Jelaskan perjalanan karier Mr. achmad soebardjo setelah kemerdekaan

Biografi dan Profil Lengkap Ahmad Soebardjo – Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo merupakan tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Achmad Soebardjo adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo lahir di Karawang, Jawa Barat pada 23 Maret 1896 dan Ia meninggal di Jakarta pada 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun.

Profil Singkat Mr. Achmad Soebardjo

Nama: Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
Lahir: Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896
Meninggal: Jakarta, 15 Desember 1978
Istri: Raden Ayu Pudji Astuti (dikenal dengan Pudji Soebardjo)
Nama Orang Tua: Ayah: Teuku Muhammad Yusuf Ibu: Wardinah

Agama: Islam


Pendidikan: Hogere Burger School, Jakarta Universitas Leiden, Belanda

Karier:

Menteri Luar Negeri Indonesia (2 September 1945 – 14 November 1945) Menteri Luar Negeri Indonesia (4 Agustus 1951 – 20 Desember 1952)

Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun 1957 – 1961.

Riwayat Hidup dan Perjuangan Mr. Achmad Soebardjo

Achmad Soebardjo lahir di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1896. Ia merupakan putra dari pasangan Teuku Muhammad Yusuf dan Wardinah. Sang ayah masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu. Teuku Yusuf bekerja sebagai pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Sedangkan sang ibu merupakan keturunan Jawa-Bugis dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Mulanya, Achmad Soebardjo diberi nama Teuku Abdul Manaf oleh ayahnya dan Achmad Soebardjo oleh ibunya. Sedangkan, nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena Peristiwa 3 Juli 1946.

Achmad Soebardjo bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.

Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia menjadi wakil Indonesia bersama Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa “Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah” yang pertama di Brussels dan selanjutnya di Jerman. Pada persidangan pertama tersebut juga hadir Jawaharlal Nehru dan pemimpin nasionalis lainnya yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, Soebardjo aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada 16 Agustus 1945, para pemuda pejuang termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shodanco Singgih, dan pemuda lainnya membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok (Peristiwa Rengasdengklok). Tujuannya yaitu agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.

Para pemuda pejuang tersebut kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta terjadi perundingan antara golongan muda yang diwakilkan oleh Wikana dan golongan tua diwakilkan oleh Achmad Soebardjo. Achmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.

Perjalanan Karier Mr. Achmad Soebardjo Setelah Kemerdekaan

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial yaitu kabinet Indonesia yang pertama. Pada tahun 1951 – 1952, Ia kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun 1957-1961.

Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.

Wafatnya Mr. Achmad Soebardjo dan Diangkat sebagai Pahlawan Nasional

Pada 15 Desember 1978, Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahundi Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Kemudian, Ia dimakamkan di Cipayung, Bogor.

Pada tahun 2009, Pemerintah mengangkat almarhum Achmad Soebardjo sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Demikian artikel tentang “Biografi dan Profil Lengkap Achmad Soebardjo – Menteri Luar Negeri Indonesia Ke-1“, semoga bermanfaat

Lihat Foto

Wikipedia

Achmad Soebardjo

KOMPAS.com - Achmad Soebardjo adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Soebardjo juga menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia pertama.

Baca juga: Halim Perdanakusuma: Perjuangan, Kiprah, dan Akhir Hidup

Masa Muda

Achmad Soebardjo lahir di Teluk Jambe, Jawa Barat, 23 Maret 1896. 

Ayahnya adalah Teuku Muhammad Yusuf, seorang keturunan bangsawan Aceh dari Pidie.

Sewaktu kecil, Soebardjo bersekolah di Hogere Burger School Jakarta atau Sekolah Menengah Atas pada 1917.

Setelah lulus, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan mendapat gelar Meester in de Rechten atau Sarjana Hukum pada 1933. 

Dulunya, sang ayah memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan sang ibu menamainya Achmad Soebardjo.

Nama Soebardjo ini ia tambahkan sendiri saat ia ditahan di penjara Ponorogo akibat Peristiwa 3 Juli 1946. 

Baca juga: Raden Eddy Martadinata: Kiprah, Perjuangan, dan Karier Militer

Perjuangan

Sewaktu masih berkuliah, Soebardjo telah aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda.

Pada Februari 1927, ia menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta untuk menghadiri persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah".

tirto.id - Ketika Sukarno-Hatta diculik oleh para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945, seseorang bernama Sudiro segera melaporkannya kepada Mr Achmad Subardjo. Tuntutan para pemuda adalah agar dwitunggal itu segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka tidak memberitahu tempat keduanya disembunyikan.

Subardjo khawatir jika Sukarno-Hatta jatuh ke tangan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Jika itu terjadi, maka ia berharap kepada koneksi utamanya selama pendudukan Jepang, yakni Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun). Oleh karena itu, Laksamana Muda Tadashi Maeda pun diberitahu soal hilangnya kedua tokoh penting tersebut.

Menurut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1994), Maeda beserta para stafnya punya visi yang tidak sekolot Angkatan Darat Jepang dalam politik pendudukan atas Pulau Jawa.

Sementara Subardjo adalah orang kepercayaan Maeda dan pernah ditawari membentuk kantor penelitian di Jalan Prapatan Nomor 60. Ia mengaku pernah tinggal di Jepang. Dan di akhir masa pendudukan Jepang, ia dikenal sebagai pengelola Asrama Indonesia Merdeka yang memiliki hubungan dengan para pemuda Indonesia terpelajar dan militan.

Selain Subardjo, ada juga Wikana yang berjejaring dengan Tan Malaka. Selain mereka—meski ogah-ogahan berurusan dengan orang-orang Jepang—Sutan Sjahrir pun pernah mengajar di asrama tersebut. Tempat itu cocok bagi para pemuda Indonesia yang tidak suka dengan Angkatan Darat Jepang yang kaku.

Baca juga: Sejarah Peristiwa Rengasdengklok Versi Sukarno dan Hatta

“Mayor Boleh Tembak Mati Saya!"

Soebardjo kemudian mendapat kabar dari seorang anggota PETA yang bernama Jusuf Kunto, bahwa Sukarno-Hatta diamankan oleh para pemuda dari Angkatan Darat Jepang, dan dibawa ke luar Jakarta.

Sekitar pukul empat sore, Subardjo, Sudiro, Jusuf Kunto, dan seorang supir, segera pergi ke luar kota mencari keberadaan Sukarno-Hatta. Mereka mengendarai mobil Skoda tua milik Subardjo yang bannya nyaris gundul.

Mereka belum tahu pasti di mana kedua tokoh itu disembunyikan. Mulanya Subardjo menduga Sukarno-Hatta disembunyikan di Selabintana, Sukabumi. Namun, setelah melewati Jatinegara, mobil mereka malah melaju ke arah Purwakarta. Sepanjang perjalanan, mobil mereka tak mendapat adangan apapun selain ban sempat bocor ketika mendekati Rengasdengklok, karawang.

Ketika tiba di Rengasdengklok, mereka diarahkan untuk menunggu di rumah wedana. Seorang pemuda revolusioner bernama Sukarni menghampiri mereka. Subardjo kemudian dibawa untuk menemui komandan kompi bernama Mayor Subeno di tangsi PETA yang tidak jauh dari rumah tersebut.

“Kami datang ke sini untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta serta membawa mereka kembali ke Jakarta untuk mempercepat Proklamasi Kemerdekaan," kata Subardjo seperti ia tulis dalam autobiografinya bertajuk Kesadaran Nasional (1978:320).

Perwira didikan Jepang itu bertanya kepada Subardjo, apakah ia bisa mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam. Subardjo menjawab bahwa hal itu tidak mungkin, dan Sukarno-Hatta juga harus kembali dulu untuk rapat kilat dengan panitia persiapan lainnya di Jakarta.

“Bagaimana kalau pukul 06.00 pagi besok," tanya Subeno.

“Saya akan berusaha sedapat-dapatnya, kami mungkin [baru] bisa selesai [rapat] pukul 06.00, tetapi menjelang tengah hari besok kami pasti telah siap [untuk memproklamasikan]."

“Jika tidak bagaimana?" tanya Subeno.

“Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggungjawabnya, dan Mayor boleh tembak mati saya," jawab Subardjo.

