Komoditas Indonesia yang diperdagangkan dengan bangsa Cina pada abad

  Ilustrasi jejak pelaut Aceh. Foto: Dok. History Nusantara

Paruh kedua abad 17, kompetisi internasional untuk menguasai komoditas-komoditas berharga dari Asia Tenggara hanya tinggal menyisakan beberapa pemain saja.

Anthony Reid, peneliti sejarah Asia Tenggara, dalam bukunya Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (1996) mencatat berbagai hal menarik yang membuat perburuan rempah ke kepulauan timur Nusantara di abad ke-15 melonjak pesat.

Sekitar 1390, setiap tahunnya, cengkeh yang masuk ke Eropa mencapai sekitar 6 metrik ton. Sedangkan buah pala sekitar 1,5 metrik ton. Satu abad kemudian terjadi lonjakan kapasitas. Cengkeh melonjak hingga 52 metrik ton, sedangkan pala 26 metrik ton.

Catatan itu didapat dari pedagang-pedagang Venesia yang membelinya di pasar-pasar yang ada di Mesir dan Beirut. Pedagang-pedagang Muslimlah yang membawa komoditas itu melewati Samudera Hindia. Setelah memasuki Laut Merah, komoditas itu dibawa melalui Sungai Nil menuju ke Mediterania.

Catatan itu tentu saja hanya sebagian kecil dari perdagangan Asia Tenggara yang berkembang pada waktu itu. Abad ke-15 adalah zaman meningkatnya populasi dan perdagangan internasional. Tidak hanya ke Mediterania, tetapi juga ke pasar terbesarnya yakni Cina.

Kekuasaan Dinasti Ming yang kedua di bawah Kaisar Yongle (1403-22) adalah periode yang berperan penting dalam peningkatan perdagangan cengkeh dan lada. Meningkatnya pasokan rempah-rempah di pasar Cina pada zaman itu membuat gaji pegawai kerajaan dan tentara dinasti MIng dibayar dengan lada dan gaharu.

Pelayaran besar Admiral Cheng Ho, yang rekam sejarahnya terserak di dua Samudera, terjadi pada zaman ini. Ironisnya, pelayaran besar ini sebenarnya dilakukan pada masa munculnya kebijakan Kaisar untuk melarang pedagang-pedagang Cina melaut dengan bebas. Kebijakan itu dinamakan Haijin atau larangan melaut.

Larangan itu adalah larangan untuk melaut secara bebas. Melaut dengan inisiatif dan biaya sendiri tidak diperkenankan. Sebagai konskuensinya Dinasti Ming membentuk armada pelayaran 'nasional' yang paling besar dalam sejarah. Armada inilah yang dipimpin Cheng Ho dengan misi utama memberantas bajak-bajak laut dan penguasa-penguasa pelabuhan yang memberontak terhadap kekuasaan Dinasti Ming.

Renaisance dan Kebutuhan Rempah

Setelah Dinasti Cordoba runtuh di Andalusia, catatan-catatan penting sarjana-sarjana Muslim dipelajari dengan seksama oleh Eropa. Salah satunya adalah Al Kanun fit Tib karya Ibnu Sina. Kitab babon kedokteran yang ditulis di zaman kemajuan Dinasti Fatimiyah inilah yang dipelajari di biara-biara Katolik Venesia. Salah satu bab dalam kitab Ibnu Sina ini menjelaskan tentang tanaman-tanaman penting yang berguna bagi pengobatan dan kesehatan.

Seperti banyak diketahui, setelah zaman Reconquesta, Eropa mengalami zaman Renaisance atau Zaman Pencerahan. Salah satunya adalah berkembangnya ilmu kedokteran dan pengobatan. Akibatnya muncul kebutuhan yang tinggi terhadap tanaman-tanaman rempah yang selama dua ratus tahun sebelumnya hanya bisa diperoleh dari tangan pedagang-pedagang Islam.

Hal inilah yang membuat pelaut-pelaut Iberia, masih dengan spirit Reconquesta, mengitari Tanjung Harapan untuk mencari sumber muasal rempah eksotis di tanah Hindia. Hal ini pula yang kemudian membuat mereka bisa sampai ke "benua baru" Amerika.

Sejarah komoditas rempah abad ke-15, hingga saat ini masih memerlukan studi yang lebih mendalam. Sumber-sumber kesejarahan yang ada pada masa ini sebagian besar masih harus dipelajari dengan seksama.

Periode satu abad sesudahnya di awal abad 17 relatif lebih jelas penggambarannya. Periode ini adalah saat Belanda dan Inggris ikut bersaing dengan  Portugis dan Spanyol berkompetisi dengan para pemain lama seperti orang-orang Arab, Persia, India, Jepang, dan Cina untuk berburu lada, cengkeh, pala, kayu manis, gaharu, getah dan minyak pinus, sutera, blacu, hingga kulit rusa.

Monopoli Kolonial

Saat Portugis menguasai Malaka, para ahli sejarah mencatat periode ini sebagai pembawa perubahan berikutnya. Distribusi rempah dari kepulauan Nusantara di timur menuju pasar besar di barat harus mengikuti kemauan penguasa Selat.

Berkembangnya kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang menjadi penantang kekuasaan Portugis di Selat Malaka menandai sebuah zaman 'perubahan besar' yang sedang terjadi di tiga bagian kepulauan Nusantara.

Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Demak Bintara, dan Kerajaan Ternate adalah pembawa spirit antikolonialisme yang akan menentukan arah zaman beberapa abad sesudahnya. Zaman ini pula yang menandai perubahan besar-besaran struktur masyarakat di beberapa wilayah Nusantara yang sebelumnya masih mengacu pada warisan kerajaan Hindu-Buddha.

Paruh kedua abad 17, kompetisi internasional untuk menguasai komoditas-komoditas berharga dari Asia Tenggara hanya tinggal menyisakan beberapa pemain saja. Jepang menarik diri dari kompetisi lewat ditandai dengan Dekrit Tokugawa pada 1635. Pedagang-pedagang Gujarat, Persia, dan Arab-Hadrami yang sudah berkompetisi ratusan tahun merasa kekuatan Eropa di Asia Tenggara terlalu kuat. Perlahan mereka menarik diri dari konfrontasi langsung.

Puncaknya Portugis yang menjadi rezim penjaga benteng kekuasaan kalah oleh kemunculan Verenigde Ost Indische Company atau VOC yang datang dengan kapital dan organisasi armada laut yang lebih modern pada 1641.

Pada periode ini lah muncul monopoli, yang telah lebih dulu dilakukan VOC pada komoditas pala di tahun 1621. Menyusul di tahun 1650-an cengkeh juga dikenakan monopoli.

Berbagai produk-produk selain dua rempah berharga itu sebenarnya masih bisa menggerakkan iklim kompetisi. Tetapi kekuatan dan kekayaan VOC yang sangat dominan membuat banyak pelaku perdagangan tidak lagi melihatnya sebagai pangsa yang menguntungkan.

Hingga periode-periode berikutnya, VOC yang menjadi perusahaan swasta paling kaya di sepanjang zaman menerapkan kebijakan monopoli dan tanam paksa yang mengubah warna perdagangan dunia. Sampai dengan abad 18 produk-produk baru muncul dari Asia Tenggara dalam skala yang selalu lebih besar dari masa sebelumnya. Beberapa di antaranya  adalah gula, kopi, dan tembakau.

Pada periode ini pelaku sesungguhnya adalah perpaduan antara kekuatan kapital Eropa dengan kekuatan pekerja dari Cina. Pada masa inilah, opium atau candu telah menjadi satu komoditas yang paling banyak ditukarbelikan dengan komoditas-komoditas berharga Asia Tenggara.

Produk-produk sutera, katun, dan blacu yang sebelumnya menjadi andalan pemain besar di Samudera Hinda menjadi kalah bersaing. Pada masa inilah kekayaan terbesar VOC dihasilkan. (Y-1)

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id

Suluh Indonesia – Jalur Sutra yang terbentang ribuan kilometer, menghubungkan wilayah Timur dan Barat. Merupakan jalur utama yang digunakan untuk perdagangan berbagai komoditas selama ratusan tahun. Hingga kini, belum ada catatan resmi dan lengkap tentang jenis-jenis komoditas barang yang diperdagangkan.

Namun, sesuai nama Jalur Sutra yang disematkan, sutra merupakan produk komoditas andalan para pedagang. Alasannya, sutra sangat ringan untuk dibawa, dan pada masa itu dianggap memiliki nilai yang setara dengan emas. Sutra diperdagangkan dalam bentuk mentah, gulungan, barang jadi seperti permadani, pakaian, perhiasan, bahkan karpet.

Orang Romawi, terutama wanitanya, tergila-gila pada sutra Tiongkok. Sebelum itu, orang Romawi biasa membuat pakaian dari kain linen, kulit binatang, dan kain wol. Sekarang mereka beralih ke sutra. Mengenakan pakaian sutra menjadi simbol kekayaan dan status sosial yang tinggi bagi mereka.

Material seperti sutra yang kala itu hanya diproduksi di Tiongkok, akhirnya didapati penggunaannya di Eropa. Sutra dari Tiongkok pun menjangkau wilayah Mediterania pada abad kedua sebelum Masehi. Sutra telah menjadi komoditas pertama yang diekspor secara besar-besaran dari Timur ke Barat.

Komoditas ini pula yang membuat jalur perdagangannya disebut Jalur Sutra. Perdagangan di sepanjang Jalur Sutra ini, pada akhirnya ternyata berpengaruh pada pertukaran dan bisnis yang bersifat mendunia, yang di era sekarang lebih kita kenal dengan istilah globalisasi.

Namun, sutra bukan satu-satunya produk yang dibawa pedagang Tiongkok yang melewati Jalur Sutra. Para pedagang juga membawa rempah-rempah, porselen, dan barang lainnya sepanjang 6.500 km untuk dijual atau dibarter. Barang-barang komoditas lainnya ini mencakup parfum, permata, karang, gading, bulu, bubuk mesiu, manik-manik kaca, dan banyak lainnya.

Sementara itu, barang komoditas yang dibawa oleh pedagang Eropa ke Tiongkok untuk dijual atau dibarter juga banyak jenisnya. Di antaranya, giok, anggur, budak, hewan, pecah belah, wol, dan gelas khas Mediterania. Ya, budak menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan di Jalur Sutra.

Barang-barang komoditas mengalir dari Timur ke Barat dan sebaliknya. Ini membuat permintaan atas barang-barang eksotik dan mewah meningkat terutama di kawasan Mediterania, Basin, India, dan Cina. Tak ayal, para pedagang mendulang untung dari bisnis yang berjalan mulus di Jalur Sutra.

Rempah-rempah yang berasal dari wilayah Indonesia menjadi komoditas penting di Jalur Sutra. Sebagai penyedap masakan, pengawet makanan, atau untuk diperjualbelikan lagi di Eropa. Rempah-rempah yang populer meliputi cengkih, lada, jintan, jahe, pala, kunyit, dan kayu manis.

Permintaan rempah-rempah juga tak main-main peningkatannya. Aroma laba bisa dicium para pedagang yang memasok kayu manis, lada, jahe, pala, kapulaga, dan cengkih, serta banyak komoditas rempah-rempah lainnya.

Perdagangan rempah-rempah berhasil membuat negara produsennya, seperti India, merasakan pertumbuhan ekonomi yang bagus. Namun, rempah-rempah dari Jalur Sutra pula yang kemudian menggiring terjadinya hubungan serius Eropa dengan Asia Tenggara dan memunculkan semangat kolonialisme dari Eropa.

Komoditas lain yang juga masuk dalam daftar diperdagangkan di Jalur Sutra adalah beras dan gula. Beras semula datang dari Tanjung Harapan, sementara gula berasal dari Persia, Benggala, dan Jepang. Komoditas beras ini kemudian memunculkan gagasan pembudiyaan padi secara besar-besaran di masa Orde Baru, untuk dijadikan makanan pokok bangsa Indonesia.

Tentu saja, perdagangan di Jalur Sutra juga menyediakan barang lain yang diinginkan konsumen seperti pengharum, batu mulia, mutiara, kuda, tempurung penyu, gading, cula, pewarna, hingga giok. Permintaan giok terbilang tinggi karena dijadikan hadiah istimewa bagi para wanita, dan pasokan ke Eropa pun terbatas. [AT]

Baca juga: