Karya seni patung yang terkenal dari papua berasal dari suku

Seni patung Asmat menggunakan bahan baku pohon bakau yang banyak dijumpai di pesisir selatan Papua Patung kewenak merupakan seni patung yang dibuat untuk mengenang suatu peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Patung rangkap yang menggambarkan proses pembuatan sagu Patung mbis, patung yang dianggap sebagai perwujudan nenek moyang dan orang yang sudah meninggal Patung kewenak biasanya menjadi barang pajangan di dalam rumah yeu atau rumah laki-laki Suku Asmat Pembuatan patung Asmat masih menggunakan alat-alat sederhana, seperti kapak batu, pisau dari tulang, dan paku yang dipipihkan Orang Suku Asmat yang memiliki keahlian dalam membuat patung dikenal dengan nama wow ipits Patung rangkap yang menceritakan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya Lebih dari sekadar benda yang bernilai estetis, seni patung Asmat juga memiliki nilai-nilai religius

Suku Asmat merupakan salah satu suku yang ada di nusantara. Suku ini mendiami kawasan timur Indonesia, tepatnya di sepanjang pesisir pantai selatan Pulau Irian Jaya.

Wilayah tinggal Suku Asmat kaya akan pohon sagu dan pohon bakau. Pohon-pohon ini yang berperan sangat penting dalam kehidupan Suku Asmat. Tidak hanya menjadi sumber kehidupan, tapi juga sebagai media yang digunakan untuk mengimplementasikan nilai seni yang dimiliki masyarakat suku tersebut.

Berbagai patung ukiran Suku Asmat merupakan salah satu bentuk nilai seni yang dimiliki masyarakat suku ini. Bagi masyarakat Suku Asmat, patung bukan sekadar benda yang bernilai estetis. Patung juga menjadi penghubung mereka dengan arwah nenek moyang. Patung mbis misalnya.

Patung mbis dibuat sebagai perlambang adanya sosok nenek moyang dalam kehidupan sehari-hari mereka. Masyarakat Suku Asmat percaya bahwa orang yang sudah meninggal mampu ditemukan kembali di dalam bentuk patung mbis. Karenanya, setiap patung mbis yang dibuat diberi nama sesuai dengan nama orang yang telah meninggal. Tapi, tidak semua orang yang sudah meninggal dibuatkan patung mbis. Hanya orang tertentu yang dibuatkan patung mbis.

Pembuatan patung yang terbuat dari kayu bakau ini melewati proses yang panjang. Awalnya, kaum pria Suku Asmat berkumpul. Sambil berteriak yang membuat suasana jadi hiruk pikuk, mereka merubuhkan pohon bakau. Setelah rubuh, batang pohon bakau dibersihkan dari ranting-ranting dan kulitnya dikupas. Batang pohon bakau lalu dilumuri cairan berwarna merah – yang bahannya juga dari pohon bakau. Selesai dilumuri cairan merah, batang pohon bakau dibawa ke desa.

Konon, masyarakat Suku Asmat percaya bahwa batang pohon bakau merupakan perwujudan tubuh nenek moyang. Sementara, cairan merah yang dioleskan ke batang pohon bakau merupakan darahnya.

Menjadi bagian dalam rombongan penebangan pohon bakau merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi laki-laki dewasa Suku Asmat. Ketika sampai di desa, masyarakat pun menyambut rombongan penebang pohon ini layaknya pahlawan yang kembali dari medan perang.

Batang pohon bakau kemudian diberikan kepada wow ipits. Wow ipits merupakan sebutan bagi orang-orang yang memiliki keahlian dalam membuat ukiran patung. Biasanya, pengerjaan sebuah patung mbis dapat diselesaikan dalam waktu satu hari. Setelah jadi, patung mbis dipajang di depan rumah sebagai simbol adanya komunikasi antara dunia kematian dan dunia kehidupan.

Jenis patung lain yang dimiliki Suku Asmat adalah patung kewenak. Berbeda dengan mbis, kewenak lebih berfungsi dalam sistem keluarga. Patung kewenak merupakan patung yang dibuat untuk mengenang suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu keluarga. Patung jenis ini biasanya disimpan di rumah yeu atau rumah laki-laki Suku Asmat. Dengan ukuran tinggi yang tidak lebih dari satu meter, kewenak bisa dikatakan sebagai dokumentasi keluarga layaknya foto.

Ada pula patung tunggal atau patung rangkap. Patung jenis ini biasanya mendokumentasikan dongeng atau cerita rakyat, belakangan ada juga yang menceritakan perjalanan hidup seseorang.

Sama dengan patung mbis, patung kewenak serta patung tunggal dan patung rangkap juga dibuat dari batang pohon bakau. Hanya saja, proses pembuatan patung-patung tersebut tidak memerlukan upacara khusus seperti pada patung mbis.

Masyarakat Suku Asmat masih menggunakan peralatan yang sederhana dalam pembuatan patung-patung tersebut. Peralatan yang biasa digunakan seperti kapak batu, pisau yang terbuat dari tulang, serta paku yang telah dipipihkan. Meski begitu, patung yang dihasilkan memiliki nilai estetis yang tinggi – selain juga mengandung nilai-nilai religius di dalamnya.

PAPUA — Papua menyimpan sejuta pesona. Selain kekayaan dan keindahan alam serta keanekaragaman hayati yang melimpah, pulau Cendrawasih ini juga memiliki kebudayaan yang eksotis. Laman resmi provinsi Papua menyebut terdapat 255 suku asli yang tinggal di provinsi beribu kota Jayapura tersebut.

Dari sekian banyak suku tersebut, Asmat adalah suku dengan jumlah anggota terbesar. Selain nama suku, Asmat sendiri merupakan nama salah satu kabupaten di provinsi Papua. Dulunya, kabupaten dengan luas wilayah 23.746 km2 ini merupakan bagian dari kabupaten Marauke.

Suku Asmat dikenal dengan karya seni kriyanya yang mendunia. Salah satu yang masyhur adalah Mbis. Infobudaya.net menyebut Mbis adalah patung berbahan kayu bakau. Sebelum dan saat menebang pohon, para pria suku Asmat biasanya melakukan tarian tertentu sebagai bagian dari ritual pembuatan patung.

Setelah pohon ditebang, kayu dibersihkan dari ranting-ranting dan dikupas kulitnya. Batang pohon tersebut lantas dilumuri suatu cairan khusus berwarna merah. Setelah semua ritual di hutan tempat menebang kayu beres, barulah kayu tersebut dibawa ke desa. Di sana, rombongan penebang kayu akan disambut sedemikian rupa bak pahlawan yang pulang dari medang perang.

Kemudian, kayu akan diserahkan kepada wow ipits untuk dipahat oleh. wow ipits adalah sebutan bagi orang yang memiliki keahlian memahat patung di Asmat. Bentuk patung ini tidak dipahat berdasarkan sketsa melainkan berdasar pada semacam ilham atau wangsit. Setelah jadi, patung ini akhirnya akan disimpan di lumpur di dalam hutan agar roh yang orang yang meninggal “mendiami” patung tersebut dan menjaga hutan adat Asmat.

Sebelum diperjualbelikan seperti sekarang, Mbis dibuat khusus untuk orang yang sudah meninggal. Tidak semua yang meninggal dibuatkan patung eksotis ini. Hanya orang-orang khusus yang datang dalam mimpi yang dibuatkan Mbis.

Data dari Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudaaan [Kemendikbud] RI, menyebut bahwa patung setinggi 3 – 5 meter ini kini banyak diduplikasi oleh orang luar Asmat dan diperjualbelikan di Yogya, Bali, dan Jepara. Di marketplace Bukalapak, misalnya, patung sejenis ini dijual dengan harga Rp1.500.000 oleh pelalapak Mardani Store asal Garut.

Dalam kebudayaan tradisional, benda-benda seni tak hanya dibuat untuk kebutuhan praktis atau estetis belaka. Selalu ada kisah dan nilai filosofis dibalik sebuah karya seni. Demikian pula Mbis.

Koentjaraningrat [dalam Jacob Sumardjo, 2014: 122] menyebutkan bahwa patung Mbis berkaitan erat dengan mitologi suku Asmat tentang asal usul mereka. Disebutkan bahwa zaman dahulu kala ada entitas bernama Fermuripits yang berasal dari langit. Dalam sumber lain, ia dikatakan seorang dewa.

Fermuripits turun ke bumi ke sebuah puncak pegunungan. Dari tempat itu ia mengarungi sungai menuju hilir menggunakan perahu sampan. Di tengah jalan, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Mereka berdua berkelahi hebat. Sang buaya kalah dan mati. Sedang Fermuripits terluka parah dan tak sadarkan diri. Sumber lain menyebut ia mati.

Karena tak sadarkan diri, ia terbawa arus hingga ke hilir dan terdampar di tepi sungai Asewets di desa Syuru. Tiba-tiba datanglah seekor burung Flamingo [sumber lainnya tak spesifik menyebut jumlah dan jenis burung]. Dengan kekuataan gaib, burung itu menyembuhkan Fermuripits.

Sang burung kembali ke langit sedang Fermuripits membangun jew, rumah bujang khas suku Asmat. Karena merasa kesepian, ia lantas mengukir dua batang kayu menyerupai manusia, laki-laki dan perempuan. Setelah menciptakan tifa [alat musik tabuh khas Papua], ia menari-nari sambil berteriak-teriak. Secara ajaib, dua patung tersebut berubah menjadi manusia sungguhan.

Dua manusia ini lantas beranak pinak. Keturunan mereka inilah yang kemudian menjadi suku Asmat. Sumber lain mengatakan setelah membuat dua manusia pertama, Fermuripits berjalan menyusuri pesisir selatan Papua. Tiap tiba di tempat baru, ia melakukan hal yang sama: membuat jew, patung, dan menari, kemudian jadilah manusia.

Dari mitologi ini, Jacob Sumardjo [2014: 122] menyimpulkan bahwa kebudayaan Asmat tergolong kebudayaan berpola dua. Dalam kisah Fermuripits terdapat [serba] dua hal yang paradoks. Misalnya, Fermuripits adalah dewa [langit] namun kalah oleh buaya [bumi]. Namun, ia “dihidupkan” kembali oleh burung [langit]. Dari “mati” hidup kembali.

Meski dari langit, namun ia menciptakan manusia dari kayu [bumi]. Sebelum menghidupkan manusia, ada tragedi kematian buaya dan “kematian” [kekalahan/terluka parah] yang dialami Fermuripits sendiri. Agar ada kehidupan, harus ada kematian. Ini yang mendasari praktik-praktik pengorbanan mahluk hidup dalam suatu ritual.

Pola dua ini pun terdapat dalam semua produk budaya suku Asmat. Hal ini lebih mudah dikenali dalam tinggal budaya yang tergolong Warisan Budaya Benda [WBB] atau tangible heritage seperti pada patung Mbis atau motif gambar khas Asmat seperti pada perisai atau benda lain.  

Jakarta -

Bagi Suku Asmat, tradisi mengukir, menganyam, menyanyi dan menari merupakan kehidupan mereka. Bagi yang tidak memiliki ketrampilan tersebut berarti mati.

Suku Asmat percaya bahwa pengetahuan dan keahlian mengukir mereka berasal dari nenek moyang yang bernama Fumiripitsy, seorang ahli ukir. Fumiripitsy telah menciptakan sebuah tifa yang indah sekali, ia beri nama Eme serta patung-patung yang diberi nama Mbis.

Apabila tifa ini ditabuh, maka patung Mbis akan menjelma menjadi manusia yang menari mengikuti bunyi tifa. Fumiripitsy berkata kepada Mbis, mulai saat itu Mbis menjadi anak-anaknya. Dalam budaya tradisionalnya, Suku Asmat tidak mengenal pahat dari logam untuk mengukir. Mereka menggunakan pahat yang terbuat dari tulang kasuari.

Suku Asmat mulai mengenal besi ketika ekspedisi Lorentz tahun 1907 melewati sungai-sungai di sekitar Asmat dalam upaya mencapai puncak bersalju Jayawijaya. Mereka melakukan kontak dengan Suku Asmat dan melakukan barter pisau besi, kapak besi, kaleng makanan dengan produk-produk seni pahat Asmat yang istimewa.

Rupanya benda besi, barang baru bagi Suku Asmat, menjadi benda yang tidak puas-puasnya digemari oleh mereka. Apalagi mereka merasa bahwa dengan benda-benda besi tersebut, dalam proses mengukir kayu menjadi mudah, jika dibandingkan dengan menggunakan pahat tulang kasuari.

Kegemaran pada benda besi ini, pernah diberitakan dalam surat kabar Belanda pada 1930, menyebutkan bahwa suatu armada orang-orang Asmat yang bersenjata busur, panah, dan tombak menyerang sebuah kampung di perbatasan Mimika.

Mereka mengobrak-abrik bangku-bangku sekolah milik gereja, hanya untuk mencopot paku-pakunya. Dengan paku-paku tersebut orang-orang Asmat hanya mengenal satu kegunaan yaitu untuk dijadikan pahat.

Seni Suku Asmat terkenal memiliki tradisi seni ukir yang khas dan terkenal sampai ke mancanegara. Bahkan seniman terkenal Eropa, Pablo Picasso, pada masa hidupnya mengagumi seni ukir ini.

---

Artikel ini dibuat oleh Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua dan diubah seperlunya oleh redaksi.

Simak Video "Pemekaran Papua Rumit, DPD: Pemerintah Pusat Harus Sosialisasi"

[elk/ddn]

Ukiran Asmat merupakan tradisi yang sudah ada turun-temurun, yang memiliki nilai sakral dalam kehidupan masyarakat suku asmat itu sendiri. Ukiran ini tergores pada patung yang berbentuk wujud manusia yang disebut Patung Mbis. Bentuk patung ini dipahat bertingkat dengan bentuk beberapa manusia, ada yang posisinya duduk, berdiri saling menyusun sehingga patung ini menjadi lebih tinggi bisa mencapai 3 ? 5 meter. Patung Mbis ini melambangkan sosok nenek moyang mereka, sehingga patung-patung ini dianggap sakral oleh masyarakat Asmat. Patung dan memahat adalah bagian penting dalam kehidupan orang Asmat. Legenda suci orang Asmat mengatakan bahwa asal usul orang Asmat berasal dari kayu yang dipahat menyerupai wujud manusia dan akhirnya hidup menjadi orang Asmat. Dikisahkan, leluhur orang Asmat yang bernama Fumeripits dihidupkan kembali oleh seekor burung bertuah setelah ia terdampar di muara sungai di kawasan Asmat. Ia terlunta-lunta dan mengembara seorang diri, sampai saat ia membangun rumah bujang [jew] dengan bentuk memanjang. Untuk mengisi kesendiriannya, sepanjang waktu Fumeripits memahat patung, hingga puluhan patung manusia dibuatnya. Suatu ketika, ia membuat tifa, alat perkusi tradisional Asmat. Ketika ia bernyanyi dan menabuh tifa, puluhan patung pahatan Fumeripits berubah wujud menjadi manusia, cikal bakal orang Asmat. Fumeripits melanjutkan pengembaraannya di pesisir selatan Papua dan masuk ke hulu sungai besar di kawasan itu. Di setiap persinggahannya, Fumeripits kembali membangun jew dan memahat patung manusia. Setiap ia bernyanyi dengan menabuh tifa, patung itu kembali menjadi manusia yang menurunkan suku Asmat yang sekarang kita kenal tersebar di pesisir selatan Papua. Keturunan Fumeripits inilah yang kemudian menjadi wow-ipits atau wow iwir, para pemahat Asmat. Anak turunan Fumeripits menjadi cikal bakal pengukir Asmat, yang secara turun-temurun mengulangi kembali apa yang dikisahkan dalam legenda suci Fumeripits. Legenda itu menggambarkan bahwa patung dan memahat adalah suatu yang memiliki nilai sakral bagi orang Asmat. Mengukir patung pada suku Asmat ini merupakan aktualisasi dan kepercayaan terhadap nenek moyang yang mereka simbolkan dalam ukiran patung dan menamai patung tersebut dengan nama orang yang telah meninggal. Demikian selama ratusan atau bahkan ribuan tahun anak cucu Fumeripits terus memahat patung untuk mengantarkan roh kerabatnya berpulang ke safar. Pengukiran patung ini sebagai penghormatan kepada nenek moyang dimana di sebagian daerah, memiliki sebuah upacara yang menghendaki adanya pemotongan kepala manusia dan kanibalisme guna menenangkan arwah nenek moyang. Untuk menghormati arwah nenek moyang, mereka membuat patung-patung yang menyerupai arwah nenek moyang tersebut, khususnya yang datang dalam mimpi. Lambat laun, kepercayaan ini menjadi tradisi mengukir dan memahat patung kayu. Pada mulanya, patung-patung dibuat secara kasar dan setelah digunakan dalam upacara agama tertentu lalu ditinggalkan di dalam rawa. Ini sebagai wujud para arwah yang tinggal untuk menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan sumber makanan utama masyarakat Asmat. Namun demikian, kejayaan ukiran Asmat yang asli dari buah tangan putra asli secara perlahan mulai pudar bersamaan dengan munculnya pemalsuan ukiran Asmat di sejumlah wilayah di Indonesia. Lihat saja di Bali, Yogyakarta, Jepara, dan di daerah-daerah lain, di mana ukiran-ukiran khas Asmat dengan mudah dapat ditemukan di daerah-daerah tersebut. Di masa jayanya, para turis, baik asing maupun domestik, kolektor, seniman, dan pencinta ukiran harus mengunjungi Asmat untuk mendapatkan ukiran atau patung asli. Namun dimulai sejak tahun 2000-an, mereka tidak lagi datang ke Asmat. Selain biaya yang cukup tinggi, mereka bisa mendapatkan patung Asmat dengan datang ke Jawa dan Bali. Apalagi ukiran Asmat di daerah-daerah tersebut sangat mirip dengan aslinya yang dibuat pengrajin dari Asmat sendiri. Tentunya dalam hal ini, masyarakat Asmat sudah mengalami kerugian, baik dari sisi bisnis maupun kekayaan intelektual. Apalagi para pengrajin di Asmat tidak tahu bagaimana proses mendapatkan hak atas kekayaan intelektual [HaKI] atas keterampilan itu. Jadinya karya mereka dengan mudah ditiru di berbagai tempat di Tanah Air. Padahal ukiran itu memiliki sejarah dan asal-usulnya. Sejak era kolonial Belanda, patung Asmat yang tadinya dinilai sebagai benda primitif dan wujud kepercayaan terhadap arwah-arwah jahat, pada akhirnya menjadi terkenal dan disimpan di sejumlah museum di dunia. Nilai patung Asmat setingkat dengan barang-barang hasil seni Eropa dan hasil kebudayaan yang tinggi dari daerah Sungai Nil, Eupharathes, Gangga, dan Indus. Patung Mbis merupakan salah satu patung yang dikeramatkan oleh suku Asmat karena merupakan cikalbakal suku Asmat, sehingga suku Asmat sangat menghargai budaya memahat patung. Bentuk patung ini dipahat bertingkat dengan bentuk beberapa manusia, ada yang posisinya duduk, berdiri saling menyusun sehingga patung ini menjadi lebih tinggi bisa mencapai 3 ? 5 meter.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

Video yang berhubungan