Kebijakan apa yang harus dilakukan pemerintah agar nilai rupiah stabil



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia telah menghadirkan berbagai kebijakan dan langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi dan tetap menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil.  Kemarin, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo juga memastikan, nilai tukar rupiah terus terjaga dan di prediksi akan berada di angka Rp 15.000 per dola AS di akhir tahun. Adapun dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sudah diatur oleh pemerintah, ia juga memastikan pertumbuhan ekonomi akan tidak lebih rendah dari 2,3% dari Produk Domestic Bruto (PDB).  Baca Juga: Terpapar efek wabah corona, ADB proyeksi ekonomi Indonesia tumbuh 2,5% di tahun 2020 Menurut pandangan Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menilai, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia agar rupiah tetap stabil yakni perlunya Ketersediaan Jaring Pengaman Keuangan Internasional (JPKI) untuk menjaga ketahanan   ekonomi   dan   stabilitas   sistem   keuangan di tengah risiko ekonomi global yang relatif tinggi.  Menurutnya, JPKI merupakan bagian dari global  financial  safety  net  (GFSN)  yang  terdiri   atas   international   reserve,   bilateral   swap  antar  bank  sentral,  regional  financial  arrangements (RFAs),   fasilitas pembiayaan yang   disediakan   oleh   IMF,   dan market-based  instrument.   Fasilitas  JPKI  yang  tersedia  saat  ini  juga merupakan kerjasama yang dilakukan oleh Bank    untuk   mencegah atau menangani potensi pelemahan nilai tukar baik secara bilateral,regional,maupun  multilateral.   Kerja  sama  tersebut dilakukan dengan bank sentral,  dan forum internasional dalam rangka memenuhi  kecukupan cadangan devisa  dan  memenuhi  kesulitan  likuiditas jangka  pendek. “Bank Indonesia perlu memperkuat kerjasama keuangan internasional   untuk   menyediakan jaring pengaman dalam rangka mempertahankan   stabilitas   makroekonomi,” Jelas Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (3/4).  Baca Juga: Pemerintah diminta geser dana pilkada dan ibu kota baru untuk penanganan corona Editor: Handoyo .

  • nilai tukar rupiah
  • rupiah

Kebijakan apa yang harus dilakukan pemerintah agar nilai rupiah stabil

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mendorong Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk tetap waspada menjaga rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sejumlah langkah dilakukan agar gerak rupiah stabil hadapi tekanan eksternal dan internal.

Rupiah melemah 9,52 persen sepanjang tahun berjalan 2018. Rupiah bergerak dari posisi 13.542 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 2 Januari 2018 ke posisi 14.835 per dolar AS pada Senin 10 September 2018. Hal itu berdasarkan patokan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).

Nilai tukar rupiah bahkan sempat sentuh level terendah di posisi 14.927 per dolar AS pada 5 September 2018. Bila melihat kurs tengah BI, rupiah merosot terjadi sejak Mei 2018. Rupiah pertama kali sentuh posisi kisaran 14.000 pada 9 Mei 2018 di posisi 14.074.

Pelemahan nilai tukar rupiah ini masih lebih baik ketimbang mata uang negara berkembang lainnya. Mata uang Argentina peso sudah melemah sekitar 51,1 persen, lira Turki sekitar 42,9 persen, real Brazil sekitar 20,4 persen, rand Afrika Selatan sekitar 16,7 persen, dan rupee India sekitar 10,4 persen.

Akan tetapi, pelemahan rupiah lebih dalam ketimbang mata uang ringgit Malaysia yang hanya turun 2,46 persen sejak awal tahun. Selain itu, mata uang baht Thailand yang hanya turun 0,77 persen sejak awal tahun 2018. Hal itu berdasarkan data Bloomberg.

Pelemahan rupiah, menurut sejumlah ekonom dan pemerintah didorong dari sejumlah faktor baik eksternal dan internal. Pertama, ada kekhawatiran krisis keuangan yang terjadi di Argentina dan Turki menular ke negara berkembang yang alami defisit transaksi berjalan yang melebar. Salah satunya Indonesia.

Kedua, sentimen kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve (the Fed). Ketiga, risiko perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta negara lainnya.

