Jika ada bayi perempuan lahir di zaman jahiliyah maka akan

NASIB perempuan sebelum datangnya agama Islam, sangat tidak berharga. Perempuan adalah kelompok kelas dua. Mereka hanya bertugas melayani lelaki dan harus siap ketika diperlukan. Kondisi yang sangat memprihatinkan terjadi di kehidupan manusia di zaman jahiliyah.

Khalifah Umar Ibn Khattab RA pernah menceritakan, sebelum dia masuk ke dalam agama Islam, lahirnya seorang anak perempuan dalam keluarganya merupakan ‘aib’. Apalagi bila mereka mempunyai kedudukan terhormat dalam kelompok masyarakat. Karena itu, demi menutupi aib-nya, anak perempuan yang baru dilahirkan harus dibunuh.

BACA JUGA: Begini Alasan Pria Menikahi Wanita yang Lebih Tua Darinya

Jika tidak dibunuh, anak perempuan di zaman pra-Islam ini hanyalah menjadi pemuas kaum pria. Ia wajib melayani kehendak pria, termasuk bapaknya sekalipun.

Perempuan di masa itu hanya ditugasi untuk memasak di dapur, melayani suami (pria) saat malam hari dan mencuci pakaian.

Pada zaman Yunani kuno, martabat perempuan sungguh sangat rendah. Perempuan hanya dipandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki.

Filosof Demosthenes berpendapat istri hanya berfungsi melahirkan anak, Aristotales menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya. Filosof lainnya, Plato menilai, kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah, sedangkan ‘kehormatan’ perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan hina sambil terdiam tanpa bicara.

Sebelum datangnya Islam, posisi perempuan tak pernah berubah, tugas utamanya hanya menjadi ‘pelayan’ kaum lelaki.

Pada zaman Jahiliyyah (kebodohan), para orang tua yang memiliki anak perempuan akan menguburnya hidup-hidup..

”Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah. Lalu dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang diterimanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan.” (QS An-Nahl [16] : 58-59).

BACA JUGA: Wanita: Permata atau Bunga di Tepi Jalan

Lain halnya jika anak laki-laki yang dilahirkan. Anak tersebut dianggap sebagai seorang calon pemimpin yang memberikan kehormatan bagi anggota keluarga. Karena itu, masyarakat Arab di zaman jahiliyyah ini, begitu bangga bila mendapatkan anak laki-laki.

Ketidaksederajatan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan ini, sangat dikecam oleh Islam. Hadirnya Islam menghapus semua sistem perbudakan, pembunuhan terhadap anak perempuan. Maka benar bahwa agama Islam adalah pelita bagi kelamnya kehdupan sebelum Islam. []

SUMBER: REPUBLIKA

Jika ada bayi perempuan lahir di zaman jahiliyah maka akan

Sejarah islam mencatat pada zaman jahiliyah kaum perempuan seperti tidak ada nilainya. Jika seorang ibu melahirkan anak perempuan, maka dianggap sebagai aib keluarga. Sehingga ada yang dengan kejam mengubur bayinya hidup-hidup.

Setelah Islam datang, keadaan berubah menjadi seratus delapan puluh derajat. Perempuan yang tadinya dihinakan menjadi begitu sangat dimuliakan, bahkan derajat perempuan bisa lebih tinggi tiga tingkat dibanding laki-laki.

Kemuliaan Anak Perempuan

Dari lahir, menikah, hingga menjadi orang tua, perempuan memiliki kesempatan menjadi pintu surga. Ketika masih anak-anak ia membuka pintu surga bagi orang tuanya, ketika menjadi istri ia menyempurnakan separuh dari agama suaminya, hingga ketika menjadi ibu, surga ada di bawah telapak kakinya.

Namun perempuan juga bisa menjadi sumber fitnah yang menghantarkan ia, suami, dan keluarganya menuju pintu neraka. Karena itu ia memiliki dua pilihan, yaitu menjadi sebaik-baik perhiasan atau seburuk-buruknya fitnah.

Jika ada bayi perempuan lahir di zaman jahiliyah maka akan

Jika ada bayi perempuan lahir di zaman jahiliyah maka akan

Pahala Mendidik Anak Perempuan

Bagi orangtua memiliki anak perempuan adalah anugerah terindah dari Allah. Orangtua berkewajiban mendidiknya dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama serta memberikan kasih sayang yang penuh. Selain itu, mendidik anak perempuan adalah perisai dari api neraka.

Seperti hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam : “Barang siapa yang diuji dengan mendapatkan anak perempuan kemudian ia berbuat baik kepada mereka (dengan mendidiknya) maka anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari setahun api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mendidik anak perempuan juga dapat mengangkat derajat orangtuanya, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda : “Barang siapa mengurus dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa maka ia datang di hari kiamat bersamaku. Beliau berisyarat dengan dua jarinya (telunjuk dan jari tengah).” (HR. Muslim).

Dari dua hadits diatas dapat diambil kesimpulan, Allah dan Rasul-Nya begitu mencintai orang yang memuliakan perempuan agar menjadi anak yang soleha.

Namun, bukan berarti mendidik anak laki-laki tidak memiliki keutamaan. Tetapi Allah lebih memberikan keistimewaan kepada anak perempuan agar orang tua tidak lebih mengutamakan anak laki-laki, sebagaimana yg dilakukan umat jahiliyah terdahulu.

Jika ada bayi perempuan lahir di zaman jahiliyah maka akan
Berminat menulis berkaitan Islam? Hantarkan artikel anda di sini: www.islamituindah.us/hantar-artikel.

Oase.id- Bangsa Arab memasuki zaman kegelapan. Keseharian mereka hanya disibukkan dengan penyembahan terhadap berhala, juga berbuat kezaliman.

Atas kondisi inilah, masyarakat setempat lazim disebut bangsa jahiliyah. Tradisi yang diberlakukan sebelum Islam datang, sebagian besar hanya berkiblat pada hawa nafsu untuk saling unjuk kekuatan.

Di masa kekosongan dua risalah, yakni selepas dakwah Nabi Isa As menuju kedatangan Rasulullah Muhammad Saw tersebut, salah satu kebiasaan buruk yang kerap dilakukan beberapa kabilah Arab adalah menggugurkan dan juga membunuh bayi-bayi mereka yang diketahui berjenis kelamin perempuan.

Tradisi yang memprihatinkan itu juga direkam dalam Alquran dalam surat At-Takwir ayat 9;

"Karena dosa apa dia dibunuh dengan kejam."

Setidaknya, ada 3 alasan bagi sebagian masyarakat jahiliyah merawat tradisi barbar tersebut. Pertama, para orang tua khawatir terjatuh dalam lembah kemiskinan dengan menanggung biaya hidup anak-anak perempuan mereka. Apalagi, menurut mereka, anak perempuan tidak produktif.

Mereka menyebut kaum perempuan hanya bisa, "Nashruha buka' wa birruha sariqah. Pembelaannya hanya tangis, pengabdiannya hanya mencuri."

Dalih kedua, anak-anak dikhawatirkan jatuh dalam lembah kemiskinan jika mereka hidup sampai dewasa. 

Ketiga, takut menanggung aib ketika terjadi perang dan perempuan lazim menjadi tawanan. Atau mereka terlampau takut dengan kasus pemerkosaan yang kian merajalela, atau pun finah perzinahan dan perselingkuhan yang kerap mengguncang rumah tangga.

Masyarakat jahiliyah sama sekali tak sadar, bahwa Allah Swt akan menjamin rezeki bagi tiap-tiap makhluknya di bumi. Bab ekonomi melulu menjadi alasan utama. Sementara aib perzinahan, tawanan perang, dan perselingkuhan hanyalah sebuat tradisi yang bisa dilawan secara kolektif dan bersama-sama.

Baca: Marak Praktik Klinik Aborsi Ilegal, Ini 5 Fakta di Dalamnya

Mereka lebih memilih membunuh anak-anak perempuan mereka cuma karena malu dan rasa khawatir berlebihan. Ekspresi mereka ini diabadikan dalam QS. An-Nahl: 58;

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah."

Pengorbanan Sha'sha'ah

Lagi-lagi, tidak semua kabilah Arab menyepakati kebiasaan sesat tersebut. Hingga kemudian, muncullah sosok bernama Sha'sha'ah bin Najiyah Al-Tamim. Pria yang kelak memiliki cucu seorang penyair terkenal, Al-Farazdaq tersebut, tak segan-segan berkeliling untuk menebusi setiap bayi yang hendak diekskusi seharga dua ekor unta yang tengah hamil 10 bulan.

Angka itu, tentu terbilang sangat mahal di masanya. 

Untungnya, Sha'sha'ah merupakan pemimpin kabilah Bani Tamim. Sebagian besar harta yang dimilikinya dialokasikan untuk pembebasan bayi-bayi yang nyaris dibunuh orang tuanya. Hingga memasuki masa risalah Nabi Muhammad Saw, Sha'sha'ah berkata;

"Sampai saat Islam datang, aku telah menebus 300 bayi perempuan yang dikuburkan hidup-hidup."

Riwayat lain bahkan menyebutkan, Sha'sha'ah berhasil membebaskan 400 sampai 600 bayi selama hidupnya.

Masuk Islam

Pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul menjadi kabar yang menggembirakan sekaligus mencemaskan bagi Sha'sha'ah.

Membahagiakan, lantaran ia yakin betul bahwa ajaran yang disampaikan putra Abdullah itu akan selaras dengan prinsipnya yang menentang segenap kezaliman.

Mencemaskan, karena secara keyakinan, Sha'sha'ah merasa belum benar-benar menemui kemantapan.

Hingga di sekali waktu, Sha'sha'ah mendatangi Nabi Muhammad dan memintanya melafalkan barang satu ayat.

Mendengar permintaan Sha'sha'ah, Rasulullah menghadiahinya 2 ayat, yakni QS. Al-Zalzalah: 7-8;

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (7). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (8)."

Mendengar ayat yang disampaikan Rasul, Sha'sha'ah terdiam. Sebelum kemudian dia menarik napas lantas bilang;

"Cukuplah ayat ini bagiku sebagai peringatan dan aku tak peduli, sekalipun aku tidak mendengarkan yang lainnya."

Rupanya, ayat ini menusuk batin Sha'sha'ah dengan begitu dalam. Sehingga ia berpendapat, tak perlu menunggu peringatan lain agar ia menjadi bagian dalam golongan beriman. Di hari itulah, kemudian tersiar kabar bahwa Sha'sha'ah telah masuk Islam.

Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Al-Tahrir Wa Al-Tanwir karya Muhammad Al-Tahir bin Asyur, Ar Rasul Shallallahu Alaihi Wassalam karya Syeikh Said Hawa bin Muhammad Dib Hawwa, serta Tafsir Al Misbah karya Prof. M. Quraish Shihab.


(SBH)