Subeno merasa puas atas jawaban tersebut. Maka ia pun mengizinkan Subardjo untuk menemui Sukarno-Hatta yang ternyata ditempatkan di sebuah rumah milik seorang Tionghoa, tidak jauh dari tangsi PETA.

Subardjo dan rombongannya segera membawa Sukarno-Hatta ke Jakarta dan langsung rapat di rumah Laksamana Maeda. Esoknya, tanggal 17 Agustus 1945, menjelang siang, Proklamasi Kemerdekaan dibacakan.

Baca juga: Meski Jepang Melarang, Proklamasi Tetap Tersebar lewat Surat Kabar

Bukan Pemanggul Bedil, Orde Baru Tak Menyukainya

Kepercayaan Laksamana Maeda dan para pemuda anti-Jepang kepada Achmad Subardjo, menunjukkan bahwa ia bukan orang baru dalam dunia pergerakan. Ketika kuliah hukum di Universitas Leiden, ia adalah bagian dari Perhimpunan Indonesia (PI) bersama Hatta dan Iwa Kusumasumantri.

Menurut Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), Achmad Subardjo menjadi pengurus PI dari 1919 hingga 1921. Ia menjadi ketua organisasi tersebut atas dukungan Goenawan Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan, saat PI masih bernama Perhimpoenan Hindia

Ia sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, termasuk Rusia. Tahun 1927, ia menghadiri liga anti-imperialis di Brussel, Belgia. Lalu pada 1934, setahun setelah lulus kuliah hukum dan mendapat gelar Meester in Rechten, ia pulang ke Indonesia.

Sebagai ahli hukum junior, Subardjo sempat bekerja bersama Mr Iskaq Tjokrohadisurjo.Tahun 1935, ia mendirikan kantor pengacara di Malang.Pada tahun yang sama, ia berangkat ke Jepang dan baru kembali lagi ke Indonesia pada tahun berikutnya. Kunjungannya ke Jepang membuatnya dicurigai pejabat Belanda.

Dari tahun 1936 hingga 1939, Achmad Subardjo menjadi pengacara di Bandung dan sempat mengurangi kegiatan politiknya. Selain aktif sebagai pengacara, ia juga menulis untuk beberapa surat kabar.

Baca juga: Sejarah Peristiwa 3 Juli 1946, Kudeta Pertama di Indonesia

Infografik Mozaik Achmad Soebardjo. tirto.id/Rangga

Setelah 1939, Subardjo sempat bekerja di Radio Ketimuran yang merupakan bagian dari NIROM. Ia bertugas membuat program bulanan untuk musik, wawancara, dan pengumuman resmi. Pekerjaan itu tumpas setelah Hindia Belanda runtuh oleh serbuan kilat balatentara Jepang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia yang berdarah Aceh, Bugis, dan Jawa itu diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pertama Indonesia. Ia sempat berseberangan dengan pemerintahan Sjahrir, sebab memilih merdeka 100 persen ketimbang ikut dalam diplomasi yang merugikan Indonesia.

Oleh karena itu, saat terjadi Peristiwa 3 Juli 1946 yang dianggap sebagai makar pertama di Republik Indonesia, Subardjo beserta para pengikut Tan Malaka lainnya harus berpindah dari penjara ke penjara.

Saat ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki Belanda, ia termasuk yang ikut ditawan. Tahun 1950, Subardjo kembali menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet yang dipimpin oleh Sukiman Suwirjo.

Ketika usianya semakin sepuh, yakni dari tahun 1961 hingga 1965, lelaki kelahiran Teluk Jambe, Karawang, 23 Maret 1896 itu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Sejak 1968 yakni ketika Orde Baru mulai berkuasa, Subardjo menjadi profesor bidang sejarah konstitusi dan diplomasi. Tanggal 15 Desember 1978, tepat hari ini 41 tahun lalu, Achmad Subardjo wafat.

Meski perannya penting dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, ia baru diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2009, atau sebelas tahun setelah Orde Baru tumbang. Ya, narasi sejarah dan kepahlawanan Orde Baru memang sangat militeristis.

Sebagai seorang sipil dan jarang disebut dalam buku-buku pelajaran sejarah, nama Achmad Subardjo tersisihkan, padahal ia adalah orang yang menjaminkan dirinya ditembak mati demi Proklamasi Kemerdekaan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/irf)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA