Jelaskan perbedaan adat Melayu darat dan adat Melayu pesisir

Liputan6.com, Pekanbaru - Bahasa menjadi pembeda meski masyarakat berada dalam wadah sama bernama negara. Bahasa menjadi ciri kebudayaan dan identitas bagi penuturnya sebagai petunjuk dari daerah mana dia berasal.

Di Indonesia, tentu sudah tidak asing lagi dengan Melayu dan kebudayaannya. Melayu kemudian kian lekat dengan sebagian besar masyarakat yang tinggal di Sumatera, misalnya Riau, dan beberapa provinsi tetangga seperti Jambi, Sumatera Selatan, hingga Bangka Belitung.

Bagi masyarakat Melayu Riau, bahasa ini tentu saja menjadi bahasa ibu atau pertama kali diperoleh, dipelajari dari orangtua, lalu dituturkan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Namun perlu diketahui, pengucapan dalam Melayu itu beragam tergantung dari kabupaten mana penuturnya berasal.

Di Riau sendiri, penuturan bahasa Melayu juga beragam dilihat dari pengucapan atau dialek huruf vokal berakhiran A menjadi O dan E dengan pengucapan ringan. Makanya, ketika seseorang mengaku Melayu, akan ditanya apakah Melayu O atau E.

Sebagai contoh pengucapan "kata", ada yang menuturkan menjadi "kate" atau "kato", kata "ke mana" biasanya diucapkan jadi "ke mane" atau "ke mano".

Kemudian ada juga menggugurkan pemakaian huruf R lalu diganti dengan O, baik yang ada di tengah ataupun akhir kata. Misalnya telur menjadi "telo", tidur menjadi "tido", pergi menjadi "pegi", berjalan menjadi "bejalan".

Secara umum, perbedaan dialek O dan E karena geografis wilayah. Biasanya, dialek O sangat identik dengan masyarakat Melayu daratan sementara E bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir.

Daerah pesisir sebut saja Bengkalis, Meranti, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir, sebagian Pelalawan. Kemudian daratan misalnya Kampar, Rokan Hulu, Siak, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, sebagian Pelalawan.

Terkadang, ada juga masyarakat Melayu pesisir yang dialeknya lebih banyak kepada O. Biasanya terjadi karena akulturasi budaya dengan wilayah daratan.

Suku Pesisir (Bahasa Pesisir: Ughang Pasisi) adalah sebuah kelompok etnik masyarakat yang tersebar di pesisir barat Sumatra Utara. Etnis Pesisir merupakan keturunan dari orang Minangkabau yang bermigrasi ke Tapanuli sejak abad ke-14 dan telah bercampur dengan suku lain, yaitu suku Melayu, Batak, dan Aceh.

Orang Pesisir
Ughang Pasisi

Feisal Tanjung

Akbar Tanjung

Zainul Arifin

Chairul Tanjung

Daerah dengan populasi signifikanTapanuli Tengah, Sumatera UtaraBahasaBahasa Pesisir
Bahasa IndonesiaAgamaIslamEtnis terkaitMinangkabau • Batak • Aceh

Sejarah terbentuknya kelompok suku ini tidak jauh berbeda dengan sejarah terbentuknya masyarakat Suku Aneuk Jamee di pantai barat Aceh, masyarakat Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan beberapa kelompok masyarakat lainnya, yang merupakan diaspora dari para perantau Minang sejak berabad-abad yang lalu.

Pesisir atau Pasisi bermakna wilayah yang berada di tepi lautan. Penamaan 'Etnis Pesisir' untuk kelompok masyarakat yang mendiami pesisir barat Sumatra Utara tidak pernah dikenal hingga akhir abad ke-20. Istilah ini dikemukakan untuk membedakan kelompok masyarakat di pesisir barat Sumatra Utara dengan masyarakat Batak di pedalaman. Berdasarkan ruang geografis etnisitas yang disusun oleh Collet (1925), Cunningham (1958), Reid (1979) dan Sibeth (1991), di pesisir barat Sumatra Utara terdapat kelompok masyarakat yang bukan merupakan bagian dari etnis Batak.[1] Kelompok ini merupakan para perantau dari Minangkabau yang telah bermigrasi ke pesisir barat Tapanuli sejak berabad-abad lalu.[2] Dalam perkembangannya, istilah Suku Pesisir lebih digunakan untuk mempertegas kepentingan politik masyarakat Sibolga-Tapanuli Tengah, terutama untuk menghindari dominasi orang Batak dari pedalaman.[3]

Pada abad ke-14, banyak masyarakat Minangkabau yang melakukan migrasi ke Tapanuli Tengah. Tujuan mereka ialah untuk menjadikan Barus sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Pagaruyung, bersama Tiku dan Pariaman, yang menjadi tempat keluar masuknya perdagangan di Pulau Sumatra.[4] Kedatangan mereka ke Barus menyebabkan tersingkirnya para pedagang Tamil yang sudah berdagang di kota itu sejak ratusan tahun sebelumnya.[5]

Gelombang berikutnya ialah rombongan yang dipimpin oleh Sultan Ibrahimsyah yang berasal dari Pesisir Selatan. Rombongan ini kemudian mendirikan Kesultanan Barus yang menjadi salah satu vassal Kerajaan Pagaruyung yang mempunyai pengaruh kuat di pesisir barat Sumatra.[6] Kedatangan orang Minang berlanjut setelah dibentuknya residentie Tapanuli yang beribu kota di Sibolga. Pemerintah Hindia Belanda banyak mempekerjakan mereka untuk mengisi jabatan guru dan di pemerintahan. Sejak pertengahan abad ke-19, masyarakat dari pedalaman Toba, Angkola, dan Mandailing mulai banyak bermukim di Barus, Sorkam, dan Sibolga. Mereka berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau dan membentuk kelompok masyarakat Pesisir. Pada sensus penduduk tahun 2000, masyarakat Pesisir diklasifikasikan sebagai etnis tersendiri yang berbeda dengan Batak. Pada tahun 2008, sebagian besar kelompok masyarakat Pesisir menolak bergabung dengan etnis Batak Toba untuk mendirikan Provinsi Tapanuli.[7]

Suku Pesisir tersebar di Tapanuli Tengah, sebagian Tapanuli Selatan, Natal, dan juga di Medan.

 

Peta pengguna bahasa di Sumatra bagian utara. Pengguna Bahasa Pesisir ditunjukkan dengan kode "min" (Bahasa Minangkabau) yang berada di sebelah barat Sumatra Utara

Bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat Pesisir merupakan salah satu dialek dari Bahasa Minangkabau. Bahasa Pesisir merupakan akulturasi dari dua bahasa, yakni Bahasa Minang dan Bahasa Melayu, serta terdapat beberapa kosakata yang diambil dari Bahasa Batak dan Bahasa Aceh. Percampuran bahasa ini dikenal dengan Bahasa Pesisir yang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari (lingua franca) di pesisir barat Tapanuli.

Sebagai wilayah rantau Minangkabau, kebudayaan etnis Pesisir banyak dipengaruhi oleh Budaya Minangkabau atau yang dikenal dengan "Adat Sumando".[8] Adat dan budaya Suku Pesisir yang serupa dengan budaya Minangkabau ialah dalam menyambut para tamu, dimana masyarakat Pesisir juga menggunakan Tari Parsambahan. Meski tidak menganut sistem matrilineal, namun etnis Pesisir juga memiliki kepala kaum yang dipanggil mamak. Untuk pemanggilan kepada saudara orang tua perempuan, etnis Pesisir juga menggunakan istilah mak tuo, mak angah, dan mak etek. Sedangkan untuk pemanggilan kepada saudara kandung laki-laki, adalah tuan adik, tak ogek, kak uti dan tak ajo, dan untuk penyebutan saudara kandung perempuan antara lain uniang, accik, cek angah, dan teti/teta.

Seni pertunjukan etnis Pesisir antara lain kesenian Sikambang, Tari Senyum Minang Manis, Bagala Duo Baleh, dan Randai. Dalam adat pernikahan, orang Pesisir biasa melakukan prosesi malam bainai dan manjapuk yang juga banyak dijumpai di rantau Minangkabau lainnya.[9] Untuk seorang bangsawan pada masyarakat Pesisir, masih diberikan gelar Sutan dan Marah yang dapat kita temukan pada etnis Minangkabau di belakang namanya.[10]

Artikel utama: Daftar tokoh Suku Pesisir

Disamping tetap mempertahankan beberapa aspek budaya Minangkabau, seperti bahasa, seni, dan kuliner, etnis Pesisir juga mengadopsi beberapa aspek budaya Batak. Diantaranya pemakaian marga di belakang nama utama, seperti umumnya masyarakat Batak di pedalaman. Beberapa tokoh ternama dari Suku Pesisir diantaranya Akbar Tanjung, Faisal Tanjung, Chairul Tanjung, dan Zainul Arifin.

  1. ^ Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, École Franc̦aise d'Extrême-Orient, 1995
  2. ^ Jane Drakard, A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom
  3. ^ //apakabarsidimpuan.com Ketua DPRD Persoalkan Pakaian Adat Pesisir Sibolga Diarsipkan 2015-10-07 di Wayback Machine.
  4. ^ Cortesao A., The Suma Oriental of Tome Pires, London, 1944
  5. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula
  6. ^ Jane Drakard, Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus, Penerbit Angkasa dan École Franc̦aise d'Extrême-Orient, 1988
  7. ^ //www.jpnn.com RUU Provinsi Tapanuli Terganjal Sibolga Diarsipkan 2015-10-05 di Wayback Machine.
  8. ^ Chatib Soeleman, Adat Poesaka, Voor eensluidend konform, Sohrijver Koeriahoof Sibolga, Kassianoes, 1851
  9. ^ Refelina Puspita, Unsur Budaya Melayu & Minang dalam Budaya Pesisir Sibolga Sumatra Utara, Unimed, 2014
  10. ^ Elizabeth Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, Cornell University, 1981
  • Suku Aneuk Jamee
  • Suku Minangkabau

Etnis Pesisir Sumatera Utara, Siapa Mereka? di YouTube

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Pesisir&oldid=20991997"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA