Jumlah produksi sawit di Indonesia meningkat pesat karena Permintaan konsumen yang tinggi

Senin, 29 Januari 2007

Prospek dan Permasalahan Industri Sawit

I. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri, prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar dalam negeri maupun di pasar dunia. Sektor ini akan semakin strategis karena berpeluang besar untuk lebih berperan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional dan menyerap tenaga.

Di dalam negeri, kebijakan pemerintah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) sebagai altenatif bahan bakar minyak (BBM) memberi peluang besar bagi industri kelapa sawit untuk lebih berkembang. Sesuai dengan target pemerintah, pada 2010 mendatang sekitar 10% dari kebutuhan bahan bakar dalam negeri akan disuplai dengan BBN, dimana 7% diantara berbasis minyak sawit atau dikenal sebagai biodiesel. Untuk itu diperlukan tambahan pasokan atau peningkatan produksi kelapa sawit dalam jumlah besar.

Proyek ini mendapat sambutan positif. Beberapa waktu lalu telah ditandatangani 60 kesepakatan bersama antara berbagai pihak, termasuk 14 PMA dan 26 PMDN. Sampai tahun 2010, nilai proyek pengembangan BBN akan mencapai US$ 9 miliar-US$ 10 miliar yang disertai dana perbankan kurang lebih Rp 34 triliun. Tenaga kerja yang terserap diperkirakan mencapai 3,5 juta orang.

Sementara itu di pasar dunia, dalam 10 tahun terakhir, penggunaan atau konsumsi minyak sawit tumbuh sekitar rata-rata 8%-9% per tahun. Ke depan, laju pertumbuhan ini diperkirakan akan terus bertahan, bahkan tidak tertutup kemungkinan meningkat sejalan dengan trend penggunaan bahan bakar alternatif berbasis minyak nabati atau BBN seperti biodiesel.

Perkembangan Konsumsi dan Produksi CPO Dunia

Tahun 2001-2005 (juta ton)

Uraian

2001

2002

2003

2004

2005

Pertumbuhan

/tahun

Produksi

23.94

25.22

28.08

30.89

33.50

8.79%

Konsumsi

23.79

25.09

28.31

29.99

33.03

8.59%

Pertumbuhan penggunaan minyak sawit itu dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan dasar oleochemical pada industri makanan, industri shortening, pharmasi (kosmetik). Trend ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya.

Berdasarkan data dari Oil World, trend penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa sawit di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri berbasis komoditas vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, minyak kelapa.

Sejak 2004 penggunaan komoditi minyak kelapa sawit telah menduduki posisi tertinggi dalam pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 8% per tahun, mengalahkan komoditi minyak kedelai sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8% per tahun. Komoditi lainnya yang banyak digunakan adalah minyak bunga matahari yaitu sekitar 11,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,2% per tahun.

Dengan ketersediaan lahan dan iklim yang mendukung, Indonesia berpeluang besar untuk memanfaatkan trend tersebut. Sejumlah kalangan (pengamat dan pelaku dunia  usaha) optimis, Indonesia mampu menguasai dan menjadi pemain nomor satu di pasar industri kelapa sawit dunia yang kini dikuasasi oleh Malaysia.  Saat ini saja Indonesia sudah menguasai 37% pasar dunia, sementara Malaysia sebesar 42%. Diperkirakan, dalam dua tahun ke depan pangsa pasar Indonesia akan dapat melampaui pangsa pasar Malaysia.

Namun di sisi lain, banyak kalangan yang meragukan apakah Indonesia mampu mengoptimalkan daya saingnya untuk memperoleh nilai tambah (added value) yang maksimal bagi pembangunan ekonomi nasional. Ini tidak terlepas dari kenyataan, sebagian besar produk kelapa sawit nasional masih diperdagangkan dalam bentuk CPO atau minyak goreng, belum masuk ke dalam tahap industri yang mempunyai nilai tambah besar seperti industri bio surfactant.

Penggunaan CPO Nasional

Penggunaan

Persentase

Ekspor

52%

Cooking Oil Industry

37%

Margarine Industry

3%

Soap Industry

3%

Oleo Chemical Industry

5%

II. Kebijakan Pemerintah

          Dalam rangka mencapai target proyek BBN, pemerintah antara lain akan mendorong investasi di sektor sawit. Secara keseluruhan pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta ha lahan hingga 2010 mendatang. Rinciannya, peluasan lahan perkebunan 5 juta ha, revitalisasi perkebunan kelapa sawit 2 juta ha, rehabilitasi lahan 9 juta ha dan reformasi agraria 8 juta ha.

