Mengapa Balaputra bisa menjadi raja di Sriwijaya dengan cepat?

Home Nasional Nasional Lainnya

Tim | CNN Indonesia

Kamis, 27 May 2021 13:00 WIB

Mengapa Balaputra bisa menjadi raja di Sriwijaya dengan cepat?

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim terbesar di Nusantara lantaran mengendalikan jalur perdagangan di Selat Malaka. Berikut kilas sejarahnya. (Foto: Dok.Kompaks)

Jakarta, CNN Indonesia --

Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di Indonesia. Kala itu Sriwijaya berkuasa mengendalikan jalur perdagangan utama di Selat Malaka. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan bercorak Buddha.

Konon nama Sriwijaya yang diambil dari bahasa Sanskerta memiliki arti 'Sri' yang artinya cahaya atau bercahaya dan 'Wijaya' yang berarti kemenangan atau kejayaan.

Dengan demikian, arti nama Sriwijaya adalah kemenangan yang gemilang.


Mengapa Balaputra bisa menjadi raja di Sriwijaya dengan cepat?
Sejarah Kerajaan Sriwijaya (Foto harta karun Kerajaan Sriwijaya: Dok.Kompaks)

Catatan berdirinya Kerajaan Sriwijaya pertama kali diteliti oleh seorang sarjana Prancis, George Coedes tahun 1920-an. Saat itu dirinya memublikasikan penemuannya dalam sebuah surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.

Kerajaan Sriwijaya diprediksi berdiri pada abad ke-6 Masehi berdasarkan catatan perjalanan seorang biksu I Tzing yang menulis tentang persinggahannya selama 6 bulan di Kerajaan Sriwijaya.

Selain itu catatan berdirinya Sriwijaya didasarkan pada penemuan sejumlah prasasti abad ke-6.

Pusat Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya

Lokasi pemerintahan Kerajaan Sriwijaya sebenarnya masih diperdebatkan sampai saat ini. Menurut catatan yang tertulis pada Prasasti Kedudukan Bukit (683), pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya berada di tepian Sungai Musi, Palembang.

Teori ini diperkuat oleh hasil penelitian George Coedes dan disebut sebagai Teori Palembang.

Akan tetapi penelitian terbaru yang dilakukan Universitas Indonesia pada 2013 menemukan sejumlah situs candi bercorak Buddha di Muaro Jambi. 

Reruntuhan candi tersebut diperkirakan sebagai tempat tinggal para cendekiawan Buddha. Disebut dahulu kala Kerajaan Sriwijaya menampung banyak cendekiawan dan biksu Buddha.

Pendiri Kerajaan Sriwijaya

Raja pertama Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang atau yang dikenal sebagai Sri Jayanasa. Nama Dapunta sebagai raja Kerajaan Sriwijaya didasarkan pada catatan I Tshing dan catatan pada prasasti seperti Prasati Kedudukan Bukit dan Prasasti Talang Tuo.

Dalam catatan I Tsing dan prasasti disebutkan Dapunta Hyang menjadi raja Kerajaan Sriwijaya setelah melakukan perjalanan suci atau Siddhayatra menggunakan perahu.

Dapunta membawa ribuan prajurit dan armada untuk menaklukkan beberapa daerah di Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka. Beberapa catatan menyebut Dapunta juga mencoba menyerang kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.

Masa Kejayaan Sriwijaya

Kejayaan Sriwijaya berada saat masa pemerintahan Balaputradewa. Kerajaan Sriwijaya banyak berhasil menaklukkan jalur perdagangan strategis dan banyak kerajaan-kerajaan lain.

Disebut-sebut, kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Sriwijaya mencapai Thailand dan Kamboja. Hal ini terlihat Pagoda Borom That yang bergaya arsitektur Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Letaknya yang berada di jalur perdagangan membuat Sriwijaya mudah menjual hasil alam seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, kayu cendana, pala dan kapulaga.

Masa Keruntuhan Sriwijaya

Seiring pergantian kepimpinan Kerajaan Sriwijaya mulai banyak mendapat serangan dari kerajaan lain terutama kerajaan di Pulau Jawa. Salah satu serangan gencar adalah serangan dari Kerajaan Medang di Jawa Timur.

Selain itu Kerajaan Sriwijaya juga menerima serangan bertubi-tubi dari Kerajaan Cola sehingga melemahkan kekuasaannya di Selat Malaka, yang secara perlahan berhasil menaklukkan daerah-daerah kekuasaan lain Sriwijaya.

Nama-nama Raja Kerajaan Sriwijaya

Masa jaya Kerajaan Sriwijaya cukup lama bertahan. Hal ini ditandai oleh silih bergantinya tampuk kuasa raja Sriwijaya yang cukup panjang sebelum benar-benar hancur.

Sayangnya struktur raja-raja Sriwijaya belum bisa dicatat keakuratannya akibat kurangnya bukti yang valid. Berikut daftar nama raja Kerajaan Sriwijaya.

  • Dapunta Hyang Sri Jayanasa
  • Indrawarman
  • Dharanindra
  • Samaratungga
  • Rakai Pikatan
  • Balaputradewa
  • Sri Udayadityawarman
  • Sri Cudamaniwarmadewa
  • Sri Marawijayottunggawarman
  • Sri Sanggramawijayottunggawarman
  • Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa

Itulah sejarah Kerajaan Sriwijaya mulai dari masa jaya hingga runtuhnya yang bisa menambah wawasan dalam memahami kerajaan di Nusantara.

(imb/fef)

Saksikan Video di Bawah Ini:

TOPIK TERKAIT

Selengkapnya

LAINNYA DARI DETIKNETWORK

Sri Maharaja Balaputradewa adalah anggota Wangsa Sailendra yang menjadi raja Kerajaan Sriwijaya.

Daftar Maharaja Sriwijaya
Masa Awal
Palembang
Dapunta Hyang 671–702
Sri Indrawarman 702–728
Rudra Wikrama 728–775
Masa Peralihan (Wangsa Syailendra)
Sri Maharaja 775–(?)
Jawa
Dharanindra 778–782
Samaragrawira 782–792
Samaratungga 792–840
Suwarnadwipa
Balaputradewa 860–(?)
Sri Udayaditya Warmadewa 960–988
Sri Cudamani Warmadewa 988–1008
Sri Mara-Wijayottunggawarman 1008–1017
Kadaram
Sangrama-Vijayottunggawarman 1017–1030
Sri Dewa 1028–(?)
Di bawah dinasti Chola
Rajendra Chola I 1012–1044
Kulothunga Chola I 1070–1120
Di bawah dinasti Mauli
Trailokyaraja 1183–(?)

Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.

Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.

Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.

Teori ini dibantah oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti malang, Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Balaputradewa lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga. Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra sulung Samaragrawira, sedangkan Balaputradewa adalah putra bungsunya.

Pengusiran Balaputradewa umumnya didasarkan pada prasasti Wantil bahwa telah terjadi perang antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (alias Rakai Pikatan) melawan seorang musuh yang membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu. Dalam prasasti itu ditemukan istilah Walaputra yang dianggap identik dengan Balaputradewa.

Teori populer ini dibantah oleh Pusponegoro dan Notosutanto bahwa, istilah Walaputra bukan identik dengan Balaputradewa. Justru istilah Walaputra bermakna “putra bungsu”, yaitu Rakai Kayuwangi yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan. Adapun Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang berhasil mengalahkan musuh ayahnya.

Benteng timbunan batu yang diduga sebagai markas pemberontakan Balaputradewa identik dengan bukit Ratu Baka. Namun prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah itu ternyata tidak ada yang menyebut nama Balaputradewa, melainkan menyebut Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Jadi, musuh Rakai Pikatan yang berhasil dikalahkan oleh Rakai Kayuwangi sang Walaputra ternyata bernama Mpu Kumbhayoni, bukan Balaputradewa.

Menurut prasasti-prasasti itu, tokoh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku sebagai keturunan pendiri Kerajaan Medang (yaitu Sanjaya). Jadi sangat mungkin apabila ia memberontak terhadap Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya.

Kiranya teori populer bahwa Balaputradewa menyingkir ke pulau Sumatra karena didesak oleh Rakai Pikatan adalah keliru. Mungkin ia meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah perang, melainkan karena sejak awal ia memang tidak memiliki hak atas takhta Jawa, mengingat ia hanyalah adik Maharaja Samaratungga, bukan putranya.

Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.

Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan Sriwijaya dari kakeknya (pihak ibu), yaitu Sri Dharmasetu. Namun, ternyata nama Sri Dharmasetu terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi menjaga bangunan Candi Kelurak.

Jadi, Dharanindra berbesan dengan pegawai bawahannya, bernama Sri Dharmasetu melalui perkawinan antara Samaragrawira dengan Dewi Tara. Dharmasetu menurut prasasti Kelurak adalah orang Jawa. Jadi, teori populer bahwa ia merupakan raja Kerajaan Sriwijaya adalah keliru.

Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa Sailendra, sama halnya dengan pulau Jawa.

Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak zaman Maharaja Wisnu. Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi raja di Sumatra, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Balaputradewa&oldid=16871829"