Ketua umum pimpinan Muhammadiyah yang merupakan tokoh Empat Serangkai adalah

TRIBUN-VIDEO.COM - Kiai Haji (KH) Mas Mansoer atau dikenal dengan Mas Mansoer adalah pahlawan nasional yang lahir di Surabaya 25 Juni 1896 dan wafat pada 25 April 1946.

Mas Mansoer dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan Empat Serangkai.

Mas Mansoer juga merupakan murid dari Kiai Haji (KH) Ahmad Dahlan.

Sang Ibu adalah seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya bernama Raudhah.

Sedangkan sang Ayah adalah seorang pelopor Islam dan ahli agama yang terkenal di Jawa Timur, bernama KH Mas Ahmad Marzuqi.

Mas Mansoer berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura.

Mas Mansoer juga dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya.

Mas Mansoer menikah dengan puteri Haji Arif, bernama Siti Zakijah.

Dari pernikahan tersebut Mas Mansoer dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek.

Selain menikah dengan Siti Zakijah, Mas Mansoer juga menikah dengan Halimah.

Namun pernikahan Mas Mansoer tersebut berlangsung hanya hingga usia dua tahun, karena pada 1939 Halimah meninggal dunia.

Pendidikan

Mas Mansoer tumbuh dalam lingkungan religius karena keluarganya juga merupakan bagian dari Pondok Pesantren (Ponpes) Sidoresmo Surabaya.

Mas Mansoer sejak kecil dikenal sebagai sosok yang cerdas, gemar membaca, dan suka mendengarkan nasehat.

Menurut sang Kakak, Muslihat, bakat kepemimpinan Mas Mansoer sudah terlihat sejak kanak-kanak.

Saat kanak-kanak, Mas Mansoer sering bermain sekolah-sekolahan, Mas Mansoer sebagai guru dan muridnya adalah bantal-bantal yang diatur rapi.

Karena bakat dan kemampuan tersebut, orangtunya menyarankan Mas Mansoer untuk naik haji dan berguru kepada Syeikh Mahfudz Termas di Mekkah.

Di tengah-tengah masa pembelajarannya terjadi pergolakan politik yang membuat Mas Mansoer harus pindah dari Saudi Arabia.

Kemudian Mas Mansoer melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Ketika berada di Mesir tersebut mas Mansoer bertemu dengan banyak tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Kasim Amin, Muhammad Haykal, Abbas M. Akkad hingga Saad Zaghlul yang dikenal sebagai bapak kemerdekaan Mesir.

Jiwa pelopor Mas Mansoer mulai tumbuh karena pergaulannya dan koneksinya di Mesir tersebut.

Jika Albert Camus mengatakan “Aku memberontak maka aku ada,” maka Mas Mansoer mengatakan, “Aku membaharu maka aku ada.”

Suasana Mesir pada saat Mas Mansoer menimba ilmu adalah tengah gencar melakukan pembangunan dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan.

Ketika masa tersebut banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato.

Mas Mansoer memanfaatkan kondisi tersebut dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidato.

Mas Mansoer berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun.

Sebelum pulang ke Indonesia pada 1915 , Mas Mansoer terlebih dahulu singgah di Mekkah selama satu tahun.

Muhammadiyah

Setelah sampai di tanah air pada 1915, Mas Mansoer menjadi anggota Persyarikatan Muhammadiyah pada 1921.

Setelah mendapat izin dari KH Ahmad Dahlan, Mas Mansoer mendirikan Muhammadiyah Cabang Surabaya dan mengusulkan berdirinya Majelis Tarjih pada Kongres Muhammadiyah yang ke-16 di Pekalongan tahun 1927.

Majelis Tajrih diusulkan untuk mencegah timbulnya perselisihan agama dan mencegah timbulnya penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan pribadi.

Akhirnya pada 1937-1943 Mas Mansoer terpilih menjadi Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah.

Taswir al-Afkar

Mas Mansoer bergabung dalam organisasi yang radikal dan revolusioner, yaitu Syarikat Islam yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.

Selain itu Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi bersama tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar yang berarti Cakrawala Pemikiran.

Majelis tersebut dibentuk karena keadaan masya­rakat Surabaya sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang.

Taswir al-Afkar kemudian melahirkan Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang berfokus pada aktivitas pendidikan dan berusaha untuk mencerdaskan bangsa Indonesia.

Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansoer dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang.

Penggunaan kata 'wathan' yang berarti tanah air, membuktikan bahwa dua tokoh Muhammadiyah dan NU tersebut memiliki rasa kecintaan terhadap tanah air yang sangat besar.

Organisasi Lain

Ketika masa kolonial Belanda, Mas Mansoer bergabung dengan Central Serikat Islam (CSI) sebagai lahan pengabdiannya di bidang politik.

Kemudian Mas Mansoer juga ikut bergabung dengan indonesische Studie Club (ISC) yang didirikan di Surabaya pada tanggal 11 juli 1924 yang dipimpin oleh dr. Sutomo.

Pada 1927 ketika Partai Serikat Islam (PSI) mengalami keretakan, Mas Mansoer, Sukiman, Wali Al-fatah dan beberapa tokoh lain melayangkan sepucuk surat kepada pengurus partai agar PSI tidak dibubarkan.

Aksi tersebut kemudian membuat PSi bertahan dan berganti nama menjadi Partai Syarikat Isalm Indonesia (PSII) pada1929.

Mas Mansoer juga tergabung dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada1937 yang merupakan cikal bakal Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Mas Mansoer kemudian menjadi anggota partai baru yang didirikan pada 14 Desember 1938 di Solo, bernama Partai Islam Indonesia (PII).

PII memiliki program utama yaitu mengadakan sebuah Negara kesatuan Indonesia dibawah suatu pemerintahan pusat yang bersifat demokratis.

6 bulan setelah berdirinya PII, Mas Mansoer dan R. Wiwoho, mewakili PII mendirikan Gabungan Partai Indonesia (GAPI) bersama kaum pergerakan kebangsaan di Jakarta pada 29 Mei 1939.

Aksi GAPI yang terkenal adalah menuntut adanya Indonesia berparlemen.

Setelah GAPI terbentuk, berdirilah Majelis Rakyat Indonesia (MRI) bahkan Mas Mansoer secara aklamasi terpilih menjadi ketua MRI.

Mas Mansoer juga pernah memimpin Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama Ir. Soekarno, Ki Hajar Dewantara, dan Mohammad Hatta pada 9 Maret 1943.

Pimpinan PUTERA tersebut disebut sebagai Empat Serangkai.

Namun PUTERA dibubarkan dan dilebur Jawa Hokkokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) yang dibentuk pada 1 Maret 1944.

Ir. Soekarno dilantik untuk menjadi ketua Jawa Hokkokai, sedangkan Mas Mansoer menjadi satu dari anggota pengurus umum Masyumi.

Mas Mansoer juga ikut berpartisipasi sebagai anggota BPUPKI dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Mas Mansoer juga memiliki ketertarikan pada jurnalistik yang dimanfaatkan sebagai alat untuk menyebar luaskan gagasan kepada masyarakat.

Media komunikasi pertama yang di terbitkannya adalah 'Le Jinem' pada 1920 di Surabaya.

Mas Mansoer kemudian menerbitkan 'Suara Santri' (1921), 'Journal Etude' dan 'Proprietair'.

Mas Mansoer meraih gelar Pahlawan Nasional yang disematkan oleh Presiden Soekarno melalui surat keputusan Presiden RI Nomor 590 Tahun 1961 tertanggal 19 November 1961.

(TRIBUNNEWSWIKI/Magi)

ARTIKEL POPULER:

Baca: Sejoli Saling Tuntut setelah Putus, Pria Minta Rp408 Juta, si Wanita Maksa Bayar Uang Air & Toilet

Baca: Sejumlah Peserta BPJS Terancam Kesulitan Dapatkan Pelayanan Kesehatan

Baca: Video Aksi Menteri Kabinet Kerja Jokowi Lomba Makan Kerupuk, Jokowi Riuh saat Lihat Pemenangnya

TONTON JUGA:

Ulama pejuang itu wafat di dalam tahanan musuh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Mas Mansur juga tidak lepas dari dunia politik-pergerakan. Memang, sebelum terjun ke Muhammadiyah, dia telah menjalani serangkaian aktivitas untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam melalui jalur politik.

Pada zaman akhir pemerintah kolonial Belanda, KH Mas Mansur merupakan salah satu pencetus Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Demikian pula dengan Partai Islam Indonesia, yang digagasnya bersama dengan Dr Sukiman.

Ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda atas Nusantara, ketokohan beberapa sosok kaliber nasional dimanfaatkan. KH Mas Mansur termasuk di antaranya. Bersama dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara, dia didaulat membentuk Empat Serangkai.

Namun, akhirnya Kiai Mas Mansur mundur dari Empat Serangkai. Beberapa sumber menyebut, hal itu sebagai protesnya terhadap kekejaman Jepang terhadap orang-orang Indonesia.

Posisinya di Empat Serangkai digantikan Ki Bagus Hadikusumo. Sebagai informasi, meskipun Jepang membentuk Empat Serangkai, tokoh-tokoh Indonesia saat itu memandang lembaga itu dari perspektif berbeda.

Empat Serangkai dan banyak organisasi lainnya dimanfaatkan mereka untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia kelak. Begitu mundur dari Empat Serangkai, KH Mas Mansur hendak kembali ke Surabaya.

Setelah Indonesia Merdeka

Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, gelombang semangat meliputi seluruh orang di Tanah Air. Mulai dari akar rumput hingga pimpinan negara.

KH Mas Mansur memimpin barisan pemuda yang melawan militer Belanda. Saat itu, Belanda menumpang rombongan NICA yang datang ke Indonesia dengan tujuan membawa pulang tentara Sekutu yang ditahan Jepang di Indonesia.

Pertempuran pun terjadi antara tentara pejuang Indonesia dan tentara Belanda/NICA. Saat itulah, KH Mas Mansur ditangkap pihak musuh dan ditahan. Pada 25 April 1946, KH Mas Mansur wafat di dalam tahanan. Kini, nama tokoh Muhammadiyah itu telah diakui sebagai seorang pahlawan nasional RI.

Sepanjang hayatnya, KH Mas Mansur telah menikah dengan Siti Zakiyah dan dikaruniai enam orang anak. Selanjutnya, dia juga menikah dengan Halimah, meskipun hanya dua tahun lamanya karena pada 1939 istrinya itu wafat.

sumber : Islam Digest Republika