Tema utama surah At Tin adalah uaraian tentang manusia dari aspek kesempurnaan penciptaan dan jati dirinya serta sebab-sebab kejatuhannya. Show Mengenai surat Al-Tin, diriwayatkan dari al-Barra bin Azib, “Dalam suatu perjalanan, Rasulullah saw. pernah membaca sebuah surah dalam salah satu rakaat shalatnya, wa al-tīni wa al-zaitūn. Aku tidak pernah mendengar seseorang yang suara dan bacaannya lebih bagus dan mantap daripada beliau.” Dikeluarkan oleh al-Jamaah. Sedangkan, asbab al-nuzūl ayat ke 5 adalah, Ibnu Abbas meriwayatkan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang yang dipanjangakan usianya hingga menjadi pikun pada zaman Rasulullah. (HR Ibnu Jarir) Tujuan utamanya adalah mengingatkan manusia bahwa kesempurnaan penciptaan mengandung konsekuensi kewajiban menggunakan semua potensi yang dimiliki sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. Sang Pencipta. Kejatuhan manusia dari kesempurnaan menuju lembah kehinaan adalah akibat pengabaiannya terhadap potensi-potensi ruhaniahnya. Kandungan Surat Al-Tīn dan Munāsabah AyatSurat Sebelumnya (Alam Nasyrah), mengandung uraian tentang Rasulullah saw., yang telah dianugerahi sekian banyak keistimewaan oleh Allah Swt., antara lain kelapangan dada, keringanan beban, keharuman nama, dan lain-lain. Keistimewaan-keistimewaan tersebut menjadikan beliau manusia sempurna (insān kamīl). Dalam surat Al-Tin ini, diuraikan tentang jenis manusia dengan potensi baik-buruknya, dan bahwa bila mereka ingin mengembangkan potensi baiknya, maka wajar bila mereka menjadikan Nabi Muhammad saw, yang merupakan insan kamil (manusia sempurna) itu, sebagai suri tauladan. Surah ini dimulai dengan sumpah Allah Swt., menyangkut empat hal:
Demi keempat hal di atas, Allah Swt., menegaskan bahwa: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Jadi, kandungan yang terdapat pada surat Al-Tin ayat 1-4 yaitu:
Selanjutnya, ayat 5 melukiskan bahwa manusia yang telah diciptakan Allah Swt. dalam bentuk yang sebaik-baiknya itu, akaibat satu dan lain hal, dikembalikan Allah Swt. akibat ulah manusia itu sendiri ke (tingkat) yang serendah-rendahnya. Sedangkan ayat 6 mengecualikan dengan menyatakan, tetapi orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan kebenaran imannya dengan mengerjakan amal-amal shaleh, maka bagi mereka secara khusus pahala agung yang tiada putus-putusnya. Jika demikian itu halnya, yakni Allah Swt. memberi ganjaran dan balasan, maka ayat 7 dan 8 mengecam para pendurhaka dengan menyatakan: Maka apakah yang menyebabkanmu wahai manusia durhaka mengingkari keniscayaan Hari Pembalasan sesudah jelanya keterangan-keterangan itu ? Bukankah Allah Swt. yang telah mencipta manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan mengutus para nabi untuk menunjukkan manusia jalan lurus serta memberi balasan dan ganjaran yang adil, bukankah Dia sebijaksana-sebijaksana dan seadil-adil Hakam/Hakim Pemutus Perkara dan Pengatur segala sesuatu? Sedangkan kandungan dari ayat 5-8, antara lain: Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwīm) bila dia berhasil memadukan secara seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohaninya, fisik dan jiwa. Bila dia hanya memerhatikan dan melayani kebutuhan- kebutuhan jasmaninya saja, atau melayaninya secara tidak seimbang, maka dia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiaannya sebelum Ruh Ilahi itu menyentuh fisiknya. Kejatuhan manusia ke tingkat serendah-rendahnya itu adalahkarena ulahnya sendiri. Keterlibatan Allah Swt. dalam kejadian itu berkaitan dengan sitem yang ditetapkan-Nya, yang manusia lebih memilih jalan yang ditempuhnya. Allah Swt. adalah sebaik-baik hakam, yakni semua ketetapan-Nya mengandung hikmah termasuk penciptaan manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin Dia mempersamakan antara yang taat dengan yang durhaka. Tidak mungkin pula Dia membiarkan mereka tanpa balasan. Karena itu, sungguh mengherankan jika ada yang meragukan adanya Hari Pembalasan. Penafsiran Surat Al-Tīn menurut para Ulama’ Tafsir secara UmumFirman Allah:
Dalam Tafsir Al-Maragi dijelaskan bahwa menurut Imam Muhammad Abduh, “Tīn” yang dimaksud adalah pohon tempat Nabi Adam bernaung tatkala di surga. Al-Maragi menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan masa Tin Nabi Adam-bapak manusia. Yaitu zaman ketika Nabi Adam dan istrinya menutupi tubunya dengan pohon Tin. Ini seraya dengan pendapat yang dicantumkan Sayyid Quthb dalam Tafsir Fii Dzilal Al-Qur‟an bahwa tin yang dimaksud mengandung isyarat yang menunjuk kepada pohon Tin tempat nabi Adam dan istrinya (Hawa) pergi mengambil daun-daunnya untuk menutupi kemaluannya di surga yang mereka tempati sebelum turun ke kehidupan dunia. Pendaat lain mengatakan bahwa pohon Tin merupakan pohon yang menjadi pertanda surutnya banjir pada zaman Nabi Nuh. Ketika itu, Nabi Nuh mengutus seekor burung dan kembali membawa daun pohon dan Zaitun, hal ini menandakan banjir telah mulai surut dari permukaan bumi. Syaikh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya “Al-Qurthubi” menyatakan bahwa ayat ini membahas tiga masalah:
Menurut Al-Maragi, Turisin adalah nama sebuah gunung. Di tempat itu Allah Swt. berdialog secara langsung dengan Nabi Musa a.s. Sedangkan Al-Balad al-Amīn adalah Makkah yang dimuliakan Allah dengan adanya Ka’bah. Bukit ini mengingatkan kepada diturunkannya ayat-ayat Ilahiah, yang ditampakkan secara jelas kepada Nabi Musa as. dan kaum-nya. Serta peristiwa diturunkannya Kitab Taurat kepada Nabi Musa setelah kejadian itu dan bersinarnya nur tauhid , yang pada masa sebelum itu dikotori oleh akidah wasaniyah (keyakinan berhalaan). Para Nabi setelah Musa as. tetap mengajak kaumnya agar berpegangan pada syari’at tauhid ini. Namun, dengan berlalunya masa demi masa, ajaran ini telah dikotori dengan berbagai bid’ah, hingga Nabi Isa as. datang menyelamatkan ajaran tauhid ini. Tetapi kaum Nabi Isa as. tertimpa apa yang menimpa kaum Nabi sebelumnya, yaitu timbulnya perselisihan dalam agama, hingga tiba masanya Allah Swt. menganugerahkan kepada umat manusia nur Muhammad saw. Kota Makkah yang dimuliakan Allah dengan dilahirkannya Muhammad saw. dan dengan keberadaan Ka‟bah (bait Allah) padanya. Syaikh Imam Al- Qurthubi menmbahkan bahwa Allah menyebut Makkah ini dengan Al-Amin karena aman, seperti firmannya “
maka Al-Amīn bermakna aman, menurut Al-Farra‟ dan lainnya. 14 Selanjutnya, firman Allah
Setelah Allah bersumpah dengan menyebut empat hal sebagaimana ayat- ayat sebelumnya, ayat-ayat di atas menjelaskan untuk sumpah itu. Kata َ(Kami) yang menjadi kata ganti nama itu menunjuk kepada jamak, tetapi bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja. Para raja biasa menunjuk dirinya dengan menggunakan kata “kami”. Allah juga sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya. Sesungguhnya penggunaan kata ganti bentuk jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkakan dengan kata ganti tersebut. Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah Bapak-Ibu. Sebab, dalam penciptaan manusia, Bapak Ibu memiliki peran, namun hanya sebagai perantara. Ibu–Bapak mempunyai peranan yang cukup berarti dalam penciptaan anak- anaknya, termasuk dalam penyempurnaan keadaan fisik dan psikisnya. Para ilmuan mengakui bahwa keturunan, bersama dengan pendidikan, mereupakan dua faktor yang sangat dominan dalam pembentukan fisik dan kepribadian anak. Kata manusia yang dimaksud oleh ayat ini menurut Al-Qurthubi adalah manusia-manusia yang durhaka kepada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan lain antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikutnya yaitu “ kecuali orang-orang yang beriman .” Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Sedangkan kata taqwīm berakar dari kata qawama yang darinya terbentuk kata qāimah , istiqāmah, aqīmū, dan sebagainya yang keseluruhannya menggambarkan kesempurnaan sesuatu sesuai objeknya. Kata Ahsan taqwīm berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Kata radadnāhu terdiri atas kata radada yang dirangkaiakan dengan kata ganti dalam bentuk jamak nā serta kata ganti yang berkedudukan sebagai objek hu. Uraian tentang kata ganti nā serupa dengan kata ganti sebelumnya, yang menggambarkan adanya keterlibatan manusia dalam “kejatuhannya” ke tempat yang serendah-rendahnya itu. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa keterlibatan manusia di sini amatlah besar. Radada antara lain berati mengalihkan, memalingkan, atau mengembalikan. Keseluruhan makan tersebut dapat disimpulkan sebagai “perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya.” Atas dasar ini, kata tersebut dapat pula diartikan “menjadikannya kembali”. Timbul pertanyaan, bagaimana keadaan manusia sebelum dialihkan, dipalingkan, atau dikembalikan itu? Bagaimanakah keadaannya sebelum ia mencapai tingkat ahsan taqwīm ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, marilah kita telusuri pendapat para pakar tafsir tentang arti asfala sāfilīn “(tingkat) yang serendah rendahnya.” Paling tidak, ada tiga pendapat menyangkut kalimat tersebut,:
Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya ( ahsan taqwīm ) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses kejadiannya, sebelum ruh ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala sāfilīn. Jadi, dalam dua ayat ini dibahas dua masalah:
Firman Allah:
Ayat yang lalu menetapkan pengembalian manusia ke tingkat yang serendah-rendahnya. Ayat di atas mengecualikan sekelompok dari mereka. Allah berfirman: Kecuali atau tetapi orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan kebenaran imannya dengan mengerjakan amal-amal yang shaleh; maka bagi mereka secara khusus pahala agung yang tiada putus- putusnya. Kata illā umumnya berarti kecuali. Makna pertama menjadikan yang dikecualikan merupakan bagian dari kelompok yang disebut sebelumnya, sedang kedua ( tetapi ) menjadikan yang dikecualikan bukan anggota kelompok sebelumnya. Mufassir Al-Thabari memahami kata illā di atas dalam arti tetapi dan atas dasar itu ia mengartikan asfala sāfilīn dengan arti ynag pertama disebut di atas, yakni “Orang-orang tua yang berimandan beramal shaleh,pahal amal kebaikan mereka bersinambung, walau ia tidak mampu mengerjakannya lagi karena udzurnya.” Quraish Shihab dalam tafsir “Al-Misbah” menyatakan cenderung tidak menerima pendapat tersebut sebab penggunaan kata insān oleh Alqur‟an tidak terbatas pada arti fisik semata-mata. Dan juga kata illā dalam arti kecuali yakni bahwa manusia yang beriman dan beramal shaleh dikecualikan dari kejatuhan ke tempat yang serendah-rendahnya itu karena ia mempertahankan kehadiran iman dalam kalbunya dan beramal shaleh dalam kehidupan sehari-harinya. Kata iman biasa diarttikan dengan pembenaran. Sementara ulam mendefinisikan īmān dengan “pembenaran hati terhadap seluruh yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.” Dengan demikian, īmān tidak terbatas pada pengakuan akan keesaan Tuhan, tetapi mencakup pembenaran banyak hal. Bahkan tidak sedikit pekar yang menkankan tiga aspek pembenaran, yaitu hati, lidah, dan perbuatan. Seorang beriman dituntut untuk mengucapkan pembenran tersebut, tidak hanya disimpan dalam hati, melainkan harus dapat dibuktikan dengan perbuatan. Abdul karîm al-Khatîb menulis lebih jauh dalam bukunya, Qadhiyat al- Ulūhiyah baina al-Dīn wa al-Falsafah , bahwa iman bagaikan rasa cinta yang menggelora. Seseorang selalu ingin dekat kepada yang dicintainya dan pada saat yang sama ada semacam tanda tanya di dalam dirinya, apakah si kekasih juga benar-benar cinta atau tetap cinta padanya. Iman dalam tahap ini terus bergelora dan hati pun ketika itu belum mencapai kemantapannya. Keadaan semacam ini pernah dialami oleh Nabi Ibrahim as., sebagaimana diungkapkan oleh Al-Qur‟an. Kata amilu terambil dari kata amal yang biasa digunakan untuk “menggambarkan suatu aktivitas ynag dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu.” Kata ini tidak mengharuskan wujudnya suatu pekerjaan dalam bentuk konkret di alam nyata. Niat atau tekad untuk melaksanakan suatu perbuatan, walau belum terlaksana, juga dapat dinamai amal. Rasul saw. menjelaskan bahwa niat baik akan dinilai sebagai amal shaleh dan tercatat dalam kitab amalan. Berbeda halnya dengan niat buruk. Demikianlah niat dinilai sebagai amal karenanya, dikenal dengan sitilah “perbuatan hati” ( mal al-qalb ), di samping perbuatan anggota. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata amal dalam bahasa Alqur’an mencakup segala macam perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan mempunyai tujuan tertentu, walau hanya dalam bentuk niat atau tekad. Atau penggunaan daya-daya manusia baik daya fisik, pikir, kalbu, dan hidup. Amal yang diterima dan dipuji oleh Allah swt. disebut amal shaleh dan orang-orang yang mengerjakannya dilukiskan dengan kalimat amilû al-shalihât. Kata al-shāihāt adalah berbentuk jamak dari kata al-shālih /baik. Suatu amal menjadi shālih yang memenuhi pada dirinya nilai-nilai tertentu sehingga ia dapat berfungsi sesuia dengan tujuan kehadirannya Kata mamnun terambil dari kata manana yang antara lain berarti memutus atau memotong. Denagn demikian ghair mamnun berarti tidak putus-putusnya. Kata minnah dalam arti nikmat atau karunia juga terambil dari akar kata yang sama, karena dengan adanya nikmat maka terputuslah krisis krisis atau kesulitan yang dihadapi si penerima. Bisa juga kata mamnûn berasal dari kata manna-yamunnu yang berarti menyebut-nyebut pemberian kepada yang diberi sehingga menjadikan si penerima malu, rikuh, atau bahkan sakit hati. Arti yang demikian ditemukan pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah: 264. Sebenarnya makna ini pun dapat juga kembali kepada arti “memotong” atau “memutus”. Itu karena mereka yang melakukan hal itu sesungguhnya telah memutuskan kesinambungan pahala yang sewajarnya akan mereka terima dari Allah swt. Kalau demikian, kalimat ajr gair mamnūn di samping dapat berarti ganjaran yang tiada putus-putusnya, dapat juga diartikan sebagai “ganjaran yang tidak disebut-sebut sehingga tidak menyakitkan hati si penerima.” Firman Allah:
Kata każżaba terambil dari kata każaba yang antara lain bermakana berbohong, melemah, mengkhayal, dan lain-lain. Kebohongan yang menunjukkan kelemahan si pelaku karena ia tidak mampu menyampaikan kenyataan yang diketahuinya akaibat rasa takut, atau karena adanya kebutuhan lain sehingga ia terpaksa dalam penyampaian tersebut mengkhayalkan hal-hal yang tidak pernah ada. Kata al-dīn menggambarkan hubungan anatar dua pihak, pihak pertama kedududkannya lebih tinggi dari pihak kedua. Dari sini, kata ini mempunyai pengertian yang berbeda-beda, antara lain pembalasan, agama, ketaatan, dan lain-lain. Dalam ayat ini kata tersebut lebih sesuai bila diartikan pembalasan. Kata ba’du berarti sesudah. Dalam susunan kalimat ayat di atas, kata ini memerlukan kalimat lain sesuai konteks, untuk menjelaskan maksudnya. Kalimat dimaksud misalnya: Sesudah (datangnya/ adanya keterangan-keterangan itu.) Keterangan yang dimaksud adalah yang tersurat dan yang tersirat pada kandungan sumpah yang terdapat dalam surat ini ayat (4-6). Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, kemudian karena ulah mereka sendiri, Allah menjatuhkan atau mengembalikan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keterangan-keterangan tersebut adalah yang disampaikan oleh para nabi, khususnya Nabi Muhammad. Kata mā berarti apa. Yaitu apa yang menyebabkan manusia mengingkari hari Pembalasan padahal keterangan sudah sedemikian gamblang? Ada juga yang memahaminya dalam arti siapa. Seakan-akan ayat di atas bertanya kepada nabi Muhammad saw.: “Siapakah yang mendustakan yakni menyatakan bahwa engkau berbohong sehingga mereka mengingkari hari Pembalasan." Kata ahkam dan hākimīn terambil dari kata hakam a. Kata yang menggunakan huruf-huruf ḥa‟, khaf , mim berkisar maknanya pada menghalangi seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan. Kendali bagi hewan dinamai ḥakamah, karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkannya, atau liar . Hikmah adalah sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan sehingga mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan. Allah sebgaia Hakam adalah adalah “Dia yang melerai antara kebenaran dan kebatilan, yang menetapkan siapa yang taat dan durhaka, serta yang memberi balasan setimpal bagi setiap usaha, yang semua itu berdasar ketetapan-Nya.” Kata Allah adalah sebaik-baik hakam yang semua ketetapan-Nya mengandung hikmah; termasuk penciptaan manusia, maka tidak mungkin Dia mempersamakan antara yang taat dan durhaka. Tidak mungkin pula Dia memberikan mereka tanpa balasan. Dari sini ayat di atas mempertanyakan, masih adakah orang yang mengingkari adanya hari Pembalasan setelah jelas semua itu? Surat Al-Tin ini diakhiri dengan suatu pertanyaan yang mengandung makna bahwa sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dalam segala hal, termasuk dalam putusan-putusan-Nya menyangkut wujud dan masa depan manusia. Referensi :
|