Masjid yang pernah menjadi pusat aktivitas dakwah wali songo di jawa adalah masjid.

(IslamToday.id) — Dalam proses Islamisasi yang dilakukan oleh juru dakwah di Jawa, semua tidak terlepas dari keberadaan masjid sebagai pusat aktivitas. Melalui masjid syiar Islam terus dikumandangkan melalui berbagai aktivitas baik berupa peribadatan wajib hingga pembibitan kader dakwah melalui sistem pesantren. Salah satu masjid di Jawa yang pernah menjadi pusat Islamisasi terbesar adalah Masjid Agung Demak.

Secara fisik, Masjid Agung Demak berdiri diatas lahan seluas  ±7500 m2 yang terbagi dalam tiga bangunan pokok, yaitu Bagian Induk Masjid yang luasnya 91 m2, bagian serambi 620m2 dan sisanya untuk bagian lain seperti halaman, tempat wudhu dan sarana pendukung lainnya. Jika ditinjau dari sejarah pembangunannya, keberadaan Masjid Agung Demak tak lepas dari tokoh Raden Patah sebagai pendiri Kesultanan Demak Bintoro.

Alkisah, sebelum menjadi Raja, Raden Patah adalah seorang pemuda yang berasal dari Palembang. Beliau adalah putra dari Raja Majapahit Bhre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V (1468-1478) dengan ibu seorang putri dari China yang bernama Li Ang. Namun karena kecemburuan dari permaisuri Majapahit, Li Ang terpaksa dipindahkan ke Palembang saat mengandung Raden Patah. Dirinya kemudian dinikahkan dengan Arya Damar sebagai penguasa Palembang, namun Arya Damar dilarang mencampuri sang putri hingga bayi yang dikandung lahir.

Setelah lahir, Raden Patah tumbuh sebagai anak yang cerdas dibawah asuhan Ayah tirinya dan memiliki adik se-ibu yang bernama Husein.  Menginjak usia remaja dirinya memutuskan untuk mendalami ajaran Islam dibawah asuhan Sunan Ampel. Setelah dirasa cukup memahami ilmu keIslaman, Raden Patah dinikahkan dengan putri Sunan Ampel yang bernama Nyai Ageng Manila, kemudian dirinya diperintahkan oleh sang guru untuk meninggalkan wilayah Ampel dan memulai dakwahnya sendiri.

Sebelum melakukan perjalanan dakwah, Sunan Ampel berpesan kepada Raden Patah “berjalanlah ke arah barat, hingga kau menemui sebuah hutan yang harum baunya, letaknya di muara sungai Tuntang yang sumbernya dari Gunung Merbabu”

Dengan berbekal pesan itu, Raden Patah bersama istrinya akhirnya sampai di daerah yang dimaksud yaitu Desa Glagah Wangi. Raden Patah tak membuang waktu lama, segera ia membuka hutan, membuat saluran air, membuat sawah dan tegalan, hingga mendirikan langgar dan mengajarkan ilmu Islam kepada masyarakat sejak saat itu daerah ini dinamakan Bintoro, yang berarti bukit suci. Langgar yang didirikan oleh Raden Patah diberi nama Langgar Glagah Wangi. Bangunan inilah yang kelak dikemudian hari terus dikembangkan dan akhirnya menjadi Masjid Agung Demak.

Karena terletak di pesisir laut utara, daerah ini tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pendidikan Islam sehingga semakin banyak kalangan yang singgah bahkan menetap disana. Melihat perkembangan dakwah yang baik di kawasan tersebut, lantas para wali saat itu melihat peluang besar untuk membangun sebuah pusat dakwah di tanah Jawa. Atas prakarsa Walisongo didirikanlah sebuah Masjid yang cukup besar pada tahun 1388 Saka atau bertepatan dengan 1466 Masehi. Hal ini ditandai dengan Candra Sengkala “Nogo Mulat  Saliro Wani”.  

Setelah berkembang dan akhirnya menjadi Kadipaten Demak Bintoro, maka Masjid Agung telah mengalami renovasi dan penyempurnaan pada tahun 1478 Masehi. Pembangunan dan penyempurnaan ini juga tak lepas dari prakarsa dan sokongan anggota Walisongo, dimana dalam proses pembangunannya, hampir semua wali terlibat baik dalam menyumbang bahan bangunan, desain, maupun tenaga kerja yang diambil dari para santri binaan mereka. Namun dari semua itu, yang tercatat paling fenomal yaitu bagian sokoguru. Empat buah sokoguru Masjid Agung Demak disumbang oleh empat anggota Walisongo, yaitu: Sunan Ampel sebagai pemimpin Walisongo membuatkan sokoguru di sebelah tenggara (kidul wetan), Namun tak lama kemudian beliau wafat sebelum Masjid Agung selesai dibangun. Selanjutnya, Putra beliau yang bernama Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) menyumbangkan sokoguru sebelah barat daya (kidul-kulon). Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menyumbang dan menbuat sokoguru sebelah timur laut (lor-wetan), dan yang terakhir adalah sumbangan dari Sunan Kalijaga yang disebut Soko Tatal, karena terbuat dari potongan-potongan kayu yang diikat menjadi satu. Hal ini juga dimaknai sebagai persatuan umat adalah tiang utama kejayaan Islam. Setalah selesai dan diresmikan, bangunan inilah yang hingga sekarang bentuknya dipertahankan.

Secara fungsi, ketika Kesultanan Demak masih berdiri, selain untuk kegiatan peribadatan. Masjid Agung juga difungsikan untuk kegiatan belajar mengajar para santri. Di sisi lain Masjid ini juga digunakan sebagai tempat musyawarah para para wali, musyawarah pejabat Kesultanan Demak hingga menggelar sidang pengadilan. Bisa dibilang Masjid Agung Demak pada masanya adalah sebagai pusat aktivitas pemerintahan.

Secara konstruksi Bangunan Masjid ini memiliki gaya arsitektur Jawa dan Hindu. Masjid Agung Demak didirikan di atas empat tiang pokok atau sokoguru. Lantainya berbentuk bujur sangkar disertai adanya serambi. Sebagai atap utama berbentuk limasan besusun tiga dan atap teratas memiliki mahkota. Dalam setiap komponen bangunan yang ada, tidaklah dibuat tanpa adanya unsur filosisfis, diantaranya:

Sokoguru berjumlah empat, yang bermakna sumber hukum Islam yang empat, yaitu Al Quran, Hadits, Qiyas dan Ijma’ Ulama. Atau juga bisa dimaknai empat Imam mahzab ahlu sunnah wal jamaah yaitu Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. Atap bersusun  tiga yang memiliki makna filosofi tingkatan spiritual umat Islam yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Serta diatas itu ada Mahkota tunggal yang berarti melambangkan Ke Esaaan Allah yang tunggal. Pintu masuk masjid yang berjumlah lima, melambangkan Rukun Islam dan kewajiban sholat lima waktu. Jendela masjid yang berjumlah enam melambangkan rukun iman.

Sejak berdirinya Kesultanan Demak, Raden Patah telah memproklamirkan diri sebagai kerajaan penerus Majapahit, olah karenanya di kompleks masjid Agung juga terdapat beberapa benda ataupun bangunan yang merupakan pemberian raja majapahit atau Brawijaya V, antara lain:

Tiang atau tatag Majaphit, merupakan tiang-tiang penyangga serambi masjid hadiah dari Brawijaya V,  berjumlah delapan berornamen gaya has kerajaan Majapahit. Pintu Bledeg atau pintu petir. Dibuat oleh Ki Ageng Selo. Ornamen Bagian atas menggambarkan kebudayaan majapahit atau simbol ayah Raden Patah. Ornamen bawah menggambarkan kebudayaan China yaitu ibu Raden Patah. Adapun sebagai ornamen utama bergambar Naga, dedaunan merupakan candra sengkala yang berbunyi “Naga Mulat Saliro Wani” menyatakan tahun pembangunan masjid Agung yang pertama yaitu tahun 1388 Saka atau 1466 masehi. Dampar Kencono dahulu adalah hadiah Raja Majapahit sebagai singgasana Raja Demak, kini fungsinya telah beralih menjadi mimbar.

Itulah tadi gambaran dari masjid agung Demak yang telah mengajarkan kita betapa Islam mampu hadir dan bisa diterima masyarakat Jawa tanpa harus kehilangan identitas asalnya.

Penulis: Muh Sidiq HM

Editor: Tori Nuariza

Sumber

H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti

Ichsan Syamlawi,dkk. 1983. Keistimewaan Masjid Agung Demak. Salatiga: CV Saudara

Muhammad Khafid Kasri dan Pujo Semedi. 2008. Sejarah Dema:Matahari Terbit di Glagah Wngi. Demak: Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak

Rachmad Abdullah, 2015. Sultan Fattah. Raja Islam Pertama Penakluk Tanah Jawa (1482-1518M..Sukoarjo: Al-Wafi

Masjid yang pernah menjadi pusat aktivitas dakwah wali songo di jawa adalah masjid.
Masjid yang pernah menjadi pusat aktivitas dakwah wali songo di jawa adalah masjid.

Sejarah Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak merupakan masjid kuno yang dibangun oleh Raden Patah dari Kerajaan Demak dibantu para Walisongo pada abad ke-15 Masehi. Masjid ini masuk dalam salah satu jajaran masjid tertua di Indonesia. Lokasi Masjid Agung Demak terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Berada tepat di alun-alun dan pusat keramaian Demak, Masjid Agung Demak tak sulit untuk ditemukan.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Masjid Agung Demak dahulunya adalah tempat berkumpulnya Walisongo yang menyebarkan agama Islam di tanah jawa inilah yang mendasari Demak mendapat sebutan kota wali. Raden Patah bersama dengan Walisongo membangun masjid ini dengan memberi gambar serupa bulus yang merupakan candra sengkala memet yang bermakna Sirno Ilang kerthaning bumi. Secara filosofis bulus menggambarkan tahun pembangunan Masjid Agung Demak yaitu 1401 Saka. Bulus yang terdiri tas kepala memiliki makna 1, empat kaki bulus bermakna 4, badan bulus yang bulat bermakna 0, dan ekor bulus bermakna 1. Hewan bulus memang menjadi simbol Masjid Agung Demak, dibuktikan dengan adanya berbagai ornamen bergambar bulus di dinding masjid.

Dari sisi arsitektur, Masjid Agung Demak adalah simbol arsitektur tradisional Indonesia yang khas serta sarat makna. Tetap sederhana namun terkesan megah, anggun, indah, dan sangat berkarismatik. Atap masjid berbentuk linmas yang bersusun tiga merupakan gambaran akidah Islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Empat tiang utama di dalam masjid yang disebut Saka Tatal/Saka Guru dibuat langsung oleh Walisongo. Masing-masing di sebelah barat laut oleh Sunan Bonang, sebelah barat daya oleh Sunan Gunung Jati, sebelah tenggara oleh Sunan Apel, dan sebelah Timur Laut oleh Sunan Kalijaga.

Pintu Masjid Agung Demak yang dikenal dengan nama Pintu Bledheg dianggap mampu menahan petir. Pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Selo juga merupakan prasasti Candra Sengkala yang berbunyi Nogo Mulat Sarira Wani, maknanya tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi.nBagian teras Masjid Agung Demak ditopang oleh delapan buah tiang yang disebut Saka Majapahit.