Kita harus berenang dengan titik-titik orang tua atau guru

Kabar meninggalnya putra penyanyi country AS, Granger Smith, yang berusia 3 tahun awal bulan ini, serta putri atlet ski Olimpiade, Bode Miller, yang berusia 19 bulan, pada tahun lalu kembali menjadi pengingat bagi publik bahwa air merupakan risiko besar bagi anak, terutama balita.

Insiden anak tenggelam memang cukup banyak terjadi di Amerika Serikat, sebagaimana disebutkan Komisi Keamanan Produk Konsumen Amerika Serikat. Seperti dilansir Huffington Post, mereka juga menjelaskan bahwa jumlah korban tenggelam di kolam dan spa belakangan ini telah meningkat secara mengejutkan. Meski demikian, insiden tersebut dapat terjadi di mana saja. Di dalam negeri, Anda mungkin masih ingat musibah yang menimpa cucu Menkopolhukam Wiranto.

"Dua hal paling berbahaya yang sering kita lakukan pada anak-anak kita biasanya adalah menempatkan mereka di dalam mobil dan menempatkan mereka di sebuah tempat, dimana mereka dapat mengakses kolam renang, danau, atau bak mandi air panas dengan mudah," imbuh direktur eksekutif sebuah yayasan yang bekerja pada keamanan kolam renang, Abbey's Hope, Alan Korn.

Berikut adalah beberapa hal dasar yang perlu diketahui orang tua ketika anak-anaknya berada di dekat air (kolam renang):

1. Pagar Empat Sisi Pada Maret lalu, American Academy of Pediatrics (AAP) telah memperbarui kebijakannya untuk menekan angka korban jiwa akibat tenggelam di kolam renang. Mereka juga menekankan pentingnya sebuah penghalang (pagar) pemisah antara anak-anak dan air yang harus dipasang oleh pemilik kolam.

Namun begitu, pemasangan pagar saja dirasa tidak cukup jika anak-anak dibiarkan bebas bermain di sekitar kolam renang tanpa pengawasan orang tua. Oleh karena itu, keberadaan orang tua saat anak berenang menjadi hal mutlak.

2. Kemampuan Berenang Sejak Dini AAP menjelaskan bahwa pada umumnya tidak ada standar universal yang diterapkan untuk mengatur kapan seorang anak harus berlatih renang. Namun, ketika anak-anak itu sendiri mulai mendapatkan instruksi formal tentang cara berenang, hal itu dirasa dapat membantu untuk menurunkan risiko tenggelam, khususnya untuk anak-anak berusia 1 hingga 4 tahun. Patut diingat, pelajaran berenang tidak serta merta akan menyelamatkan anak yang tenggelam dalam kolam, tapi paling tidak bisa menjadi pengurang risiko, di samping adanya pengawasan orangtua.

Di Ibu Kota, sudah cukup banyak operator penyedia pelajaran renang untuk bayi dan anak-anak. Tentu saja Anda perlu memeriksa lebih dulu jejak rekam mereka.


3. Prioritas Kontak Visual Begitu banyak kasus anak-anak tenggelam di kolam atau pantai padahal ada orang dewasa, penjaga kolam, maupun penjaga pantai yang hadir di dekat mereka. Kenapa demikian? Hal itu disebabkan buruknya kontak visual orang-orang dewasa terhadap anak-anak yang bermain air di sekelilingnya. Korn bahkan mengatakan bahwa para orang tua harus benar-benar terlibat dalam pengawasan anak ketika mereka berada di sekitar air kolam.

"Anda harus benar-benar meletakkan telepon genggam Anda. Anda harus benar-benar terlibat dalam mengawasi anak Anda. Jika anak Anda adalah perenang pemula, itu berarti ia harus berada dalam jarak, sepanjang jangkauan lengan Anda. Bila perlu, buatlah shift untuk mengawasi anak-anak Anda misalnya bergantian 15 menit sekali dengan pasangan Anda.”


4. Pelampung Tidak Bisa Diandalkan
Satu-satunya perangkat yang telah dianggap cukup membantu dalam menjaga anak-anak tetap aman di air adalah ‘jaket pelampung’. Namun , perlu diketahui bahwa perangkat yang dewasa ini banyak beredar di pasaran adalah pelampung mainan. Maka dari itu, boleh dibilang bahwa kebanyakan pelampung yang beredar sekarang ini hanya bisa digunakan untuk main-main, dan bukan untuk upaya pencegahan atau keamanan.

5. Hal Tak Terduga Bernama “Tenggelam”
Peristiwa tenggelamnya seseorang dapat dikatakan sangat tenang, bahkan lebih tenang dari yang kita bayangkan. Sering kali, saat kejadian, korban tenggelam seolah membisu, senyap, atau terdiam karena suara mereka tertahan air yang memenuhi kerongkongan. Jangankan memanggil bantuan, untuk menghirup napas saja sudah sangat kesulitan. Oleh karena itu, mereka yang tenggelam tidak akan dapat memercikkan atau tampak bergerak terlalu banyak di hadapan orang-orang. (M-2)

Kita harus berenang dengan titik-titik orang tua atau guru

Berenang menjadi kegiatan yang menyenangkan buat anak-anak. Selain baik untuk kesehatan juga untuk memaksimalkan masa kanak-kanak. Olah raga ini menjadi favorit anak-anak


Hanya anak bungsu yang ikut ekstra renang. Dua kakaknya selama di SD tidak. Waktu itu di sekolah belum ada ekstra renang. Mau ikut les renang, saya tak ada daya untuk mondar-mandir mengantar mereka.

Sebagai gantinya, saya dan suami sering mengajak anak-anak ke kolam renang.  Bukan belajar berenang seperti umumnya, namun lebih banyak berendam. Ya, berendam saja sampai puas. Sesekali belajar menggerakkan kaki. Kami juga tidak memiliki ilmu buat mengajar anak berenang. Kalaupun dua kakaknya bisa karena latihan sendiri.

Keadaan seperti ini mengingatkan saya pada anak-anak desa. Tanpa les renang maupun  ekstra renang mereka pasti bisa berenang di sungai yang dalam. Tanpa baju renang mereka terbiasa dengan air yang boleh dikata tak bersih juga. Hanya dengan melihat temannya atau orang dewasa, dengan kemauan keras, merekapun bisa menaklukkan sungai di desanya.

Si bungsu mulai kelas 1 SD ikut ekstra renang. Jadi ini tahun kedua saya menunggunya di kolam renang. Jenuh, bosan, dsb memang iya. Namun semua itu bisa disiasati dengan beberapa kegiatan ala ibu-ibu. Ngobrol dengan sesama wali murid, membawa buku bacaan, mainan sosmed. Eaa...

Beberapa wali murid melepaskan anaknya begitu sudah masuk kolam renang. Ketika si anak sudah nyemplung ke kolam dan ikut sesi belajar bersama guru dan teman-temannya, saat itu orang tua bisa meninggalkannya dengan damai.

Pernah juga saya meninggalkan anak di kolam. Ketika si anak sudah asyik bersama teman-temannya, dia sudah lupa mau ditunggu atau tidak. Sebenarnya anak saya tidak terlalu menuntut untuk ditunggu juga. Namun saya memiliki alasan mengapa sampai detik ini saya masih setia menunggu di kolam renang.

Pernah melihat anak-anak yang terjatuh di kolam renang? Saya sering. Herannya, kejadian seperti ini seperti sudah sangat biasa. Pihak kolam renang biasa saja. Pagi, halaman kolam dibersihkan (disapu). Bukan kolam airnya. Kalau kolamnya paling seminggu dua atau tiga kali. Sementara ada titik-titik yang banyak genangan air. Namanya juga kolam renang air bisa meluber atau muncrat kemana-mana.

Akibat genangan air ini, lantai jadi licin. Atau lantai tumbuh lumut. Sedangkan anak-anak lari-lari atau jalan begitu saja. Tidak sadar kalau lantai yang diinjak licin. Kemudian, bruk.... satu anak jatuh.

Kejadian paling sering saya lihat adalah terpeleset. Kemudian terbentur dinding kolam. Kejadian-kejadian seperti itu meski sudah ada gurunya tapi bukan berarti semua menjadi tanggung jawab si guru. Iya kalau gurunya masih di lokasi. Kalau sudah pulang? Atau katakanlah sedang di ruang ganti. Kemudian si anak menangis sambil mengeluh kesakitan.

Kebiasaan anak saya kalau sudah selesai ekstra, tidak mau langsung pulang. Masih asyik dengan teman-temannya. Masih ingin berendam. Masih ingin bercanda dan bermain. Hampir semua anak seperti ini. Mereka sangat menikmati berada di kolam dan berganti-ganti kolam.

Mumpung masih anak-anak saya biarkan saja dia menikmati waktu berenang dan bermain. Pernah saya ajak untuk segera pulang, eh ternyata dia tidak senang. Sepanjang jalan pulang, hanya diam dengan wajah sedihnya.

Asal tidak lebih dari satu jam, saya masih sanggup menemaninya. Anggap saja saya sedang plesir. Keluar rumah dianggap saja plesir. Ada pergantian suasana. Begitu lebih menyenangkan.

Nah, beberapa waktu lalu, anak saya seperti biasa bermain bersama teman-temannya. Tiba-tiba dia menghampiri saya dengan wajah sedih dan takut, “Ibu, aku jatuh, hihi...”

Saya melihat wajahnya. Cemas. Dagu si anak berdarah. Meski tidak banyak saya kok merasa ngilu juga. Mau mengobati dengan apa. Pikiran sedikit kacau. Yang terlintas di benak, saya harus segera pulang.

Padahal kalau mau sedikit lebih tenang, di kolam renang dilengkapi dengan fasilitas P3K. Hanya saja, pikiran saya tidak sempat menjangkaunya. Pulang dan pulang. Cuma itu yang memanggil.

Si anak masih dengan baju renangnya, belum mandi. Ah, lupakan dulu, saya segera memberinya baju dan wusss... Motor melaju membelah jalanan menuju ke rumah.

Begitu tiba di rumah, saya langsung lapor kepada suami. Coba apa katanya. “Harusnya segera diobati bukannya langsung pulang!”

Ya, sudahlah. Semuanya sudah terjadi, maka di rumah segera diobati dan istirahat.

Sebagai kesimpulan, ada beberapa poin yang membuat saya masih menunggu anak di kolam renang.

  1. Belum bisa mandiri
  2. Kekhawatiran orang tua terhadap kejadian buruk
  3. Pengawasan dari guru/pelatih kurang

Saya berharap seiring dengan berjalannya waktu anak semakin mandiri dan bisa menjaga diri. Tak apalah kalau saat ini saya mainnya ke kolam renang. Kalau anak senang, ibu juga harus senang, ya!