          Kebijakan pemerintah ini mendapat sambutan positif seperti terlihat dari minat investor  yang cukup besar untuk ikut serta dalam proyek pengembangan BBN ini.

          Disamping itu, pemerintah juga telah memasukan industri kelapa sawit kedalam sektor prioritas bersama industri lainnya seperti tekstil, kehutanan, sepatu, elektronika, kelautan, petrokimia. Hal ini tidak terlepas dari potensi dan peran strategis yang bisa dicapai oleh sektor ini dalam pembangunan nasional.

          Seperti diketahui, industri kelapa sawit adalah salah satu penyerap  tenaga kerja terbesar dan mempunyai kontribusi besar dalam menghasilkan devisa. Pada 2005, industri ini menyerap sekitar 3,5 juta tenaga kerja dan berhasil memberikan kontribusi sebesar US$ 4,7 miliar terhadap devisa negara (lihat tabel).

Proyeksi dan Data Pokok Industri Kelapa Sawit Nasional

Keterangan

2005

2010

Luas Lahan

5,6 juta ha

6,6 juta ha

Produksi

13,5 juta ton

18 juta ton

Tenaga Kerja

3,5 juta orang

4-4,5 juta orang

Produktivitas

3,4 ton per ha

Kontribusi terhadap ekspor

US$ 4,7 miliar

Kontribusi terhadap PDB

1,6%

Pertumbuhan 10 tahun terakhir

8% per tahun

Untuk menunjang pertumbuhan industri kelapa sawit pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan antara lain menghapus pengenaan PPN (10%) dalam pengolahan crude palm oil (CPO) dan masuk dalam industri yang mendapat fasilitas insentif PPh (tax alowance) berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah No. 148.

Kebijakan tersebut diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan sektor ini sehingga peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat.

          Namun, pemerintah juga menyadari bahwa kebijakan tersebut bukan satu-satunya yang dapat menjadi faktor stimulasi, tetapi masih banyak kebijakan yang harus terus menerus dikembangkan seperti penyediaan lahan, kompetensi SDM dan lain-lain. Dialog dan diskusi dengan para pemangku kepentingan perlu terus dilakukan secara kontinyu.

Industri kelapa sawit mempunyai rantai bisnis yang cukup panjang dan saling terkait. Mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, supporting industri, pengolahan di industri hulu sampai pada industri hilir. Kebijakan pengembangan sektor ini benar-benar harus melalui koordinasi yang kuat antar instansi terkait sehingga bisa mencapai hasil yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional.

Oleh karena itu sektor usaha ini, masih membutuhkan kebijakan yang lebih tajam dan komprehensif untuk menghadapi kendala yang masih menghadang mulai dari hulu (sektor perkebunan), manufaktur (pengolahan) dan perdagangan.

III. Kendala Yang Dihadapi

          Langkah pemerintah mengembangkan proyek BBN, di satu sisi memang memberikan prospek pasar yang cukup besar kepada industri kelapa sawit. Namun di sisi lain, proyek ini juga mempunyai potensi gangguan terhadap kinerja ekspor, pasokan untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri, termasuk untuk pengembangan industri hilir non-BBN seperti surfactant, deterjen atau komiditi lain yang berbasis oleo chemical.

          Jika pertumbuhan produksi sawit ke depan, tidak mampu memenuhi target pengembangan BBN, bisa dipastikan alokasi untuk ekspor akan menjadi berkurang, begitu juga untuk kebutuhan konsumsi. Akibatnya, harga minyak sawit (CPO) akan melejit dan berpeluang besar menimbulkan dampak negatif di masyarakat.

          Dalam upaya meningkatkan produksi sawit, selain upaya peningkatan produktivitas (revitalisasi perkebunan dan penyediaan bibit unggul), dibutuhkan tambahan lahan yang tidak sedikit. Diperkirakan, minimal dibutuhkan tambahan lahan perkebunan sekitar 1 juta ha dalam dua tahun ke depan. Ini tidak mudah jika tidak ada koordinasi yang kuat

          Masalah lain yang juga dihadapi adalah masih terjadinya infesiensi terkait dengan dukungan infrastruktur seperti sarana pelabuhan termasuk gudang penimbunan serta transportasi.

IV. Langkah Tindak

          Untuk menghindari berbagai persoalan yang mungkin muncul, Departemen Perindustrian sebagai salah satu instansi sentral dalam pengembangan industri kelapa sawit perlu segera melakukan langkah antisipasi antara lain mendorong sinkronisasi perencanaan dan kebijakan antara instansi terkait seperti Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah mengenai ketersediaan lahan, Depatemen Pertanian sebagai instansi yang berwenang di bidang pengembangan perkebunan sawit serta Departemen Perdagangan yang berwenang di bidang pengaturan atau tataniaga distribusi, disamping instansi lain yang  terkait dengan industri pendukung seperti jasa transportasi dan keuangan.

          Untuk itu sejumlah langkah yang perlu disegera dilakukan Departemen Perindustrian adalah:

Pemetaan Alokasi Kebutuhan minyak sawit (CPO) dalam mendukung pencapaian target BBN. Ini sangat penting untuk menjaga agar tidak terjadi kekisruhan atau semacam crowding out dalam alokasi penggunaan kelapa sawit, antara kebutuhan ekspor, konsumsi (minyak goreng) serta kebutuhan industri hilir lainnya dengan kebutuhan BBN. Perlu dijaga, upaya pemerintah mendorong penggunaan BBN, jangan sampai merugikan sektor lainnya yang bisa merugikan masyarakat secara keseluruhan. 

Berdasarkan data yang ada, kebutuhan CPO untuk pangan sampai 2010 mendatang mencapai 10,5 juta ton, sedangkan kebutuhan bahan bakar nabati sekitar non-pangan 2,3 juta ton termasuk untuk BBN sebesar 2 juta ton atau setara dengan 2,13 juta kilo liter.

Kinerja Industri dan

Proyeksi Penggunaan CPO untuk Pangan

No

 Uraian

Tahun 2005

Perkiraan 2010

MGS

Margarine &                  

Shortening

MGS

Margarine &                  

Shortening

1

 Kapasitas (ton)

9.778.000

526.000

13.396.949

671.322

2

 Produksi (ton)

5.254.000

496.565

7.182.283

647.263

3

 Utilisasi kapasitas %

53,73

94,40

64,60

89,00

4

 Nilai Produksi (Rp Triliun)

21,938

2,05

23,70

2,80

5

 Ekspor (Ribu Ton )

3.100

264,00

2.900

74,31

6

 Nilai Ekspor (US$ Ribu )

1.160.124

122,674

1.126.536

37

7

 Investasi (Rp Triliun )

2.247

39

2,25

0,05

8

 Tenaga Kerja (orang)

17.292

3.300

18.391

4.163

9

 Kebutuhan CPO (ton)

6.040.204

571.049

9.832.545

744.352

10

 Total  Kebutuhan  CPO (ton)

7.737.505

10.576.897

Kinerja Industri dan Proyeksi

Penggunaan CPO untuk Non-pangan (Oleo Chemical Dasar)

No.

Uraian

Fatty Acid

F. Alcohol

Glycerin

2005

2010

2005

2010

2005

2010

1

Kapasitas (ton)

659,280

857,600

160,800

209,000

84,956

109,880

2

Produksi (ton)

525,312

576,000

113,490

148,200

41,000

65,600

3

Utilisasi (%)

80

67

71

71

48

60

4

Kebutuhan DN (ton)

272,015

34,200

84,550

12,000

11,098

20,075

5

Ekspor (ton)

250,272

350,000

77,762

115,000

29,120

45,000

6

Nilai Ekspor (US$ ribu)

85,302

119,315

99,520

147,177

22,076

34,110

7

Impor (ton)

3,025

17,800

10,533

21,000

702

525

8

Nilai Impor (US$ ribu)

4,335

16,900

13,466

19,900

745

557

9

Kebutuhan CPO (ton)

131,328

144,000

4,540

5,928

4,100

6,560

Bersama Departemen Kehutanan dan Pemda mendorong kelancaran perluasan lahan sawit. Berdasarkan data yang ada, saat ini luas lahan sawit sudah mencapai 5,6 juta ha yang tersebar di 19 provinsi. Sedangkan potensi lahan yang masih tersedia diperkirakan mencapai 26 juta hektar (lihat tabel)

Potensi Ketersedian Lahan Kelapa Sawit

No

Provinsi

Luas (ha)

No

Provinsi

Luas (ha)

No

Provinsi

Luas (ha)

1

NAD

384.871

8.

Bengkulu

208.794

15.

Kaltim

4.700.333

2

Sumut

37.000

9.

Lampung

336.872

16.

Sulteng

256.238

3

Sumbar

355.814

10.

Jabar

224.706

17.

Sulsel

192.370

4.

Riau

2.563.156

11.

Banten

63.742

18.

Sultra

10.264

5.

Jambi

1.818.118

12.

Kalbar

1.681.186

19.

Papua

6.331.128

6.

Sumsel

1.483.959

13.

Kalteng

3.610.819

7.

Babel

593.038

14.

Kalsel

1.162.959

Di samping kemudahan perizinan, aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam hal penyediaan lahan ini adalah status lahan agar Indonesia faktor lingkungan tetap terjaga. Ini sangat penting karena industri kelapa sawit rawan terhadap issue lingkungan hidup.

Bersama Depertemen Pertanian mendorong peningkatan produktivitas perkebunan antara lain dengan mengembangkan riset pembibitan untuk mendapatkan sawit berkualitas dengan kadar karotene.

Saat ini, produktivitas kelapa sawit di Indonesia masih rendah rendah yaitu 2-3 ton per ha jauh di bawah Malaysia 4-6 ton per ha.

Saat  ini, penelitian dan pembibitan dilakukan sebagian besar dilakukan oleh pelaku industri sehingga tidak efisien, dan perlu dikembangkan secara terintegrasi.

Peningkatan produktivitas juga dilakukan melalui revitalisasi perkebunan karena saat ini sebagian besar usia kelapa sawit yang ada sudah tergolong  tua.

Mendorong dukungan dari supporting industry seperti jasa instalation, pelabuhan yang selama ini umumnya ditangani oleh masing-masing produsen sehingga tidak terintegrasi dan telah menimbulkan over investasi, idle capacity dan inefisiensi.

Mendorong pertumbuhan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah. Selama ini industri kelapa sawit masih terfokus pada industri hulu sehingga ekspor masih didominasi oleh komoditi CPO.

Untuk mendorong industri hilir ini Depertemen Perindustrian perlu mencarikan skim insentif  yang menarik bagi investor. Perlu diketahui, permintaan produk dari industri hilir berbasis kelapa sawit seperti edible oil, oleo chemical, biodiesel, surfactant terus meningkat.

Untuk edible oil misalnya, berdasarkan data Oil World, konsumsi perkapita akan meningkat seiring dengan pertumbuhan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan per kapitas suatu  negara, konsumsi edible semakin tinggi seperti Amerika Serikat yang mencapai 49 kg per tahun per orang (lihat grafik)

Mendorong terbentuknya kawasan industri kelapa sawit yang terintegrasi. Ini sangat penting agar industri kelapa sawit Indonesia lebih efisien dan daya saingnya lebih kuat.

Selain itu pembentukan kawasan yang terintegrasi ini juga akan lebih memudahkan untuk mendorong pengembangan industri hilir. Saat ini Indonesia baru mempunyai 17 jenis industri hilir dari 30 jenis industri hilir yang berpotensi dikembangkan.

Bersama dengan Menteri Perdagangan mendorong kerjasama dengan negara konsumen terbesar seperti  India dan RRC yang masih mengggunakan hambatan tarif dan nontarif terhadap produk CPO Indonesia. India misalnya saat ini masih mengenakan Bea Masuk sebesar 80%-90% sehingga membuat daya saing CPO menjadi tertekan dibandingkan minyak nabati lain seperti minyak kedelei yang hanya dikenakan BM 15%.

Mendorong revitalisasi industri pupuk untuk mendukung pasokan kebutuhan industri kelapa sawit. Peningkatan lahan perkebunan untuk mencapai target proyek BBN akan meningkatkan permintaan terhadap pupuk. Sementara itu, kemampuan produksi pupuk nasional saat ini sudah sangat terbatas hanya sekitar 5,8 juta ton urea, 819 ribu ton SP 36, ZA 644 ribu ton, NPK 277 ribu ton. Kecuali untuk jenis  urea, untuk jenis lainnya Indonesia masih impor karena produksi dalam negeri belum mencukupi.

Tanpa adanya tambahan kapasitas produksi, bisa dipastikan impor pupuk akan meningkat  tajam  untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama untuk perkebunan. Ini sangat rawan karena peluang terjadinya penyeludupan pupuk bersubsidi (untuk petani pangan) ke sektor perkebunan akan semakin besar.

----000---

Share:
Jumlah produksi sawit di Indonesia meningkat pesat karena Permintaan konsumen yang tinggi
Jumlah produksi sawit di Indonesia meningkat pesat karena Permintaan konsumen yang tinggi