Sedangkan dari internal, Indonesia hadapi masalah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD). Tercatat defisit transaksi berjalan sudah mencapai tiga persen dari produk domestik bruto (PDB).

Data BI menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat USD 8 miliar.  Angka itu juga lebih besar dibandingkan kuartal I 2018 sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.

Sedangkan  Argentina defisit 4,8 persen, India defisit 1,9 persen, Brazil defisit 0,48 persen, Filipina defisit 0,8 persen, Turki defisit 5,5 persen dan Afrika Selatan defisit 2,5 persen.

"Kelemahan kita transaksi berjalan, ekspor kita memang tidak tumbuh secepat impor kita, pada waktu ekonomi pelan-pelan pulih, impor kita meningkat lebih cepat dari ekspor, 90 persen bahan baku dan modal. 10 persen barang konsumsi,” ujar Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, pada Rabu 5 September 2018.

Darmin juga menuturkan, ekonomi Indonesia juga alami kelemahan lain yaitu devisa hasil ekspor yang tidak kembali ke Indonesia. "Kelemahan lain, ekonomi kita, valuta asing (valas) yang masuk dari ekspor tidak semuanya masuk," ujar dia.

Dia mengungkapkan, angka saat ini  menunjukkan sekitar 85 persen DHE dari ekspor masuk. "Yang tidak ditukar ke rupiah malah banyak sekali, dari 85 persen yang masuk hanya 6 bulan yang sama ditukarkan ke rupiah paling-paling sekitar 15 persen," ujar dia.

Langkah BI dan Pemerintah

Oleh karena itu, BI dan pemerintah bergerak cepat menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.  Berikut rangkuman langkah-langkah yang dilakukan BI hingga pemerintah untuk stabilkan nilai tukar rupiah:

Dari BI mengeluarkan sejumlah kebijakan. Salah satunya menyesuaikan suku bunga acuan atau BI 7-day reverse repo rate. BI sudah naikkan suku bunga acuan 125 basis poin dalam tiga bulan. Suku bunga acuan BI kini di posisi 5,5 persen.

Langkah lain yang dilakukan BI meningkatkan volume intervensi di pasar valuta asing (valas), membeli surat berharga negara di pasar sekunder, membuka lelang FX swap, dan membuka windows swap hedging. BI juga senantiasa meningkatkan koordinasi dengan pemerintah termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

BI pun sudah intervensi di pasar surat berharga negara (SBN) dengan melakukan pembelian kembali mencapai Rp 11,9 triliun. Hal itu disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo saat rapat dengan DPR.

Dalam kondisi saat ini BI sudah meningkatkan intensitas intervensi pasarnya. Perry mengungkapkan, terhitung hingga saat ini BI telah mengeluarkan dana sebanyak Rp 11,9 triliun.

"Kalau kita lihat, Kamis, Jumat, Senin, kita juga sudah lakukan, Kamis sudah Rp 3 triliun, Jumat Rp 4,1 triliun , Senin Rp 3 triliun, kemarin  Rp 1,8 triliun," ujar Perry pada 5 September 2018.

OJK pun mulai intensifkan pengawasan penggunaan valas di seluruh industri jasa keuangan. "OJK mengintensifkan pengawasan di sektor jasa keuangan sebagai bagian monitoring secara reguler baik secara on site maupun off site supervisory terhadap seluruh kegiatan industri jasa keuangan, termasuk terkait transaksi valas. Terutama pengawasan yang ketat dan intensif untuk memastikan transaksi valas dilakukan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan underlying-nya," kata Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot.

Oleh:

Reuters/Iqro Rinaldi Kantor Bank Indonesia di Jakarta

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai mampu menstabilkan nilai tukar rupiah setelah sempat terjatuh saat periode awal merebaknya Covid-19 di Tanah Air pada 2020 lalu.

Tak hanya berhasil melewati krisis Covid-19, BI juga berhasil meningkatkan cadangan devisa ke rekor tertinggi pada Januari 2021, yaitu mencapai US$138 miliar, meski mengalami penurunan pada kuartal pertama 2020.

Posisi cadangan devisa pada Januari 2021 ini setara dengan 12,5 persen dari PDB Indonesia, dapat membiayai 10 bulan impor dan jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Baca Juga : BI Kaji Mata Uang Digital, Diprediksi Paling Cepat 3 Tahun Lagi

Dilansir melalui centralbanking.com, Senin (5/3/2021), disebutkan pencapaian tersebut sebagian besar merupakan hasil dari penerapan alokasi aset strategis (strategic asset allocation/SAA) berdasarkan pendekatan faktor-makro pada 2018. SAA memperhitungkan aset dan lialibilitas yang terkait dengan risiko mata uang dan siklus aset.

Di samping itu, BI juga mencermati risiko nilai tukar berdasarkan posisi bersih antara ekspor dan impor, yang sbeagian mendorong kebutuhan likuiditas dolar AS dalam perekonomian domestik, serta dampak daya saing di pasar domestik.

Untuk mengatasi risiko mata uang, BI telah mengembangkan strategi untuk menyesuaikan eksposur mata uang yang diharapkan sesuai dengan operasi moneter. Hal ini juga mendorong mengurangi siklus dalam aliran portofolio. Di sisi aset pun, BI telah meningkatkan diversifikasi asetnya dengan tetap menjaga tingkat risiko yang terbatas.

“Krisis mengajarkan bank sentral pentingnya memiliki cadangan yang memadai. Namun, cadangan yang lebih tinggi meningkatkan biaya untuk menahannya,” kata Hariyadi Ramelan saat masih menjadi Kepala Departemen Penegelolaan Devisa BI.

Sebagaimana diketahui, pada Maret 2020 lalu pasar keuangan Indonesia mengalami arus keluar modal yang tajam, yang mana saat itu terjadi penurunan likuiditas di pasar treasury Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan investor tiba-tiba menjual obligasi untuk mendapatkan akses tunai.

Hal ini menyebabkan antara 31 Januari hingga 24 Maret 2020, nilai tukar rupiah mengalami penurunan hingga 17,6 persen terhadap dolar AS. Oleh karena itu, BI menjalankan kebijakan berupa triple intervention mulai 2 Maret 2020 lalu.

Baca Juga : Sri Mulyani Siapkan Jurus Genjot Kredit Perbankan

Dalam upaya menstabilkan nilai tukar, BI secara serentak melakukan intervensi melalui kebijakan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) dalam denominasi rupiah untuk memitigasi risiko nilai tukar dan pasar spot dengan menjual dolar AS, serta membeli obligasi pemerintah dalam mata uang rupiah di pasar sekunder.

Pendekatan tersebut terbukti mahal dalam jangka pendek, tercermin dari cadangan devisa Indonesia yang turun lebih dari US$9,5 miliar pada akhir Maret 2020. Namun, Ramelan mengatakan kebijakan triple intervention dinilai efektir dalam menenangkan permintaan dolar AS di pasar domestik dan menenangkan pembalikan tiba-tiba dari investor global.

Alhasil, sejal akhir Maret 2020, rupiah kembali pulih, dan pada 10 Juni 2020, nilai tukar rupiah meningkat 19,2 persen dari level terendahnya di Maret 2020. Pada periode selanjutnya, nilai tukar rupiah cenderung stabil.

Ramelan menjelaskan, BI mencoba mengurangi tekanan permintaan dari investor global atau bank yang membutuhkan uang tunai dalam dolar AS dengan mengelola tingkat kematangan melalui kebijakan DNDF tersebut.

“Melalui kebijakan itu, kami dapat mengurangi tekanan pada likuiditas dalam jangka pendek, jadi kami mencoba untuk menyalurkan sebagian dari permintaan dolar ke jangka waktu enam bulan dan sembilan bulan yang lebih panjang. Ini juga mengurangi kebutuhan intervensi di pasar spot dolar AS,” jelasnya.

Atas kesuksesan ini, BI meraih penghargaan Reserve Manager of The Year dari Central Banking Publications (CBP). Kendati demikian, BI masih harus berupaya untuk menjaga stabilitas rupiah serta cadangan devisa ke depannya. Pasalnya, jalan pemulihan masih panjang dan risiko global menanti. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :