama tergabung dalam golongan terpelajar yang akhirnya memulai pergerakan nasional. Dibagian inilah politik etis menjadi bumerang bagi pemerintah kerajaan Belanda karena melahirkan golongan terpelajar yang berani melawan balik dengan pengetahuan mereka. 

Sedangkan kelompok kedua diisi oleh golongan fungsional yang menjadi pangreh praja pegawai administrai Belanda. 

Biasanya golongan kedua ini terdiri dari para lulusan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). 

Seperti kebijakan lain pada umumnya, politik etis pun terlahir dengan diiringi pro dan kontra. Penerapannya pun tidak selalu membawa angin positif melainkan juga hal negatif. 

Namun bagaimanapun juga itulah sejarah yang terjadi di negara Indonesia. Dan sebagai warga negaranya, kita harus mengetahui dan mengambil hikmah dari peristiwa di masa lalu supaya dapat lebih bijak lagi di masa depan.

Karena sebagai anak muda, gue dan elo nantinya akan mendapatkan kesempatan untuk memimpin bangsa ini dan artinya nasib bangsa ini juga bergantung pada keputusan yang kita ambil. 

Bukankah Bung Besar pernah berpesan supaya kita janganlah sekali-kali melupakan sejarah? 

Jangan lupa cek video tentang materi Sejarah yang lain, tentunya hanya di channel Youtube Zenius:

Originally Published: February 11, 2020
Updated by: Sabrina Mulia Rhamadanty