Kaidah pokok negara yang mendasar dan memiliki kedudukan yang kuat tetap dan tidak berubah disebut

Jawaban:

Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 disebut sebagai pokok kaidah negara yang fundamental (staats-fundamentalnorm) karena:

❖ Pembukaan UUD 1945 memuat dasar negara yakni Pancasila.

❖ Pembukaan UUD 1945 memuat pokok kaidah yang sifatnya mendasar yakni pengakuan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, cita-cita nasional, pernyataan kemerdekaan, tujuan serta bentuk negara.

❖ Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber motivasi serta aspirasi perjuangan dan tekad dari bangsa Indonesia.

❖ Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia.

Selain Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Pancasila juga dikenal sebagai staats-fundamentalnorm atau pokok kaidah negara yang fundamental karena keduanya memiliki hakikat serta kedudukan yang tetap, kuat serta tak berubah bagi negara yang sudah dibentuk. 

Penjelasan:Yak Maap Kualau Sualah

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan makna yang mendalam bagi segenap Rakyat Indonesia sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada hakikatnya, pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai pokok kaidah negara yang fundamental mempunyai hakikat dan kedudukan hukum yang tetap, maka secara hukum tidak dapat diubah. Lalu, bagaimana kedudukan dan makna pembukaan UUD 1945?

Jika melihat dari ilmu hukum yang ada, maka pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan tertinggi di atas Undang-undang lainnya. Hal ini dikarenakan UUD 1945 merupakan hukum dasar berbentuk tertulis dan menjadi dasar sumber hukum bagi seluruh peraturan-peraturan yang ada di Indonesia.

Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok dari tujuan kaidah negara yang bersifat fundamental, dimana memuat prinsip negara seperti bentuk negara, dasar negara dan tujuan negara itu sendiri. Hal tersebut tergambar dalam setiap alinea pembukaan UUD 1945 yang memiliki makna berkaitan dengan kemerdekaan maupun usaha setelah kemerdekaan Indonesia.

Nah, untuk lebih paham mengenai kedudukan dan makna pembukaan UUD 1945, berikut penjelasannya.

Pada alinea pertama “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Hal ini bermakna bahwa Indonesia dan dunia harus menghapus dan melawan penjajahan yang ada di dunia ini.

(Baca juga: 4 Pokok Pikiran Dalam Pembukaan UUD 1945, Apa Saja?)

Pada Alinea kedua, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”. Dalam alinea ini bermakna untuk menunjukan kebanggaan dan penghargaan atas perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan hasil kerja keras pada pejuang yang rela mengorbankan harta, jiwa, dan nyawanya.

Pada aline ketiga, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal ini bermakna bahwa kemerdekaan Indonesia juga didapat atas bantuan Tuhan yang masa esa dan juga keinginan luhur bangsa untuk kehidupan yang bebas.

Kaidah pokok negara yang mendasar dan memiliki kedudukan yang kuat tetap dan tidak berubah disebut
Kaidah pokok negara yang mendasar dan memiliki kedudukan yang kuat tetap dan tidak berubah disebut

Pada Alinea terakhir atau keempat, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara RI yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Masa Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Makna yang terkandung pada alinea keempat dalam pembukaan UUD 1945 ini yaitu prinsip-prinsip bangsa Indonesia yang akan menjadi penuntun bangsa untuk meraih cita-citanya.

Kaidah pokok negara yang mendasar dan memiliki kedudukan yang kuat tetap dan tidak berubah disebut

Kaidah pokok negara yang mendasar dan memiliki kedudukan yang kuat tetap dan tidak berubah disebut
Lihat Foto

Osman Ralliby/Dokumentasi Historica, Penerbit Bulan-Bintang, Djakarta

Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 yang salah satu hasilnya adalah menetapkan UUD 1945 serta memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

KOMPAS.com - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah hukum dasar tertinggi yang berlaku di Indonesia yang terdiri atas pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan.

Pada pembukaan terdiri atas empat alinea yang merupakan pokok kaidah fundamental atau norma dasar.

Pembukaan UUD 1945 mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa yang berada di seluruh dunia.

Nilai-nilai tersebut mampu menampung dinamika masyarakat sehingga akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa dan negara selama Indonesia masih setia terhadap proklamasi 17 Agustus 1945.

Baca juga: Makna dalam Pembukaan UUD 1945

Bagaimana kedudukan Pembukaan UUD 1945 di Indonesia?

Dalam buku Spiritualisme Pancasila (2018) karya Fokky Fuad Wasitaatmadja, pembukaan UUD 1945 bagi bangsa Indonesia merupakan sumber motivasi dan aspirasi, tekad dan semangata bangsa Indonesia.

Kedudukan Pembukaan UUD 1945 merupakan satu rangkaian utuh dengan proklamasi kemerdekaan.

Maka Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah. Jika pembukaan diubah, berati mengubah hakikat negara Indonesia yang sudah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Pokok-pokok pikiran

Dalam Pembukaan UUD 1945 memuat pokok-pokok kaidah negara fundamental yang menerangkan hakikat negara Indonesia.

Berikut pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945:

  • Negara persatuan, negara mengatasi segala paham golongan dan perorangan, negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
  • Negara hendak mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara menganut paham negara kesejahteraan.
  • Negara yang berkedaulatan rakyat. Negara Indonesia adalah negara demokrasi.
  • Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara melindungi kehidupan beragama, bukan negara ateis.

Baca juga: Sejarah Perumusan UUD 1945

Penulis: Danu Umbara - Kanwil DJKN Banten

Pancasila Sebagai Philosopische Grondslag

Bangsa Indonesia memperingati tanggal 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila. Referensi histori dari “kelahiran” Pancasila pun dapat kita temui baik dalam bentuk sumber/bahan kepustakaan maupun media elektronik visual yang berkembang pesat saat ini. Namun, terkadang kita sering lupa untuk menelaah tidak hanya dari sisi “seremonial” perayaan kelahirannya, tetapi selayaknya kita perlu juga untuk memahami secara lebih komprehensif mengenai kedudukan Pancasila. Bahkan mungkin diantara kita masih berpendapat bahwa Pancasila hanya merupakan sebagai ideologi negara. Apakah pendapat ini sudah tepat?

Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosopische grondslag atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila memiliki dua kepentingan yaitu:

a. Pancasila diharapkan senantiasa menjadi pedoman dan petunjuk dalam menjalani keseharian hidup manusia Indonesia baik dalam berkeluarga, bermasyarakat maupun berbangsa.

b. Pancasila diharapkan sebagai dasar negara sehingga suatu kewajiban bahwa dalam segala tatanan kenegaraan entah itu dalam hukum, politik, ekonomi maupun sosial masyarakat harus berdasarkan dan bertujuan pada Pancasila.

Pancasiila dalam kedudukannya sebagai kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki dan diyakıni kebenarannya oleh bangsa Indonesia, telah dirumuskan dalam alinea keempat pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, memiliki fungsi utama sebagai dasar negara Indonesia. Dalam kedudukannya yang demikian Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi, sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional dalam tata hukum di Indonesia.

Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum dasar nasional, menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum yang berlaku di negara Indonesia. Hukum yang dibuat dan berlaku di negara Indonesia harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hukum di Indonesia harus menjamin dan merupakan perwujudan serta tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan interpretasinya dalam tubuh UUD 1945 tersebut.

Pancasila dalam posisinya sebagai sumber semua sumber hukum, atau sebagai sumber hukum dasar nasional, berada di atas konstitusi, artinya Pancasila berada di atas UUD 1945. Jika UUD 1945 merupakan konstitusi negara, maka Pancasila adalah Kaidah Pokok Negara yang Fundamental (staats fundamental norm).

Kaidah pokok yang fundamental itu mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tidak berubah bagi negara tersebut. Pancasila tidak dapat diubah dan ditiadakan, karena Ia merupakan kaidah pokok yang fundamental. Bung Karno menyebut Pancasila itu sebagai philosofische grondslag (fundamen filsafat), pikiran sedalam-dalamnya, untuk kemudian di atasnya didirikan bangunan “Indonesia merdeka yang kekal dan abadi”.

Secara yuridis formal berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, konstitusi sebagai hukum dasar memungkinkan adanya perubahan. namun Pancasila dalam kedudukannya sebagai kaidah pokok negara (staats fundamental norm) sifatnya tetap kuat dan tak berubah. Staats fundamental norm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi.

Pancasila sebagai staats fundamental norm diletakkan sebagai dasar asas dalam mendirikan negara, maka ia tidak dapat diubah. Hukum di Indonesia tidak membenarkan perubahan Pancasila, karena ia sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional di Indonesia. Mengubah Pancasila berarti mengubah dasar atau asas negara. Kalau dasar asas atau fundamental dari negara tersebut diubah maka dengan sendirinya negara yang diproklamasikan hasil perjuangan para pahlawan bangsa akan berubah atau tidak ada sebab dasarnya atau fundamennya tidak ada.

Kedudukan Pancasila Dikaitkan Dengan Theorie Von Stafenufbau Der Rechtsordnung

Hans Kelsen (1881 – 1973), ahli hukum dan filsuf Austria, terakhir berkarir di University of Berkeley Amerika Serikat, dan dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, memiliki gagasan yang dikenal dengan stufenbau theorie yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai dimanapun[2], dalam perkembangan selanjutnya diuraikan oleh Hans Nawiasky (ahli hukum berkebangsaan Jerman, “murid” dari Hans Kelsen) dengan theorie von stufenfbau der rechtsordnung yang menggariskan bahwa selain susunan norma dalam negara adalah berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah, juga terjadi pengelompokan norma hukum dalam negara.

Tatanan hukum tertinggi dalam pandangan Kelsen adalah berpuncak pada basic norm atau grundnorm (norma dasar),yaitu berupa konstitusi, tetapi konstitusi dimaksud adalah dalam pengertian materiil, bukan konstitusi formil.

Menurut Kelsen, norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam sistem suatu norma, ke dalam tatanan normatif tertentu, dapat diuji hanya dengan mengonfirmasikan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tatanan norma tersebut.[3]

Konsep norma dasar Kelsen, kemudian diafirmasi oleh Nawiasky meskipun dengan sebutan lain yaitu staats fundamentalnorm. Nawiasky menegaskan, staats fundamental norm atau norma fundamental negara (norma dasar) adalah norma tertinggi dalam suatu negara dan norma ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Bahkan Nawiasky juga menegaskan bahwa isi norma fundamental negara merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar.[4]

Apabila mencermati maksud norma dasar menurut Kelsen dan atau norma fundamental negara menurut Nawiasky maka Pancasila merupakan norma dasar yang menginduki segala macam norma dalam tatanan norma di Indonesia. Untuk memperjelas kedudukan norma dasar dalam tatanan hukum suatu negara, Kelsen juga menjelaskan pola hubungan antarnorma melalui teorinya stufenbau atau hirarkis norma. Kelsen menjelaskan hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan.

Norma yang menentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah.[5] Menurut Achmad Ali, stufenbau theorie Kelsen merupakan peraturan hukum keseluruhannya dari norma dasar yang berada di puncak piramida, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.[6]

Teori Kelsen tentang hirarkis norma kemudian dikembangkan oleh muridnya Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehere. Nawiasky menegaskan bahwa sistem norma hukum di negara manapun selalu berlapis dan berjenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Nawiasky kemudian memberi gagasan baru tentang sistem norma tersebut yaitu dengan adanya pengelompokan norma.

Menurut Nawiasky, pengelompokan norma dalam suatu negara terdiri atas empat kelompok besar yaitu: kelompok pertama, Staats fundamental norm atau norma fundamental negara. Kelompok kedua, Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara). Kelompok ketiga, Formell Gesetz (Undang-Undang). Kelompok keempat, Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom).[7]

Berdasarkan gagasan Kelsen dan Nawiasky di atas tentang stufenbau theorie atau teori tata urutan norma, dapat dipahami bahwa norma dasar atau norma fundamental negara berada pada puncak piramida. Apabila dikaitkan dengan Pancasila, maka dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai norma dasar berada pada puncak piramida norma. Dengan demikian, Pancasila kemudian menjadi sumber tertib hukum atau yang lebih dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Hal demikian, telah dikukuhkan oleh memorandum DPR-Gotong Royong yang kemudian diberi landasan yuridis melalui Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 jo Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978[8]. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimaksudkan sebagai sumber dari tertib hukum negara Indonesia. Menurut Roeslan Saleh, fungsi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mengandung arti bahwa Pancasila berkedudukan sebagai:

1. Ideologi hukum Indonesia;

2. Kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum Indonesia;

3. Asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan hukum di Indonesia;

4. Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia, juga dalam hukumnya.[9]

Keberadaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum kemudian kembali dipertegas dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 TAP MPR itu memuat tiga ayat:

1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan;

2. Sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan hukum tidak tertulis;

3. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Pengaturan TAP MPR di atas lebih memperjelas maksud dari istilah sumber hukum dalam sistem hukum di Indonesia bahwa yang menjadi sumber hukum (tempat untuk menemukan dan menggali hukum) adalah sumber yang tertulis dan tidak tertulis. Selain itu, menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama dari pembuatan segala macam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, tidak lagi ditemukan istilah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hal ini memang tidak mengganggu keberadaan Pancasila sebagai norma dasar yang menginduki segala norma tetapi tentu mengurangi supremasi dan daya ikat Pancasila dalam tatanan hukum.

Dikatakan demikian, karena nilai-nilai Pancasila seperti sebagai pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan cita-cita moral tidak lagi mendapatkan legitimasi yuridis. Terutama, sistem hukum modern sudah banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran positivisme hukum yang hanya mengakui peraturan-peraturan tertulis. Untuk itu, adalah suatu kekeliruan apabila tidak menerangkan secara eksplisit mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Menariknya, supremasi Pancasila dalam sistem hukum kembali ditemukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 ini disebutkan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 (sebagaimana terakhir diubah sebagian dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019) yang mengatur tentang hal yang serupa.

Pada Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ini tetap menegaskan hal yang sama sebagaimana dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dengan demikian, keberadaan Pancasila kembali menjadi supreme norm dalam sistem hukum negara Indonesia sehingga Pancasila sebagai suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum maupun cita-cita moral bangsa terlegitimasi secara yuridis.

Kesimpulan

Pancasila sebagai philosopische grondslag atau pandangan hidup bangsa Indonesia memiliki kedudukan sebagai staats fundamental norm yang merupakan dasar asas dalam mendirikan negara, besifat tetap, tidak dapat diubah. Hukum di Indonesia tidak membenarkan perubahan Pancasila, karena ia sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional di Indonesia. Penegasan serta legitimasi kedudukan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara (kaitannya dengan theorie von stufenfbau der rechtsordnung) selain telah secara jelas termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, juga telah secara jelas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.

Semoga dengan diperingatinya hari kelahiran Pancasila ke-75 pada tanggal 1 Juni 2020 ini tidak hanya sekedar mengulang kegiatan yang sifatnya hanya “seremonial” saja, namun juga dapat “melahirkan” penelahaan dan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai tujuan dan kedudukan Pancasila yang harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk juga dalam pelaksanaan birokrasi pemerintahan.

Penulis menutup kajian singkat ini dengan sebuah adagium dari Descartes, “Cogito Ergo Sum”, semoga memberikan inspirasi untuk rekan-rekan yang membaca kajian ini.

DAFTAR REFERENSI

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Vol. 1 Pemahaman Awal, Jakarta, Kencana Premedia Group, 2009.

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (diterjemahkan dari buku Hans Kelsen, Generaly Theory of Law and State ; New York: Russel and Russel, 1971), Bandung: Nusa Media, 2014.

Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta, PT. Kanisius, 2007.

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, Jakarta, Aksara Baru, 1979.

Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang, Suhud Sentrautama, 2010.